Minggu, 08 Januari 2023

INONG (Dongeng Rumah Jalang) - Cucuk Espe



Tokoh:
Sandek
Inong
Madranu
Silay


#1


PROLOG

Begitulah seharusnya perempuan. Begitulah seharusnya menjalani hidup. Takdir yang membuatku tak mampu memilih, selain hanya menjalani dan menghidupi. Hidup yang tak sepatutnya kujalani. Perempuan manapun ingin diperlakukan seperti rembulan yang dilingkari cincin purnama sidhi. Menebar cahaya sampai malam menempuh klimaks. Aku pun terjatuh. Runtuh. Tanpa boleh mengeluh.

Saat hujan membasah tubuh, malam berkepala halilintar menyobek tanpa sadar, aku melihat tubuhku luluh. Terlempar dalam ruang pengap tanpa boleh berkata; belum siap. Begitulah perempuan yang dilempar senyuman sekaligus hujatan. Di sini, tak boleh ada yang menyesali diri. Jalani. Jalani dan nikmati. Seperti awan di langit mati. Tetapi masih salahkah jika aku bertanya; mengapa perempuan seharusnya begini?

Suatu tempat, dimana saja. Angin berhembus sangat tidak bersahabat. Awan pekam bergerak lamban merusak cakrawala. Sepucuk rerumputan nyaris terberangus matahari yang seolah turun beberapa inchi. Suasana terasa sangat ganjil. Sakit. Dan sulit dimengerti dengan akal paling sehat sekalipun. Sandek menikmati napasnya yang gontai, pikirannya yang lunglai dan perasaannya yang terkulai.

01. Sandek
Akhirnya sampai juga di sini. Meski sering aku melewati jalan ini, terasa sangat jauh. Rasanya tulang kakiku nyaris runtuh. Mungkin karena usiaku bertambah renta? Atau memang pikiranku yang renta? Tapi sarafku masih sehat, otakku masih kuat untuk mengingat apapun. (tiba-tiba) Satu...dua...ketika hujan, tiga...karena terpaksa, empat..empat...Oh! kenapa sulit menemukan yang keempat? Apakah hujan atau...ya! tengah malam. Aku ingat karena sempat aku mengejar burung gagak di tikungan. Burung itu sembunyi di balik pepohonan gelap. Tapi ada beberapa kali malam. Apakah ketika ketemu burung gagak itu malam keempat? Atau ketika aku nyaris terperosok ke selokan karena dikejar anjing? Malam ke berapa itu? Ah! Daya ingatku tak boleh rentah. Tidak boleh...

02. Madranu
(sebenarnya dia telah lebih dulu berada di tempat itu, hanya saja pada posisi tersembunyi). Tidak boleh...tidak boleh...siapa yang tidak memperbolehkan!

03. Sandek
(kemunculan Madranu membuat Sandek kaget). Oh, siapa di situ?

04. Madranu
Aku, yang masih memiliki ingatan cukup bagus. Maaf, jika aku mendengarkan batinmu tadi.

05. Sandek
Apa aku pernah mengenalmu sebelumnya? Atau pernah sangat akrab dengan ucapan-ucapanmu? Atau aku...

06. Madranu
Memang benar-benar renta!

07. Sandek
Kita belum saling kenal. Sebaiknya hindari perkataan yang menyakitkan. Meski kau ingin mengucapkan kejujuran.

08. Madranu
Aku terlalu sering bertemu orang asing, mungkin malam ini terulang lagi.

09. Sandek
Bukan berarti kejujuran harus ditutupi demi sebuah pertemuan.

10. Madranu
Kejujuran itu menyakitkan dan aku telah lupa bagaimana awal rasa sakit. Ah! Basa-basi yang tidak penting.

11. Sandek
Apa kita perlu berbasa-basi?

12. Madranu
Sudah terlambat. Dain aku sangat senang bisa bertemu denganmu. Mungkin kita bisa berbagi cerita. Saya kira itu penting. Sebab hidup itu membutuhkan cerita untuk mempertahankan eksistensinya. Seseorang bisa dianggap ada karena ada cerita yang diceritakannya. Aku harap kamu berhenti sejenak di tempat ini. Dari sorot matamu, jelas kau menyimpan banyak rahasia cerita. Oh..ya, kita belum saling kenal....Madranu.

13. Sandek
Sandek (jabat tangan tipis tanpa kesan)

14. Madranu
Siapa yang mengawali cerita? Kau Sandek...aku..? Atau siapapun yang mengawali tidak penting? Sebab isi ceritalah yang jauh lebih dibutuhkan.

15. Sandek
Bagian hidupku tidak ada yang menarik untuk diceritakan. Tidak istimewa. Cenderung menyedihkan.

16. Madranu
Jangan mengutuk diri sendiri. Itu cara buruk manusia yang terjadi sepanjang sejarah. Aku harap Sandek tidak di dalamnya.

17. Sandek
Seandainya aku memiliki ingatan yang sempurna, mungkin tidak terlibat dalam pembicaraan ini. Dan aku bebas menyatakan kejujuranku.

18. Madranu
Rupanya kamu kecewa sekali? Eh, kecewa itu awal putus asa. Cara buruk menjalani hidup adalah ketika pikiran dikuasai rasa putus asa.

19. Sandek
Aku belum sejauh itu! Tapi hampir saja benci dengan pikiranku sendiri. Peristiwa apa yang paling kau ingat dalam hidupmu?

20. Madranu
Hidupku tidak ada yang istimewa. Dan aku jarang memperhatikan perbuatanku sendiri apalagi mencatat dalam pikiranku. Tetapi dengan cepat aku bisa merasakan sebentar lagi malam. Itu tandanya aku harus segera mengunjunginya.

21. Sandek
Siapa?

22. Madranu
Ini mungkin cerita yang kau inginkan itu.

23. Sandek
Ohh..Madranu! Kau mulai jujur? Ceritakan..maka pertemuan ini menjadi luar biasa. Mungkin akan menginspirasi pikiranku yang mulai diserang kelapukan.

24. Madranu
Aku sengaja tidak mencari apapun ingatan yang terlupa. Biarlah Tuhan saja yang mencatat. Inilah cara memanjakan ingatanku. Aku hanya mengingat cerita yang bisa aku ingat. Sepotong. Tapi sangat berarti.

25. Sandek
Seandainya aku bisa begitu.

26. Madranu
Setiap orang punya cara hidup berbeda. Ada cara hidup yang terus memburu syaraf ingatanku. Otakku diserang tanpa ampun.

27. Sandek
Apa itu?

28. Madranu
Ketika hujan, malam itu, dan lebih dari tiga kali...(dipotong)

29. Sandek
Hujan, malam, lebih dari tiga kali...bisa empat kali! Ini menarik...

30. Madranu
Kenapa tiba-tiba kau bersemangat?

31. Sandek
Empat kali...! aku sedang bermasalah dengan itu. Ingatanku payah! Baiklah, teruskan..aku suka. Mungkin akan membantu pikiranku.

32. Madranu
Aku tak mengerti omonganmu. Itu masalahmu. Begini, setiap suasana seperti itu –hujan, malam—aku selalu berlari ke rumahnya.

33. Sandek
Rumah siapa?

34. Madranu
Apakah ini bagian kejujuran?

35. Sandek
Justru inti dari kejujuran. Puncak dari ceritamu, Madranu...

36. Madranu
(lirih-ragu) Perempuan itu.

37. Sandek
Perempuan? Inilah inti penting pembicaraan kita?

38. Madranu
Karena semua berawal dari sana. Dari rumah perempuan itu.

39. Sandek
(tertawa) Kenapa kita jadi membicarakan perempuan? Apakah setiap kerumunan lelaki selalu membicarakan perempuan?

40. Madranu
Itu manusiawi! Sayangnya, kerumunan lelaki itu perlahan menjadi beringas. Sementara nuansa perempuan terus menggerogoti pikirannya.

41. Sandek
Semakin membingungkan.

42. Madranu
Salah satu lelaki dalam kerumunan itu adalah aku.

43. Sandek
(tertawa) Kau menjadi tidak mausiawi? Hanya karena seorang perempuan. Ah! Jujur saja, perempuan memang mampu membangun atau menghancurkan hasrat kemanusiaan kita.

44. Madranu
Tergantung darimana melihatnya.

45. Sandek
Tepat! Tergantung bagaimana cara kita memegang perempuan itu.

46. Madranu
Ini menarik. Aku suka kalimatmu; dari mana cara memegangnya.

47. Sandek
Memegang dan mengendalikan keliarannya. Sehingga martabat kelelakian kita tidak terluka. (tertawa) Apa kau telah mampu menaklukkan keliarannya?

48. Madranu
Itu masalahnya! Aku biarkan keliaran itu dan kini kewalahan mengendalikannya.

49. Sandek
Jangan sesekali membiarkan keliaran perempuan. Eh, seberapa liarkah dia?

50. Madranu
Rumah itu beberapa kali aku datangi. Itu pertanda dia menarikku dengan liar.

51. Sandek
Kau ingat? Kau masih bisa mengingatnya? Aku punya masalah dengan itu.

52. Madranu
Aku melihat kamu baik-baik saja. Bahkan sempat menertawaiku dan mengumbar nasehat dengan kalimat-kalimat jitu tentang bagaimana mengolah keliaran perempuan.

53. Sandek
Bukan berarti aku tidak punya masalah. Apakah hanya orang yang hidupnya baik saja yang boleh memberi nasehat?

54. Madranu
Aku sepakat dengan itu. Kita belum terlalu jauh mengenal. Tetapi kita telah banyak mengumbar perasaan.

55. Sandek
Mengumbar perasaan adalah bagian dari pekerjaanku. Mengumbar terkadang menikmati tipis bedanya. Begitulah dunia imajinasiku.

56. Madranu
Seniman yang dibelit batinnya sendiri. Bagiku mengumbar dan menggadaikan perasaan tipis bedanya. Begitulah dunia politik.

57. Sandek
Politikus yang disiksa batinnya sendiri. Eh, kita kembali pada pokok masalah.

58. Madranu
Perempuan! Ya, Siapa perempuan yang menyiksa ingatanmu itu? Perempuan yang menyobek kemanusiaan dan kelelakianmu?

59. Sandek
Kau bisa menebak pikiranku.

60. Madranu
Karena itu persoalan setiap lelaki tak terkecuali aku.

61. Sandek
(terkekeh. sinis) Paling tidak, kondisiku tidak jauh berbeda. Kita telah dipertemukan dalam suasana yang tepat. Seharusnya kita bergembira dalam kesedihan perasaan.

62. Madranu
Dan kita tertarik pada hal yang sama.

63. Sandek
Perempuan! (meluap tertawa)

64. Madranu
Tepat! Siapa perempuan itu? Perempuan yang patut kita bicarakan. Perempuan yang mampu mempermainkan dunianya. Siapa? Atau...jangan-jangan kau tidak tau mana perempuan itu?

65. Sandek
Ada yang aneh dari pembicaraan kita.

66. Madranu
Sebuah keganjilan? Atau...

67. Sandek
Lebih dari ganjil. Kita seolah mengenal perempuan yang sama. Tapi...tidak mungkin! Dari cara kita berpenampilan sepertinya kita memiliki selera berbeda.

68. Madranu
Madranu selalu memilih perempuan yang berbeda dengan selera kebanyakan orang. Seleraku sungguh klasik dan mengasikkan.

69. Sandek
Kau mengumbar perasaan lagi. Kalau begitu, sebagai tanda persahabatan dan untuk merayakan pertemuan ini, aku punya ide.

70. Madranu
Apa itu? Apakah seniman sepertimu masih bisa memiliki ide cemerlang?

71. Sandek
Kita hadirkan perempuan-perempuan kita. Dengan begitu, kita bisa saling tahu selera masing-masing. Berani?

72. Madranu
(bingung sejenak) Baiklah. Aku akan ke tempat perempuan itu. Malam ini. Entah yang ke berapa, aku merasa jengkel dengan ingatanku.

73. Sandek
Politikus yang memprihatinkan (sinis). Silahkan, jemput perempuanmu itu. Aku juga akan melakukan hal yang sama. Dan kita bertemu lagi di sini, besok...waktu yang sama.

74. Madranu
Karena kita laki-laki maka persoalan utama hidup kita adalah perempuan.

75. Sandek
Dan karena kita laki-laki maka kesedihan kita sama. (keduanya tertawa) Aku akan menulis seribu puisi tentang perempuan yang berisi tentang pujian, sanjungan, sekaligus hujatan. Apa kau mau mendengar puisiku?
Sandek mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan bersiap membaca puisi. Namun mendadak suasana gelap. Tentu saja Sandek protes. Geram. Jengkel.
Aku baru saja mau membaca puisi! Nyalakan lampuuu....!
Sandek terus berteriak hingga akhirnya kelelahan dan diam. Suasana hening. Lampu padam. Musik mengalir seperti angin, pelan dan sesak. Hingga perlahan lampu menyala sepelan suara. Cahaya remang menyibak bayangan perempuan yang bergerak pelan. Sebuah gerakan batin yang lirih namun tajam. Dia adalah Inong.


#2

Inong terus bergerak pelan dan misterius.


76. Silay
Aku suka gerakan itu. Dan aku suka jemarimu di situ. (Silay terus mengagumi gerakan Inong) Teruslah bergerak seperti keinginan batinmu. Aku semakin suka!

77. Inong
Setiap lelaki selalu bilang begitu.

78. Silay
Eh, tetapi aku berbeda. Seharusnya kau mengerti itu.

79. Inong
Aku tidak suka lelaki egois. (perlahan menghentikan gerakannya dan mendekati Silay)

80. Silay
Menurutmu aku egois?

81. Inong
Silay...adakah kata lain yang cocok untuk menyebut sikapmu itu?

82. Silay
Meminta pengertian, itu disebut egois?

83. Inong
Aku sudah lama membuang cara untuk mengerti. Seorang perempuan memang tidak diajari untuk mengerti.

84. Silay
Aku tidak suka kata takdir. Mengapa setiap kesalahan selalu ditimpakan kepada takdir? Bukan siapa-siapa yang menentukan takdir, kecuali diri kita.

85. Inong
Termasuk takdir untuk memandang rendah perempuan?

86. Silay
Aku tidak seburuk itu. Bagiku perempuan itu seperti rembulan yang pantas ditidurkan sebelum angin fajar menjemput.

87. Inong
Sorot mata dan kalimatmu menunjukkan keegoisan. Dan apakah kau kemari juga untuk mengumbar batin egoismu?

88. Silay
Tapi kau menikmatinya, Inong.

89. Inong
Tidak ada pilihan lain. Sehingga aku harus menerima keegoisan setiap lelaki yang mampir kemari. Bagiku, itu adalah hal terbaik dalam hidup. Sebab setiap orang tidak ingin mati konyol.

90. Silay
Kau menyesal dengan takdirmu?

91. Inong
Adalah orang bodoh yang menyesali takdirnya. Aku hanya menjalani tanpa boleh mempertanyakan kembali. Termasuk malam ini.

92. Silay
Malam ini? (tertawa) Jalanilah takdirmu dan jadilah perempuan yang tidak durhaka pada takdir. Hanya dengan cara itu, kita bisa disebut manusia.

93. Inong
Meski manusia bermoral rendah?

94. Silay
Inooong...! Jangan sebut moral. Karena telah lama mati dalam hidup. Siapapun yang bermoral, nasib baiknya terpenggal.

95. Inong
Jika malam ini, aku tidak mau menuruti keegoisanmu?

96. Silay
Untuk apa aku kemari? (sengit)

97. Inong
Inilah bukti kerakusan lelaki. Di negeri ini, perempuan selalu jadi pelampiasan kerakusan. Adakah pilihan lain yang lebih baik?

98. Silay
Di negeri ini, pilihan terbaik bagi perempuan adalah mengabdi pada takdir. Jalani takdirmu –meski buruk—dengan sebaik-baiknya.

99. Inong
Apa itu termasuk perbuatan baik?

100. Silay
Menyenangkan lelaki adalah perbuatan paling baik bagi perempuan. Setujukan?

101. Inong
Meski menyenangkan dengan cara terkutuk?

102. Silay
Inong, aku tidak banyak waktu untuk berdebat. Mari kita selesaikan malam ini dengan sebaik-baiknya. Menurut cara kita, biasanya...(merajuk)

103. Inong
Kau masih muda, Silay...terpelajar. Pandai. Kenapa harus menundukkan martabatmu sendiri?

104. Silay
Itu artinya aku ini masih menjadi manusia. Banyak yang sok bermoral tetapi tingkahnya bebal. Aku salah jika jujur pada keinginanku sendiri?

105. Inong
Dan aku tidak mau selamanya merusak kejujuranmu.

106. Silay
(tertawa sinis) Kenapa tiba-tiba kamu menjadi bijak? Sok bermoral! Sudah aku bilang, moral sudah mati di negeri ini.

107. Inong
Orang tuaku memang tidak pernah mengajariku berbuat baik. Bahkan mengingat wajahnya pun, aku tidak bisa. Tetapi tak berarti tidak bisa membedakan baik dan buruk.

108. Silay
Perempuan memang suka melankolis.

109. Inong
Silay...! Tidak bolehkan seseorang berubah? Atau keluar dari kubang masa lalunya?

110. Silay
Tidak ada yang melarang. Terbanglah seperti burung lepas kendali tetapi tidak untuk saat ini.

111. Inong
Tidak saat ini?

112. Silay
Aku masih ingin melihatmu seperti ini. Seperti kemarin. Lincah dan sedikit nakal. Bagai burung terbang di langit tanpa hingar beban.

113. Inong
Tidak lagi, Lay...tidak lagi.

114. Silay
Inong adalah perempuan perkasa. Perempuan yang mencoba melipat takdirnya sendiri. Meski akhirnya bersimpuh di hadapan lelaki. Dan itulah akhir takdir itu sendiri.

115. Inong
Tidak, Lay...

116. Silay
Inooong, tunjukkan sayap liarmu malam ini. Silay akan mengajak menjalani takdir sengkalamu. Seperti malam kemarin....kemarin..dan kemarinnya lagi. (tertawa lepas)

117. Inong
Gerakanku semakin lamban. Napasku semakin berat. Itu tanda, aku harus akhiri semuanya.

118. Silay
Aku kemari tidak untuk membeli keluhmu, Nong!

119. Inong
Ini cerita sebenarnya dan bukan mengeluh. Aku menceritakan apa yang terjadi dalam takdirku sekarang. Malam ini, mungkin kau sulit untuk mengerti, Lay.

120. Silay
Sepertinya masalah besar?

121. Inong
Menyangkut hidup dan mati. Aku...kau lihat gerakan jemari dan tubuhku tadi?

122. Silay
Jangan mempermainkan mati.

123. Inong
Selama ini kita mempermainkan hidup. Apa bedanya?

124. Silay
Aku tidak ingin membicarakan hal itu. Ada yang aneh pada kamu, Inong!

125. Inong
Semuanya masih sama. Hanya saja kini gerakanku makin lamban.

126. Silay
Karena kau capek! Atau...

127. Inong
Kau mulai menebak nasibmu sendiri. (sinis)

128. Silay
Apa hubungannya? Aku hanya melihat keanehan pada kamu, Inong. Tidak ada hubungannya dengan nasibku. Kalimatmu saja, malam ini cukup aneh. Ganjil.

129. Inong
Aku sakit.

130. Silay
Kau kelihatan sehat. Inong, jangan kau turuti rasa malas. Jadilah perempuan yang cekatan. Inong yang lincah!

131. Inong
Apakah Inong harus selalu begitu? Menipu diri sendiri demi kesenangan orang lain? Menjadi korban kegoisan jaman?

132. Silay
Korban? Tidak ada menjadikanmu korban.

133. Inong
Takdir yang mengorbananku. Dan kau, Silay...adalah bagian dari takdir hidupku.

134. Silay
Bicaramu mulai ngelantur, Inong.

135. Inong
Yang datang ketika hujan belum reda. Malam mematikan cahaya lampu. Sampai pagi mengumbar keliaran. Tak ada seorang perempuan pun yang ingin seperti Inong. Seperti aku...

136. Silay
Aku tidak membeli kesedihanmu, Inong.

137. Inong
Lebih dari membeli. Memiliki dan menginjak. Kau memang tak terbiasa menghargai perempuan. Sama seperti semua. Terkadang aku berpikir, percuma hidup jika selalu meladeni keburukan baru.

138. Silay
Inong! Bicaramu mulai ngawur!

139. Inong
Aku memang memiliki semua yang diinginkan dunia. Tapi bukan untuk digadaikan, Lay.

140. Silay
Apa masalahmu, Nong?

141. Inong
Aku sakit.

142. Silay
Tapi bukan berarti kau bisa berkata seenaknya.

143. Inong
Aku sakit. Benar-benar sakit. Kau mungkin tidak percaya.

144. Silay
Karena omonganmu membingungkan, Inong. Maaf, jika sedikit kasar aku malam ini. Aku harap kamu mengerti.

145. Inong
Dan aku harap pula kau mengerti. Sakitku sangat kotor. (nyaris nangis)

146. Silay
Apa maksudmu?

147. Inong
Sakitku sangat kotor.

148. Silay
Sakit....(ragu) kotor!

149. Inong
(menangis dan menunduk. menolak didekati Silay) Jangan, Lay...!

150. Silay
Tentu bukan karena aku. Bukan!

151. Inong
Bukan. Tapi kau telah mengambilnya.

152. Silay
Mengambil...? Maksudmu...aku juga mencicipi penyakit itu!

153. Inong
Mungkin. Aku kau juga akan menyalahkan aku? Memang semua yang datang kemari selalu membawa alasan untuk menyalahkanku. Perempuan memang tidak akan mampu berbuat apapun jika terus dihujat dengan kesalahan.

154. Silay
Bagaimana jika aku juga tertular penyakit terkutuk itu?

155. Inong
Masih saja egois! Tanya dirimu sendiri.

156. Silay
Ini bencana. Hidupku dan semua yang kumiliki bisa hancur.

157. Inong
Gara-gara Inong? (tertawa sinis) Aku sudah menebaknya. Kau pasti menyalahkan aku, Lay...

158. Silay
Kalau tidak kamu?

159. Inong
Aku mau pergi dari lelaki egois. Lay, jangan halang-halangi aku. (Inong bergegas akan pergi)

160. Silay
Mau kemana Nong?

161. Inong
Apa kau berhak untuk tahu? Apa setiap lelaki harus tahu isi batin perempuan? (Inong semakin bersemangat untuk pergi. sedangkan Silay terus menghalangi tetapi Inong berhasil lolos. pergi)

162. Silay
Bagaimana dengan penyakit itu? (teriak) Bagaimana dengan tempatmu ini? Rumah terkutuk ini?

Silay diambang kebingungan. Antara marah, jengkel, takut, menghantam pikirannya. Entah apa yang harus dilakukan hingga Silay terkulai di lantai, rumah Inong yang sepi.


#3


Sandek menemukan Silay terduduk lemas di lantai. Dia masuk tanpa permisi dan heran melihat tingkah Silay. Meski belum mengenal Silay, tetapi keanehan suasana telah mengundang iba.

163. Sandek
Dimana Inong?

164. Silay
Semua mencari Inong. (menggeleng pelan)

165. Sandek
Kemana? Maaf, saudara siapa? Masih ada hubungan keluarga dengan Inong?

166. Silay
Aku...Silay dan aku juga mencari Inong.

167. Sandek
Sandek...(mengulurkan tangan) Mungkin sama dengan saudara.

168. Silay
Ingin menemui Inong?

169. Sandek
Maaf, saudara...(dipotong)

170. Silay
Agar lebih akrab, hindari kata ‘saudara’.

171. Sandek
Tapi kita baru saling kenal. Dan...

172. Silay
Dan wajar jika curiga? Apalagi bertemu di tempat seperti ini?

173. Sandek
Maaf, Silay...(agak ragu) Setiap lelaki yang datang ke rumah ini, pasti ingin menemui Inong.

174. Silay
Aku juga. Tetapi aku menyesal telah datang ke rumah ini.

175. Sandek
Banyak lelaki mencari Inong. Dan ini adalah keburukan manusiawi.

176. Silay
Keburukan? Kau tahu itu?

177. Sandek
Kita sama-sama tahu. Dan barangkali, kita juga memiliki sensasi yang sama terhadap Inong. (terkekeh)

178. Silay
Inong menjadi penting dalam hidupmu. Inong menjadi penting dalam hidupku. Apa jadinya jika dunia ini tanpa Inong? Tetapi, bukan Inong yang di sini.

179. Sandek
Bicaramu seperti orang yang belum mengenal Inong.

180. Silay
Justru aku sangat mengenalnya, maka aku bisa berkata demikian. Inong telah menjalani takdirnya. Terperosok dalam lubang yang digalinya sendiri.

181. Sandek
Aku semakin tidak mengerti.

182. Silay
Dan kita adalah bagian dari takdir Inong. Satu-satunya perempuan dalam Rumah Jalang ini.

183. Sandek
Kau tahu apa tentang Inong?

184. Silay
Terlalu banyak. Lekuk liku tubuh Inong dan lenguh napasnya, menggerogoti pikiranku tiap malam.

185. Sandek
Inong selalu mengatakan...Sandek adalah lelaki sehebat halilintar.

186. Silay
(dipaksa tertawa) Inong juga selalu mengatakan Silay adalah lelaki yang tidak gampang lunglai.

187. Sandek
Setiap malam, Inong memelukku dan mengatakan Sandek adalah cahaya di Rumah Jalang ini.

188. Silay
Setiap malam, Inong menciumku dan membisikkan Silay adalah penjaga di Rumah Jalang ini.

189. Sandek
Kita sama-sama tahu Inong. Tidak ada yang perlu dipersoalkan.

190. Silay
Satu hal yang kau tidak tahu, Sandek.

191. Sandek
Aku akan menanyakan pada Inong. Mengapa masih menyimpan rahasia?

192. Silay
Ini bukan rahasia. Karena kita sebentar lagi ada di sana. Tetapi kita tidak bisa saling menyelamatkan.

193. Sandek
Dimana Inong? Aku tidak ada waktu untuk basa-basi ini. (mulai jengkel)

194. Silay
Dengar dulu, kau pasti suka dengan basa-basi ini.

195. Sandek
Kita sama-sama tamu di Rumah Jalang ini.

196. Silay
Tetapi kita punya masalah yang sama. Inong, tidak ada di rumah ini lagi.

197. Sandek
(terkejut) Kau tahu darimana?

198. Silay
Setiap kita datang ke rumah ini, bukanlah Inong selalu menyambut dengan senyum?

199. Sandek
(clingukan) Kenapa dengan Inong?

Belum sempat Silay menjawab mendadak dikejutkan dengan kedatangan Madranu. Sandek tidak menyangka kalau Madranu juga mengenal Inong. Dan perempuan yang dimaksud menjadi persoalan dalam hidupnya adalah Inong. Madranu malu dan ragu untuk masuk.

200. Silay
Siapa lagi saudara?

201. Sandek
Madranuuu....kau penggemar rumah ini juga?

202. Madranu
Aku tidak menyangka. Mungkin perempuan seperti Inong adalah bagian dari imajinasi puisi-puisimu.

203. Sandek
Dan aku yakin. Syahwat politikmu selalu berakhir di rumah ini. Inong memang menjadi persoalan dalam hidup kita. Buktinya, kita bukan malu tetapi sama-sama maklum bertemu di tempat ini.

204. Madranu
Dimana Inong?

205. Sandek
Tanyakan pada laki-laki itu.

206. Madranu
Maaf, aku Madranu...Inong menyebutku selimut perkasa dari Rumah Jalang.

207. Silay
Aku Silay. Dan Inong tidak di sini lagi.

208. Madranu
(sangat terkejut) Sandek, ini tidak biasa. Inong selalu menyambut dengan hangat. Ada masalah apa dengan Inong?

209. Sandek
Itu pertanyaan terakhirku sebelum kau kemari.

210. Madranu
Tempat ini tidak akan berarti apa-apa tanpa Inong.

211. Silay
Eh, saudara-saudara...Saya yang terakhir kali bertemu Inong. Tetapi gerakannya tidak lincah lagi. Napasnya tidak seliar dulu. Ternyata, Inong menyimpan sesuatu tanpa kita tahu.

212. Madranu
Inong –yang aku tahu—tidak seperti itu!

213. Sandek
Baiklah. Sebaiknya jangan mengaku ada yang paling tahu tentang Inong. Buktinya, kita semua kehilangan dia malam ini.

214. Silay
Sebelum Inong pergi, dia menceritakan sesuatu yang membuat aku dan mungkin saudara-saudara menyesal, jika tahu.

215. Madranu
Aku tidak pernah menyesal bertemu Inong.

216. Sandek
Inong selalu membuat imajinasiku segar.

217. Silay
Inong mengaku jika tubuhnya semakin lemah. Dan ingin keluar dari Rumah Jalang yang diciptakan sendiri.

218. Madranu
Kenapa?

219. Silay
Inong menderita penyakit sangat kotor. (pelan dan tegas)

220. Sandek
Penyakit kotor!

221.Madranu
Penyakit kelamin!

222. Silay
Syphilis akut..!

(ketiganya bingung dan kelabakan)


223. Madranu
Sandek, ini memalukan. Bagaimana jika kita tertular?

224. Sandek
Bukankah kau tadi bilang; tidak ada penyesalan sedikitpun bertemu Inong.

225. Madranu
Bagaimana dengan karir politikku?

226. Sandek
Bukankah politik dan penyakit kotor, itu saudara kembar?

227. Madranu
Tapi tidak dengan cara seperti ini. Jika benar, aku tertular, habislah aku!

228. Silay
Saudara-saudara, berdebat tidak menyelesaikan masalah. Apalagi masalah perempuan. Aku, kau Sandek dan Madranu bisa jadi mengidap penyakit itu. Tinggal tunggu waktu, penyakit itu menggerogoti hidup kita.

229. Sandek
Tak ada seorang pun yang tahu jika aku sering ke tempat ini.

230. Madranu
Aku selalu dicitrakan sebagai politikus bersih.

231. Silay
(tertawa mengejek) Takdir Inong telah hadir dalam diri kita masing-masing. Tinggal menunggu waktu.

232. Sandek
Aku tidak mau usia tuaku tersiksa. Dan semua akan mengejekku karena mati dengan cara kotor.

234. Madranu
Tamatlah riwayat baikku. Silay, apa kau yakin Inong menderita penyakit itu? darimana kau tahu?

235. Silay
Dia sendiri yang cerita. Dan wajahnya juga terlihat kusam. Inong tidak cantik lagi seperti malam-malam sebelumnya. Aku –barangkali—juga mengalami nasib sama.

236. Madranu
Sering mampir ke sini?

237. Silay
Sekarang aku tahu siapa seniman gila dan politikus licik seperti cerita Inong.

238. Madranu
Dia sering cerita begitu? Tentang aku? Apa yang dia tahu tentang aku?

239. Silay
Apa Inong pernah cerita jika keluarganya habis gara-gara dicurangi? Dan keperawanannya diberangus teman yang dia kagumi? Inong pernah cerita, sebelum tinggal di rumah ini dia pernah kenal seorang politikus. Gara-gara itu harta orang tuanya ludes oleh intrik politik yang licik. Juga Inong pernah nyaris diajak nikah oleh seorang seniman yang karyanya dia kagumi. Dia pernah cerita itu?

240. Sandek
Paling tida seniman itu bukan aku.

241. Madranu
Dan politikus itu juga bukan aku.

242. Silay
Ada dendam dalam diri Inong. Dan itu manusiawi. Rupanya Tuhan mempertemukan kembali dengan seniman dan politikus di rumah ini.

243. Madranu
Tidak ada gunanya berdebat. Kenyataanya kita adalah korban Rumah Jalang ini.

244. Silay
Dan dalam diri kita, ada penyakit kotor itu.

245. Sandek
Kita harus temukan Inong! Jangan biarkan perempuan itu mengumbar dendamnya.

246. Madranu
Aku akan gunakan kerahkan teman-temanku mencarinya.

247. Silay
Untuk apa? Inong tidak mampu lagi bergerak lincah. Tubuhnya sekarang mungkin telah lumpuh karena penyakit. Dan...(dipotong)

248. Sandek
Dan sebentar lagi giliran kita? (takut)

249. Madranu
Aku tidak mau mati dengan cara membusuk.

250. Silay
Inong ada dalam batin kalian! Inong telah menjadi bagian dari remah darah kalian! Sebentar lagi, senyum Inong akan membakar sumsum kalian. Mencopot tulang belulang dan membusuk.

251. Madranu
Itu akhir hidup yang terkutuk.

252. Silay
Karena kita mempermainkan perempuan. Kita mempermainkan Inong. Aku dan kalian tinggal menunggu waktu.

253. Madranu
Kita cari Inong!

254. Sandek
Inong harus dikejar kemanapun!

Keduanya lantas tergopoh dan bergegas mengejar Inong. Kegaduhan pun terjadi. Suasana kacau. Seluruh kekuatan dikerahkan untuk mencari Inong. Ketiga orang itu seolah berlomba dengan penyakit yang telah mengaliri darahnya. Histeria yang tidak bisa dihindari.

255. Silay
Itu tidak akan menyelesaikan masalah!

Silay pun akhirnya ikut berlari. Entah kemana. Inong telah membalik kenyamanan hidup.


#4

Suasana sangat teatrikal. Cahaya redup menyambut gerak Inong yang semakin lambat. Perlahan lungkrah dan lemah. Tak ada harapan dan kepasrahan. Inong berada di tengah puncak takdirnya. Terus bergerak tetapi terus melamban.

256. Inong
Takdirku selesai di sini. Inong yang tidak perkasa lagi. Aku tinggalkan Rumah Jalang demi kehormatan Tuhan.

Semakin lunglai. Dan terkulai. Ketika tubuh Inong tak mampu bergerak lagi, Sandek, Madranu, dan Silay menemukannnya. Suasana sedikit gaduh. Sandek datang dengan cara jalan yang beda, Madranu dengan cara ucap yang berbeda, dan Silay terlihat lebih sengsara. Penyakit kotor itu telahn memberangus hidup normal mereka.

257. Sandek
Persoalan kita sama; perempuan...!

Penyesalan tak menyelesaikan masalah. Inong telah berhasil menebar takdirnya. Semua tidak akan terjadi jika semua berjalan tidak saling merampok takdir Tuhan. Selesai.

EPILOG
Aku bangga dengan wajah ini. Mata tak terlalu sipit dan dagu tak terlalu runcing. Aku bangga dengan lentik tangan ini, terlihat tegar dan siap mencecar. Juga tubuh ini, yang lincah seperti kenari berbalut birahi. Ya! Aku bangga. Menjadi perempuan dengan kesempurnaan mengiba. (tersenyum) Kau, kalian dan semua pasti suka. Liuk lincau jemari tubuhku seperti menari di atas awan harapan.

(mendadak sedih) Tetapi pernah aku membenci tubuhku sendiri, ketika malam berselimut dendam. Saat perempuan seperti aku ditikam takdir. Tubuhku bergerak semakin liar. Liar tanpa arti yang bisa dimengerti. Suatu pagi, pernah aku merasa asing dengan tubuh sendiri. Aku pun menjalani hidup seolah tanpa jasad. Tak sedikitpun rasa sakit kurasakan meski sebenarnya tubuhku berubah menjadi boneka tanpa beban.

Ya! Beginilah seharusnya Inong. Menjadi kabut dalam hidup lelaki bukan hal mudah. Karena Inong harus mampu melipat kecewa di sini. Di tempat ini! Lihatlah aku...Inong, yang tak memiliki tubuhnya sendiri. Lunglai dirajam jaman. Sekali lagi, aku bangga, mampu membagi takdir hitamku pada dunia di luar tubuhku. Aku berikan takdirku dengan gembira dalam pesta kecil di puncak malam.

Pesta kecil! Aku suka itu. Pesta tanpa dansa. Pesta tubuh tanpa makna.

Mari kita lanjutkan pesta ini. (terus bergerak)

# # #
Jakarta
------------ Juli 2011

Jombang


Biografi Singkat:

CUCUK ESPE, memiliki nama asli Cucuk Suparno, lahir di Jombang 19
Maret 1974. Belajar Sastra di IKIP Malang (Universitas Negeri Malang).
Kini aktivitasnya menulis dan memimpin Teater Kopi Hitam Indonesia.
Sejumlah esai sosial-budaya dan sastra pernah dimuat di Kompas, Jawa
Pos, Surya, Bhirawa, Banjarmasin Post, Bali Post, dan banyak media
online.

Pernah menyabet aktor teater terbaik Peksiminas III (1995) di TIM
Jakarta. Sejumlah naskah drama yang pernah ditulis; Para Pejabat
(1995), Mengejar Kereta Mimpi (1998), Juliet dan Juliet (2000),
Rembulan Retak (2003), 13 Pagi (2010), trilogi monolog Jenderal Markus
(2010-2011) pentas keliling Jawa-Bali, INONG; Dongeng Rumah Jalang
(2011).

Sejumlah cerpen dan puisi dipublikasikan di Republika, Kompas, Jawa
Pos, Radar Surabaya, Lampung Post, Bali Post dan banyak media online.
Menulis novel; Bulan Sabit di Atas Kubah (Pustaka Radar Minggu, 2010)
dan novel 13 Pagi (diangkat dari repertoar teater). Kumpulan Antologi
Puisi 50 Penyair Jatim (2010, DKJT), serta mengikuti Temu Sastrawan
Jatim, Oktober 2010 di Surabaya.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar