Sabtu, 31 Desember 2022

PRESIDEN KITA TERCINTA - Karya Agus Noor


Sinopsis :
Lakon ini berkisah tentang sebuah negeri republik yang sedang dilanda isu makar. Presiden dinyatakan menghilang. Ini membuat suasana negeri menjadi mencemaskan. Rasa tidak aman mendera. Ada kabar menyatakan Presiden ditahan dan diperlakukan tidak adil. Ada pula yang mengabarkan Presiden telah mati dieksekusi. Dalam situasi seperti itu, aparat keamanan segera memutuskan untuk mengadakan pemilihan presiden pengganti agar situasi negeri bisa terkendali. Keputusan aparat keamanan memunculkan reaksi baru. Banyak tokoh yang merasa paling pantas dan layak, ingin maju dalam pemilihan presiden pengganti. Seluruh rakyat diwajibkan untuk ikut dalam pemilihan presiden yang diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya itu.

Tentu saja, banyak tokoh ingin mengambil kesempatan dan keuntungan dalam proses pemilihan presiden. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai “proyek demokrasi” yang bisa membawa keuntungan sebesar-besarnya.

Agar pemilihan presiden berlangsung adil, maka siapa pun berhak memilih dan dipilih. Semua orang secara konstitusional diwajibkan untuk tak hanya memilih, tapi juga wajib dipilih jadi presiden. Para tokoh politik kemudian menghimpun kelompok-kelompok yang saling bersaing. Situasi menjadi membingungkan rakyat ketika para tokoh itu merasa paling pantas untuk jadi presiden. Berbagai cara dilakukan untuk saling menjatuhkan dengan cara saling melaporkan, menyebar fitnah dan membuat berita-berita hoax.

Ternyata hal yang tak terduga muncul, yang terpilih justru seorang petani dari kampung yang sama sekali tak dikenal sebelumnya. Petani itu sendiri sama sekali tak berambisi menjadi pemimpin. Ia tak mengerti, kenapa rakyat memilihnya. Ia semula menolak, tetapi malah diancam dihukum karena dianggap melawan undang-undang bila ia tak mau menjadi presiden. Era kepemimpinan presiden terpilih pun dimulai. Ketika ia semakin dicintai rakyatnya, intrik politik malah membuatnya merasa asing di lingkaran kekuasaan.


Sekeping Koin Wasiat

Ada kain terjuntai, menandai halaman belakang Istana Kepresidenan. Pada kain itu, tampak silhuet bayangan Kolonel Kalawa Mepaki yang sedang berlatih pedang, bermain anggar, dengan gerakan yang lincah, meski kakinya pincang. Ia begitu gesit memainkan pedangnya, seakan bertarung dengan musuh yang tak kelihatan.

Tuan Pitaya Mentala mengawasi, berdiri di dekat Lalita Maningka yang duduk dibawah naungan payung – semacam payung kebesaran yang indah – yang dipegangi seorang prajurit. Prajurit pembawa payung ini, nantinya akan selalu mengambil posisi memayungi Lalita Maningka, kemana pun ia bergerak.


Tuan Pitaya Mentala, 
“Dasar bahlul… Setiap hari ente berlatih, seakan-akan setiap saat musuh akan menikam ente dari balik kegelapan…”

Kolonel Kalawa Mepaki, 
“Musuh selalu berbahaya, karena ia bahkan bisa menyamar sebagai orang yang paling dekat.”

Tuan Pitaya Mentala, 
“Tapi kan ane sohib ente. Tidak mungkinlah kalau ane…”

Tiba-tiba Kolonel Kalawa keluar dari balik kain itu, dan langsung mengarahkan ujung pedangnya tepat di depan wajah Tuan Mitaya, membuat Tuan Pitaya langsung menghentikan ucapannya.

Kolonel Kalawa Mepaki, 
“Kita lihat saja… Ambil pedang Anda, Tuan Pitaya…”

Tuan Pitaya Mentala mencoba bersikap tenang, mencoba menghindar.

Kolonel Kalawa Mepaki, 
“Ambil pedang Anda, Tuan Pitaya!”

Tuan Pitaya Mentala, 
“Aduuuh, ente berlebihan, Kolonel… Ane kira, tak perlulah main-main seperti ini… Mubazir… Ada hal-hal yang lebih bersifat konstitusional yang musti kita lakukan. Kita musti menjalankan amanat konstitusi…”

Terasa kalau Tuan Pitaya nampak sekali ingin berkelit, menunda pertarungan. Tetapi pada saat itulah, Lalita Maningka sudah menyodorkan pedang padanya…

Lalita Maningka, 
“Bersikaplah layaknya laki-laki terhormat, Tuan Pitaya…”

Mau tak mau Tuan Pitaya Mentala menerima pedang itu. Dan begitu Tuan Pitaya sudah memegang pedang, Kolonel Kalawa langsung melakukan serangan. Tapi rupanya Tuan Pitaya cukup mahir juga memainkan pertarungan. Ia menghindar, dan kemudian memberikan serangan. Begitulah, mereka terus memainkan pedang selama percakapan ini.

Kolonel Kalawa Mepaki, 
“Gerakan yang lumayan untuk seorang yang terlalu banyak berfikir…”

Tuan Pitaya Mentala, 
“Kekuatan senjata bukan pada tenaga, Kolonel. Pikiranlah yang menggerakkan senjata…”

Tampak Kolonel Kalawa terdesak.


Tuan Pitaya Mentala, 
“Bahkan pikiran bisa jauh lebih kuat dari senjata, Kolonel…”

Kolonel Kalawa Mepaki, 
“Tergantung siapa yang memegang senjata. Saya faham bagaimana memainkan senjata, bahkan ketika musuh-musuh saya mengira saya lemah…”

Dan mendadak dengan begitu piawai Kolonel Kalawa membalikkan keadaan hingga kini ia mendikde permainan Tuan Pitaya, mendesaknya, bahkan cenderung mengejeknya. Kini Tuan Pitaya kerepotan menghindar menangkis serangan, dan terdesak. Keduanya berhenti, dengan pedang saling bersilangan…

Tuan Pitaya Mentala, 
“Ente tidak lemah…hanya sering gegabah. Keadaan ini tidak cukup diatasi dengan senjata, Kolonel. Itulah sebabnya ente membutuhkan ane… Kekuatan dan pikiran, seperti dua sisi keping keberuntungan yang ente miliki…”

Kemudian kembali keduanya saling memainkan pedangnya. Tampak keduanya seimbang dalam permainan. Sampai kemudian keduanya terlihat serempak melakukan serangan mematikan. Ujung pedang Kolonel Kalawa tepat mengarah di leher Tuan Pitaya. Sedang ujung pedang Tuan petaya tepat berada seinci di dada Kolonel Kawala.

Kolonel Kalawa Mepaki, 
“Hati-hati leher Anda, Tuan Pitaya…”

Tuan Pitaya Mentala, 
“Hati-hati jantung ente…”

Lalita Maningka langsung bertepuk tangan menyaksikan akhir permainan itu.


Lalita Maningka, 
“Laki-laki memang selalu ingin membuktikan dirinya paling hebat. Tapi nasib dua orang hebat akan selalu mengenaskan dalam pertarungan… Keduanya bisa sama-sama mati konyol… Saya kira, ada hal-hal mendesak yang harus kita matangkan, selain bertingkah konyol seperti itu.”

Tuan Pitaya Mentala, 
“Itulah yang tadi ingin ane katakan pada Kolonel. Secara konstitusi kita musti secepatnya melakukan tindakan-tindakan yang bersifat konstitusional…”

Lalita Maningka, 
“Hentikan omong kosong soal konstitusi, Tuan Pitaya! Saya sama sekali tak percaya!”

Kolonel Kalawa Mepaki, 
menyela cepat, “Nyonya Lalita Maningka… Nada bicara Nyonya seakan-akan Nyonya yang memberi perintah di sini!!”

Lalita Maningka, 
“Syukurlah pendengaran Anda masih baik, Kolonel. Apakah Anda mengharap saya duduk manis melihat ini semua? Ingat, Kolonel, bagaimana pun saya adalah istri syah Presiden almarhum…”

Tuan Pitaya Mentala, 
“Dan secara konstitusi mewarisi tapuk kekuasaan tertinggi bila Presiden berhalangan secara tetap…”

Kolonel Kalawa Mepaki,
 “Nyonya Lalita tidak percaya pada konstitusi, Tuan Pitaya!”

Lalita Maningka, 
“Kalau yang ini saya percaya, Kolonel…”

Kolonel Kalawa Mepaki tampak geram, lantas mengeluarkan koin keberuntungannya. Melempar lalu tersenyum demi melihat isyarat dari keping keberuntungannya itu.

Kolonel Kalawa Mepaki, 
“Saya hanya percaya, kalau ini hari keberuntungan saya!”

Lalita Maningka, 
“Anda memang beruntung, Kolonel, karena saya tetap percaya pada Anda…”

Kolonel Kalawa Mepaki, 
“Kepercayaan Nyonya pada saya, tentu saya hargai. Tetapi yang jauh lebih penting adalah kepercayaan rakyat pada saya.”

Lalita Maningka, 
“Dan dengan apa Anda akan memperoleh kepercayaan rakyat itu? Seribu batalion pasukan Anda, barangkali bisa menakut-nakuti mereka. Tapi peluru yang Anda miliki tidak akan cukup untuk menghabisi jutaan rakyat bila mereka terus-terusan membangkang. Karna itulah Anda membutuhkan saya, Kolonel. Karna sayalah yang bisa menenangkan mereka. Mereka menghormati, bahkan memuja saya, sebagai Ibu Suri, sebagai Ibu Negara. Mereka tidak berbondong-bondong mengepung Istana ini, karena mereka tahu saya mendukung Anda.”

Tuan Pitaya Mentala, 
“Dan secara konstitusional, ane-lah yang membenarkan tindakan ente…”

Lalita Maningka, 
“Cukup, Tuan Pitaya. Saya tak mau dengar soal konstitusi!”

Tuan Pitaya Mentala, 
“Tapi tadi Nyonya percaya konstitusi…”

Lalita Maningka, 
“Yang ini saya tidak percaya!”

Dengan gayanya yang anggun, penuh kuasa, Lalita Maningka, mendekati Kolonel Kalawa.


Lalita Maningka, 
“Saya membiarkan suami saya terbunuh, karena saya yakin ini jalan terbaik bagi Republik ini. Sebagai Presiden dan suami, ia sudah tua. Ia sudah kehilangan arah. Kekuasaanya mulai rapuh… Ketika banyak kasuk-kusuk di kalangan Perwira, saya menaruh harapan besar pada kamu. Saat itu, aku yakin, kamu banteng muda yang dapat diandalkan. Maka, jari yang lembut ini pun diam-diam mulai melapangkan jalan buatmu. Apa kau tidak merasakan itu, Kolonel? Kamu, saat ini pasti masih menjadi Kopral ingusan, bila saya tak mengatur semuanya. Saya lakukan semua itu, Kolonel, karena saya pikir itu cara terbaik menyelamatkan negara ini dari perang saudara…”

Selama Nyonya Lalita Maningka bicara penuh aura kuasa seperti itu, Kolonel Kalawa Mepaki mencoba menutupi perasaannya dengan memain-mainkan koinnya. Melempar menangkap koin itu terus menerus.


Lalita Maningka, 
“Seperti Paman Gober, kamu boleh mempercayai koin keberuntunganmu. Tapi sayalah Evita Peron Republik ini. Yang membuat rakyat percaya pada mimpi. Harapan. Sayalah yang selalu tampil membagi-bagikan makanan, memberi pakaian gratis, memeluk bayi-bayi mereka yang busung lapar… Saya Ibu Negara yang mempesona mereka, Kolonel. Kalau Anda butuh kepercayaan rakyat, maka Anda membutuhkan kepercayaan saya!”

Tuan Pitaya Mentala, 
“Karna itulah, Kolonel…, mari kita bermusyawaroh tanpa su’udzon. Ada beberapa soal yang musti dibereskan. Berdasarkan konstitusi…”

Kolonel Kalawa Mepaki, 
“Langsung pada pokok perkara, Tuan Pitaya!!”

Tuan Pitaya Mentala, 
Oh, iya, iya… Langkah konstitusional pertama, ialah mengangkat beberapa Menteri…”

Tuan Pitaya menyerahkan selembar daftar pada Kolonel Kalawa.

Tuan Pitaya Mentala, 
“Ane sudah menyusunnya. Tingal ente paraf. Yang nomor wahid adalah Kementerian Sumber Daya Moral dan Agama. Ente jangan sampai salah pilih mengangkat Menteri ini…”

Lalita Maningka, 
“Siapa calonnya?”

Tuan Pitaya Mentala, 
“Sudah barang tentu, yang paling pantas menjadi Menteri Sumber Daya Moral dan Agama adalah sohib ane: Habib Utawi Kadosta. Dia pemimpin spiritual kondang, Ketua Front Pembela Agama, pemegang monopoli kebenaran, dan tercatat sebagai satu-satunya calon penghuni surga dari kota kita… Bagaimana, Kolonel…”

Kolonel Kalawa melempar koinnya, melihat apa yang keluar di koin itu.


Kolonel Kalawa Mepaki, 
“Setuju!”

Tuan Pitaya Mentala, 
“Yang kedua soal Menteri Pendidikan…”

Kolonel Kalawa Mepaki, 
“Tidak perlu ada Kementerian Pendidikan. Cuman ngabis-ngabisin anggaran!”

Tuan Pitaya Mentala, 
“Tapi secara konstitusi, kita memang wajib mengalokasikan 20 persen anggaran untuk pendidikan.”

Kolonel Kalawa Mepaki, 
“Tidak perduli konstitusi! Pokoknya hapus Kementrian Pendidikan! Saya lebih suka Kementrian Sosial…”

Tuan Pitaya Mentala, 
“Lho, justru Kementrian Sosial ini yang sudah dihapus oleh Presiden lama kita…”

Kolonel Kalawa Mepaki, 
“Kalau begitu, hidupkan lagi! Begitu saja kok repot!” Melemparkan koinnya, “Setuju!!”

Tuan Pitaya Mentala, 
“Nama-nama kandidat menteri dan pejabat lainnya, bisa ente simak di daftar itu…”

Kemudian Kolonel Kalawa Mepaki, 
menyebut beberapa nama, mengomentarinya bersama Tuan Pitaya Mentala. Di sinilah, adegan bisa bermain-main dengan menyebut nama-nama penonton yang hadir. Dan Kolonel Kalawa selalu melemparkan koinnya, dan berseru, “Setuju!”

Kolonel Kalawa Mepaki, 
“Sekarang, bagaimana dengan Kursi Nomer Satu…”

Tuan Pitaya Mentala, 
“Beradasarkan konstitusi, secepatnya kita musti melaksanakan Pemilu…”

Kolonel Kalawa Mepaki, 
mengeram marah, “Anda meragukan kemampuan saya, Tuan Pitaya?!”

Tuan Pitaya Mentala, 
“Haqul yakin, Kolonel, ene percaya ama ente. Tapi konstitusi Republik ini mengatakan kalo Negara ini musti menjadi Negara yang tampak demokratis. Ente musti mahfum itu… Apa kata dunia, kalau kita tidak menyelenggarakan Pemilu. Bisa dianggap junta militer Republik ini… Rakyat pasti bereaksi keras!”

Lalita Maningka, 
“Dan kita bisa kena embargo internasional, Kolonel…”

Kolonel Kalawa Mepaki, 
menatap penuh kecurigaan, “Saya mulai mencium bau pengkhiatan…

Tuan Pitaya Mentala, 
“Ente jalan salah faham, Kolonel… Ente-lah kunci semua ini. Tetapi ente juga mesti tabayun, bagaimana ente musti memakai kunci itu. Ane sama sekali tak tertarik ama Kursi Nomer Satu. Ane pikir, bukan siapa yang duduk yang terpenting. Tapi siapa yang mengendalikan yang duduk dikursi itu…”

Lalita Maningka, 
“Seperti permainan bayang-bayang, Kolonel…”

Tuan Pitaya Mentala, 
“Soheh! Soheh! Persis seperti itu…”

Tuan Pitaya Mentala mendekati Kolonel Kalawa Mepaki, dengan gaya diplomat ulung yang ingin memberikan pengertian.


Tuan Pitaya Mentala, 
“Dulu, semasa kecil, ane suka sekali bermain bayang-bayang…”

Tuan Pitaya lalu mulai memainkan tanggannya, seperti kanak-kanak yang bermain membuat bayang-bayang ditembok. Tangan Tuan Pitaya membuat gambaran burung yang terbang, kepala anjing, dan bermacam permainan bayang-bayang. Pada saat inilah, pada kain yang menjuntai itu, muncul bayang-bayang tangan Tuan Pitaya. Secara tekhnis, bayang-bayang pada kain itu bisa dimainkan oleh aktor pendukung atau kru panggung, dengan mengikuti gerak tangan Tuan Pitaya. Tetapi, bisa saja, secara komedis, sesekali bayangan pada layar itu justru berbeda dengan gerakan tangan Tuan Pitaya.

Tuan Pitaya Mentala, 
“Orang akan melihat gerak bayang-bayang itu, tetapi lupa, pada yang menggerakkannya. Bayang-bayang itu seperti hidup, padahal kitalah yang memainkan. Itulah kenapa seorang jagoan tembak bisa menembak lebih cepat dari bayangannya. Itulah ilusi bayangan, Kolonel! Kita mesti menciptakan ilusi itu. Memilih orang yang mau menjadi ilusi itu…”

Adegan permainan bayangan itu selesai…


Tuan Pitaya Mentala, 
“Itulah manfaat mengadakan Pemilu itu, Kolonel. Menciptakan ilusi, bahwa kita menjalankan demokrasi. Nanti, kita ciptakan sebayak mungkin partai. Biarkan setiap orang membikin partai. Partai besar, partai kecil, partai Impian Jaya Ancol… Nah, lalu biarkan setiap orang mencalonkan diri jadi Presiden. Kalau perlu, secara konstitusi kita tetapkan, bahwa wajib hukumnya bagia siapa pun untuk mencalonkan diri jadi Presiden. Mereka boleh menjadi calon idependen bagi dirinya sendiri. Biarkan setiap orang merasa yakin mampu jadi Presiden. Sudah pasti ini lebih banyak manfaatnya dari pada mudaratnya, Kolonel…”

Kolonel Kalawa menatap tajam Tuan Pitaya. Lalu dengan dingin mengarahkan ujung pedangnya ke wajah Tuan Pitaya, hingga Tuan Pitaya tampak kaget, tak menduga. Tapi mendadak Kolonel Kalawa Mepaki tertawa penuh kesenangan…

Kolonel Kalawa Mepaki, 
“Tidak percuma saya memelihara ular macam Anda, Tuan Pitaya…”

Pesta Para (Calon) Presiden


Musik kemeriahan membahana! Janur dan umbul-umbul menandai kemeriahan pesta. Kota bersolek. Orang-orang berbaris dan bernyanyi. Sementara Kolonel Kalawa Mepaki dan Tuan Pitaya Mentala menyaksikan semua kemerihan itu.

Barisan Warga yang Bernyanyi,

Demokrasi…demokrasi…
Ini Pesta Demokrasi
Demokrasi… demokrasi…
Bergabunglah bersama
mengubah keadaan
Ayo mendaftarlah
Menjadi Presiden yang mulia
Kita tak cuma memilih
Tapi juga berhak dipilih.
Daftarkan ayo daftarkan
Siapa saja boleh ikut serta
Menjadi Presiden kita tercinta
Siapa tahu nasib sedang mujur
Anda terpilih dan hidup makmur
Daftarkan ayo daftarkan
Dartarkan ayo segera…

Kolonel Kalawa Mepaki bersama Tuan Pitaya Mentala menyaksikan semua keramaian itu dari suatu tempat. Orang-orang riang bernyanyi, berbaris, larut dalam kegemberiraan perayaan. Beberapa serdadu tampak bertugas sebagai Panitia Penerimaan Pendaftaran itu. Sampai kemudian Tuan Pitaya Mentala, memberikan pidato sambutan…

Tuan Pitaya Mentala, 
“Saudara-saudara sebangsa setanah air. Sebagaimana diamanatkan konstitusi, setiap warga Negara berhak memilih dan dipilih jadi Presiden. Oleh karna itulah, siapa pun, baik yang merasa sehat mau pun tidak sehat jasmani dan rohaninya, wajib mendaftarkan dirinya. Yang tua, yang muda, ayo silahkan mencalonkan diri menjadi Presiden. Inilah saatnya ente-ente mengiklankan diri jadi pemimpin. Pendaftaran bisa secara langsung, atau lewat SMS. Tinggal ketik REG spasi PILPRES kirim ke Po Box 212. Keputusan pemenang bersifat mutlak, dan tidak bisa diganggu gugat. Barangsiapa yang tidak mencalonkan dan mendaftarkan dirinya menjadi Presiden, maka akan dianggap membanggkang dan merongrong stabilitas Negara. Nah, sekarang silakan ente-ente pada mendaftar. Mohon antri yang tertib, jangan rebutan kayak antri minyak atau sembako.”

Dengan iringan musik, orang-orang itu pun antri mendaftar. Para Serdadu yang menjadi Petugas Pendaftaran, mencatat, memeriksa mulut atau mata atau ketiak orang-orang yang mendaftar itu. Begitu selesai, orang itu langsung berjalan menuju ke arah dimana Kolonel Kalawa dan Tuan Pitaya berada. Tuan Pitaya mengamati calon di depannya itu dengan ketelitian juru taksir profesional pegadaian. Atau mengingatkan pada blantik sapi yang dengan teleti mengamati sapi yang hendak dibelinya. Sementara Kolenel Kalawa Mepaki langsung melemparkan koinnya, untuk memutuskan calon itu…

Kolonel Kalawa Mepaki, 
“Gagal!”

Lalu orang itu segera pergi, dan dilanjutkan giliran orang di belakangnya.

Kolonel Kalawa Mepaki, 
memainkan koinya, “Gagal!”

Dan orang itu pun segera pergi, dilanjutkan giliran orang di belakangnya.

Kolonel Kalawa Mepaki, 
memainkan koinya, “Gagal!”

Begitu seterusnya, Kolonel Kalawa selalu melemparkan koinnya dan berteriak, “Gagal!”, sementara orang-orang berbaris antri, hingga tampak seperti sebuah prosesi pemilihan dengan segala kelucuannya. Ada juga orang yang setelah dinyatakan gagal, kemudian balik kembali ikut antri.

Tapi mendadak orang-orang yang tengah antri itu menjadi ketakutan ketika muncul Awuk. Seperti anjing yang ingin diperhatikan, Awuk pun menggonggong ke arah antrian orang-orang itu…


Awuk, 
“Hai…Haik… Hai…Haik… Haik…”

Orang-orang mencoba menyingkir, menghindari Awuk setiapkali ia mendekat dan menyalak. Tuan Pitaya Mentala segera mencoba mengatasi keadaan.

Tuan Pitaya Mentala, 
mendekati Awuk, “Berdasarkan konstitusi, anjing dilarang ikut Pemilu! Pergi! Pergi!”

Tuan Pitaya Mentala segera menyambit Awuk dengan batu. Awuk melolong kesakitan. Dan segera, orang-orang pun ramai-ramai melempari Awuk hingga Awuk terbirit-birit ketakutan. Setalah itu kembali musik menghentak. Kembali orang-orang bernyanyi rampak.


Nyanyian Orang-orang,
Daftarkan ayo daftarkan
Siapa saja boleh ikut serta
Menjadi Presiden kita tercinta
Siapa tahu nasib sedang mujur
Anda terpilih dan hidup makmur
Daftarkan ayo daftarkan
Dartarkan ayo segera…
Kemudian sayup dan menghilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar