Selasa, 13 Desember 2022

SINDHEN - Heru Kesawa Murti


 
Penokohan
Semi Sinden yang mempesona.
Panjang Suami Semi yang sensitive.
Guru Pimpinan para dewa di khayangan.
Narada Dewa khayangan, wakil Guru.
Yamadipati Dewa khayangan pencabut nyawa
Raden Lurah Tanpasembada Kepala desa Watugundul
Isteri Lurah Isteri yang suka cemburu.
Genjik Carik, wakil kepala desa.
Sawi Staf kepala desa yang agak bodoh.
Wartawan Pemburu berita yang suka disuap.
Orang gila Warga desa yang terganggu jiwanya


Sinopsis :
Dalam panggung pementasan naskah berjudul ‘Sindhen’ karya Heru Kesawa Murti, dikisahkan Semi sebagai seorang perempuan berparas cantik dan bersuara emas. Kemasyhurannya dalam menembang sudah terkenal hingga ke pelosok desa. Bahkan ia sudah kerap menjuarai lomba menembang baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten, hingga provinsi. Berada di bawah asuhan Raden Lurah Tanpasembada selaku kepala desa Watugundul, bakat alami Semi mulai berkembang.
Prestasinya yang gemilang tidak serta merta mengubah posisinya sebagai seorang perempuan dan istri dalam rumah tangga. Semi tetap bersusah payah menyuarakan haknya sebagai seorang perempuan. Ia berdebat hebat dengan suaminya terkait kedudukan laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. “Jaman sekarang itu sudah tidak musimnya lagi perempuan mlungker terus di rumah. Apa! perempuan itu bukan pitik babon ! bukan cuma disuruh tinggal terus di dapur! Bukan babu! Ingat, ingat! Jangan kelewatan bodohmu itu!” jelas Semi kepada suaminya.
Tak hanya Semi, dalam pementasan tersebut pun terdapat tokoh perempuan lain yang juga tak takluk begitu saja di bawah kekuasaan laki-laki. Adalah istri Raden Lurah Tanpasembada. Ia ngamuk ketika suaminya Raden Lurah Tanpasembada sibuk mengurus Semi hingga menelantarkannya dan anak-anaknya. Langkah untuk menggugat cerai pun diambil oleh perempuan pencemburu tersebut. Ia tidak gentar dengan bayang-bayang kehidupan dihimpit kesulitan setelah perceraian. Ia mengambil sikap tegas terhadap sikap suaminya yang dinilai telah menelantarkan kewajiban terhadap dirinya dan anak-anaknya tersebut. Ia bahkan tidak minta harta gono-gini sedikit pun dari suaminya ketika mereka benar-benar bercerai kelak.
Panggah Waluyo selaku sutradara, ketika dijumpai seusai acara pun sepakat bahwasanya isu yang hendak diangkat dalam naskah ini adalah isu persamaan hak perempuan atas laki-laki dalam rumah tangga, namun ia menyinggung hal lain. Ia berkata bahwasanya pementasan ini pun mencoba menyentil fenomena pada masa orde baru dulu ketika pemimpin begitu sembrono memilih menteri. Cukup punya satu kemampuan saja seseorang akan mudah mereguk posisi dalam kabinet. Hal ini tentu dapat kita cermati dari sikap Dewa Guru Khayangan yang secara serampangan menghendaki Semi diboyong ke Khayangan setelah gusar menyaksikan kemerosotan kinerja para Dewa. Pada hal kemampuan Semi hanya sebatas nembang saja tidak pada persoalan mengurus negri khayangan.


SATU

Khayangan pada suatu hari.
Syahdan sang Dewa Guru tengah gelisah, perasaannya tak seperti biasa. Ada sesuatu yang sedang bergejolak di dalam hatinya, yang kini lebih menyerupai gerak jarum yang lamban. Dia tak bersantap beberapa hari ini. Seperti hendak kedatangan suatu petaka, wajahnya cemberut dan berulang kali berjalan mondar-mandir mengelilingi ruangan paseban. Tak lama, tapi kemudian rasanya seperti mendapatkan sesuatu yang melegakan, dia duduk di singgasana dan menyuruh seorang abdi buat memanggil Paman Narada menghadap.
Paman Narada datang tergopoh-gopoh.


NARADA 
(Terbata bata) Sembah di hadapan Adhi Guru, saya Pamanda Narada datang menghadap. Titah apa yang hendak Adhi Guru berikan kepada saya ?

GURU 
(berwibawa) Duduklah yang enak Paman Narada. Saya ingin berbincang-bincang kepadamu.

NARADA 
Ho, ho, ho. Ampun junjungan para dewa di khayangan, apakah Adhi Guru selalu melihat saya selalu mengecewakan paduka ?

GURU 
(Tertawa kecil) Saya tak pernah melihat Paman Narada tidak menepati janji. Tapi paman, memang ada sesuatu hal yang ingin sekali hendak saya bicarakan kepada paman.

NARADA 
(Menyembah) Dengan senang hati, Adhi Guru.

GURU 
(Berdiri memandang keluar) Paman……

NARADA 
Saya, Adhi Guru.

GURU 
Apakah paman tidak melihat bahwa khayangan ini sudah mulai lagi tak bisa memberikan sesuatu yang berarti. Para dewa penghuni khayangan sudah kembali lagi seperti mesin, mereka hanya bisa bekerja bila ada proyek. Dilain pihak, justru di khayangan inilah terletak tanggung jawab untuk memberikan suri tauladan dalam melakukan sesuatu yang berarti bagi kehidupan masyarakat di Marcapada. Dan itu bukan sekedar menunggu proyek, paman. Bukan pula sebuah program atau surat perintah kerja.

NARADA 
Aduh, Adhi Guru alangkah tak berartinya saya bila Adhi Guru merasa gelisah melihat tanda-tanda itu.

GURU 
(Duduk kembali) Paman, aku takut mereka justru akan berubah menjadi stereotip dan mekanis. Paman lihat sendiri, mereka sudah mulai mandul, tidak memiliki kreativitas kerja yang prima. Yang mereka kerjakan cuma meminta tanda tangan saya, menulis acara-acara khayangan dipapan tulis, menumpuk map-map di meja mereka, main-main mesin tik, sibuk main telpon, dan bahkan ada yang berlomba-lomba membuka pintu mobil saya setiap saya akan pulang. Kadang-kadang ada yang cuma main catur, mengisi TTS biar tak ada kesan menganggur sebelum jam kantor habis. Paman, itu sudah mengkhawatirkan.

NARADA 
(Mengangguk angguk) Saya mengerti, Adhi Guru.

GURU 
Saya sampai dibuatnya heran, paman. Mereka ternyata terlalu manja dengan kedudukannya. Menganggap bahwa khayangan selalu menentukan, selalu memutuskan tanpa memberikan penghargaan sama sekali pada prestasi orang-orang Marcapada. Saya berpendapat itu tak ubahnya seperti bebek-bebek yang congkak.

NARADA 
Saya mengerti, Adhi Guru.

GURU 
Mental mereka mesthi dirubah paman, sebelum khayangan sendiri ambruk karena sudah tak sanggup lagi menahan beban para dewa yang korupsi, memanipulasi ide, sombong kedudukan, lahap pada proyek, program, yesmen.

NARADA 
Saya mengerti Adhi Guru.

GURU 
Saya justru merasa bodoh oleh orang-orang Marcapada yang kaya akan kreativitas, kaya potensi dan memiliki prestasi besar sekalipun mereka tak selalu memperoleh fasilitas yang baik untuk mengembangkan itu seperti yang di peroleh para dewa-dewa di khayangan.

NARADA 
Saya mengerti Adhi Guru.

GURU 
Dan kita memang harus mengangkat mereka untuk memberikan dan menyumbangkan kemampuan mereka sebagai cermin buat para dewa.

NARADA 
Saya mengerti Adhi Guru.

GURU 
(Heran dan kaget) Lho ! kalau demikian paman-pun juga bebek ?!

NARADA 
(Tergagap-gagap) E..e..e..e, maksud saya, saya amat setuju dengan apa yang dipikirkan Adhi Guru.

GURU 
Na, itulah yang namanya klise !. jawabannya seperti di cetak dan diulang-ulang. Dan bebekpun seperti itu.

NARADA 
Mohon ampun Adhi Guru. Tapi kalau Paman Narada ini boleh tahu, rencana apa yang hendak Adhi Guru bicarakan ?

GURU 
(Memandang Narada dengan berwibawa) Apakah paman pernah mendengar seorang sinden bernama nyonya Semi dari Marcapada ?

NARADA 
(Menyembah) O, paduka junjungan para dewa di khayangan, Paman Narada baru menduga-duga, mungkin itu yang hendak dibicarakan Adhi Guru.

GURU 
(Datar) Suaranya ampuh, paman. Hingga bergetar rasanya khayangan mendengarnya. Dia contoh orang yang punya prestasi besar, mencintai pekerjaannya. Yang jelas, saya tahu apa yang hendak kita lakukan dengan prestasinya yang besar itu.

NARADA 
(Menyembah) Maksud Adhi Guru ?

GURU 
Boyong Sindhen itu ke khayangan.

NARADA 
Tetapi menurut hemat kami, rencana Adhi Guru itu…

GURU 
(Memotong) Segera akan saya buatkan surat keputusan dan sekaligus surat perintahnya. Sinden itu memang layak untuk bisa berkembang, tidak hanya untuk Marcapada dan khayangan, tetapi juga untuk seluruh semesta yang terbatas ini. Biar khayangan yang akan menggodog lebih matang lagi, Paman Narada.

NARADA 
Ho, ho, ho, itu memang sebuah prospek yang bagus, Adhi Guru. Sekaligus bisa mengembangkan lagi nama khayangan.

GURU 
Dalam pikiran saya, bukan hanya nama semata-mata, Paman Narada. Tetapi juga sebuah tanggung jawab dan suri tauladan.

NARADA 
Tetapi khayangan kiblat Marcapada, paduka Adhi Guru.

GURU 
Paman, tapi saya tak ingin ada kesulitan. Saya tak ingin melihat Paman Narada pulang dengan tangan hampa.

NARADA 
Benar, Adhi Guru. Itulah yang ingin saya sampaikan kehadapan paduka. Orang-orang Marcapada tentu tak akan begitu saja membiarkan Sindhen itu di bawa. Saya sudah melihat kesulitan-kesulitannya.

GURU 
(Kepada abdi khayangan) Panggil Yayi Yamadipati kemari. Bilang kepadanya ini perintah !

Abdi khayangan keluar-

GURU 
(Tertawa lirih) Kadang-kadang mesin memang ada gunanya, Paman.

NARADA 
(Ikut tertawa lirih) Adhi Guru memang tidak keliru. Mesin memang harus diberi pelican.

GURU 
Paman, maksudmu ini adalah sebuah proyek.

NARADA 
Tergantung bagaimana kita menggunakannya.

Guru tertawa. Narada ikut tertawa. Abdi khayangan masuk disertai Yamadipati.


YAMADIPATI 
(Menyembah) Sembah sujud hamba haturkan kehadapan paduka Guru.

GURU 
Engkau tentu tahu kenapa kupanggil kemari. Ini ada hubungannya dengan bidang profesi pekerjaanmu. Yayi Yamadipati, maaf, ini mengganggu kesibukanmu membaca Koran.

YAMADIPATI 
Titah paduka Guru diatas segala-galanya. Hamba segera akan menjalankan apa yang hendak paduka berikan tugas kepada hamba.

GURU 
Kau menyertai Paman Narada turun Marcapada menjemput seorang Sindhen dan membawanya kemari. Yayi Yamadipati tentu tahu apa yang harus yayi kerjakan.

NARADA 
Yayi, kudengar kau baru saja mencabut nyawa seseorang.

YAMADIPATI 
Baru kemarin, kanda Narada. Seorang Marcapada yang hendak mengintip orang mandi.

GURU 
Baiklah, paman. Paman Narada dan Yayi Yamadipati segeralah berangkat ke Marcapada. Surat keputusan dan surat perintahnya segera bisa paman ambil di ruang sekretaris jendral khayangan. Saya segera mengebel dia. Berangkatlah paman.

Narada dan Yamadipati segera meninggalkan ruang paseban diikuti dengan wajah puas Guru.


DUA

Desa Watugundul pada suatu hari yang tenang. Panjang seharian tak berhenti mengawasi kelima anaknya yang masih kecil-kecil. Mereka nakal-nakal semua. Yang sulung baru berumur 6 tahun, tapi Panjang tampaknya tak punya pikiran bahwa anak itu harus segera di sekolahkan di kecamatan. Empat orang anaknya yang lain, hampir seluruhnya berselang satu tahun. Yang bungsu baru saja bisa merangkakitulah sebabnya Panjang nyaris sepanjang hari tak istirahat. Maka ketika dia mendapatkan ada sebuah kesempatan untuk mengambil napas, dia segera menggunakan peluang itu buat mengaso sepuas-puasnya. Panjang kelihatan cemberut, murung, dan simpang siur.

PANJANG 
(Keluar-duduk mengipas kipas tubuhnya yang gerah) selagi masih ada kesempatan seperti ini, sebaiknya memang harus dipergunakan baik-baik.
(Baru saja dia duduk, tiba-tiba anaknya yang sulung meronta-ronta, sepertinya anak itu jatuh ketimpa sesuatu, kemudian berdiri lagi-marah-melihat kedalam) Aduh ! kamu itu bagaimana ta Pongge ! kamu itu kan sudah kubilang jangan main-main di tumpukan ember. Anak sialan ! sana, pergi dari situ. Sudah besar tidak ngrumangsani. Ayo, jangan disitu !
Baru saja mau duduk kembali, seorang anak yang lain jatuh dan menangis sambil berteriak-teriak.
(Berdiri lagi-marah) Apa lagi ini !
(Memandang kedalam rumah) Gusti Allah, Kenthos !, Kenthos !, apa kamu itu tidak mau peduli sama bapakmu, he. Kan sudah kubilang, jangan main-main di kandang ayam. Ayo, sana. Mandi !
(Duduk lagi) Yang satu ketimpa ember, yang satu lagi dilalap kandang ayam. Anak… anak, dasar memang susah di urus.
(Belum lagi selesai, anaknya yang lain terdengar berlari-lari sambil berteriak-teriak takut dikejar seekor anjing. Berdiri lagi melihat keluar)
Ya ampun… kecik. Kamu memang tidak kapok juga, main-main anjing. Jangan lari, ayo berhenti ! jongkok !, jongkok ! Nah begitu.

Terdengar anjing itu sudah tidak menyalak lagi, mungkin sudah lari. Tapi kecik sudah keburu takut dia nangis mencari emaknya.

SEMI 
(Dari dalam) Apa ini ? emak ! emak ! ayo pergi dari sini ! aku sedang repot !. Sana. Anak itu masih tetap menangis. Sana ! aduh !, dimana gincunya tadi ? pakne gincunya tadi kamu taruh mana?. Lho, ini lipenstiknya malah kamu injek-injek. O…. sialan kamu setan cilik !

Dipukulnya anak itu. Kecik meronta-ronta lagi sambil lari terbirit-birit. Semi keluar tergopoh-gopoh.

SEMI 
(Keluar dari dalam rumah) Tuh, lihat anak-anakmu sekarang sudah hampir seperti Genjik semua !

PANJANG 
Wah ! kamu itu mbok ya ngomongnya jangan seperti itu. Kasar ! tidak pantes !

SEMI 
Tidak pantes ! tidak pantes ! memangnya kamu sendiri kalau ngomong apa juga pantes ? itu, macam begitu itu jadinya anak-anakmu, itu hasil didikanmu !

PANJANG 
Ya Allah !.... kok malah tiba-tiba aku yang kamu marahi ?

SEMI 
Soalnya kamu tidak becus ngurus anak !

PANJANG 
(sabar) Perkara mengurus anak, itukan juga tugas kita, tugasku dan tugasmu.

SEMI 
Jagad Dewa Bathara… nyuwun sabar. Kamu itu memang keterlaluan Pakne ! kamu bisanya cuma enak-enak bikin anak, melek merem rasanya sudah marem. Tapi kamu ndak pernah merasakan sakitnya aku melahirkan mereka. Sekarang, baru begitu saja sudah sambat !

PANJANG 
Aku itu tidak sambat.

SEMI 
Nyatanya, coba lihat, baru saja ditangisi sama anak-anakmu macam begitu saja sudah gembeng, apa itu namanya tidak sambat. Laki-laki macam apa itu !

PANJANG 
(Berdiri) Mbokne, kalau mau ngomong itu mbok ya jangan kebablasen. Itu namanya tidak urus.

SEMI 
(Jengkel) Mana yang lebih tidak urus, kamu yang seneng bikin anak, atau tidak becus ngurus. Atau aku yang sudah susah-susah cari duit untuk makanmu sama anak-anak, lalu kamu mencoba menyalahkan aku. Mana, mana yang tidak urus ? ayo mana ?

PANJANG 
Kamu memang tidak salah.

SEMI 
Lha, gene kamu malah tahu.

PANJANG 
Tapi kita kan bisa bicara baik-baik, tidak asal terus nyantlap.

SEMI 
Eh, pak. Sejak dulu aku selalu ngomong baik-baik sama kamu. Kamu jangan ngilang-ngilangke. Apa kamu tidak ingat, kwajiban mengurus anak itu tidak hanya perempuan saja, laki-laki macam kamupun mestinya harus bisa ngurus anak. Tidak hanya laki-laki thok yang bias cari duit. Kalau sekarang kamu menyalahkan aku soal anak-anak, apa itu namanya bener? Tidak gampang perempuan itu melahirkan. Sekarang, kalau aku sekarang aku kamu bebani anak-anak, kamu itu maunya apa, he?

PANJANG 
Iya, tapi kalau kamu tidak ikut memperhatikan anak-anak, terus mau bagaimana? Aku tiodak melarang kamu nyindhen. Tapi mbpok ya eling, ada masanya untuk memperhatikan keluarga. Silahkan seminggu kamu tidak pulang. Tapi apa kamu sesekali tidak punya kesadaran buat dekat dengan anak-anak?

SEMI 
(Berang) E....... jadi kamu anggap sepele, kamu anggap hina, kamu anggap saru ya aku nyindhen itu?

PANJANG 
(Sabar) O, tidak. Sama sekali tidak ! apa aku pernah bilang begitu?

SEMI 
Buktinya, ngomongmu seperti itu, berarti kamu sudah kepingin bilang bahwa aku tidak boleh nyindhen ya ta?
(Tertawa sinis) O.... tidak bisa, tidak bisa pakne. Aku tidak goblok untuk kamu rayu supaya aku ngeloni terus anak-anakmu itu. Kuno! Kolot !

PANJANG 
Lho, tidak. Maksudku....

SEMI 
(Memotong) Jaman sekarang itu sudah tidak musimnya lagi perempuan mlungker terus di rumah. Apa..! perempuan itu bukan pitik babon ! bukan cuma disuruh tinggal terus di dapur! Bukan babu! Ingat, ingat! Jangan kelewatan bodohmu itu !

PANJANG 
(Marah) Mbokne, kamu bikin aku jadi marah !

SEMI 
(Menantang) Disangkanya apa aku tidak marah?!

PANJANG 
Setan ! mentang-mentang kamu ya ?!

SEMI
Kalau tidak mentang-mentang sampean mesthi sudah semangkean!

PANJANG 
Nah, nah, jadi begitu itu perolehannya kamu jadi nyindhen, dicukongi pak Lurah, terkenal kemana-mana. Sekarang kamu ngenyek sama orang yang pernah mendorong kamu jadi seperti itu. Apa kamu tidak eling, bahwa dulu kamu gembeng, merengek-rengek minta dikawini?

SEMI 
Soal sindhen itu urusanku, soal pak Lurah itu bukan urusanmu. Aku sudah terlalu repot untuk mengurusi soal gembeng, dan pikiranmu yang selalu cengeng itu.

Tiba-tiba terdengar lagi suara grombyangan.

SEMI 
Sudah, kamu urus saja itu. Aku mau pergi!

PANJANG 
Kamu mau kemana. Kamu belum bikin bubur untuk si Tembong.

SEMI 
(Berkemas-kemas mau pergi) Apa kamu tidak bisa bikin sendiri? Laki-laki macam apa kamu itu?
(Ribut sendiri) Mana tadi tasku, tas N President. Pakne tasku.

PANJANG 
(Beranjak) Tas yang mana?

SEMI 
Tas yang berisi make up, tolol!

Panjang masuk mengambil tas. Semi sibuk berdandan. Panjang masuk sambil membawa tas.

SEMI 
Taruh sini!

PANJANG 
Kalau menaruh tas itu mbok ya hati-hati.

SEMI 
(Beranjak, tapi lupa sesuatu) Aduh, sandalku. Pakne sandal jepitku!

Panjang masuk mengambil sandal jepit istrinya. Dan keluarga lagi menyodorkan sandal itu dengan wajah bersungut-sungut.

SEMI 
(Geram) Taruh bawah!

Sesudah mengenakan sandal jepit langsung nyonya Semi beranjak keluar dengan muka sebal. Panjang duduk menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia merasa heran dengan perkembangan istrinya yang dianggapnya sudah kelewat batas itu.

PANJANG 
(Setengah klenger) Aduh, nyuwun sabar Pangeran.... Mudah-mudahan sakit ayanku tidak kumat. Tidak kusangka kalau Semi sekarang jadinya seperti itu. Hh..... kuwalat aku.
(Kepada penonton) Saudara-saudaraku, dulu saya memang ngeyel dengan almarhumah Simbok dan mendiang Bapak saya, kenapa saya mesti mengawini Semi. Nah, seperti inilah wujud kutukannya. Perlahan-lahan tapi pasti. Memang bukan dunia perempuan yang salah, bukan pula Semi yang jadinya seperti itu. Yang salah adalah saya karena melanggar pesan almarhum orang tua saya.

Pongge tiba-tiba masuk tergopoh-gopoh. Panjang terhenyak kaget.

PONGGE 
(Terengah-engah) Cilaka Pak. Cilaka Pak. Aduh, itu….. si, si Kecik, anu.....

PANJANG 
(Cemas) Si Kecik bagaimana?

PONGGE 
Anu, Kecik itu...

PANJANG 
Mbok ya yang jelas kalau ngomong.

PONGGE 
Kecik kecemplung kakus, Pak.

PANJANG 
Apa?!

Langsung Panjang lari masuk terburu-buru diikuti Pongge.

PANJANG 
Tobat, tobat. Yang satu selesai, yang satu nyusul. Edan semua!


TIGA

Ruang depan rumah pak Lurah Watugundul.
Raden Lurah Tanpasembada. Bu Lurah duduk dengan gelisah, wajahnya menyiratkan rasa sebal yang amat sangat. Dia tengah mendongkol, berang dan marah yang selama ini disimpannya namun tak pernah ada waktu buat di keluarkan. Hari ini dia sudah tak tahan lagi, seluruh isi dadanya terasa tak mampu lagi di tekan sabar, dia sepertinya hendak meledak. Tapi Bu Lurah masih bisa mengendalikan diri.
Pak Lurah keluar dari dalam. Heran memandang istrinya. Apa yang dilihatnya itu memang membuat tak mengerti, kenapa sekonyong-konyong isterinya bersikap seperti itu.


RL TANPASEMBADA 
Aku bingung melihatmu akhir-akhir ini, bune. Kalau kamu memang sudah tidak betah di rumah ini, mestinya kamu bisa ngomong.

BU LURAH 
Memang, dasarnya aku kepingin ngomong.

RL TANPASEMBADA 
O, silahkan.

BU LURAH 
Rumah ini sudah edan.

RL TANPASEMBADA 
Jadi itu yang hendak kamu omongkan?

BU LURAH 
Banyak. Tidak cuma itu.

RL TANPASEMBADA 
Apa kepingin kamu rahasiakan lagi?

BU LURAH 
Tidak. Aku sudah tidak tahan.

RL TANPASEMBADA 
Boleh, kamu memang boleh tidak tahan.

BU LURAH 
Sebaiknya kita memang tidak serumah lagi.

RL TANPASEMBADA 
O, itu. Jadi?

BU LURAH 
Pak, kamu berat mana. Sindhen itu atau isterimu dan anak-anakmu?

RL TANPASEMBADA 
(Tertawa) Jadi itu yang bikin kamu bingung?

BU LURAH 
Kamu bilang apa?

RL TANPASEMBADA 
Itu perkara mudah, tidak perlu pusing-pusing.

BU LURAH 
Kamu bilang mudah, kalau orang-orang desa ini mulai banyak ngrasani kamu gara-gara Sinden itu.

RL TANPASEMBADA 
Orang yang nganggur memang suka ngrasani, itu biasa.

BU LURAH 
Kalau sekarang mereka mulai tidak terima karena suami-suami mereka gendeng, menjual pohon kelapa, menjual perhiasan isterinya, melalaikan kehidupan mereka hanya karena tergila-gila sama Sinden-mu itu, apa itu cuma perkara biasa?. Lalu bagaimana dengan Simin yang menyia-nyiakan bininya itu, bagaimana dengan Thukul yang sampai hendak menceraikan isterinya, bagaimana dengan Muji yang sekarang miring?. Apa itu cuma perkara biasa?

RL TANPASEMBADA 
Lho, itu kan salah mereka sendiri.

BU LURAH 
Tapi kamu Lurah. Kamu yang memelihara Sinden itu.

RL TANPASEMBADA 
Itu hakku. Urusanku.

BU LURAH 
Urusanmu, hakkmu, memang. Sampai-sampai kamu jual tanah Rejo, kamu jual kebun Bu Arjo, kamu bujuk mereka supaya mau di jualkan olehmu, lalu duitnya cuma kamu bagi separoh lantas kemana yang lainnya, kalau tidak kamu pergunakan untuk memanjakan Sindenmu itu.

RL TANPASEMBADA 
Soal tanah mereka itu, bukan urusanmu.

BU LURAH 
Ya, bener. Betul. Kamu bener Pak. Dan kamu memang bener kalau duit hasil penjualan tanah kamu pergunakan untuk memanjakan Sindenmu. Duit dari mana buat beli gamelan itu, duit dari mana buat beli seperangkat halo-halo itu? Dari mana?

RL TANPASEMBADA 
Itu urusan lelaki, urusan perempuan di dapur, di ranjang, bukan gamelan, bukan halo-halo.

BU LURAH 
Sampai-sampai kupingmu buntet sama suara-suara orang desa, ya apa tidak?

RL TANPASEMBADA 
Bune, Sinden itu lahir di desa ini, dia milik desa Watugundul ini. Apa kamu tidak sadar bila dia sudah merupakan kuwajiban kita buat menghidupkan, menjaga dan memelihara. Dia milik desa ini satu-satunya.

BU LURAH 
(Sinis-tertawa) Hingga kamu lupa sama anak isterimu ya kan? Ubyang-ubyung kesana-kemari sampai kamu tidak ingat rumah, tidak ingat sama orang-orang desa. Tidak ingat bahwa kamu itu Lurah. Kalau aku sudah merasa malu.

RL TANPASEMBADA 
Ya, malu-lah. Kalau itu maumu.

BU LURAH 
Iya, memang aku malu. Disangkanya apa aku terus pasrah begitu saja. O, tidak. Tidak!

RL TANPASEMBADA 
Itu memang bagus.

BU LURAH 
Sekarang, aku ulangi lagi. Sinden itu atau isteri dan anak-anakmu.

RL TANPASEMBADA 
 Aku bukan bocah ingusan !

BU LURAH 
Baik, kalau kamu memang bukan bocah, aku minta cerai!

RL TANPASEMBADA 
(Berdiri-congkak) E........... jadi itu ya kamu punya uneg-uneg?

BU LURAH 
Memang, dan itu sudah kurancang.

RL TANPASEMBADA 
Aku memang juga sudah tahu. Apa kamu kira aku tidak sanggup buat mbayar tuntutanmu? Jangan dikira ya?

BU LURAH 
(Sinis) Aku tidak minta kamu bisa bayar tuntutanku.

RL TANPASEMBADA 
Lantas apa yang kamu maui? Kamu kepingin rumah ini?. Bawa. Kepingin perhiasan yang di almari itu?. Bawa. Apa lagi?

BU LURAH 
O....kamu pikir aku gampangan? Memang buntet utekmu, Pak!. Kamu tidak ngerti, aku punya kemampuan untuk membeberkan kebusukanmu itu sama Pak Camat, kamu pikir apa aku tidak bisa mengadu sama Pak Bupati, he? Aku bisa bayar wartawan biar kebrengsekanmu itu di tulis di koran! Jelas ?!

RL TANPASEMBADA 
(Tertawa terbahak-bahak) Kamu nglantur, Bune. Sudah, kalau kamu mau nuntut, nuntut saja di pengadilan, tidak di koran, tidak perlu sama Pak Bupati segala macam.
(Tertawa lagi) Lucu, kamu nglucu, bune.

BU LURAH 
(Berang) Gusti Allah! Kamu anggap enteng ya?

RL TANPASEMBADA 
Lha gimana tidak mau nganggap enteng, lha wong ngomongmu saja seperti orang ngelindur kok.

BU LURAH 
(Marah) Kamu kepingin bukti pak? Baik, saya pikir sayapun berani. Tunggu saja !

RL TANPASEMBADA 
Bune, kalau perlu malah sekaligus ke Pak Gubernur.
(Tertawa) Atau numpang sebentar lewat radio.
(Tertawa lagi)

BU LURAH 
E, e allah ! jadi kamu nantang rupanya. Baik, nanti kalau orang-orang desa ini ramai-ramai nuntut kamu, jangan keder. Kalau nanti terjadi sesuatu dengan sindenmu, jangan mengkerut nyalimu!

RL TANPASEMBADA 
Wo.... ngancam.

BU LURAH 
Tunggu saja, Pakne. Lihat nanti!

Bu Lurah beranjak masuk. Dari luar datang Genjik (carik desa), Sawi (salah seorang pamong desa) masuk mengiringi seorang wartawan yang hendak bertemu Pak Lurah.

RL TANPASEMBADA 
Kamu mau kemana sekarang ?

BU LURAH 
Terserah aku!

Bu Lurah menghilang, masuk kedalam. Genjik maju.

GENJIK 
Kulanuwun, pak Lurah.

RL TANPASEMBADA 
(Kaget) Lho, kamu.
(Kepada yang lain)E...sini, sini. Masuk.

GENJIK 
Kami membawa tamu, pak Lurah. Pak wartawan.

Sawi dan sang wartawan duduk.

RL TANPASEMBADA 
Waaahh, rupanya saya kedatangan tamu istimewa ini. Wartawan dari mana, nak?

SANG WARTAWAN
Dari ibukota, saya ditugaskan dari mingguan TEMPE untuk sedikit mendapatkan sesuatu dari pak Lirah tentang Sinden yang membikin geger itu, pak.

RL TANPASEMBADA
Kalau begitu, saudara ini datang pada alamat yang tepat. Saya yang berkompeten soal Sinden itu.
(tertawa puas)
Dia itu memang hebat kok, nak! Sudah sepantasnya bila harus dimuat khusus di majalah bonafid saudara itu. Kalau perlu, di muat untuk satu terbitan istimewa, semua isinya sinden. Begitu ta nak?

SANG WARTAWAN 
(Mengeluarkan barang-barang keperluannya) Sekarang itu, berita sudah jadi bisnis. Lumrah ta pak Lurah?

RL TANPASEMBADA 
(Tertawa) Genjik, saudara ini ternyata peka sekali, tidak eman-eman orang membayar dia jadi wartawan. Nah, apa yang bisa saya berikan kepada saudara?

SANG WARTAWAN 
Boleh saya tahu nama bapak?

RL TANPASEMBADA 
(Tertawa) Saya lupa, kita belum kenalan, tiwas sudah ndrojos. Baik! Nama birokrasi saya Raden Lurah Tanpasembada, nama ndesanya tidak usah, itu bukan berita nak. Nah, disamping saya ini adalah carik saya, namanya Genjik. Lha, kalau itu, yang suka cungar-cungir itu, namanya Sawi, salah seorang pamong saya.

SANG WARTAWAN 
Pertama tama pak Lurah, berapa luas wilayah desa ini, berapa banyak penduduknya, berapa orang yang punya radio dan tv, berapa orang yang punya kerbau, berapa.....

RL TANPASEMBADA 
Lho, lho. Ini maunya sensus ekonomi apa sensus berita ?

SANG WARTAWAN 
Ah ! ini yang kode etik jurnalistik. Fakta memang harus diungkap secara obyektif, meskipun bisa dibikin-bikin, rak iya ta mas ?

RL TANPASEMBADA 
O... saya pikir mau apa. Genjik, tolong jelaskan pada saudara wartawan ini soal-soal yang disebutkan itu mengenai desa kita.

GENJIK 
Nah, mas, tidak usah pakai buku monografi desa ya, lha wong bukunya saja udah hilang. Tidak harus persis ta, di bikin-bikin saja ya?

Genjik menyebutkan apa yang diketahuinya. Sang wartawan mencatat.


SANG WARTAWAN 
Ini tentu saja ada pengaruhnya kenapa desa ini tiba-tiba saja melahirkan sinden besar macam Nyonya Semi itu. Pak Lurah. Bolehkah saya tahu apa yang menyebabkan bahwa sinden itu bisa menjadi demikian masyhur ?

RL TANPASEMBADA 
(Tertawa sombong) Genjik, tolong jawab pertanyaan saudara itu, bagaimana aku mengelola Semi. Awas, Genjik, jangan coba-coba dikurangi, kalau perlu malah berbunga-bunga, biar tampaknya gagah.

GENJIK 
(Berdehem) Bagai air jatuh di pelimbahan, bak pisau bertemu gagangnya. Desa ini, mas wartawan, sejak jaman moyang kami tumbuh bersama sinden. Mereka tak bisa dipisahkan. Begitulah semesta jagad raya mengatur kehidupan.

SANG WARTAWAN 
(Geleng-geleng kepala) Jadi dalam arti, bahwasannya Watugundul adalah sinden? Apa tidak keliru penilaian saya? Soalnya begini pak Lurah, hampir sulit diperoleh bahwa sebuah desa, sebab telah melahirkan seorang sinden besar, dia menjadi contoh sebuah dunia kecil yang bernama desa itu, dan sederhana pula tetapi bisa melahirkan prestasi besar. Dan itu langka. Bahkan mengejutkan. Malah terpaksa harus mengejutkan.

RL TANPASEMBADA 
Ah, nak, nak. Tulis itu, tulis itu ! Genjik, coba kasih saudara wartawan ini rokok yang paling mahal. Ehm, nak, lanjutkan lagi penilaianmu itu, jangan rikuh. Ayo !

SANG WARTAWAN 
(Setelah menerima rokok) Dalam mendidik seorang sinden, seperti pak Lurah sudah selayaknya bila harus berkorban materi maupun waktu, sebab itu demi kebesaran sebuah desa, dus sekaligus demi identitas budaya kita dan nilai serta semangat nasionalisme kita.

RL TANPASEMBADA 
Tulis lagi itu, nak. Saya setuju. Pokoknya jangan sampai tercecer sedikitpun ya ? bagaimana Sawi, kamu mesthi setuju ya? Harus ! dan juga kamu, Genjik.

GENJIK 
Memang kok, sudah selayaknya begitu, tetapi......

RL TANPASEMBADA 
Ingat Genjik ! ini mau masuk koran. Tidak perlu pakai tetapi!

GENJIK 
He-eh, pokoknya saya setuju, mas. Nanti ditulis ya.

RL TANPASEMBADA 
Nak, nak. Sebagai seorang wartawan, apa pendapat saudara tentang ketenaran sinden yang saya asuh itu.

Pak Lurah mengeluarkan notesnya.

SANG WARTAWAN 
Ehm, begini pak Lurah. Saya berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh pak Lurah adalah sesuatu yang luhur, sesuatu yang tidak mudah dilakukan oleh orang seperti bapak. Menurut saya, itu semacam.... panggilan, begitu istilahnya. Jadi suatu kerja yang penuh pengabdian, tulus, dan tanpa pamrih. E, pak Lurah, pak lurah, coba tulis itu, tulis ya.

Pak Lurah menulis.

RL TANPASEMBADA 
(Sesudah menulis) Memang benar, nak. Tiga kali sinden saya itu menang dalam kejuaraan tingkat kabupaten, dan dua kali tingkan propinsi dan ini yang hendak direncanakan adalah tingkat nasional. Bagaimana menurut pendapatmu, nak?

SANG WARTAWAN 
Begini.... tilis ya pak Lurah. Saya bisa memastikan pasti menang di tingkat nasional, sebab sebenarnya tidak menangnya yang penting, tapi justru bagaimana prestasi sinden itu telah mendapatkan kepercayaan penuh dari warga bangsa kita. Sudah di tulis ta, awas, jangan sampai tercecer !

SAWI 
Lho, lho, maaf pak Lurah, lha kok malah wartawannya pak Lurah ? E,,, nuwun sewu.

RL TANPASEMBADA 
Eh, apa iya?
(Kaget, heran) Oh hiya, tidak terasa. E, e, e, tapi nak, itu kan ndak apa-apa ya, sesekali wartawan itu di wawancarai, siapa tahu malah jadi bumbu menarik buat beritanya. Kode etik jurnalistik kok, ya mas ya? Ndak apa-apa.

SAWI 
O, jadi sekarang wartawan itu malah cari orang supaya diwawancarai. Wah, hebat itu kang, wartawannya bisa jadi hebat itu.

GENJIK 
Lho iya, kode etik jurnalistik kok !

RL TANPASEMBADA 
Mh... maaf saudara wartawan, bawahan saya itu memang suka guyon. Tidak perlu di tulis ya, itung-itung buat selingan.

Dari luar datang sinden. Pak Lurah berdiri menyambut. Sinden masuk.

RL TANPASEMBADA 
Nah, ini kebetulan. Perkenalkan nak wartawan, inilah sinden yang menggemparkan itu. Semi, ini wartawan yang hendak menulis kamu di koran nanti. Itu artinya kamu memang sudah bonafid, sampai jauh-jauh ada wartawan datang kemari. Ayo salaman.

Mereka bersalaman.

SANG WARTAWAN 
Saya Lenthuk, wartawan dari mingguan TEMPE. Saya sudah lima kali dapat penghargaan. Saya wartawan senior, mbak yu Sinden, eh siapa namanya ?

SEMI 
Saya Semi.

RL TANPASEMBADA 
A, a. Sindennya belum, Semi.

SEMI 
Nama saya Semi, sinden masyhur dari desa Watugundul, asuhan Raden Lurah Tanpasembada. Delapan kali menang di tingkat kecamatan, tiga kali menang di tingkat kabupaten, dua kali menang di tingkat propinsi.

RL TANPASEMBADA 
Begitulah kenyataannya, nak wartawan. Sunber berita yang lengkap, bukankah begitu Genjik dan Sawi. Ayo, bilang saja ya.

GENJIK dan SAWI 
(Bersama sama-koor) Ya, pak Lurah. Ya, pak Wartawan.

SANG WARTAWAN 
(Tertawa kecil) Bagus, bagus. Kepada mbak yu Semi, mbak yu telah memperoleh nama besar sebagai sinden, dalam hal ini, apa resep mbak yu kok langsung bisa misuwur ?

RL TANPASEMBADA 
(Kepada Semi) Semi, kalau ngomong sama wartawan harus konsisten, runtut. Bukankah aku sudah kasih kamu brifing buat menghadapi wartawan ?

SEMI 
Resep saya, mas, adalah bangun pagi teratur, minum susu, mengunyah kencur, ajeh pakai pilis,....

RL TANPASEMBADA 
E, e, e, jangan yang itu njawabnya. Ayo, pakai saja teks yang untuk latihan dulu itu.

SANG WARTAWAN 
Maksud pak Lurah ?

SAWI 
Anu mas, supaya wawancaranya itu lancar dan sistematik, mbak yu sinden itu sudah di tatar khusus untuk menghadapi wartawan. Wawancara pakai naskah, begitulah.

GENJIK 
Kode etik jurnalistik kok.

SANG WARTAWAN 
Kalau begitu apakah ada pertanyaan saya tadi didalam naskah ?

SEMI 
Soal resep? Ada, begini, resepnya adalah satu, mempunyai kesadaran untuk melestarikan kekayaan kebudayaan bangsa. Dua, mengabdi sepenuhnya demi kelestarian dan perkembangan kesenian tradisional. Tiga, memiliki pandangan jauh terhadap usaha memetri kesenian adiluhung.

RL TANPASEMBADA 
Sampai tiga saja, Semi.

SANG WARTAWAN 
(Mengangguk puas) Memang, itu sudah merupakan panggilan buat kita sebagai warga dari masyarakat suatu bangsa. Mbak yu Semi, tentang bakat, eh, mas soal bakat apa ada dalam naskah ?

SAWI 
O, ada. Ada. Pada pasal duabelas, ayat lima. Bagian enam, sub bagian tujuh, paragraf empat, kalimat kedua dengan daftar pustaka no sepuluh, yak.

SANG WARTAWAN 
Baiklah, mbak yu Sinden, dalam memupuk bakat mbak yu ini, apakah pendapat mbak yu tentang keberhasilan bakat yang dimiliki mbak yu Sinden.

SEMI
Keberhasilan bakat saya adalah A. Karena hasil tempaan dari orang yang memiliki kuajiban tinggi menjunjung nilai kebudayaan nasional. B. Hasil dari kesadaran dalam mengangkat wajah budaya tradisional, C. Hasil dari kesadaran dalam memberikan arti dalam mengisi makna kemerdekaan dalam bidang seni budaya, D. Hasil proses kreatif yang secara terus menerus.

SANG WARTAWAN 
(Tertawa renyah) Ternyata mbak yu Sinden ini memang betul-betul intens sebagai seorang yang punya prestasi besar. Nah, mbak yu Sinden, sehubungan dengan hal itu, bagaimana pendapat mbak yu tentang kepekaan pak Lurah dalam mengangkat begitu mbak yu punya potensi yang mengagumkan itu ?

RL TANPASEMBADA 
Aha, itu langsung menyangkut aku. Sawi, coba kamu jelaskan prosesku dalam mengangkat Semi. Meskipun yang ditanyakan itu pendapat Semi. E, nak wartawan, supaya lebih obyektip, supaya kesannya tidak dipaksakan. Ayo, Sawi.

SAWI 
Saya bisa langsung membaca pendapat mbak yu Sinden ini, mas. Bahwa menurut saya dia akan berpendapat pak Lurah itu seorang luhur, di samping memang beliau memiliki pengamatan yang tajam dalam memandang prospek cemerlang mbak yu Sinden.

SANG WARTAWAN 
Untuk itu, mas Sawi, bagaimana pendapat saudara dan apa saja yang telah di sumbangkan pak Lurah demi prospek yang cemerlang itu ?

RL TANPASEMBADA 
(Tertawa) Itu adalah bagianmu Genjik, coba jelaskan untuk nak wartawan ini.

GENJIK 
Sebagai pejabat teras desa, mas wartawan, saya bisa langsung menjawab pendapat saudara Sawi. Begini, pak Lurah itu adalah seorang yang memiliki pengabdian besar dalam mengembangkan potensi seni budaya yang dimiliki oleh desa ini, termasuk juga tentang mbak yu Sinden ini. Untuk itu beliau tak sungkan-sungkan untuk menyumbangkan apa yang beliau miliki. Beliau telah menyumbang seperangkat gamelan slendro pelog, membangun pendopo, membangun studio modern, membuatkan sebuah padepokan dan masih banyak lagi yang tak bisa dihitung satu persatu.

Tiba-tiba dari luar terdengar orang-orang desa berteriak-teriak, mengumpat-umpat pak Lurah, dan sang Sinden bahwa kedua orang itu telah membuat kacau desa dengan hadirnya Sinden.


SANG WARTAWAN 
(Ternganga) Siapa mereka itu, pak Lurah. Kedengarannya kok seperti tak terkendali.

SAWI 
O, .... itu memang sudah rutin di desa ini, mas. Itu karena memang membuktikan bahwa segala sesuatu harus diatur begitu. Semakin orang tidak suka dengan berteriak-teriak seperti itu, terbukti mbak yu Sinden makin terkenal. Jangan lupa itu sudah diatur.

Dua orang warga desa masuk. Seorang menuntun seorang lagi yang tengah menderita sinthing.

WARGA DESA I 
Nah, pak Lurah !, saya tidak terima, abang saya jadi gendeng seperti ini gara-gara Sinden sialan itu. Dia sudah menjual semua miliknya. Harta bendanya sudah ludes, keluarganya kocar-kacir lantaran kedanan sinden itu. Saya tidak terima.

RL TANPASEMBADA 
Lho, lho nanti dulu......

WARGA DESA I 
Pokoknya pak Lurah mesti tanggung jawab ! pilih salah satu, desa ini atau Sinden itu !

ORANG SINTING 
Cihui, Sinden bahenol, bahenol nerkom. Ihik, ihik. Sinden kupeluk, sinden kukenyut-kenyut, sindennya kenyil-kenyil. Aduh bapa, aduh simbok, hati beta jadi senut-senut. Duh, Sindenku......

WARGA DESA I 
Lihat, pak Lurah, lihat !

SAWI 
He ! Kempo ! Itu tidak ada hubungannya dengan pak Lurah, apa kamu tidak lihat bahwa ini sedang ada tamu !

WARGA DESA I 
Tidak ada hubungannya, matamu ! Sinden itu sudah banyak bikin gara-gara !

SAWI 
Lho itu salah mereka sendiri !

WARGA DESA I 
Matamu memang merem, kang Sawi. Mulutmu sekarang ngomongnya sudah lain.

ORANG SINTHING 
Kepala ayam di plintir-plintir, di goreng dimakan dengan minum dawet, jaman sekarang tak usah mikir-mikir kalau rasanya memang kebelet.
(Tertawa) Sinden, ayo kubopong, mana kamu Sinden...

WARGA DESA I 
Lihat ! buka matamu kang Sawi ! siapa yang sinthing ini, lihat !

RL TANPASEMBADA 
Kempo ! Sudah, aku sudah dengar. Kamu butuh berapa buat menyembuhkan kakangmu ini ? Eh, Sawi, coba kamu kasih si Kempo ini uang yang sudah saya siapkan itu.

WARGA DESA I 
Pak Lurah, itu namanya sudah menyinggung perasaan.

RL TANPASEMBADA 
Ayo, Sawi, kakangnya Kempo ini memang harus segera di sembuhkan. Kita wajib menyumbang untuk mereka yang kekurangan.

Sawi maju menyodorkan uang kepada Kempo. Mula-mula Kempo menolak, tapi akhirnya menerima juga.

RL TANPASEMBADA 
Sumbanganku punya arti penting untuk proyek kemanusiaan. Uangku ini cukup untuk membawa kakangmu ke dokter di kota.

WARGA DESA 
I Em..soalnya tadi anu, kok pak Lurah, saya memang ndak tahu kalau harus ke dokter. Terimakasih pak Lurah.

Kempo beranjak dari tempat itu menuntun orang sinthing yang terus saja ngomel-ngomel.

SAWI 
Pak Lurah tidak segan memberikan dana untuk warganya yang miskin, mas wartawan.

RL TANPASEMBADA 
(Kepada wartawan) Nak, itu jangan kamu tulis. Jiwa sosial tidak perlu kelewat jelas diperlihatkan. Saya tidak enak.

GENJIK 
(Kepada wartawan dan Semi) Pak Lurah memang benar. Itu beliau lakukan agar jangan sampai nanti timbul kesan berlebihan. Bukankah begitu mbak yu Semi ?

SEMI 
Bagaimanapun juga yang namanya berlebih-lebihan itu kurang sreg bagi kami orang-orang desa ini, meskipun kami tahu bahwa mas wartawan sesekali justru penasaran ingin menulis.

RL TANPASEMBADA 
(Tertawa) Sinden saya tepat sekali, nak. Dia ini contoh yang dalam memperlakukan seorang wartawan. Nah, saya bisa memberikan buktinya. Sawi, kasih sang wartawan ini yang sudah saya siapkan sejak kemarin.

Sawi menyodorkan sebuah amplopan. Sang wartawan terheran-heran.

RL TANPSEMBADA 
Jangan kaget, nak. Itu sudah tradisi kami.

SANG WARTAWAN 
Itu, itu……

RL TANPASEMBADA 
Harap dimaklumi, nak. Jauh sebelum ada istilah wartawan amplop, kami sudah lama sekali punya adat istiadat amplop.
(Tertawa ramah) Dan itu harus saudara tulis !

SANG WARTAWAN 
Lho, kok ………..

RL TANPASEMBADA 
Jangan cemas dulu, saudara menuliskan bahwa saudara datang ke desa ini disambut dengan upacara adat istiadat yang meriah.
(Tertawa ramah) Itu maksud saya.

Sang wartawan tampak mengerti, tersenyum-senyum. Sawi menyodorkan lagi amplopnya. Sang wartawan malu-malu menerima amplop itu. Tiba-tiba dari luar terdengar lagi suara orang-orang yang memprotes pak Lurah. Seorang tua masuk tergopoh-gopoh.

WARGA DESA II 
(Marah) Sialan ! Sinden itu memang setan cilik tak tahu diuntung ! Pak Lurah ! anak saya sudah dibikin celaka sama Sinden itu, dia menggoda anak saya, dan sekarang anak saya itu mau menjual kebun kelapa saya!

RL TANPASEMBADA 
Genjik, Genjik, Coba kamu ladeni orang ini. Saya sudah capai mengurus soal-soal seperti itu.

GENJIK 
Mengemban titah pak Lurah, saya mau tanya kenapa anakmu itu tidak kamu larang, kamu kan orang tuanya. Itu soal gampang. Gampang! Sebab kamu bisa menyelesaikan sendiri. Tanpa harus marah-marah di sini. Pulang saja, ya?

WARGA DESA II 
Pulang-pulang bagimana. Dia itu mau membunuh saya kalau saya melarang menjual kebun kelapa itu ! Sinden itu masalahnya sekarang sudah macem- macem.

GENJIK 
Kamu sudah tua, dan itu bukan urusan kami, pulang saja, ya?

WARGA DESA II 
Tidak bisa ! Gampang rupanya ngusir orang!

GENJIK 
Maap, pak. Tangan saya tiba-tiba jadi gatel! Pulang, ya?

WARGA DESA II 
E . . . . Kamu kira saya tua-tua begini tidak berani, apa kamu tidak mengerti saya punya aji-aji Sumur Gemuling, he !?

RL TANPASEMBADA 
Sudah, sudah Genjik. Emh, Sawi, coba kamu kasih bapak ini amplop yang sudah disediakan untuk perkara seperti ini.

Sawi menyodorkan amplopan kepada warga desa itu.

RL TANPASEMBADA 
Itu cukup untuk mengganti harga kebun kelapamu. Kasih amplop itu pada anakmu.

Warga desa itu menerima amplop. Senyum-senyum, sambil bernjak pergi.

RL TANPASEMABADA 
(Kepada sang wartawan) Nah, itu bukti lagi, nak. Bukti bahwa kami ini kuat sekali percaya kepada adat istiadat kami. Masih tidak percaya ? Baik. Sekarang saudara bisa melihat-lihat apa yang sedang kami persiapkan selama ini. Mari saya tunjukkan sesuatu yang lebih penting untuk ditulis di koran saudara. Semi, kamu ikut aku. Genjik dan Sawi tinggal disini sementara aku dan Semi mengantar nak wartawan.

Pak Lurah dan Semi mengantar sang wartawan. Sawi dan Genjik tinggal. Setelah mereka pergi.

SAWI 
Aduh, lega rasanya. Lega sekali.

GENJIK 
Yang lega apanya kang ?

SAWI 
 Untung tadi pak Lurah tidak langsung tanya soal SPJ.

GENJIK 
SPJ apa kang?

SAWI 
Ya, SPJ duit yang sudah dikeluarkan itu. Padahal kuitansinya tidak ada. Aduh, lega aku.

GENJIK 
Lho iya, tapi kang sawi mestinya kan harus kasih laporan ta ?

SAWI 
Itu masalahnya. Sebenarnya saya mau lapor terus terang, tapi Le, aku ada nak wartawan itu, jangan-jangan nanti aku masuk koran. Padahal, duit sisanya itu Le, sudah saya gunakan buat nalangi cicilan Kerbau.

GENJIK 
Wah, itu namanya sudah gawat, kang !

SAWI 
Le, apa betul, pak Bupati itu segera mau rawuh ke desa ini buat meresmikan dan merestui pak Lurah dan Semi untuk mengikuti festival tingkat nasional itu ?

GENJIK 
Lho, kamu itu bagaimana ta kang. Jadwalnya kan sudah dikasih sama kita?

SAWI 
Itu artinya, pak Lurah sedang sibuk-sibuknya. Beliau pasti tidak sempat tanya soal SPJ, ya ta ?

GENJIK 
Itu tidak baik kang. Kalau kang Sawi tidak lapor. Saya lapor.

SAWI 
 Wah, jangan Le. Jangan.

GENJIK 
Kalau tidak lapor itu kan namanya tidak disiplin ta kang?

SAWI 
 Untuk kali ini saya mohon dispensasi dari kamu Le, tapi besok tidak sudah, yakin ! Buat kali ini saja !

GENJIK 
Wah ya tidak bisa. Itu masalah berat, kang! Kamu sudah tidak bisa naik banding lagi.

SAWI 
 Terus. Terus saya mesti bagaimana?

GENJIK 
Gampang, kang. Saya bisa menutup soal itu, asal……….

SAWI 
Asal apa Le, asal apa?

GENJIK 
 Asal kang Sawi bisa kasih saya berapa persen untuk tutup mulut kalau nanti kang Sawi ada sisa anggaran.

SAWI 
Anu, anu Le. Emh . . . . . lima persen saja, bagaimana?

GENJIK 
Itu pekerjaan sulit dan berat lho kang ! Ingat !

SAWI 
 Sepuluh ?

GENJIK 
Menurut pengalaman saya, mestinya itu dua puluh persen.

SAWI 
 Tiga puluh persen, bagaimana ?

GENJIK 
Empat puluh persen !

SAWI 
Lima puluh !

GENJIK 
Sudah enam puluh, belum termasuk beli odol, sikat gigi, sabun cuci, sampo, . . .

SAWI 
(Memotong) Terus bagian saya berapa itu, njik ?!

SAWI 
Milih ketahuan atau slamet ?

GENJIK 
Wah, berat, njik !

GENJIK 
Milih ketahuan atau slamet ?

Tiba-tiba muncul Narada dan Yamadipati, dari atas mereka memandang Genjik dan Sawi.

NARADA 
Rupanya, kalau tidak keliru kita sudah sampai didesa Watugundul, yayi Yamadipati. Orang angon bebek disana tadi bilang disini tempatnya. Lho! Yayi, aku mendengar pembicaraan orang Marcapada, Yayi !

YAMADIPATI 
Benar, Wa Narada.

NARADA 
Mbok coba kamu liat disana itu, kelap-kelip itu apa yayi ?

YAMADIPATI 
Itu yang namanya makhluk marcapada, wa!

NARADA 
Orang Marcapada ? Emh, coba aku sapanya mereka itu !

GENJIK 
(Kepada Sawi) Ana ambune, ning ora ketok wujude!

NARADA 
He ! Orang Marcapada !

GENJIK 
(Mencari-cari) Nah, itu suaranya. Tapi mana orangnya!

NARADA 
He ! Orang Marcapada apa kamu tahu di mana rumahnya Lurah Watugundul ?!

GENJIK 
Na, itu dia! He ! makhluk E.T. ! kamu tanya yang sopan. Turun !

NARADA Wella dallah, Orang Marcapada itu tidak urus yayi ! Coba kamu bereskan saja yayi Yamadipati!

YAMADIPATI 
 Beres, wa!
(Mendekati Genjik dan Sawi) He ! Orang Marcapada jelek ! Saya ini utusan dewa !

GENJIK 
He ! makhluk E.T yang jelek! Saya ini utusan pak Lurah !

YAMADIPATI 
O….sudah gendheng kamu! Tak cabut nyawamu !

Yamadipati pasang kuda-kuda hendak nyabut nyawa Sawi dan Genjik. Pak Lurah datang, heran melihat Sawi dan Genjik meronta-ronta.


RL TANPASEMBADA 
E…e…e… Njik, Sawi, kamu ada pa ini ?!

GENJIK 
Itu, itu makhluk E.T. itu E.T !

RL TANPASEMBADA 
Hah ?! Sang hyang dewa ?! he, njik ! itu dewa !ayo nyembah !

Bertiga mereka nyembah Narada dan Yamadipati.

RL TANPASENMBADA 
Ampun, paduka, pembantu saya ini memang belum mengenal paduka. Dan, kedatangan paduka ke Marcapada ini mengejutkan kami.

NARADA 
Kedatangan kami ini memang mengemban titah sang Hyang Guru di khayangan. Maka tepatlah kiranya, bila aku bisa langsung berhadapan dengan Lurah desa Watugundul.

RL TANPASEMBADA 
Syukur, sang hyang dewa dapat mengunjungi kami dengan titah yang luar biasa ini. Kalaulah saya boleh tahu, tugas apakah gerangan yang di bebankan sang hyang dewa?

NARADA 
Sang Hyang Guru di khayangan member tugas aku untuk menjumpai Sinden Watugundul ini, yang kabarnya hendak mengikuti kejuaraan festifal tingkat nasional.

RL TANPASEMBADA 
Kebetulan, kami sedang mempersiapkan tugas suci itu. Saya sangat berterima kasih bila upaya kami ini mendapat perhatian besar para dewa di khayangan.

NARADA 
Kalau begitu, bolehkan saya melihat sindenmu itu?

RL TANPASEMBADA 
Wi, panggil Semi kemari

Sawi memanggil Sinden. Sinden keluar disertai dengan wartawan

RL TANPASEMBADA 
Inilah Sinden kami itu, sang Hyang dewa. Dan mas yang satu itu adalah seorang wartawan.

NARADA 
(Kaget) Wartawan?! Kemari Ki LUrah!

Wartawan siap memotret Narada dan Yamadipati

NARADA 
Usir keluar wartawan itu! Usir!

RL TANPASEMBADA 
Wi! Njik! Tahu ta tugasmu? Bawa keluar dulu mas wartawan.

Sawi dan Genjik menyeret wartawan keluar. Wartawan meronta, tapi orang itu tak peduli.

NARADA 
Na,begitu. Aku paling anti kepada wartawan!
(Kepala Semi) Kudengar kamu ini sinden misuwur, kalau aku boleh tahu, siapa namamu?

SEMI 
Semi, sinuhun. Saya menghaturkan selamat datang kepada sang hyang dewa, mudah-mudahan salam saya ini diterima.

NARADA 
Kuterima, kuterima suratmu yang dulu!
(Kepada Lurah) Nah, ki Lurah, aku kepingin mendengar alunan suara sindenmu ini!

RL TANPASEMBADA 
Baiklah, sinuhun. Mi, itu artinya kamu disuruh nyinden.

SEMI 
Baiklah, Pak Lurah.

Semi mulai menyanyikan tembang. Ketika Semi selesai menyayi.

YAMADIPATI 
Rontok rasanya hatiku demi mendengar alunan tembang sinden ini. Wa…, sinden ini memang hebat, wa!

RL TANPASEMBADA 
Demikianlah yang bisa kami persembahkan kepada sinuhun. Kami rupanya ingin meminta restu sinuhun agar sinden kami bisa menang di festival nanti.

NARADA 
Kalau cuma restu, kuberi!. Tapi ada sesuatu yang lebih penting lagi, ki Lurah. Sang Hyang Adi Guru di khayangan memberikan titah padaku dan yayi Yamadipati ini untuk segera memboyong sindenmu, kubawa ke khayangan.

YAMADIPATI 
Wa, apa tidak sebaiknya Semi ini tetap saja di Marcapada. Ia orang Marcapada, hidup di Marcapada, tempatnya di Marcapada. Jangan dibawa ke khayangan, wa.

NARADA 
Hush! Jangan mlenca-mlence mulutmu, yayi. Ini bahaya! Baiklah, Ki Lurah, ini sudah kubawa surat perintah dan surat keputusannya.

RL TANPASEMBADA 
Tapi saya tidak mengerti. Kenapa tiba-tiba seperti ini!

NARADA 
Jangan ngomong panjang Lebar, terima saja ini!

RL TANPASEMBADA 
Menerima SP dan SK itu.

RL TANPASEMBADA 
Tapi mestinya kami harus berembug dulu dengan Semi, sinuhun.

NARADA 
Berembuglah sana. Berembug dan berembug itu kerja orang marcapada. Sana berembug sana!

RL TANPASEMBADA 
Bagaimana Mi? Ini sudah tidak bisa ditawar lagi, kamu harus ke khayangan. Artinya aku harus kehilangan kamu. Baiklah, terima saja ini Semi. Dan, hati-hati saja Mi.

Semi menerima SK dan SP. Lurah pergi. Narada mendekati Semi

NARADA 
Kami dewa-dewa di khayangan tahu apa yang harus dilakukan untukmu Semi. Khayangan akan menjadi tempatmu yang baru. Ingatlah, kehormatan orang Marcapada bisa diboyong ke khayangan.

SEMI 
Saya takut sinuhun.

NARADA 
Kenapa takut? Di khayangan kamu bisa mengembangkan kemampuanku yang hebat itu. Bagaimana Semi?

SEMI 
Saya bisa memutuskan, asal saya mesti berembug dulu dengan suamiku, sinuhun.

NARADA 
Berembug lagi? Baiklah, kamu boleh berembug dengan suamimu, tapi ingat, titah itu sudah keputusan dan tidak perlu kamu berjalan jauh ke rumah, kusebda kamu bisa langsung sampai di rumah! Alakazam!

Semi tiba-tiba sudah hadir di rumahnya. Panjang heran.

PANJANG 
Lho Semi, kenapa kamu sudah di rumah lagi ? Kamu urung menyanyi bersama pak Lurah ?

SEMI 
 Tidak kang. Aku pulang memang membawa kabar penting!

PANJANG 
Apa lagi?

SEMI 
 Ini kang, tadi ada utusan dari khayangan, bermaksud memboyong saya ke khayangan. Ini kang surat perintah dan keputusannya.

Panjang membaca. Setelah selesai, ia marah

PANJANG 
Tidak! Jangan Semi! Tempatmu bukan di khayangan! Tempatmu di sini! Di khayangan banyak wereng, banyak rayap. Kamu bakal digerogoti, jiwamu rusak. Kamu cuma bakal dipakai jadi kalangenan. Tidak Semi!

SEMI 
 Tapi di khayangan, aku bakal bisa berkembang lebih baik. Dewa-dewa bakal menggodogku, kang!

PANJANG 
Tidak! Kemampuanmu itu justru bakal sirna, oleh penyakit kesombongan khayangan! Tidak Semi!

SEMI Aku mesti berangkat, ini sudah keharusan, kang!

PANJANG Kamu mulai pertengkaran lagi? Edan!

Panjang masuk. Keluar membawa gelas berisi racun dan clurit

PANJANG Sekarang kalau kamu ndak nggugu suamimu, ini, ini, obat nyamuk di tangan kananku atau clurit di tangan kiriku.

SEMI 
 Aduh, kang! Jangan kang! Aku mohon jangan!

PANJANG 
Obat nyamuk atau clurit?

SEMI 
Jangan! Jangan kang!

Narada dan Yamadipati tiba-tiba masuk.

NARADA 
E… e… e… nanti dulu kisanak, jangan keburu nafsu! Dipikir dulu tindakan tololmu itu!

PANJANG 
Ash… pokoknya racun di tangan kananku clurit di tangan kiriku!

NARADA 
 E… nekad kamu ya? Kusebda clurit dan obat nyamuk jatuh! Alakazam!

Racun dan clurit yang dibawa Panjang jatuh.

PANJANG 
Lho kok jatuh? Ambil lagi!

NARADA 
Edan, nantang kamu ya?

PANJANG 
Kamu siapa? Berani-beraninya ikut campur urusanku?

NARADA 
Saya ini dewa, utusan sang Hyang Guru di khayangan!

PANJANG 
Dewa kok tidak tahu aturan, tidak tahu sopan santun. Masuk desa tanpa permisi, masuk rumah tanpa kula nuwun!

NARADA 
Saya diutus oleh sang hyang adi guru untuk menjemput sindenmu ini!

PANJANG 
Tidak bisa! Sinden ini isteriku, aku sendiri yang ngurus bukan cuma untuk dewa-dewa macam kamu! Kelancanganmu ini sudah melanggar tatanan desa! Aku harus laporkan ini pada pak Lurah!

NARADA 
E…, nanti dulu kisanak, nanti dulu!

PANJANG 
Tidak bisa! Aku harus lapor pak Lurah! Ayo Semi, ikut aku!

SEMI 
 Nanti dulu, kang, nanti dulu!

PANJANG 
(Menyeret istrinya) Assh… pokoknya ikut! Ayoh!

NARADA 
Kisanak, jangan gegabah, nanti dulu!
(Mengejar Semi dan suaminya).

YAMADIPATI 
(Menahan Narada) Jangan Wa. Biarkan mereka pergi! Itu adalah hak dan kewajiban mereka. Kita tidak bisa memaksakan kehendak kita kepada orang Marcapada, mereka bukan dewa seperti kita, Wa. Pulang saja Wa, pulang saja!

NARADA 
Angger Yamadipati, engkau seorang dewa yang menjadi kiblat orang Marcapada, tidak selayaknya itu diucapakan, sebab kiblat itu bukan sekedar harapan.

YAMADIPATI 
 Aduh Uwa Narada, kiblat itu sekarang telah menggelisahkan kita, Uwa tahu, kenapa kita diutus ke Marcapada bila memang khayangan sendiri hendak mencari kebijakan baru, dari Marcapada ini.

NARADA 
Angger Yamadipati, hendaklah kamu sabar, kamu ini hanya melihat satu sisi saja, nilai-nilai luhur kebijakan hidup tak hanya diperoleh dengan sekali melihat kenyataan, kamu butuh waktu untuk bisa mengerti!

YAMADIPATI 
Duh, uwa Narada, bagi saya tidak keliru untuk menemukan kebijakan sendiri untuk mendapat makna hidupku. Saya bukan mesin, diriku sendirilah yang menentukan kebijakan yang ada dalam sanubariku.

NARADA 
Sudah jadi hukum di khayangan, bahwa seorang dewa harus merencanakan keluhurannya. Dia adalah suri tauladan. Puncak harapan orang Marcapada.

YAMADIPATI 
Suri tauladan, tidak hanya keluar dari kedudukan yang tinggi. Suri tauladan keluar dari keluhuran hidup setiap orang. Ia tidak ditentukan, tapi keluar sendiri dari perilaku dan kebesaran jiwa. Marcapada ini lebih ragam untuk mencari kabijakan hidup dan mendewasakan diri. Sudah Wa, aku tdiak ingin kembali ke khayangan, tidak, aku tidak akan kembali ke khayangan. Sudah Wa, sudah wa! Sudah wa!.

Yamadipati pergi.

NARADA 
Tunggu, angger Yamadipati! Edan tenan! Baiklah, akan kuadukan kamu kepada sang hyang adi guru di khayangan.
(Terbang ke khayangan) Sang Hyang Adi Guru….!


SELESAI

Untuk mementaskan naskah ini silakan menghubungi penulis melalui email/facebook: herukm@yahoo.com
SINDHEN
Ditulis oleh : Heru Kesawa Murti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar