Sabtu, 14 Januari 2023

FAJAR SIDDIQ - Emil Sanossa



Sinopsis

Cerita berlangsung di sebuah markas gerilya saat malam. Terjadi perbincangan komandan kompi Marjoso dengan bawahannya tentang status seorang terhukum bernama Ahmad. Menurut sersan bawahannya warga menuntut eksekusi segera dijalankan sebelum fajar. Mereka khawatir Marjoso akan berubah pikiran, karena Ahmad selain kawannya sekaligus anak Haji Jamil, guru mengaji yang sangat dihormati dan dicintainya. “Fajar Siddiq” berisi cerita sangat menarik. Padanya menggumpal beragam emosi milik sejumlah tokoh cerita berkait dengan situasi menghadapi peperangan, pengkhianatan, kemanusiaan, persahabatan, dan persaudaraan.


FAJAR SIDDIQ
Karya : Emil Sanossa


PARA PELAKU:

MARJOSO
SERSAN
AHMAD
H. JAMIL
ZULAECHA

Sebuah markas gerilya, terlihat sebuah ruangan, satu pintu, satu jendela sel, meja tulis dan dua kursi dan satu bangku, peti mesiu, helm dan ransel tergantung.
Suasana: malam hari, keadaan sepi, tegang, jauh-jauh masih terdengar letusan tembakan dan iring musik sayup-sayup instrumental Gugur Bunga, kemudian muncul Marjoso membawa surat, kemudian duduk membaca. Muncul seorang sersan.


MARJOSO : 
Jadi, sudah terbukti dia bersalah.

SERSAN : 
Ya, Pak.

MARJOSO : 
Tidak berdasarkan kira-kira saja?

SERSAN : 
Bukti-bukti telah cukup mengatakan, dan mereka menuntut eksekusi dapat dijalankan sebelum fajar.

MARJOSO : 
Menuntut? Kau kira siapa yang bertanggung jawab di sini?

SERSAN : 
Sudah terang! Tapi mereka khawatir, karena ..... karena si terhukum adalah ........

MARJOSO : (cepat) 
Adalah kawanku? ...... Anak dari seorang guru yang kau hormati? Begitu?

SERSAN : Maaf, Pak.

MARJOSO : (mengeluh) 
Mereka pikir, apa aku ini? Mereka pikir dalam hal ini aku masih sempat memikirkan dia, anak dari seorang guru yang aku hormati. Kalau aku mintakan dia diperlukan dengan baik, itu adalah haknya sebagai tawanan.

SERSAN : 
Maaf, Pak. Kerap kali terjadi.

MARJOSO : 
Yaaaaaahh! Kerap kali terjadi. Orang tidak bisa membedakan antara tugas dan perasaan. Bawa dia kemari.

SERSAN : 
Siap, Pak! (sersan masuk, Marjoso melangkah, kemudian duduk. Terdengar nyanyian dalam penjara. Marjoso marah)

MARJOSO : 
Hai! Siapa yang meraung dini hari?

(NARATOR) : 
Siapa lagi kalau bukan si Djaelani pemabuk itu!

MARJOSO : 
Suruh dia diam. (kemudian Sersan masuk menghadap Marjoso, membawa seorang tawanan, sersan diperintahkan keluar dengan segera)

AHMAD : (menunggu dengan cemas)

MARJOSO : (menyuruh duduk) 
Ahmad, kau tak apa-apa, bukan?

AHMAD : 
Mereka bilang, kalau bukan kerena kau, aku sudah di satai. Terimakasih atas kebaikanmu itu.

MARJOSO : 
Terimakasih itu tak perlu.

AHMAD : 
Baiklah, apa yang akan kau perbuat atas diriku, perbuatlah! Kini aku tawananmu.

MARJOSO : (kata-kata itu menyayat seakan-akan memisahkan hubungan masa lalu) 
Ya ............. kau tawananku.

AHMAD : 
Tembaklah! Biar kau puas.

MARJOSO : (merasakan itu sebagai sindiran yang tajam) 
Itu perkara nanti. Tapi aku ingin mendengarkan dari mulutmu sendiri tentang semuanya ini dulu.

AHMAD : 
Apa yang ingin kau dengar?

MARJOSO : 
Dengan maksud apa kau kemari? 
(Ahmad membisu) 
Jawab Ahmad! Hanya itu yang ingin kutanyakan. Aku tidak ingin menanyakan tentang apa-apa yang telah kau perbuat. Aku tidak ingin menanyakan berapa jumlah prajuritku yang gugur terjebak tipu dayaku ....... Jawablah!


AHMAD : (tersenyum dingin) 
Tidakkah kau tahu, bahwa antara anak dan orang tuanya senantiasa terjalin ikatan yang tak terputuskan?

MARJOSO : 
Jangan kau coba mengelak, Ahmad!

AHMAD : (menegaskan suaranya) 
Aku ingin menjumpai ayah dan adikku Zulaecha.

MARJOSO : 
Tahukah kau tempatnya?

AHMAD : 
Tidak.

MARJOSO : 
Dari mana kau tahu kalau ayah dan adikmu di sini?

AHMAD : 
Dari orang-orang yang pernah datang kemari.

MARJOSO : 
Hmmmmm. Sebelum tertangkap kau sudah lebih kurang tiga hari berkeliaran di daerah ini, bukan?

AHMAD : 
Tidak! Tepat pada waktu aku sampai, aku terus ditangkap.

MARJOSO : 
Jangan bohong, Ahmad!

AHMAD : 
Aku tidak bohong.

MARJOSO : 
Di mana kau ditangkap?

AHMAD : 
Di tengah-tengah bulak.

MARJOSO : 
Mengapa kau di sana?

AHMAD : 
Aku sedang melepaskan lelah

MARJOSO : 
Melepaskan lelah di tengah-tengah bulak? Ha .... ha ... ha ...

AHMAD : 
Aku tersasar. Aku belum pernah memasuki daerah ini.

MARJOSO : 
Waktu itu sebuah pesawat capung melayang-layang di atas bulak itu pula, bukan?

AHMAD : 
Ya! Tapi itu hanya secara kebetulan.

MARJOSO : 
Engkau tidak takut ditembak dari atas, Ahmad?

AHMAD : 
Aku takut juga.

MARJOSO : 
Mengapa kau tidak berlindung?

AHMAD : 
Aku berlindung. Aku rapatkan diriku rapat-rapat ke tanah.

MARJOSO : (mengambil sebuah cermin kecil di atas meja) 
Ahmad, ini cerminmu bukan?

AHMAD : (gugup sejurus) 
Ya.

MARJOSO : 
Hm, pesolek, benar, kau sekarang ...Apa gunanya cermin ini?

AHMAD : 
Cermin gunanya untuk mengaca.

MARJOSO : 
Ada sisirmu, Ahmad? Kau bawa sisir?

AHMAD : 
Hilang!

MARJOSO : (menatap Ahmad, tenang) 
Ya, Ahmad. Mengapa engkau bohongi aku? Baiklah kau takut pesawat capung itu menembakmu, bukan?

AHMAD : (tersadar, akan masuk perangkap) 
Maksudku ... akan ... aku tidak begitu takut.

MARJOSO : 
Mengapa?

AHMAD : 
Karena ....... karena .......

MARJOSO : 
Karena apa?

AHMAD : 
Karena itu hanya pesawat capung.

MARJOSO : 
Tapi engkau tiarap juga, bukan?

AHMAD : (tak segera menyahut)
 .....................Ya.

MARJOSO : 
Dan engkau keluarkan cerminmu pada waktu itu. Barangkali kau pikir itu adalah kesempatan yang baik bagimu untuk melihat mukamu kena debu atau tidak. Kemudian orang melihat pantulan cerminmu bermain ke kiri dan ke kanan (Ahmad tetap membisu) Mengapa begitu, Ahmad?

AHMAD : 
Aku tidak tahu (perasaannya cemas sekali).

MARJOSO : (marah) 
Dusta! Dusta kau!!!

AHMAD : (tersentak) 
Engkau toh tahu aku akan berdusta.

MARJOSO : (merendah kembali) 
Mengapa engkau dustai aku, Ahmad?

AHMAD : 
Karena aku senang untuk berbuat begitu.

MARJOSO : (mula-mula perlahan kian lama kian berkobar) 
Engkau binatang yang tak perlu di beri ampun. Bukankah engkau yang membakar pesantren ayahmu?

AHMAD : 
Tidak! Tidak ........ aku tidak membakarnya.

MARJOSO : (mengatasi suara Ahmad) 
Engkau tak membakarnya. Tapi engkau biang keladi yang menyebabkan pesantren itu terbakar. Pesantren yang mewarisi tradisi turun-temurun. Mulai dari buyutmu, kakek-kakekmu sampai ke ayahmu. Pesantren tempat ayahmu menempa pemuda-pemuda yang bertanggung jawab akan hari depan agama dan tanah airnya, bangsanya. Ahmad ..... engkau tidak menyesali semua itu? (terdiam sebentar-sebentar menarik nafas). Oh, Ahmad, tidakkah engkau takut akan siksa Tuhanmu? Bagaimana kelak dosamu akana membakar dirimu?

AHMAD : 
Itu tanggunganku. Resiko!

MARJOSO : (ke depan) 
Oooooooo, jiwa yang tak lebih berharga dari pada jiwa seekor anjing. Berapa banyaknya air mata yang harus dicucurkan para ibu untuk mengenang murid-murid ayahmu yang hangus terbakar bersama pesantren yang dicintainya, Ahmad.

AHMAD : (tegas) 
Tapi, siapakah yang akan mencucurkan untuk rubuhnya ibuku? Siapa yang suka berkata: ”Akan kutuntut kematian ini!” Siapa yang akan membalas dendamnya?

MARJOSO : 
Diam kau! (Ahmad tertunduk). Angkat mukamu, pengkhianat! Pandanglah aku untuk kali yang penghabisan. Karena malam ini juga rakyat menuntut darahmu.

AHMAD : 
Aku tidak sudi memandang muka seorang pembunuh.

MARJOSO : (tersentak sejurus) 
Angkat mukamu, pengecut.

AHMAD : (mengangkat mukanya perlahan-lahan) 
Aku telah mengangkat mukaku, Marjoso. Aku telah mengangkat mukaku, seperti dulu, tatkala kudengar serentetan tembakan. Dan kemudian rubuhlah ibuku .... mati. Aku telah mengangkat mukaku. Marjoso.

MARJOSO : (setelah berfikir) 
Dengarkan aku, bicara! Pandanglah aku untuk penghabisan kalinya. Kenangkanlah kembali kawan-kawanmu. Kenangkanlah tatkala mereka dengan sepenuh tenaganya mengangkat tangan dan menyeru: MERDEKA.....MERDEKA! kemudian mereka tak kuasa lagi mengepalkan tinjunya. Mereka roboh berlumur darah. Kenangkanlah, betapa api telah memusnahkan mereka. (Ucapan ini mempengaruhi Ahmad, sehingga ia duduk termenung)

AHMAD : 
Aku kenangkan itu. Aku menangkan ...... Mereka menang lalu mati. Dan aku ..... Ohhh, kemudian .... Letupan yang dasyat a ... aku terlempar. Aku lihat ayah .... Terbungkuk-bungkuk dan lari bersama Zulaecha. Aku menyeru mereka ... tapi tak terdengar. Aku hanya mendengar suaraku sendiri. Aku juga mendengar suara ayahku. Syahid, ya anakku” kemudian fajar yang memerah, yang kian terang. Aku lihat ..... Oh, siapa yang akan menuntut balas kematiannya? Siapa? (menggigil, tangannya gemetar) Marjoso! .....

MARJOSO : (memanggil seorang prajurit) 
Sersan! (seorang prajurit menghadap) Bawa tawanan itu ke dalam.

AHMAD : (tergagap-gagap) 
Marjoso. Engkaulah .... Engkaulah..... (Ahmad tak dapat melanjutkan perkataannya prajurit itu telah membawanya) 

(Marjoso tertegun, suara nyanyian terdengar makin keras, kemudian terdengar ketukan pintu)

MARJOSO : 
Masuk! ..... (H. Jamil masuk) Pak Kyai ....

HAJI JAMIL : 
Terlalu terhormat kalau dia di tembak. Seharusnya dia digantung.

MARJOSO : 
Silakan bapak duduk. Saya ingin mendengarkan pertimbangan-pertimbangan bapak.

HAJI JAMIL : 
Pertimbangan apa? Ragukah kau menggantung dia?

MARJOSO : 
Bukan begitu, bapak. Ahmad sudah terang bersalah. Dan dia harus menerima hukumannya. Namun, pada saat-saat terakhir, karena bapak adalah ayahnya, saya juga perlu mendatangkan bapak kemari.

HAJI JAMIL : 
Dia bukan anakku. Haji Jamil tidak mempunyai anak pengkhianat.

MARJOSO : 
Harap diingat, Pak. Malam ini adalah malam terakhir bagi Ahmad. Tentulah bapak sependapat dengan saya, bahwa saat-saat yang paling penting dalam kehidupan manusia adalah saat manusia menghadapi mautnya. Saat-saat itu memerlukan persiapan dan bimbingan. Pada saat-saat terakhir, saya ingin dia mati sebagai putra bapak, sebagai murid Pak Kyai. Saya ingin dia mati bukan sebagai anjing.

HAJI JAMIL : 
Kutukan apa yang ditimpakan kepadaku ini? Oh anakku?

MARJOSO : 
Pak Kyai!

HAJI JAMIL : 
Aku telah besarkan anak itu. Aku turunkan ilmuku, karena dialah yang kuharapkan segala-galanya. Tetapi, mengapa dia tidak mengerti perjuangan bangsanya sendiri? Aku sungguh tidak mengerti. Balasan apa yang harus kuterima ini, Marjoso?

MARJOSO : 
Pak Kyai tidak boleh menyesali diri hanya lantaran dia. Beratus-ratus murid bapak, bahkan beribu-ribu yang senantiasa menyebut-nyebut nama Kyai dengan hormat dan khidmat. Beribu murid yang akan mewarisi cita-cita bapak, dan meneruskan cita-cita itu. Marilah kita tidak bicarakan hal itu. Kini kita membicarakan seorang putra, yang walau betapa sesat pun, dia masih seorang putra.

HAJI JAMIL : (getir) 
Bagaimana harus kujawab, kalau seandainya pada hari pengadilan tertinggi yang Maha Kuasa bertanya padaku tentang tanggung jawabku. Mengapa anakmu menjadi musuh bangsaku, Haji Jamil? Bagaimana kau mendidiknya?

MARJOSO : 
Demi sesungguhnya ,Pak Kyai, bagaimana kita harus melawan suratan Tuhan? Adalah takdir semata kalau Ahmad berbeda dengan ayahnya.

HAJI JAMIL : (tersentak agak gusar) 
Takdir semata? Apa yang kau ketahui tentang takdir, Marjoso? Tuhan memberikan kebaikan-kebaikan kepada kita, Tuhan memberikan kekuatan-kekuatan kepada kita. Tuhan memberikan kekuatan-kekuatan untuk melawan keburukan-keburukan pada kita. Tuhan memberikan alat-alat yang kita perlukan untuk memenuhi panggilannya sebagai makhluk semulianya makhluk. Tuhan tidak menakdirkan Ahmad sebagaia musuh bangsanya. Dia sendiri yang berbuat begitu. Dia sendiri yang menentukan harus mati sebagai dia. Tuhan memberinya akal, mengapa tidak dipergunakan akalnya untuk menginsyafinya, bahwa perbuatan yang sehina-hinanya di permukaan bumi ini adalah mengkhianati bangsanya sendiri.

MARJOSO : 
Terima kasih, Pak Kyai.

HAJI JAMIL : 
Anak itu harus mempertanggungjawabkan seluruh dosanya.

MARJOSO : 
Saya ingin mempertemukan dia dengan ayahnya. Mungkin ini adalah pertemuan kyai yang penghabisan, dalam keadaan dia masih mungkin dibimbing ke jalan yang diridhoi Allah, walaupun beberapa saat sebelum ia harus mati. Sukakah Pak Kyai memenuhi permintaan saya ini?

HAJI JAMIL : (terdiam sejurus) 
Dapatkah aku penuhi permintaanmu itu, Marjoso?

MARJOSO : 
Mengapa tidak, Pak Kyai?

HAJI JAMIL : 
Dapatkah aku berhadapan dengan anjing yang harus kupangil anakku?

MARJOSO : 
Pak Kyai ........... mengapa tidak?

HAJI JAMIL : 
Tidak, ......tidak! .........Gantung saja dia! Tak perlu aku melihat mukanya lagi.

MARJOSO : 
Benar-benar relakah Pak Kyai?

HAJI JAMIL : 
Aa..., aku rela!

MARJOSO : 
Namun, dialah putra yang pernah Pak Kyai harapkan, dialah putra yang pernah Pak Kyai bisikkan dalam telinganya kalimat azan tatkala ia lahir. Masih ada beberapa saat lagi di mana bapak mungkin bisa mengharapkan sesuatu darinya, penyesalan umpamanya, atau taubat nasukha.

HAJI JAMIL : 
Tidak! Tidak ada gunanya sedikitpun mengharap dalam nama Allah.

MARJOSO : 
Tidak inginkah Pak Kyai agar Ahmad mati dengan menyebut nama Allah?

HAJI JAMIL : 
Tidak!

MARJOSO : 
Tidak, Pak Kyai?

HAJI JAMIL : (setengah mengharap) 
Oh, Marjoso ............. Aku telah berharap-harap dan harapanku dihancurkan, dimusnahkannya ..................

MARJOSO : 
Pak Kyai, aku mohon sudi kiranya ......

HAJI JAMIL : (cepat menyahut) 
Tak perlu, Marjoso, tak perlu aku lihat mukanya lagi.

MARJOSO : (berfikir sejurus) 
Baiklah Pak Kyai, saya sudah menawarkan kesempatan. (memanggil seorang prajurit) Sersan! 
(seorang prajurit menghadap) 
Sudah siap regu tembak?

SERSAN : 
Siap, Pak!

HAJI JAMIL : (bingung dan gugup) 
Nanti dulu, dia akan ditembak sekarang?

MARJOSO : 
Saya menundanya hanya untuk memberikan kesempatan pada Pak Kyai.

HAJI JAMIL : (mengeluh) 
Oh, Tuhan, mengapa kau timpakan bencana ini kepada hamba-Mu? Hamba-Mu yang tak sekejappun melupakan engkau!

MARJOSO : 
Pak Kyai!

HAJI JAMIL : 
Mengapa justru di akhir hayatku Engkau panggil semua yang kucintai.

MARJOSO : 
Tawakallah Kyai!

HAJI JAMIL : (menenangkan dirinya) 
Asstaghfirullah! ........... Ampunilah aku lantaran menyesali engkau (kepada Marjoso).

MARJOSO : (memerintah Sersan) 
Sersan! Bawa Ahmad menghadap!

SERSAN : 
Siap, Pak! (berangkat)

MARJOSO : 
Tenangkanlah jiwa Pak Kyai.

HAJI JAMIL : 
Aku telah kehilangan segala-galanya.

MARJOSO : 
Kecuali iman, Pak Kyai

HAJI JAMIL : 
Yaaaach, kecuali iman.

KURIR : (masuk) 
Seorang anak wanita bernama Zulaecha minta menghadap, Letnan!

MARJOSO : (memandang Kyai seolah meminta pertimbangan) 
Zulaecha Pak Kyai.

ZULAECHA : (sebelum kurir keluar, Zulaecha sudah meuncul di pintu)

HAJI JAMIL : 
Mengapa kau ikut kemari?

ZULAECHA : 
Aku ingin melihat abangku.

HAJI JAMIL : 
Mengapa kau pedulikan dia?

ZULAECHA : 
Dia abangku, ayah, tidak bolehkah aku melihat abangku?

MARJOSO : 
Tentu saja engkau boleh menemuinya.

HAJI JAMIL : 
Tidak!

ZULAECHA : 
Mengapa aku tidak boleh menemuinya ayah?

HAJI JAMIL : 
Anjing geladak itu segera mampus!

ZULAECHA : 
Ayah! ..... Ayah mengatakan anakmu Bang Ahmad anjing geladak?

HAJI JAMIL : 
Itu lebih baik daripada nama pengkhianat nusa dan bangsa.

ZULAECHA : 
Tapi dia anakmu, ayah.

HAJI JAMIL : 
Zulaecha. Engkau mencoba mempengaruhi peradilan ini dengan emnghbungkan darah?

MARJOSO : 
Kholifah Umar membunuh anaknya sendiri yang durhaka (menginsyafkan Zulaecha)

ZULAECHA : 
Ayah, aku anakmu ........... Dia anakmu. Dia satu-satunya saudaraku. Satu-satunya .............!

HAJI JAMIL : 
Cukup! Pulang kau! Aku rela dia dibunuh. Aku rela dia dilenyapkan. Karena dengan lenyapnya dia, lenyap pula satu di antara beratus-ratus penghalang untuk kemenangan republik.

MARJOSO : 
Terima kasih, Pak Kyai, izinkan saya menemuinya dahulu. (keluar)

ZULAECHA : 
Ayah, kalaupun dia mati, kepada siapa aku berlindung? Kepada siapa aku harus menumpangkan diri, kalau ............ kalau takdir Tuhan menghendaki Ayah kembali kepadanya.

HAJI JAMIL : 
Zulaecha!

ZULAECHA : 
Kepada siapa, Ayah?

HAJI JAMIL : 
Kepada Yang Maha Pelindung, Allah SWT.

ZULAECHA : 
Kalau pada suatu saat aku minta pertolongan, ayah?

HAJI JAMIL : 
Kepada Yang Maha Kuasa!

ZULAECHA : 
Hanya itu, Ayah?

HAJI JAMIL : 
Kepada-Nya-lah aku serahkan engkau. Bukan saja nanti, tapi sekarang juga! Sekarangpun aku senantiasa memohon perlindungan Tuhan bagimu.

ZULAECHA : (terdiam sejurus) 
Ayah, kalau seorang datang kepadamu menyatakan taubatnya dan memintakan perlindunganmu ........ apa yang akan ayah perbuat?

HAJI JAMIL : 
Aku doakan agar ia diterima taubatnya oleh Allah SWT. Aku tidak punya hak untuk melindungi orang yang telah banyak dosa.

ZULAECHA : 
Ayah, nabipun tak pernah membunuh orang yang telah mencoba akan membunuhnya.

HAJI JAMIL : 
Aku bukan nabi!

ZULAECHA : 
Tapi kita wajib mengikuti sunnah nabi! Bukankah begitu, Ayah?

HAJI JAMIL : 
Anakku, kau mengajari ayahmu, Nak? Tahukah engkau, siapa abangmu itu? Dosa apa yang telah diperbuatnya?

ZULAECHA : 
Aku tahu, Yah!

HAJI JAMIL : 
Mengapa kau membelanya?

ZULAECHA : 
Karena dia abangku. Tanpa dia aku akan sendirian.

HAJI JAMIL : 
Kita hidup bersama amal kita, anakku. Kita hidup bersama budi kita. Beramallah, berbudiluhurlah, berbuatbaiklah. Dan engkau tidak akan kehabisan saudara. Kau akan merasakan bahwa sesungguhnya kemanusiaan adalah satu keluarga. Kemanusiaan adalah satu darah, satu urat, satu cita-cita.

ZULAECHA : 
Ayah, ............... Berilah Bang Ahmad kesempatan untuk menebus dosanya, dengan amal saleh.

HAJI JAMIL : 
Kesempatan itu telah disia-siakan. Bukan aku yang harus memberi kesempatan seperti itu kepadanya. Tetapi, apakah perjuangan yang meminta korban harta dan jiwa ini, relaa memberi kesempatan bagi hidup seorang serti dia?

ZULAECHA : (mengeluh) 
Oh, ayah, setiap kita pernah bersalah, mengapa tak ada ampun bagi dia?

HAJI JAMIL : (cemas) 
Tapi, tidak setiap kita telah membakar pesantrennya sendiri, Zulaecha!

ZULAECHA : (memandang tajam ayahnya) 
Tidak! Dia tidak membakarnya.......... oh, ayah, aku tahu apa yang diperbuatnya, (mendesak) dia tidak membakarnya .... aku tahu benar, dia tidak membakarnya .... aku tahu benar, mengertilah, Ayah!

HAJI JAMIL : 
Tapi dia telah menunjukkan tempat persembunyian prajurit gerilya itu! Dia yang menjadi penyebab kehancuran ini.

ZULAECHA : 
Mungkin dia tidak rela, sebuah pesantren dijadikan tempat persembunyian prajurit gerilya.

HAJI JAMIL : 
Tidak rela? Pikiran apa itu? Tidakkah ia tahu bahwa di dalam pesantren itu aku mengajarkan murid-muridku, dan apa yang kuajarkan kepada mereka? Aku ajarkan kecintaan kepada agama, kecintaan kepada tanah air, dan kecintaan kepada bangsa. Tidakkah ia tahu, di dalam pesantren itulah aku menyiapkan pemuda-pemuda yang jiwanya ditempa kepercayaan tauhid, yang mewajibkan kita bertahan, bersatu, dan bila diserang wajib kita balas serangan itu, oleh karena Islam tidak rela dijajah siapapun.

ZULAECHA : (terdiam sejurus) 
Ayah, masih ingatkah ayah tatkala ibu tewas, tubuh itu hancur oleh peluru.

HAJI JAMIL : 
Itu bukan salah siapa-siapa. Kematian ibumu, salahnya ibumu sendiri.

ZULAECHA : 
Tapi, siapakah yang menewaskan ibu, ayah? Siapakah yang menembaknya, ayah?

HAJI JAMIL : 
Sudah kuperingatkan supaya ibumu jangan lari, tatkala kita terkepung musuh, sebab hal itu bisa menunjukkan tempat persembunyian prajurit kita.

ZULAECHA : (mendesak terus) 
Tapi, siapa yang menembak? Aku ingin jawaban ayah. Siapa yang menembak?

HAJI JAMIL : 
Ibumu tidak dapat menguasai ketenangan jiwanya dan lari.

ZULAECHA : 
Dan kemudian serentetan tembakan, dan ibu jatuh, rubuh tak bangun-bangun lagi. (nada keras) Peluru siapakah yang merubuhkannya? Peluru siapa?

HAJI JAMIL : (tegang menahan perasaan) 
Peluru Marjoso!

ZULAECHA : 
Ya. Peluru dari murid yang paling ayah kasihi, lebih dari mengasihi anaknya sendiri.

HAJI JAMIL : 
Tapi itu adalah hak Marjoso untuk berbuat begitu, apa artinya satu jiwa bagi beribu-ribu jiwa yang dalam tanggungannya.

ZULAECHA : 
Namun dia adalah penyebab kematian ibu. Orang itu masih ayah lindungi juga, ayah beri tempat persembunyian di pesantren. Dapatkah abang disalahkan, kalau sejak saat itu dia mendendam? Karena dendam itulah dia menunjukkan tempat persembunyian Marjoso, tapi pesantren itu terbakar semuanya. Belandalah yang membakarnya, bukan Ahmad. Dapatkah Bang Ahmad disalahkan? Karena dendam sudah menutupi seluruh kesadarannya. Sadarlah, ayah!

HAJI JAMIL : (mengeluh) 
Begitu banyak korban telah jatuh ......

ZULAECHA : 
Tapi apakah ia sengaja memusuhi perjuangan, atau hanya memburu musuh pribadinya karena dia butuhkan, dan dia butakan dendam, ia hanya akan melepaskan sebutir peluru pada dada pembunuh ibunya, tapi malang, Bang Ahmad tertangkap, dan kini dia harus mati sebelum tuntutannya terpenuhi. Salahkah dia kalau begitu mencintai ibunya? (menyerang terus) Ayah, mintalah kebebasan baginya. Marjoso adalah murid ayah. Pergunakan pengaruh ayah untuk kebebasan anakmu Ahmad. Dia tidak bersalah, satu-satunya kesalahan dia adalah terlalu cinta kepada ibunya.

HAJI JAMIL : (komat-kamit sendiri) 
Dapatkah ..... Dapatkah aku berbuat begitu?

ZULAECHA : 
Ayah harus berbuat begitu.

HAJI JAMIL : (marah) 
Mengapa aku harus berbuat begitu, Zulaecha?

ZULAECHA : 
Karena dia adalah anakmu.

HAJI JAMIL : 
Hanya karena dia anakku?

ZULAECHA : 
Karena dia kini menderita, Ayah!

HAJI JAMIL : 
Bagaimana dengan korban-korban yang telah tewas lantaran dia? Bisakah mereka mengijinkan saya?

ZULAECHA : Ini semata-mata korban, Ayah.

HAJI JAMIL : 
Kita semua adalah korban. Korban dari keserakahan suatu bangsa yang ingin menjajah dan mengisap. Justru itu kita berjuang, menghancurkan mereka, kita berjuang agar bumi kita yang kaya-raya ini tidak menjadi tempat berlaganya serigala-serigala lapar yang menamakan dirinya manusia. Zulaecha, mengapa kau bicara tentang korban? (Zulaecha akan bicara tetapi Haji Jamil segera menggerakkan tangannya) Jangan sela aku dulu!

ZULAECHA : (mulai berbisik) 
Namun Ayah, .............. Ayah…

HAJI JAMIL : (mengangkat suaranya) 
Jangan kau perlemah hatiku. Tidak! Aku serahkan anak laki-lakiku satu-satunya untuk revolusi, atau sebagai pahlawan, atau sebagai pengkhianat, namun........aku serahkan dia.

MARJOSO : (masuk dengan tenang) 
Yah, dia boleh mati sebagai pengkhianat atau panglawan, sebab revolusi hanya mengenal dua ini, pahlawan revolusi atau pengkhianat revolusi. Zulaecha! Engkau tidak boleh membawa persoalan kematian ibumu, dalam persoalan abangmu. Revolusi tidak mengenal arti korban perseorangan, revolusi tidak mengenal siapa bapak, ibu atau anak. Revolusi hanya mengenal pengkhianat revolusi atau pahlawan revolusi.

ZULAECHA : (tak terkendalikan lagi, marahnya memuncak) 
Kau pembunuh! Pembunuh! Engkau membunuh ibuku! Dan kini kau akan membunuh abangku, dua orang yang paling kucintai. Tapi tunggu, Marjoso! Ibu masih mempunyai anak satu orang lagi.

HAJI JAMIL : (mengatasi anaknya) 
Zulaecha, engkau akan menjadi pengkhianat seperti abangmu?

ZULAECHA : (tersedu-sedu) 
Aku tak rela, Ayah ........Aku tak rela.

HAJI JAMIL : (menenangkan)
 ............. Diamlah, Anakku, ........ Diamlah.

MARJOSO : (penuh perasaan) 
Apalah artinya korban satu atau dua jiwa yang kita cintai untuk perjuangan suci ini?

HAJI JAMIL : 
Marjoso, maafkan adikmu, Nak!

ZULAECHA : (bangkit dari isakannya dan mengancam) 
Tidak! Aku tidak perlu meminta ampun kepada pembunuh.

MARJOSO : (memandang jauh ke depan) 
Zulaecha, perlukah aku bangga-banggakan korban-korban untuk tanah air ini? Perlukah aku katakan bahwa tak lebih dari satu bulan yang lalu aku juga mengalami kesedihan yang dalam, kedua orang tuaku dua-duanya ditangkap Belanda, dan meninggal dalam penjara.

HAJI JAMIL : 
Marjoso! Benar, Nak?

MARJOSO : (tak bergerak) 
Zulaecha, kalau engkau menuntut kematian ibumu lantaran perbuatanku, sesungguhnya telah aku penuhi permintaan itu. Aku berikan arwah ibuku untuk arwah ibumu, karena abangmu jua yang menyebabkan kematian mereka, dia yang telah menyebabkan aku menjadi sebatang kara, tetapi perlukah aku katakan itu semua? Namun aku telah relakan ................. kedua orang tuaku. Seperti aku telah relakan diriku untuk revolusi besar ini. Aku memohon, semoga darah mereka yang mengalir akan mempercepat datangnya fajar kemenangan yang diharap-harapkan tujug puluh juta bangsa.

HAJI JAMIL : 
Jangan kau lemahkan hatimu, anakku, jangan kau lemahkan.

MARJOSO : 
Kini Pak Kyai satu-satunya orang tuaku.

HAJI JAMIL : 
Sejak dulu kau adalah anakku.

ZULAECHA : (menahan isaknya, mengangkat kepala, berdiri akan berbicara tetapi kata-katanya tak dapat keluar kemudian lari meninggalkan tempat itu. Haji Jamil tak sempat bicara. Marjoso menarik nafas)

MARJOSO : 
Kini tiba saatnya Pak Kyai, tibalah saatnya bertemu dengan Ahmad.

215. HAJI JAMIL : (berat menjawab) 
Baik, bawalah kemari.

216. MARJOSO : (bergerak ke mejanya dan diam sejenak, kemudian memanggil seorang prajurit) 
Sersan! Bawa tawanan itu kemari.

217. SERSAN : (datang menghadap) 
Siap, Pak!

218. MARJOSO : 
Bawa tawanan itu kemari!

219. SERSAN : 
Siap Pak! (kemudian pergi)

220. MARJOSO : 
Kiranya Pak Kyai dapat memberinya nasihat terakhir semoga ia menginsyafi kesalahan-kesalahannya.

221. SERSAN : (masuk membawa Ahmad menghadap Marjoso. Ahmad terkejut melihat ayahnya di situ, kemudian membuang muka)

HAJI JAMIL : (menatap wajah anaknya) 
Ketika pesantren itu dalam kobaran api, aku melihat jiwa merintih. jiwa-jiwa yang igin menuntut balas, namun tak berdaya lagi. pada saat itu aku memohon kepada tuhan yme ...... ” ya, allah, bawalah dia yang telah membakar rumah ini tempat hamba-mu mengagungkan nama-mu, dan memenuhi panggilan-mu, bawalah dia kepadaku agar aku bisa menyampaikan hasrat mereka yang tak kuasa lagi mengangkat tangan untuk menuntut keadilan, dan kini tuhan telah mengabulkan. dia ... dia adalah anakku sendiri, darah dagingku sendiri. (sejurus ditatapnya anaknya) Ahmad! berlutut kau! berlutut! mintalah ampun kepada bumi tanah-airmu, tanah air yang telah kau khianati.

AHMAD : (tak berperasaan) 
Aku tidak mengkhianati tanah airku.

HAJI JAMIL : 
Tanganmu berlumur darah, dan darah itu adalah darah kawan-kawanmu sendiri, ahmad.

AHMAD : 
Aku tidak pernah membunh seorangpun.

MARJOSO : 
Ya, memang kau tak pernah membunuh seorangpun dengan tanganmu. tapi khianatmu! jiwa budakmu! .... jiwa budakmu!

AHMAD : 
Kenapa aku tidak boleh membunuh musuhku? kenapa aku tidak boleh membunuh, membalas dendam kematian ibuku? apakah harganya aku sebagai anak laki-laki, kalau pembunuh ibuku dibiarkan saja tanpa suatu pembalasan?

MARJOSO : (bangkit memukul meja) 
Kau tak berhak memakai alasan itu untuk mempersuci dirimu!

AHMAD : (meludah benci) 
Di mataku engkau tak berharga sedikitpun, marjoso.

HAJI JAMIL : 
Ahmad!

AHMAD : 
Ayah akan membela dia?

HAJI JAMIL : 
Ya. ayah akan membela dia, lantaran dia benar.

MARJOSO : 
Engkau selalau membawa soal ibumu, baik, ahmad! siapa yang telah menunjukkan tempat persembunyian kedua orang tuaku? siapa yang telah menyuruh mereka untuk menjebakku? jawab! siapa?

AHMAD : (tegas) 
Aku!

HAJI JAMIL : 
Oh, Ahmad, di mana lagi hatimu?

MARJOSO : 
Tapi kau tak berhasil menjebak aku, namun kedua orang tuaku ditangkap dan mereka tak ada lagi kini. mereka mangkat akibat siksaan-siksaan yang keji.

AHMAD : (gemetar) 
Tidak! ............... tidak! ..............

MARJOSO : 
Mengapa tidak? mereka adalah korbanmu. sekarang apa maumu? Kau memburu aku? Korban berjatuhan karena dendammu, kini kau berhadapan dengan aku (mengambil pistol dari meja) ini ada sepucuk pistol untuk kau pakai menghabisi musuhmu. Terimalah! (melempar pistol itu ke hadapan Ahmad, dan Ahmad menerimanya, kemudian Marjoso mencabut pistolnya sendiri) Marilah kita habisi dendam di antara kita. 

(Ahmad diam terpaku, pistol di tangan belum diapa-apakan, Marjoso bergerak menjauh. Haji Jamil terpaku tapi tak segera menengahi keduanya)

HAJI JAMIL : 
Jangan! jangan kalian saling membunuh. Kalian bersaudara, kalian adalah anakku.

MARJOSO : 
Kalau aku harus mati lantaran pelurunya, pak kyai, aku harus ikhlas mati untuk meyakinkan dia dan orang-orang seperti dia, bahwa dalam perjuangan ini tidak harus diperhitungkan untung rugi perseorangan. Aku ikhlas mati untuk meyakinkan semua orang, bahwa sebab yang akan menggagalkan revolusi ini ialah, manakala orang masih tidak meleburkan dirinya sendiri ke dalam leburan yang tidak lagi mengenal siapa ayah, siapa ibu, dan siapa itu saudara.

HAJI JAMIL : 
Marjoso, anakku, kau tidak boleh mengorbankan diri untuk manusia yang begini rendahnya.

MARJOSO : 
Korban telah cukup banyak, kyai. Seorang demi seorang kawan-kawan gugur lantaran soal dendam-mendendam ini. Aku merasa ikut bersalah juga kyai (keterangan ini meliputi ketiga orang itu) 
(Ahmad tampak tak dapat menguasai dirinya, Marjoso mengangkat pistolnya, Haji Jamil memalingkan muka, sedih, dan putus asa dalam kecemasan)
angkat pistolmu agar kau mati dengan tidak membawa dendam ke dlam kubur. aku akan menghitung sampai tiga kali, maka tembaklah aku dan aku akan menembakmu. 
(Ahmad tidak menjawab, ia mengangkat pistolnya tapi jelas tangannya mulai gemetar. Marjoso menatapinya dengan tenang. jarak mereka kira-kira empat langkah dipisahkan oleh meja, Haji Jamil berdiri di tengah-tengahnya)

HAJI JAMIL : 
Nah, mulailah nembak kalian berdua. mulailah menembak Ahmad, mulailah menembak Marjoso! 
(kedua-duanya tak beegerak, mulai menurunkan pistolnya. Marjoso terpaku diam, keringat mengalir di dahinya) 
Kalian orang-orang yang dikuasai dendam dan nafsu.

AHMAD : (sekonyong-konyong berseru dan berlutut, menjatuhkan badannya di meja dan menangis. air mata mulai mengumpul, Haji Jamil menghampiri dan kemudian kedua orang itu, ayah dan anak saling berpelukan dengan mesranya) 
Ayah! .....

HAJI JAMIL : 
Ahmad ............... oh, Ahmad ......... kau anakku! kau anakku!

AHMAD : (tak bisa menguasai dirinya) 
Ayah, mengapa aku harus begini?

HAJI JAMIL : (menggeletar) 
Aku serahkan engkau kepada tuhan. semoga tuhan mengampuni engkau, aku ampuni dosamu kepadaku, tetapi dosamu terhadap orang lain pertanggungjawabkan sendiri terhadap tuhanmu. engkau anakku. matilah engkau sebagai anakku! sebagai seorang muslim yang mengerti arti taubat, janganlah engkau menangis karena sedih akan berpisah dengan aku, tetapi menangislah karena telah terlalu banyak berbuat dosa!

\AHMAD : (dengan penuh keraguan dan penyesalan yang dalam) 
Ayah, ....... di manakah adikku Zulaecha?

HAJI JAMIL : 
Dia dalam keadaan sehat dan baik-baik saja.

AHMAD : 
Ayah, sampaikan salamku padanya ... agar ia tetap menjadi patriot bangsa dan pembela tanah air mengikuti jejak ayahnya.

MARJOSO : 
Ahmad, saatmu sudah tiba!

AHMAD : (tersentak seketika tertegun memandang ayahnya dan Marjoso. dengan berat lalu melangkahkan kaki menuju keluar diikuti oleh Marjoso dan sersan)

HAJI JAMIL : (mengikuti dengan pandangan penuh arti, kemudian beberapa saat terdengar tembakan tiga kali, pertanda tamatnya riwayat Ahmad, kemudian Haji Jamil melangkah ke tengah panggung dengan pandangan yang dalam dan jauh sekali)
 .......... Tuhanku, inilah pertanda datangnya fajar kemenangan. kemerdekaan bangsa dan negaraku.


*****SELESAI*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar