Senin, 23 Januari 2023

1 3 P A G I - Cucuk Espe


Satu

Siang dan malam semakin tak ada bedanya. Waktu berjalan terlalu cepat membakar mimpi di siang penat. Gelap cahaya lampu, pekat dan menyumbat akal sehat. Barman termenung di ambang kesadaran, menatap gulita tanpa dendam. Ini awal sebuah cerita dan akhir secuil kenangan. Barman terkapar dalam ketidakberdayaan tapi bukan tanpa keinginan. Dan hidup sebentar lagi dimulai.



01. Barman
Cerita ini baru mulai. Dan siapa saja yang ada di sini adalah tokoh utama. Bukan aku tak percaya pada orang lain. Egois atau narsis, bukan…! Tetapi sejak aku tidak dikehendaki melakukan apa-apa lagi, semuanya aku anggap penting. Bahkan seekor kucing pun yang lewat di depanku, menoleh dan menggelendot di pangkuanku, aku anggap penting. Kucing itu telah memberiku arti sebagai manusia. Kalau tidak, mungkin kucing itu akan mencakar dan mencabik kaki dan pahaku. Berdarah, tetanus, bengkak, dan rabies. (tertawa)
Aku punya cerita tentang kucing. Kucing yang ini, badannya besar, kumisnya tebal –maaf bagi yang punya kumis—dan ada belang di kaki. Belang bukan tato! Kucing itu milik banci yang rumahnya di ujung gang. Tiap aku lewat depan rumah banci itu –aku lupa namanya—dia selalu duduk di depan pintu sambil menyisir bulu kucingnya. Aku yakin, itu kucing laki-laki. Instingku saja…! Terlalu berbahaya jika soal itu ditanyakan.
Aku lewat, menoleh dan banci itu tersenyum. Tapi pagi itu lain, dia tersenyum lantas berjalan mendekatiku sambil tangannya masih menyisir bulu kucingnya. “Mau kucing, Barman?” katanya dengan genit. Itu pengalaman pertamaku bicara dengan banci. “Kucingnya bagus,” katanya agak gugup. “Terima kasih, saya tak biasa memelihara kucing. Maaf,” Tapi dia tetap tak membiarkanku lolos.
Justru aku semakin didekati dan dia berjalan mengelilingiku. Untung saja masih pagi! “Barman, dia kucing yang baik. Kalau mencakar sangat pelan dan penuh perasaan. Penurut dan tidak suka meloncat. Pokoknya, kucing ini sangat tahu untuk apa dia diciptakan,” Banci itu semakin menyudutkanku. Hingga aku nyaris terjengkang. “Maaf, aku harus segera pergi,” kataku ingin segera lepas dari cengkeraman banci agresif itu. “Mampirlah sebentar. Aku punya koleksi kucing yang mungkin kau minati. Aku ingin berbagi kucing denganmu, Barman…,” kata banci itu mulai melenguh.
Banci kampung bertingkah liar. Sejak aku tinggal di gang itu, baru pagi itu melihat keberingasan tetangga jauhku itu. Banci dan kucingnya yang siap menerkamku. “Cukup! Terima kasih. Lain waktu saja. Simpan baik-baik kucingmu, siapa tahu ketemu teman –sesama kucing—yang lidahnya lebih panjang atau yang ekornya pendek hingga terlihat jelas….! Hei..banci itu mengejarku. (Barman berlarian) Beberapa orang mulai bangun, membuka pintu dan melihatku berlari hingga nyaris jatuh ke selokan.
Banci kurang ajar! Sempat kulihat seseorang yang baru saja membuka jendela, tertawa melihatku berlarian. Mungkin dipikirnya, aku bercanda dengan banci itu sejak semalam. Sial! Kalau saja ada yang orisinil, kenapa milih banci!
Sejak itu, aku benci kucing. Melihat kucing, selalu lenguhan banci memenuhi otakku. Tapi aneh, semakin aku benci kucing, justru aku tak bisa melupakan binatang beringas itu. Tak jelas apa alasannya, tiap ada kucing, kupanggil dan kuberi makanan. Kuelus…karena aku sadar, mungkin kucing ini sebentar lagi bernasib sama dengan kucing dalam pelukan banci itu. Karena sejak peristiwa pagi itu, aku tahu ternyata banci itu pekerjaanya memburu kucing. Jadi, selagi ada kesempatan, aku ingin membahagiakan kucing-kucing itu sebelum masa depannya hancur.
(Berlagak seperti orasi) Bersatulah kucing-kucingku! Kuatkan batinmu, liarkan hidupmu. Panjangkan kuku-taringmu. Kibaskan ekor mungilmu! Kau kucing nakal, bukan kucing dalam karung. Kau kucing yang siap bertarung…! (mendadak orasi Barman terhenti, sebuah teriakan membuat semuanya jadi lunglai).

02. Sinta
(Berteriak dari dalam) Masih pagi…jangan berteriak seperti itu. Kau mulai cerita yang aneh-aneh.

03. Barman
Aku cuma melatih ingatanku, Sinta!

04. Sinta
Tapi tidak dengan cara seperti itu. Nanti tenggorokan sakit. Ke dokter lagi, duit lagi…

05. Barman
Itulah perempuan. Semuanya diukur dengan duit. Bahkan tidak boleh sakit pun, alasannya karena duit.

06. Sinta
(keluar sambil membawa handuk kecil). Jangan sampai kambuh lagi. (mengusap kening Barman) Bukan saatnya berteriak seperti itu. Kayak anak kecil!

07. Barman
Cuma sekedar untuk mengusir bosan dan agar kelihatan variatif. Lebih dinamis!

08. Sinta
Bosan?

09. Barman
Bukan begitu (gugup). Orang seusiaku, sangat penting melatih leher. Karena semuanya dimulai dari leher…(agak ngawur).

10. Sinta
Alasan saja. Kenapa mesti ditutup-tutupi?

11. Barman
Sinta, aku tadi cuma melatih ingatan tentang kejadian yang aku benci.

12. Sinta
Benci…bosan, apa bedanya?

13. Barman
(mulai kesal) Memang aku benci dan bosan. Nah, kau punya saran agar aku tidak selalu berteriak yang menurutmu membosankan itu?

14. Sinta
(diam beberapa saat) Sejak kau pensiun, selalu bertingkah aneh. Kadang diam, sendiri, berteriak, cerita sesuatu yang tidak masuk akal….

15. Barman
(tertawa) Justru akalku makin sehat. Sempurna. Hidupku semakin sempurna! Aku bebas berteriak tanpa takut hukuman apalagi hujatan. Inilah diriku sekarang. Barman yang pensiunan pejabat penting di kota ini, berdiam diri di rumah tapi pikirannya tetap berlarian kesana-kemari seperti anak kecil mengejar layang-layang.

16. Sinta
Tingkah yang tidak masuk akal!

17. Barman
Kau mulai berani melarangku, Sinta!

18. Sinta
Bukan begitu.

19. Barman
(marah) Kau mulai berani!

20. Sinta
Karena semakin sulit dimengerti.

21. Barman
(tertawa) Situasi aneh justru muncul di saat semuanya sulit dimengerti. Dan selamanya kita ditakdirkan tidak mampu mengerti. Spesies paling bodoh dalam sejarah penciptaan adalah kita.

22. Sinta
Berapa lama kita bersama?

23. Barman
(terkejut) Apa yang terjadi?

24. Sinta
Sulit dimengerti karena kita spesies bodoh.

25. Barman
Betul! Sinta…(bangga) kau mulai mengerti. Bahwa itu pertanyaan paling bodoh!

26. Sinta
Mungkin benar. Tetapi tidak selamanya begitu. Kau ini terlalu pintar untuk mempermainkan hidup. Berputar-putar, berlari-lari mengejar tujuan yang semakin jauh. Kini tujuan itu semakin tidak kelihatan seiring usia menjelang habis. Hidup ini terlalu rumit…! Apalagi yang bisa dilakukan setelah kerumitan itu selesai? Hidupmu kosong!

27. Barman
Hidupku kosong?

28. Sinta
Pensiun…!

29. Barman
Tapi semuanya kunikmati. Tuhan telah benar-benar menata hidupku dengan sangat baik. Bahkan terlalu baik.

30. Sinta
Karena terlalu baik, banyak yang kau lupakan.

31. Barman
Pikiranku masih komplit, Sinta. Bahkan untuk mengingat kejadian atau benda paling kecil sekalipun. Otakku sangat terlatih.

32. Sinta
(tertawa) Dimana kau letakkan jaketmu tadi pagi?

33. Barman
Dekat jendela.

34. Sinta
Sepatu?

35. Barman
Belakang pintu. Di samping lemari.

36. Sinta
Balsem kesayanganmu itu?

37. Barman
Di atas lemari. Karena sering kupakai, jarang kumasukkan kotak obat.

38. Sinta
Majalah porno yang kau baca semalem?

39. Barman
Aku lempar begitu saja karena tidak tahan lagi. (tertawa) Selanjutnya…kau yang paling ingat Sinta. Waktu berjalan sangat luar biasa!

40. Sinta
(dengan nada cepat) Usiamu berapa? Kenapa pensiun lebih cepat? Dan pekerjaan besar apa yang belum kita lakukan?

41. Barman
(Diam. Sinta mengulangi pertanyaannya, tepat dekat telinga Barman) Kubuang jauh ingatanku tentang hal itu.

42. Sinta
Dibuang? Lupa? Justru pertanyaan sepele, kau tidak bisa menjawab. (Sinta mengulangi pertanyaannya).

43. Barman
Seolah kau ingin menyingkirkanku. Dan mengatakan; aku sudah tidak berguna lagi!

44. Sinta
Aku punya cerita (seperti mendongeng). Suatu hari, orang tua bertanya kepada anaknya. Masih kecil. Permainan apa yang paling disukai? Anak itu menjawab petak umpet. Tidak ada mainan yang lain? Tanya si orang tua. Banyak! Tapi kurang menantang. Sebab petak umpet melatih keberanian, daya ingat, dan tanggung jawab untuk menemukan lawan mainnya.
Orang tua itu bertanya lagi; berapa usiamu? Si anak menjawab 13. Ya! 13…terlalu tua untuk main petak umpet. Tapi anak itu ngotot. Banyak yang usianya lebih tua justru menjadikan petak umpet sebagai pekerjaan. Memetak-metak lalu ngumpet. Metak-metak lagi…ngumpet lagi. Petak satunya hancur, ngumpet…dan susah dicari. Buron!

45. Barman
Siapa anak kecil itu?

46. Sinta
Kau mulai tertarik?

47. Barman
Dia pasti anak yang kreatif. Atau paling tidak bapaknya; seniman atau guru seni!

48. Sinta
(melanjutkan dongeng) Ketika purnama penuh, mereka bermain di tanah lapang yang penuh lubang dan dikelilingi belukar. Memang cocok untuk ngumpet tapi terlalu bahaya untuk anak kecil. Maksudku anak usia 13 tahun!
Permainan pun dimulai. Sialnya, anak itu kalah dan harus mencari lima temannya yang sembunyi. Entah dimana! Tiga temannya berhasil ditemukan dengan cepat karena badannya gendut hingga susah bersembunyi. Sedangkan dua teman lainnya, hingga satu jam…belum ditemukan. Nyaris saja, mereka meninggalkan dua temannya yang terlalu pintar bersembunyi. Tapi anak itu tak mau meninggalkan tanggung jawab. Dia cari dua temannya hingga nyaris tengah malam. Hingga kelelahan dan duduk di pinggir lapangan.

49. Barman
Dua temannya itu?

50. Sinta
Sudah tidak penting lagi.

51. Barman
Terus kenapa kau bercerita? Apa karena drama ini biar panjang?!

52. Sinta
Ada yang lebih penting. Drama panjang kejujuran.

53. Barman
Maksudmu?

54. Sinta
Bisa saja mereka meninggalkan lapangan tanpa beban. Pura-pura lupa atau sengaja menganggap temannya itu tak penting lagi.

55. Barman
Jangan menyindir! Aku bukan anak 13 tahun dalam ceritamu itu.

56. Sinta
Tapi masih sering pura-pura.

57. Barman
Menurutmu saja. Sinta, kenapa baru sekarang kau menanyakannya?

58. Sinta
Itu bagian penting dari hidupmu. Hidup kita!

59. Barman
(terkekeh) Ada hal yang lebih penting daripada bertanya tentang usia atau kenapa aku pensiun lebih cepat.

60. Sinta
Apa?

61. Barman
Kamu!

62. Sinta
Jangan membalik kenyataan.

63. Barman
Lelaki paling peka terhadap perubahan yang dilakukan istrinya. Sekecil apapun!

64. Sinta
Usiamu saja lupa. Bagaimana bisa tahu perubahan yang kulakukan?

65. Barman
Tak ada hubungannya dengan usia karena tidak penting lagi. Coba perhatikan; kau selalu terlambat membuat kopi. Tidur terlalu malam. Dan sering melarangku melakukan sesuatu, termasuk berteriak!

66. Sinta
Kopi hanya membuat kau tak bisa tidur. Dan aku terus menjaga agar kau tidak bertingkah aneh. Hal itu sering terjadi.

67. Barman
Dan kau senang jika aku bisa melupakan semuanya? Masa laluku? Pekerjaanku? Teman-temanku? Juga banci ujung gang yang selalu menyodorkan kucingnya?

68. Sinta
Pikiranmu mulai lagi. Lebih baik kau istirahat. Mungkin sambil istirahat, kau bisa mengingat semua kenangan yang kau inginkan. Ayolah…(mengajak) selonjorkan kakimu. Letakkan kepalamu dan atur napas. (Barman mulai terbaring. Kaku).
Aku awali cerita ini dari sini. Kisah yang dibenci semua orang tapi masih sering terjadi. Malampun gelap. Angin bertiup cukup kencang. Jalanan sepi sehabis hujan. Semuanya gelap…


Dua


Cercah cahaya menyeruak, membuka kegelapan. Perlahan Barman melayang, terbawa derasnya ingatan yang belum sempurna. Syarafnya kaku, persendiannya tegang. Tapi Barman sadar, ada persoalan besar yang harus diselesaikan. Hingga istirahatnya tersendat dan tergeragap.

69. Barman
Apa sudah kelihatan terlalu tua? Apa semua keriput bisa jadi ukuran? Apa kelambanan tubuhku ini bisa jadi gambaran; bahwa Barman memang tidak mampu berbuat apa-apa lagi.

70. Edos
Aku kemari tidak untuk membicarakan hal itu. Maaf, jika waktunya kurang tepat.

71. Barman
Justru sangat tepat! Aku membutuhkan nasehat. Pertanyaan yang selalu mengganggu hampir setiap hari. Kau bersedia?

72. Edos
Kelihatannya sakit sekali?

73. Barman
Lebih dari sakit. Kadang tubuhku terasa lemas. Dingin. Seperti kematian telah mendekatiku. Kadang sebaliknya, api itu membakar seluruh sarafku. Otakku hangus! Tetapi jemariku keriput, kulitnya mengelupas. Jika kutiup, terasa perih. Perih sekali…

74. Edos
Pernah ke dokter?

75. Barman
Sejak aku serumah dengan Sinta, sulit percaya kepada dokter. Jarum suntiknya itu, ternyata menipu. Dan stetoskos yang selalu tercantol ditelinga, bohong besar! Dengan alat yang sulit dimengerti, dia bebas mengatakan apa saja.
Suatu pagi, aku pernah ke dokter. Setelah aksi pegang-pegang kepala, dada, dan perut, dia langsung ambil keputusan; aku menderita radang lambung. Aku bantah! Dia tetap ngotot! Lalu masuk ruangannya dan mengambil buku sangat tebal. Aku pun diperlihatkan gambar isi perut manusia yang membuatku mual. Katanya; karena lambung terlalu penuh dengan makanan yang buruk maka dindingnya infeksi dan luka. Meradang!
Aku batah! Dia tambah ngotot. Malah bilang itulah buku panduan para dokter di seluruh jagad. Dan ribuan dokter seolah mengatakan terlalu banyak hal buruk yang kumakan. Jelas aku marah. Itu sama saja dengan menghina Sinta. Dia paling jago masak.
Satu lagi, dokter yang prakteknya dekat warung sate itu, tanpa ragu memberiku resep obat raja singa. Itu sudah keterlaluan! Tubuhku memang panas-dingin, tetapi bukan akibat penyakit kotor. Edos, kau tahu kan…seleraku (terkekeh) Terang saja, aku bentak dokter itu. Hingga beberapa pasien melongok lewat korden.
Dokter! Penyakit itu hanya cocok untuk orang ceroboh. Dan lagi, kau ingat Edos, (lirih) aku pernah selingkuh dengan dokter juga meski masih kuliah. Suatu malam, mahasiswi kedokteran itu mengatakan; cuci tangan sebelum tidur…! Pasti aman. Itu artinya ini bukan raja singa! Mungkin dokter itu asal bicara agar ingin dibayar mahal.
Sejak itu, aku tak percaya dokter.

76. Edos
Sejak kapan kau merasakan tubuhmu tidak beres, Barman?

77. Barman
Sejak Sinta sering melarangku berteriak.

78. Edos
(tertawa) Justru Sinta paling mengerti daripada dokter yang membuatmu marah. Mungkin saja, Sinta telah menemukan obatnya. Pernah hal itu kau tanyakan?

79. Barman
Maksudmu?

80. Edos
Kau hanya perlu istirahat cukup, Barman.

81. Barman
Tak ada bedanya dengan Sinta.

82. Edos
Dia selalu mengatakan begitu?

83. Barman
Hampir tiap malam. Sebelum aku mencuci tangan.

84. Edos
Sinta memang cerdas!

85. Barman
Kau puji istriku?

86. Edos
Tersinggung?

87. Barman
Sedikit. Tapi jangan dilanjutkan.

88. Edos
(tertawa genit) Itulah akar segala sakit, Barman. Kelihatannya sepele tetapi akan menggerogoti pikiran hingga tubuhmu lemas. Otakmu terbakar hingga jantungmu meleleh. Lalu syarafmu bergerak, meloncat-loncat mempermainkan lambungmu. Menyendat napasmu. Menggerakkan tangan-kakimu. Mematikan nafsu! Kabar buruk bagi Sinta.

89. Barman
Kau terlalu banyak tahu.

90. Edos
Aku mengenalmu, jauh sebelum Sinta. Dan tak ingin melihatmu menderita setelah hal besar itu kau putuskan. Menikmati masa tua, tidak harus dengan pensiun. Terlalu beresiko. Dulu, kau pernah mengatakan; hanya orang tidak kreatif-lah yang memilih pensiun. Otak menjadi diam. Kaku. Dan monoton.

91. Barman
Jangan menyindir.

92. Edos
Itu pertanda kau terlalu lelah.

93. Barman
Kau kemari hanya ingin mengatakan itu?

94. Edos
Maaf kalau terlalu jujur. Kau butuh hiburan, Barman.

95. Barman
Lebih tidak masuk akal! (Melonjak. Tertawa) Seluruh hidupku kuhabiskan untuk berhibur. Apa itu kurang? Bahkan dalam 24 jam waktuku, 8 jam bekerja, 14 jam mencari hiburan, dan 2 jam lainnya tak seorang pun kuberitahu. Apa belum cukup?

96. Edos
Belum!

97. Barman
Kau punya cara lain?

98. Edos
Habiskan 24 jam untuk berhibur. Habiskan seluruh waktumu untuk melonggarkan syarat yang mulai liar.

99. Barman
Bagaimana dengan Sinta?

100. Edos
Dia terlalu cerdas untuk mengikuti permainan ini.

101. Barman
(mulai tertarik) Kau tahu caranya?

102. Edos
Bukankah aku terlalu banyak tahu.

103. Barman
Kalau begitu, kau datang tepat pada waktunya, Edos. Boleh nanti aku berteriak?

104. Edos
Sangat boleh.

105. Barman
Meloncat-loncat?

106. Edos
Sangat bagus untuk persendian.

107. Barman
Menghujat?

108. Edos
Itu melonggarkan pikiran!

109. Barman
Saranmu sungguh hebat, Edos! Bantu aku bisa melakukan semuanya.

110. Edos
Ingat! Ini bukan soal benar-salah. Tapi bagaimana menjalani hidup dengan tepat.

111. Barman
Cara yang paling liar.

112. Edos
Lebih liar dari yang kau bayangkan. Coba lihat dirimu sendiri, Barman. Alismu, hidungmu, lehermu, tangan, perut, dan kakimu. Ajaklah semua bicara. Ajaklah untuk menuruti keinginanmu. Berlari menuju puncak ketenangan. (Barman mulai berputar. Berlari. Hingga naik ke puncak tertinggi)
Leher itu bicara; aku lelah berteriak. Tangan itu pun bicara; jariku terasa kaku. Kakimu mengumpat kenapa terus saja berjalan. Kau mulai liar Barman! Semakin liar, kau semakin tenang. Damai.

113. Barman
Caramu menguras tenaga, Edos! (Barman semakin liar)

114. Edos
Hanya sementara! Teruslah beringas hingga tenagamu habis. Lanjutkan, Barman! Lebih cepat lebih baik!

115. Barman
Terlalu politis! (bertambah beringas)

116. Edos
Rasakan perubahan di seluruh persendianmu!

117. Barman
Jiancuk! Kakiku keseleo! Napasku hampir habis!

118. Edos
Tinggal selangkah lagi! Ketenangan telah menyambutmu. Naiklah, dan bicaralah kepada dunia. Cari kalimat yang sulit dimengerti!

119. Barman
(nyerocos kalimat ngawur) Aku berdiri di samping dengan dua kaki menggenggam ikan asin dan seekor kucing tapi siapa tahu ada polisi kencing sambil mancing berputar berkeliling seperti tai anjing tak terlalu penting sebab dia bunting bukan karena petting hanya dilakukan maling yang siap mencari guling-guling kambing semua sinting karena melihat pertunjukan tidak penting…..Seperti itu?

120. Edos
Terlalu jorok dan puitis! Cari kalimat lain!

121. Barman
(bingung dan mulai lagi) Senin 13 pagi semuanya dimulai. Dan hidupku baru dimulai. Pikiranku terasa kosong karena aku tahu Sinta mulai bohong. Malam itu aku keluar dan berjalan membunuh rasa kecewa…(tiba-tiba Edos memotong)

122. Edos
Jangan curhat Barman! Banyak wartawan! Istrimu dengar. Bahaya…!

123. Barman
Ini bagian paling susah!

124. Edos
Lipat dan sembunyikan pikiranmu!

125. Barman
Aku mulai dengan Sinta. Perempuan itu telah kuberi seribu satu nasib sial. Nasib yang jarang dimiliki oleh perempuan lainnya di muka bumi. Tapi anehnya, justru Sinta semakin menikmati takdirnya. Perempuan yang aneh. Perempuan yang misterius. Perempuan yang sulit dimengerti. Bahkan hingga kini aku dan Sinta belum saling mengerti. Sinta terlalu cantik. Terlalu baik. Terlalu penurut.
Tak ada tantangan membuatku sakit. Tanganku tak berguna. Tubuhku tak berfungsi lagi. Otakku tak cukup kuat mengingat kesenangan Sinta. Kesadaranku tak membuat bahagia. Aku mati. Lunglai. Dan tak bisa apa-apa.
Sementara Sinta terlihat semakin bahagia. Dia tersenyum. Bergerak dengan gesit. Tak ada secuil beban di kepalanya. Bahkan setiap aku panggil; Sintaaa….sebelum menghampiriku, dia tersenyum. Seolah mengerti apa permintaanku. Sebaliknya, nasib tak masuk akal menyerangku. Sinta tetap bahagia. Tertawa. Menertawakan sakit yang terus menggerogoti pikiranku. Seperti seribu tusukan bersarang di kepala ini. Aku tak bsa berbuat apa-apa ketika Sinta semakin tersenyum.
Perempuan itu mengejekku. Dimana aku harus sembunyi dari wajah bahagianya. Sinta terus menyerangku. Siang. Malam. Pagi. Setiap waktu, Sinta terus menghajarku. Hingga aku hancur. (Barman terkapar)

Cahaya redup. Malam makin larut. Ketika Barman terkapar, Sinta mendekat dan berjalan bagai bidadari. Semakin dekat tapi tak menyentuhnya. Desau angin malam menyeret batin Sinta hingga menjauh dari batin Barman. Lelaki itu telah tenang, tidak mati. Hanya diam kelelahan. Tapi otaknya, jelas melihat Sinta datang membawa seuntai senyum di samping Edos.



Tiga


Malam membuka segala kemungkinan. Tak perlu benar dalam hal kesenangan. Barman tenang dalam tidur yang tidak terlalu panjang. Hilang dibalik jantung kelam. Tinggal Sinta mencoba menjalani cerita yang salah tetapi sangat manusiawi. Cerita yang seharusnya terjadi tetapi sulit dipahami. Dan Edos, bagai pangeran yang menyandang berjuta perangkap. Menangkap kesenangan liar dalam belukar dendam.

126. Sinta
Dia sudah tidur.

127. Edos
Belum. Lihat matanya.

128. Sinta
(agak mendekat) Pulas sekali.

129. Edos
Dengarkan denyut jantungnya.

130. Sinta
Sangat kacau. Mungkin sedang bermimpi.

131. Edos
Napasnya?

132. Sinta
Tidak teratur.

133. Edos
(nada tinggi) Mungkin sedang mengintip kita.

134. Sinta
Sst…Jangan terlalu kasar. Itu posisi tidur paling aneh yang pernah kulihat. Dia paling tidak suka telentang.

135. Edos
Tidak bergerak.

136. Sinta
Tidurnya mungkin akan panjang. Dia kelelahan dibantai dirinya sendiri.

137. Edos
Seharusnya kau tak membiarkan dia sakit.

138. Sinta
Justru rasa sakit itu dinikmatinya. Dia takut kehilangan.

139. Edos
(diam beberapa saat. Memastikan kondisi Barman) Sudah kau beritahu?

140. Sinta
(menggeleng pelan)

141. Edos
Kapan?

142. Sinta
Dia sulit diajak bicara. Setiap hari sibuk dengan pikirannya yang kacau.

143. Edos
Kau istrinya.

144. Sinta
Tapi aku tak mau terlibat.

145. Edos
Istri yang pintar. (tersenyum) Dimana kau simpan?

146. Sinta
Di belakang lemari. Dekat meja makan.

147. Edos
Dia sering ke ruangan itu?

148. Sinta
Sejak dia pensiun, selera makannya turun. Dia lebih suka merokok sambil membawa gelas kopi kemana-mana. Kadang di ruang tamu, dapur, teras, bahkan duduk di kursi kecil depan pintu WC.

149. Edos
Untuk apa?

150. Sinta
Itu kebiasaan barunya. Cukup lama meja makan tak berfungsi. Aku letakkan gelas, piring, makanan hangat, tidak disentuh hingga basi.

151. Edos
Kau punya rencana lain?

152. Sinta
Di hari kelahirannya.

153. Edos
Kapan itu?

154. Sinta
Dia sendiri lupa.

155. Edos
(menerawang kepada Barman) Kau punya ingatan yang buruk, sobat. Bawa ke sini kardus yang kuberikan itu.

156. Sinta
Terlalu berbahaya.

157. Edos
Tidurnya, terlalu panjang. Masih banyak waktu.

158. Sinta
(dengan langkah ragu, sesekali melongok Barman, masuk dan mengambil kardus di belakang lemari dekat meja makan)

159. Edos
Ini bagian paling penting. Aku harap kau bisa mengapresiasi cerita ini dengan bagus, Barman. Tidak terlalu panjang. Dan tidak terlalu sulit dimengerti. Kisah yang menghibur. Konyol. Lucu. Dan melonggarkan pikiran. (terkekeh) Itu kan yang kau cari, Barman?
Hampir tiga belas tahun, kita bekerja. Tiga belas ribu orang, kau penggal nasibnya. Dan mungkin tiga belas juta umpatan kau sembunyikan di balik saku jaketmu. Sebenarnya, aku kasihan Barman. Tapi otakku masih waras, nafsuku masih sehat hingga lolos dari perangkapmu.
Kardus itu, hanya tanda mata. Bukti kalau aku simpati terhadap sikap tegasmu, meski terkesan arogan. Saat terakhir, kau melepaskan jabatanmu, mungkin hanya aku yang punya niat baik. Barman, seandainya sejak dulu kardus itu kau buka, semuanya tak akan terjadi. Hidupmu tenang dalam cerita yang sangat mengharukan.
Tapi istrimu, punya rencana lain. Tidurlah Barman. Rencana itu kini bersambung degan rencanaku. (belum selesai, mendadak….)

160. Sinta
(Tergopoh. Panik) Tidak ada. Hilang!

161. Edos
(Juga panik) Cari lagi, Mungkin telah kau pindah. Kapan terakhir kau melihatnya?

162. Sinta
Aku simpan dan tak pernah kuperiksa.

163. Edos
Ini kesalahan besar. Cerita bisa berubah. Coba cari di ruangan lain.

164. Sinta
Aku yakin di situ. Belakang lemari dekat meja makan.

165. Edos
Punya berapa meja makan. Ayo cepat! Semua rencana bisa hancur dan Barman tidur terlalu pendek. Cepat Sinta! (kembali masuk dan mencari)

166. Sinta
(dari dalam) Ada tiga kardus tetapi terlalu kecil!

167. Edos
(bingung) Sebuah rahasia akan terbongkar. Perlahan tapi pasti. Mimpi buruk Barman akan menjadi kenyataan. Padahal mimpi itu kubungkus rapi dalam kardus, kuikat sangat kuat dan dibuka saat yang tepat.

168. Sinta
(keluar) Tidak ada.

169. Edos
Tidak ada jalan lain.

170. Sinta
Jalan lain?

171. Edos
Karena setelah membuka kardus itu, Barman tidak akan menemukan siapa-siapa lagi. Hanya dirinya sendiri. Jika dibuka tepat waktu. Kenapa mesti kau simpan dulu?

172. Sinta
Edos, kita harus segera pergi.

173. Edos
Dia suamimu!

174. Sinta
Sebelum kardus itu hilang. Sekarang, semuanya bisa terjadi. (takut)

175. Edos
Sudahlah. Kita ikuti saja cerita ini. Kau bilang, Barman terlalu lelah untuk mengingat. Itulah jalan lain yang kumaksud.

176. Sinta
Akan berakhir baik? (mendekat Edos)

177. Edos
Jika kau tenang. Semuanya pasti berjalan cukup baik. (meyakinkan)

Sinta tenggelam dalam ketakutan. Kardus itu adalah mimpi Barman yang tak boleh dibiarkan liar terbuka. Edos telah membungkusnya. Tetapi, Sang Waktu berkehendak lain. Mimpi Barman bergerak makin liar, seliar Edos dan Sinta yang berpeluk dalam ketakutan.


Empat


Hangatnya cahaya menghantam pikiran Barman. Cahaya itu pula membangkitkan gairah Barman. Gairah baru yang penuh kelonggaran. Tidur panjang membuat pikirannya segar, tangannya ringan, kakinya gesit. Sorot mata penuh semangat. Barman seolah lahir kembali. Dan menemukan cerita yang sangat menghibur. Cerita Edos dan Sinta.

178. Barman
(melihat dengan detail. Edos dan Sinta duduk sangat dekat). Aku paling suka bagian ini. Tidur sebentar membuatku segar dan bisa melihat sekeliling dengan berbeda. Caramu memang manjur Edos. Kenapa tidak kau katakan sejak dulu. Buang jauh-jauh egomu, berbagilah denganku. Barangkali aku tidak akan seperti ini.
(Sementara Edos dan Sinta masih belum memahami keadaan) Ini cerita yang kau janjikan itu kan? Hiburan yang membuat pikiranku ringan. Seringan kapas yang terbang terbawa angin. Bertiup kencang dan terus terbang. (berputar mengelilingi Edos dan Sinta) Terbang hingga jauh, sejauh aku bisa membuang sakit dalam kepalaku.
Ada sedikit gerakan yang kurang aku suka. Kakimu terlihat rapuh. Cari posisi yang gagah. Juga tanganmu, seharusnya tidak disitu. Kau aktor, terlalu banyak pekerjaan lain hingga lupa akting yang bagus? (Terkekeh). Satu lagi, harusnya diletakkan sesuatu diantara kalian, cari yang enteng tapi penuh makna. Bunga kecil misalnya, tapi…itu terlalu romantis. Atau kertas? Bukan! Kardus lebih baik. (Sinta dan Edos terkejut)

179. Edos
(Nyaris berdiri)

180. Barman
Hai! Tetap di situ. Jangan kacaukan pikiranku yang mulai tenang. Hidupku baru saja dimulai. Duduk, Edos. Aku sangat menikmati cerita ini. Dan aku telah menuruti semua saranmu. Mengikuti cerita yang telah kau mainkan. Tenggelam dalam alur yang berputar-putar, hingga tertidur. Disitulah nikmatnya menonton permainan sambil tidur? Kita bisa menebak sesuka hati, sesuai selera. Itu menyenangkan!
(Barman bersemangat). Dulu, aku juga pernah duduk di situ. Berperan seperti kamu. Tetapi aku mainkan peranku itu dengan sangat lincah. Tipis batas antara kebenaran dan keburukan. Kuakali takdir Tuhan. Sementara Dia terus mencatat setiap napas yang kuhirup. Hingga jantung, paru-paru, dan perutku, penuh dengan penuh muslihat di luar akal sehat.
Jangan kelihatan gugup Edos. Bisa merusak konsentrasi! Pernah baca Tragedi Romeo-Juliet? Atau Rama-Sinta? (terkekeh) Maaf, kau kurang suka membaca. Sewaktu kita masih bekerja dulu, lebih tertarik gambar. Tapi kau berhasil menciptakan tragedi menyenangkan! Tragedi yang sempurna dan sangat menghibur.
Sekedar tahu, aku memang lupa berapa tepatnya usiaku. Tetapi aku cukup tahu, semakin banyak orang yang menginginkan kematianku. Jabatanku membuat negeri ini tak bisa tidur nyenyak. Jika aku bergerak, mereka tergeragap. Diam. Tapi mengumpat dalam hati. Tuhan memberiku posisi seperti malaikat pencabut nasib baik.
Suatu pagi, pernah ada yang menaruh racun dalam gelas minuman di mejaku. Untung saja, minuman itu tumpah tersenggol tangan kananku yang ngilu. Semalaman posisi tidurku ngawur! Soal itu, tanyakan pada Sinta. Dua bulan kemudian, seorang penembak jitu mengintip dari balik jendela. Mengincar kepala dan ingin mengeluarkan otakku yang terlalu cerdas. Moncong senjatanya terus bergerak mengikuti kemana arah kepalaku menoleh. Untunglah, ketika pelatuk ditarik, dor! Dengan cepat aku menunduk karena ada berkas terjatuh. Selamatlah aku. Sempat kudengar suara peluru berdesing seperti nyamuk lewat dekat telinga.
Cukup banyak yang menginginkan kematianku. Walikota, bupati, hakim, bahkan para polisi dan presiden, mengincarku layaknya teroris. Padahal justru merekalah teroris yang sebenarnya. Jabatannya digunakan untuk meneror rakyat. Menggusur, mem-PHK, memeras, melecehkan dan mencabuli ketulusan rakyat. Itu adalah teror yang membahayakan.
Anehnya, mereka aktor luar biasa! Pandai membuat sandiwara hingga semua orang mengangguk tanpa banyak tanya. Jika bertanya, penjara sanksinya! Dan aku? Protagonis dalam hidup mereka. Secepatnya orang sepertiku harus dibasmi. Dikeluarkan dari alur cerita, di buang ke pulau paling jauh. Aku sadari itu. Dan aku sangat tahu, siapa saja yang mengancamku. Mereka orang paling dekat.

181. Edos
(memotong) Kau masih terlalu lelah, Barman!

182. Barman
(mendadak liar) Jangan berpura-pura.

183. Edos
Masih perlu menyaksikan lanjutan cerita ini?

184. Barman
(tertawa sinis) Dengan menggunakan sedikit kecerdasanku, hiburan ini tidak ada artinya lagi.

185. Edos
Kau tahu apa, Barman? (gugup)

186. Barman
Sikap tanganmu, gerakan kakimu, bahkan sorot mata dan dengus napasmu adalah lanjutan cerita yang sebenarnya.

187. Sinta
Apa yang ada dalam pikiranmu?

188. Edos
Bagaimana cerita sebenarnya?

189. Barman
Permainan yang sempurna. Terlalu sempurna untuk kawanku yang kuanggap selalu berkomplot dengan kebaikan.

190. Edos
Bicara yang jujur, Barman.

191. Barman
Kejujuran telah mati. Jauh sebelum cerita ini dimulai. Masih ingat, bagaimana lincahnya jemarimu mengantarkan minuman sebagai tanda persahabatan? Pesta bersama setelah berhasil mengirim seorang hakim ke dalam penjara. Di tengah pesta, telunjukmu menarik pelatuk dengan tenang. (tertawa mengejek) Untunglah, aku biasa menemukan solusi sebelum masalah dimulai. Terakhir, kau selipkan keinginanmu di balik kecantikan Sinta.

192. Sinta
Apa yang kau ketahui, Barman?

193. Barman
Lebih dari yang ada dalam pikiranmu. Kardus itu aku amankan. Sinta terlalu ceroboh, kurang bisa menyimpan rahasia.

194. Edos
Kardus?

195. Sinta
Itu tidak mungkin!

196. Barman
Perempuan dimana saja, sama! Kurang pintar menyimpan rahasia. Lain kali, perhatikan kelemahan lawan.

197. Edos
Jika telah tahu semuanya, apa yang akan kau lakukan?

198. Barman
Aku ingin melupakan semuanya. Pekerjaanku, jabatanku, bahkan usia dan segala kesenanganku. Dengan harapan akan menemukan hidup baru bersama Sinta. Tetapi cerita berubah, begitu kau masuk terlalu dalam dalam kehidupanku.
Barman, mantan pejabat paling ditakuti, tidak boleh kalah dengan strategi sahabatnya sendiri. Aku mengerti semuanya! Dan Tuhan memberiku dendam.

199. Edos
Maksudmu?

200. Barman
Kita akhiri cerita ini. Sinta, jangan khawatir. Kuambil sekarang! (bergegas tapi dihadang Sinta)

201. Sinta
Kardus?

202. Barman
(sinis) Kita buka sama-sama agar semua mengerti bagaimana rencana licikmu!

203. Edos
(ikut menghadang Barman) Cukup Barman! Semuanya telah mengerti!

204. Barman
Kenapa jadi penakut? Edos adalah teman yang kukenal memiliki keberanian. Pantang menyerah dan memiliki kecerdasan bagus. Tiba-tiba menjadi pengecut! Setelah kardus itu kita buka, pergilah bersama Sinta!

205. Sinta
Aku tak akan pergi!

206. Barman
Itu telah kau rencanakan! Lepaskan aku agar secepatnya kuambil kardus itu!

207. Edos
Ada cara lain!

Ketika Edos lengah, Barman berhasil lolos dan berlari berputar menghindari Sinta dan Edos yang terus mengejar. Langkah Barman semakin cepat. Beringas. Liar. Naik. Merangkak. Berguling. Edos tetap mengejarnya.


208. Barman
Bukan penyelesaian. Hanya menunda saja! Cepat atau lambat pasti terjadi. Aku akan buka dan kubeberkan semuanya. Kau telah merencanakan sehari sebelum aku pensiun. Dan berunding dengan Sinta setahun sebelumnya. Itu rencana yang sistematis. Langkahku lebih sistematis dari rencana kalian!

Edos terus mengejar.

209. Edos
Cara yang lebih manusiawi!

210. Barman
Hanya binatang yang mempunyai rencana busuk! Jadi kubantu kalian agar tidak dianggap binatang!

Barman berlarian semakin kencang. Edos mengejar. Suasana kacau. Hingga satu titik, tepat di depan Sinta, sebuah tusukan belati menembus lambung Barman. Tangan Edos gemetar. Cerita terlalu cepat berakhir diluar rencananya. Barman terkapar.

211. Sinta
Barman! (menyentuh luka Barman)

212. Barman
Kardus itu telah kubuka. Lebih cepat dari rencanaku. (terbata-bata menahan perih) Jika aku pura-pura lupa, hanya bagian dari keinginanku. 13 pagi, semuanya baru mulai. Mimpi itu menjadi kenangan. Kali ini, tidurku akan sangat panjang. Itu yang kau inginkan.
Katakan pada semua yang kemari, baru separo cerita yang kujalani. Belum punya arti apa-apa. (Melihat Edos) Edos…? Rencanamu lebih sempurna.

Belum selesai Barman bicara, terdengar suara bising di luar. Puluhan orang menyerbu rumah Barman. Mereka adalah orang-orang yang pernah disakiti Barman. Mereka menuntut balas kepada Barman. Suara itu semakin dekat. Seolah ingin merobohkan rumah Barman dan mengeroyoknya.


213. Edos
Tak ada waktu lagi. Mereka semakin dekat. (Sinta ragu dan bingung. Seribu keinginan menjejal tanpa dimengerti) Jumlahnya terlalu banyak! Aku kenal mereka. Orang-orang yang disakiti Barman. Cepat Sinta!

214. Sinta
Dia sendirian!

215. Edos
Itu pilihan hidupnya. Perjalananmu masih panjang. Lewat sini. Cepat! (Sinta dan Edos menerobos kegelapan. Dan hilang)


Lima

Suara-suara itu semakin liar. Seakan menginjak harga diri Barman yang terkapar, meregang takdir. Disaksikan ratusan orang yang mengelilinginya, Barman berdiri dan memaksa bibirnya tersenyum. Tangannya gemetar. Tapi suaranya menggelegar. Di atas titik cahaya putih, Barman melanjutkan sisa cerita.


216. Barman
(terkekeh sambil menahan sakit). Tepat 13 pagi, kutitipkan kardus itu di rumah banci di ujung gang. (tertawa lagi) Banci yang selalu duduk di depan pintu sambil mengelus kucing. Dia sebenarnya tidak banci. Jika ingin melihat kenyataan dengan jujur, harus berani keluar dari kenyataan itu sendiri. Itu pilihan hidupnya.
(tertawa hingga nyaris tersedak) Semuanya, sepulang dari sini, ambil kardusku di rumah banci di ujung gang itu. Semuanya selesai.

Barman meregang mimpi. Hingga gelap. Diam. Hitam.***


Jombang, 2009

Biodata Penulis
Nama : Cucuk Suparno, S.Pd
Lahir : Jombang, 19 Maret 1974
Alamat : Morosunggingan, Kec. Peterongan, Kab. Jombang, Jatim. (0321-

6983069)
Pendidikan : Alumnus Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM).

Kegiatan : - menulis esai dan cerpen serta puisi di sejumlah media masa
lokal dan nasional.
- Aktif menulis dan mementaskan lakon teater di Malang.
- Aktor teater terbaik nasional Peksiminal III TIM Jakarta (1995)
- Koordinator Forum Penulis Jombang (KPJ).
- Sejak Januari 2007 menjadi Direktur Lembaga Pengkajian Hak

Asasi Manusia (eLPeHAM) Surabaya.
- Sejak Desember 2008 menjadi Humas Lembaga Baca-Tulis

Indonesia di Jombang, Jatim dan Pegiat ‘Sekolah Kultural

Indonesia’

● Terpilih Cerpenis Terbaik 2 International FolkFEST II 2010 di Bangkok, Thailand, Desember 2010.

● Memimpin dan menyutradarai Teater Kopi Hitam Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar