Kamis, 19 Januari 2023

MEREKA TELAH MEMBAKAR MEUNASAH KITA - Zakh Syairum Majid


 
( Seorang perempuan remaja memakai kruk berjalan tertatih-tatih ke tengah panggung. Berhenti Diam. Matanya menerawang jauh ke depan. Kemudian dia duduk di tengah panggung. Menangis terisak )

Aisyah
Emak akan pulang, kan ? Lihat, lihat aku telah menemukan beberapa butir peluru yang membuat Bang Yunus terkapar dan mati ? Peluru yang manghadiahkan kematian bagi Bang Yunus saat ulang tahunnya yang ke-25. Sebelum dia berangkat di pagi itu menuju Jawa, tempat dia menuntut ilmu. Tapi mereka siapa, Mak ? Meraka siapa, Yah ? Orang –orang yang berbaju doreng itu ? Katanya, mereka datang hendak membebaskan kita dari penderitaan yang berkepanjangan ini ? Orang-orang itu menuduh Bang Yunus sebagai mata-mata, entah mata-mata siapa. Mereka hanya bisa menuduh tanpa alasan yang jelas, atau memang itu sudah tabiat mereka ? Mengapa kita tak pernah merdeka, Mak ? Tapi, merdeka itu sebenarnya artinya apa, Mak ? Dan peluru tak mungkin bisa diajak bicara. Dan di Meunasah juga tak pernah diajari apa itu peluru, untuk apa peluru dan bagaimana cara membunuh dengan peluru.

( Dari dalam ada suara memanggil-manggil )

Noora :
Aisyah, Aisyah, dimana kau ? Hari sudah menjelang maghrib.

Aisyah :
Hari sudah menjelang maghrib ? Bagiku hari sama saja. Bagiku waktu sama saja. Penindasan dan kekejaman.

Noora :
Aisyiah, Aisyiah, dimana kau ? Tak baik Inong keluyuran maghrib-maghrib. Kau dimana ?

Ada suara anak-anak menyanyi :
Bungong jeumpa…..,bungong jeumpa….meugah di Aceh
Bungong telebeh…bungong telebeh..indah lagoina..

Hening. Aisyah bangkit. Seperti mencari sesuatu.

Aisyah :
Bungong jeumpanya sudah gak ada lagi ( sedih ). Wanginya pun juga sudah tidak ada meski sisa di angin lalu. Hanya amis darah, bungong jeumpanya amis darah. Di bawah pohon bungong jeumpa itu Bang Yunus ditembak mati para pengecut itu. Mereka benar-benar pengecut !

Ada suara anak-anak menyanyi, sayup-sayup :
Bungong jeumpa..bungong jeumpa..meugah di Aceh
Bungong lelebeh..bungong lelebeh..indah lagoina
Puteh kuneng mejampu mirah
Keumang siulah cidah that rupa..

Aisyah menangis. Suara terputus-putus.


Aisyah :
Bungong jeumpanya sudah tidak wangi. Inong sudah tidak wangi. Mana ada di tanah air ini yang masih wangi. Hanya darah. Tanah ini penuh cerita tentang darah dari dahulu. Sampai Cut Nyak Dien pun dikhianati. Anak-anak pun dibunuhi. Bukankah darah lebih merah dari bunga mawar mana pun yang tercantik ? Tapi ada kriteria cantik dan tak cantik, apa ? Suara rentetan bedil yang memberondong anak-anak Meunasah pun bukankah terdengar indah bagi telinga para penembak jahanam itu ? Ya, ya, aku dengar suara itu. Suara ketawa yang nyinyir di antara jerit tangis anak-anak Meunasah. Dan Bu Salehah ? Kau tahu apa yang terjadi dengan Bu Salehah ? Aku tak pernah menceritakan kepadamu. Banyak dan terlalu banyak nestapa ditaburkan di atas tanah ini. Mungkin kau akan bosan dengan cerita-cerita pembantaian di tanah kami. Mungkin kau tak tahu berapa jumlah anak-anak yang dibunuhi setiap harinya di tanah ini ? Mungkin kau tak tahu berapa jumlah anak-anak yang tak sekolah lagi di tanah penderitaan ini ?

Noora :

Mainnya jangan jauh-jauh, Aisyah. Ayo, pulang ke rumah, Inong.

( Noora datang mendekati Aisyah. Membelai-belai kepalanya. Sambil lirih menyanyikan lagu bungong jeumpa.

Hening. Sesaat )


Aisyah :

Bagaimana keadaan Meunasah, Noora ? Apakah anak-anak itu, teman-teman kita sudah pada masuk lagi untuk mengaji, Noora ? Apakah mereka sudah siap mengikuti ujian, Noora ? Apa Bu Salehah….

Noora :

Sst. Ayo, kita pulang Aisyah. Hari menjelang malam. Sebentar lagi banyak binatang malam yang jahat keluar dari sarangnya. Apalagi kita kaum perempuan, harus segera pulang ke rumah. Mengunci pintu rapat-rapat. Ayo kita pulang, Aisyah. Tak baik kita tetap di sini. Nanti keluargamu kelabakan mencarimu. Kita tak ingin seperti Malika, teman sekolah kita, yang jenazahnya ditemukan dipinggir kali, seperti habis diperkosa dan dibunuh dengan sadis.

Aisyah :
Dan kesadisan mereka tak memandang siapa, meski gadis cacat seperti Malika. Tak ada yang peduli. Juga para penguasa itu, mereka tetap saja bisa tidur nyenyak padahal rakyatnya berteriak-teriak minta dilindungi. Sudahlah, siapa yang mau peduli pada rakyat kecil seperti kita. Aku tidak mau pulang. Aku mau menjaga Meunasah kita. Aku tak mau binatang-binatang malam jalang itu merusak Meunasah kita. Memperkosa dan membakar hidup-hidup Bu Salehah. Aku tak mau. Meunasah itu adalah rumah kita juga, Noora. Apakah kita rela jika rumah kita dihancurkan orang lain, Noora ? Dimana kita bisa berlindung dari hujan, dingin, sengatan matahari, Noora ? Dimana kita dan teman-teman kita belajar ? Aku tak ingin, aku tak ingin ada yang merampas Meunasah itu apalagi membakarnya !

Noora :

Tak ada yang akan membakar Meunasah kita, Aisyah. Percayalah. Yakinlah. Semua akan aman-aman saja.

Aisyah :
Kau jangan bohong, Noora. Kamu jangan terpengaruh apa kata-kata mereka. Meunasah adalah juga pusaka kita. Tanpa Meunasah kekuatan kita akan lemah dan mudah dibodohi lalu dibunuhi. Meunasah itu punya sejarah panjang, Noora. Para pejuang tanah air ini yang membangunkannya, sejak jaman kejayaan tanah air ini. Aku tak yakin orang-orang jahat itu akan membiarkan Meunasah itu tetap berdiri. Mereka takut pada gemuruh suara anak-anak mengaji, suara anak-anak bersyalawatan, anak-anak berpuisi dari dalam Meunasah itu. Mereka takut. Maka mereka berusaha membakar Meunasah kita dan membunuh kita dan teman-teman kita. Sadarlah, Noora. Lihat pelor-pelor di tanganku ini, Noora. Ini yang telah membunuh Bang Yunus, Hasan, Ibrahim, Laka, Maryam, Fatimah dan teman-teman kita yang lain. Lihat, darah kering mereka masih ada. Dan ini sebutir peluru yang menghajar pahaku dan membuat kaki satuku pincang. Mereka tak peduli siapapun, mereka akan menghancurkan Meunasah itu meski yang menghalang-halangi mereka, anak-anak seperti kita, mereka tidak peduli bahkan kalau perlu menembaki membunuhi. Mungkin mereka tak pernah mengalami masa remaja seperti kita dan juga tak pernah punya anak seusia kita. Karena mereka sudah disiapkan hidup sebagai makhluk yang buas, yang membunuhi siapa saja.

Terdengar lirih anak-anak bersholawatan. Tapi tiba-tiba terdengar rentetan senapan. Ada isak tangis. Ada jeritan menyayat.
Aisyah menutupi kedua telinganya. Tubuhnya bergetar. Noora berusaha menenangkan.


Aisyah :
Dengar, dengar derap langkah mereka mulai mendekat. Mereka bersiap menghancurkan Meunasah kita. Mereka akan membakar Meunasah kita. Mereka akan membakar Meunasah kita.

Aisyah panik. Berlari ke sana ke sini. Noora kewalahan menenangkannya.


Noora :
Tak ada yang hendak membakar Meunasah kita, Aisyah. Tenanglah. Tenanglah. Sebutlah nama Allah banyak-banyak, Aisyah !

Aisyah :
Mereka sudah datang, Noor. Mereka semuanya membawa bedil dan api. Mereka akan membakar Meunasah kita dan menembaki siapa saja yang bersikeras mempertahankannya. Kita harus menolong Bu Salehah dan teman-teman kita. Mereka tak pantas dibunuh dengan cara kejih seperti itu. Mereka biadab, Noor. Meunasah kita akan dibakar, Noor. Meunasah kita akan dibakar.

Aisyah tetap panik. Kemudian terdengar gemuruh api membakar.

Aisyah :
Mereka telah membakar Meunasah kita, Noor. Sedang kita tak berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Kita pengecut, kita munafik. Mengapa kita takut mati.

Aisyah menangis. Menjerit.


Noora :

Tenanglah, Aisyah. Tak ada yang membakar Meunasah kita, lihat Meunasah kita masih berdiri megah.

Noora menenangkan Aisyah. Membelai-belai kepalanya, mendekapnya. Hening, senyap. Cahaya redup.
Perlahan ada iring-iringan jenazah. Anak-anak remaja mengusung sebuah keranda. Lamat-lamat. Bisu. Sunyi. Lenyap. Kemudian lagu bungong jeumpa muncul kembali.


Aisyah bangkit. Matanya sayu. Kemudian Noora memeluk erat tubuh Aisyah kembali. Membenamkan kepalanya dalam dekapannya. Lalu menyenandungkan lagu bungong jeumpa beriringan dengan nyanyian bungong jeumpa yang sayup dinyanyikan anak-anak.

Aisyah :
Noor, pohon bungong jeumpa di halaman Meunasah kita, yang merupakan pohon bungong jeumpa satu-satunya di kampung kita, masih hidup ? Masih ada bunganya ? Beberapa hari yang lalu, bunganya mekar lebat-lebat. Aku memetiknya kemudian kusuling menjadi minyak, lalu aku berikan untuk Bu Salehah dan kubagi-bagikan kepada teman-teman kita agar semua merasakan wanginya. Dan untuk Bu Salehah, itu hadiahku untuk acara pernikahan dia, agar kedua mempelai itu lebih wangi. Dan akan aku nyanyikan lagu bungong jeumpa sewaktu mereka melangsungkan pernikahan nanti. Pohon bungong jeumpa itu masih ada, kan ?

Noora :
Pohon bungong jeumpa itu masih ada. Kamu jangan khawatir. Penghuni Meunasah itu juga kita akan selalu menjaganya, akan selalu merawatnya agar bunganya lebat, agar kita bisa memetiknya, agar kita bisa menyuling minyaknya, agar kita bisa membagi wanginya kepada siapa saja.

Aisyah :
Membagi wanginya kepada siapa saja ? Aku tidak mau membagi wanginya kepada orang-orang yang ingin membakar Meunasah kita dan membunuhi orang-orang kampung kita, Noor. Aku tidak rela membagi wangi bungong jeumpa kepada mereka, aku pun tak rela jika kau melakukannya.

Noora :
Aisyah, bukankah kebaikan kita untuk siapa saja, hatta mereka adalah musuh kita. Bukankah Sang Nabi melarang kita untuk mendendam. Ketika batu-batu Taif dilemparkan tangan-tangan kasar itu sampai melukai tubuhnya, sampai darahnya menggenangi terompahnya, beliau tidak mengumpat, ataupun menyumpah serapahi manusia-manusia itu, tapi malah beliau mendoakan dengan doa yang indah. Jangan menyimpan dendam, Aisyah.

Aisyah :

Tapi hendak membakar Meunasah kita. Bukankah Sang Nabi juga menyuruh agar kita tidak lari ketika bertemu musuh, apalagi musuh hendak menghabisi kita. Noora, aku tak rela jika mereka menghanguskan Meunasah juga pohon bungong jeumpa kita. Aku tak rela. Aku tak rela. Lihat ini buktinya, pelor-pelor ini, Noora ! Apa tak cukup kekejaman mereka, yang membunuhi tidak hanya bapak dan ibu-ibu kita, bahkan anak-anak seperti kita. Apa artinya peperangan ini, Noora. Apa artinya ? Apakah orang-orang tua hanya bisa menyelesaikan dengan jalan kekerasan ? Dan kematian, Noora ? Bukankah terlalu indah jika atas nama Allah, seperti yang dikisahkan pada Hikayat Perang Sabil. Kita tak perlu takut pada kematian, Noora meski kita merasa masih remaja. Karena kematian akan datang menjemput siapa saja tak memandang usia. Kematian lebih pasti meminang kita. Saat bunga-bunga sejati diberikan pada kita. Dan Meunasah kita akan ada yang menjaganya, meski kita mati dahulu, insya Allah, meski hanya ruhnya. Jangan-jangan kau pikir remaja-remaja yang hadir adalah remaja-remaja teroris, bukan, tapi remaja-remaja yang punya keberanian mempertahankan kedaulatan negeri ini. Bahkan remaja-remaja pengecut yang bersembunyi di ketiak harta dan narkoba. Dan pohon jeumpa itu akan selalu rimbun bunga-bunganya, akan menaburkan semerbak wangi ke penjuru negeri.

( Kemudian ada seorang anak perempuan berlari tergesa-gesa )


Seorang anak perempuan :
Cepat, cepat lari, selamatkan diri kalian. Mereka telah datang hendak menghancurkan kampung kita. Juga Meunasah kita.

Aisyah terperanjat. Juga Noora.

Aisyah :

Sudah kubilang apa. Mereka sama saja. Untuk apa kita berlari dari mereka. Aku tak mau mati dalam kepengecutan dan kemunafikkan. Aku akan melawan mereka. Meunasah itu tak boleh hancur. Aku tak rela jika Meunasah itu hancur. Aku tak rela.

Noora menarik-narik tangan Aisyah untuk segera pergi menghindar dari bahaya yang mengancam, tapi Aisyah meronta-ronta. Sampai akhirnya tangan Aisyah lepas dari pegangan Noora dan Aisyah pun bergegas tertatih menyongsong maut. Sedangkan Noora mengejar Aisyah sambil kebingungan.

Kemudian terdengar sayup nyanyian
bungong jeumpa..bungong jeumpa meugah di Aceh
bungong lelebeh..bungong lelebeh indah lagoina
puteh kuneng mejampu mirah
keumang siulah cidah that rupa…

sayup. Redup. Hanya suara rentetan bedil dan api yang menggejolak.


Bogor,1425
Zakh Syairum Majid ( Surono B Tjasmad )

BIODATA PENULIS
Zakh Syairum Majid (Surono B Tjasmad), lahir di Pekalongan, 16 Mei 1980, alumni Institut Pertanian Bogor. Aktif sebagai Wakil Ketua Forum Lingkar Pena Bogor. Karya berupa cerpen dan puisi pernah dimuat dalam : Republika, Suara Karya, Tabloid MQ, Elegi Gerimis Pagi (Antologi Cerpen Mini KSI Award 2002), Yang Dibalut Lumut (Antologi Cerpen Lomba Kreativitas Pemuda 2003, Depdiknas), Muli Sikep (Antologi Cerpen Krakatau Award 2003), dll. Cerpennya yang bertajuk “Elegi Gerimis Pagi” memenangkan Komunitas Sastra Indonesia Award 2002, sedangkan cerpennya yang berjudul “Jejak-Jejak Terhapus Hujan” memenangkan juara III Lomba Cipta Cerpen Kreativitas Pemuda Depdiknas 2003. tinggal di Wisma Dolphin Balebak 32 Balumbangjaya, Bogor. (0251) 621628 / 081310326178.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar