Sinopsis
Drama yang di terjemahkan oleh WS Rendra ini tergolong absurd, mulai dari penerapan konsep yang realis dituntut langsung dalam pementasannya. Drama ini menceritakan tentang dua orang tua telah berusia dua abad menunggu sebuah kereta kencana. Kereta kencana dengan sepuluh ekor kuda, satu warna. Lama ditunggu, kereta itu tal juga tiba. Sementara suara- suara yang mengatakan mereka akan segera dijemput terus saja berkumandang. Membuat mereka merasa semakin dekat dengan kematian. Dua orang yang kesepian ini tidak mempunyai anak, dua orang yang memiliki kejayaan masa lalu namun dimasa tuanya hanya bisa berkhayal agar kematian yang segera menjemput mereka berdua dapat menjadi suatu yang bermakna, namun tetap saja absurd.
Drama ini menjadi sangat menarik dikarenakan penulisan yang mengambil latar belakang keadaan masa tua yang tidak kunjung habis. Selalu dilalui dengan monotone namun terlihat dimana penulis menyampaikan isi yang sesungguhnya tetang kehidupan yang menjadi lebih terkesan membosankan. Dua orang tua ini tidak terlihat mengeluh dalam menunggu kereta yang tak kunjung menjemputnya. Hari – hari dilalui dengan duduk disebuah kursi goyang. Si Nenek bercanda mesra dengan Kakek. Tak jarang mereka membahas kembali masa lalu yang terlewat sudah. Kakek selalu bercumbu rayu, terkadang merayu sedikit, dan selalau diakhiri dengan kebosanan. Bilamana sudah bosan, mereka kembali bernostalgia, sesekali melihat kejendela, apakah sudah datang kereta yang mereka tunggu. Dua orang tua itu tak beda halnya seperti bermain main. Mereka saling membangun pendirian, menghibur masing-masing, bercanda tertawa, bersenda guarau, sampai pertengkaran tak jarang menghiasi kesepian mereka.
` Setelah berlalu, mereka hanyalah terdiam terpaku menunggu. Kebosanan semakin menjadi, mereka kembali berfikir tentang kehidupan kedepannya. Melihat jendela kembali, dan tak datang pula. Percakapan yang hanya melibatkan dua orang ini sangat tidak membosankan, diakarenakan bahasa dari drama ini sangatlah indah dan berbagi kiasan bahasa yang bervariasi.
Puncak dari drama ini, tak kala mereka benar – benar jenuh. Lalu saling mencerca satu sama lain. Pertengkaran semakin menjadi. Ditengah suasana malam yang mencekam. Mereka saling menyalahkan dan beradu argument, selalu terkekang dalam ruangan dan jendela merepat mempercepat ataukah memperlambat waktu kematian mereka. Sungguh kesepian dan kebosannan yang selalu mengiasi drama ini.
Pertengkaran berakhir ketika Kakek mendapat serang jantung, lalu sekejap tergelatak di kursi goyangnya yang telah tua seperti umurnya. Sontak Nenek sangat terpukul, lalu melakukan berbagai cara agar Kakek dapat tersadar kembali. Nenek pun berdiaolog snediri, meminang dan bernostalgia kisah cintanya dengan Kakek. Sesekali Nenek melihat jendela, kereta kencana belum juga tiba.
Ditengah dialog Nenek, tiba – tiba Kakek tersdar, dan kembali bercengkarama dengan Nenek, Kakek merayu mesra Nenek, persis ketika Kakek melamar Nenek. Mereka kembali bercanda, bermimpi, bernostalgia. Tak jarang Kakek menuturkan mimpinya ketika kedarannya tak terkendali. Dia membayangkan sebuah kereta kenca menghampiri kediaman mereka yang sederhana, hayalah kursi tua pemanis ruangan tersebut, perabotan rumah yang lain sudah using, dan tak dapat dipergunakan lagi.
Bergitulah keseharian hidup meraka yang sudah tua tanpa dibuahi seorang anak. Kesepian tiada tara menlanda kehidupannya. Selalu kejadian tersebut diulang-ulang. Sampai pada akhrinya, kerata yang mereka tunggu hanyalah sebuah ilusi yang tak pasti. Ilusi yang hanya ada dalam imajinasi orang tua yang menunggu ajal. Ajal layaknya kereta kencana yang emnjemput mereka menuju alam-Nya. Suasan haru, selalu menjadi berbincangan dan mewarnai suasana drama ini.
Hikmah yang terkadung didalamnya sungguhlah mendasar, mulai dengan sang Nenek yang setia kepada Kakek. Begitupula Kakek selalu menghibur Nenek, dengan rayuannya. Semua berjalan sesuai kehendak mereka dan terjadi begitu saja dengan kesetiaan, cinta kasih sepasang manusia yang sama – sama menatap ajal. Namun kereta yang ditunggu tak kunjung tiba, mereka kembali bercakap, sampai sang waktu merapuhkan jalan mereka menuju yang Esa..
KERETA KENCANA
( Les Chaises )
Karya : Eugene Ionesco
Terjemahan : W.S. Rendra
( WAKTU LAYAR DIBUKA PANGGUNG GELAP DAN SUNYI, KEMUDIAN TERDENGAR SUARA)
………………… Wahai, Wahai……………….. Dengarlah engkau dua orang tua yang selalu bergandengan, dan bercinta, sementara siang dan malam berkejaran dua abad lamanya.
Wahai, wahai dengarlah !
Aku memanggilmu. Datanglah berdua bagai dua ekor burung dara. Akan kukirimkan kereta kencana untuk menyambut engkau berdua. Bila bulan telah luput dari mata angin, musim gugur menampari pepohonan dan daun-daun yang rebah berpusingan.
Wahai, wahai !
Di tengah malam di hari ini akan kukirimkan kereta kencanaa untuk menyambut engkau berdua. Kereta kencana, 10 kuda 1 warna.
( EMPAT KETUKAN, SETELAH ITU NENEK MASUK DENGAN LILIN MENYALA. DUHAI GUGUPNYA)
NENEK : Henry, engkaukah itu ?
Henry….. ah…. dari mana engkau sayang ?
( NENEK BERJALAN DENGAN LILIN MENYALA, IA DUDUK DI KURSI BAGUS TANPA SANDARAN, DAN MEMBISU )
NENEK : (MELETAKKAN LILIN KE MEJA ) Henry, dari mana engkau ? Kenapa diam saja ? saya mencarimu, ada apa dengan engkau ? Ayolah jangan diam saja ? Henry apakah kau tadi yang bersuara keras ?
KAKEK : ( MENGGELENGKAN KEPALA BAGAI TERMENUNG )
NENEK : Sakitkah engkau ? Ayolah jangan diam saja. Nyalakan lampu listriknya. Di kamar ini dan di kamar tidur kita saja yang ada lampu listriknya, dikamar lain sudah rusak semuanya. Oh Tuhan……. Alangkah bobroknya rumah kita ini. Baiklah. Ayolah nyalakan lampu listriknya Henry.
(KAKEK TETAP MEMBATU, NENEK LALU PERGI MENYALAKAN LAMPU. LAMPU MENYALA HIJAU, NENEK TERKEJUT )
NENEK : Kenapa sayang, kenapa? (MENGAMBIL LILIN KAKEK, MENARUHNYA KE SEBELAH LILIN NENEK, LALU MEMADAMKAN KEDUA LILIN TADI) Apakah kau sakit ? Oh, jangan membingungkan saya, apa kau tadi berteriak keras ?
KAKEK : ( MENGGELENGKAN KEPALA )
NENEK : Saya mendengarkan suara.
KAKEK : Saya juga.
NENEK : Kau juga ? Suara apa ?
KAKEK : Suara yang dulu lagi. Aku mendengar suara yang dulu lagi.
NENEK : Aku juga mendengarnya.
KAKEK : Suara yang berulang kali datang.
NENEK : Ya ! Suara yang dulu.
KAKEK : Angin bertiup keras.
NENEK : Ya !
KAKEK : Lalu ketukan pintu.
NENEK : Ya !
KAKEK : Tapi kali ini ada tambahannya.
NENEK : ?????
KAKEK : Suara orang berkata. ( DIAM SEJENAK)
NENEK : Jadi kau juga mendengarnya ? Cobalah kau katakan bagaimana mendengar kata itu.
KAKEK : Kita berdua mendapat panggilan.
NENEK : Jadi kau pikir panggilan itu untuk kita berdua ?
KAKEK : Dau orang tua yang dua abad usianya, siap lagi kalau bukan kita ? Baru dua hari yang lalu aku merayakan ulang tahun yang ke 200.
NENEK : Coba menurut kau bagaimana kau mendengar suara itu ?
KAKEK : Tengah malam nanti, apabila angin mendayu dan bulan luput dari mata. Akan datang sebuah kereta kencana untuk menyambut kita berdua. Waktu itu aku sedang mencari-cari buku harianku di kamar perpustakaan, lalu kudengar suara itu isinya kurang lebih begitu, tapi aku tak tahu bagaimana persisnya.
NENEK : Aku tahu, aku juga mendengarnya. Engkau dua orang tua yang selalu bergandengan tangan dan bercinta, sementara siang dan malam berkejaran dua abad lamanya.
Wahai…wahai…. Dengarlah aku memanggilmu, datanglah berdua bagai dua ekor burung dara. Akan kukirimkan kereta kencana untuk menjemput kau berdua. Bila bulan telah luput dari mata angin. Musim gugur menampari pepohonan dan daun-daunan yang berpusing.
Wahai….wahai….. di tengah malam di hari ini akan kukirimkan kereta kencana. Kereta kencana 10 kuda 1 warna.
KAKEK : Jadi kau dengar suaranya ? Sementara mendengar itu semua.
NENEK : Jantungku berkeridutan, penyakit yang lama kembali lagi.
KAKEK : Aku juga, penyakitku kembali lagi, tubuhku berkeringat dan nafasku sesak.
NENEK : Tahukah kau artinya semua ini ?
KAKEK : Ya ! Malam ini kita akan mati bersama.
(HENING, KAKEK MELANGKAH KE JENDELA DAN MEMBUKANYA)
NENEK : Kenapa kau buka jendela itu ? Hawa di luar sangat dingin.
KAKEK : Malam musim gugur.
NENEK : Kau nanti masuk angin.
KAKEK : Bintang bertebaran dan bulan nampak pucat, sebentar lagi akan datang angin-angin itu menbawa mendung, dan mendung itu akan membawa bulan luput dari pandang mata.
NENEK : Tutuplah jendela itu.
( KAKEK MENUTUP JENDELA, MENUJU KURSI PIANO, LALU DUDUK )
KAKEK : Aku merasa kosong.
NENEK : Angin buruk gampang membuatmu sakit, sayang.
KAKEK : Kita terlalu hidup, dan terlalu lama memeras tenaga untuk mengisi umur kita yang panjang ini. Berapa kali sajakah kita mengharap mati ? Tiap datang ketukan pintu, kita berpikir, inikah saatnya ? Tapi kita selalu salah duga.
NENEK : Tapi kali ini kita tidak akan salah duga.
KAKEK : Pasti, pasti tidak akan salah lagi. Setelah akan datang sungguh saat ini, beginilah rasanya.
NENEK : Apakah kau takut ?
KAKEK : Tak tahu, dan kau ?
NENEK : Tak tahu. Tapi sedihkah kau ?
KAKEK : Tidak. Sedihkah kau ?
NENEK : Saya kira tidak, aku tak tahu.
KAKEK : Tak tahu, itulah jawaban yang paling tepat. Kita balon yang berisi hawa. Tak takut, tak sedih, Cuma hawa yang hampa.
NENEK : Sebentar lagi takkan hampa-hampa juga. Kita sekali bisa mengisi hidup ini.
KAKEK : Aku merasa jemu dan lesu.
NENEK : Apa artinya kebudayaan kalau manusia tidak bisa menghibur dirinya.
KAKEK : Aku mau membuka jendela.
NENEK : Jangan, jangan sayang. Apakah kau akan bertingkah nakal lagi Henry ? Ah, kau terlalu banyak aku manjakan manis.
KAKEK : Aku tidak bertingkah, aku tidak berbuat apa-apa, hidupku sudah kosong.
NENEK : Jiwa dan akal lebih luas dari kejemuan. Kebudayaan kita harus menag dari kejemuan. Senyumlah sayang, senyum disaat seperti ini adalah kebudayaan.
KAKEK : Aku tidak mau tersenyum.
NENEK : Menyanyi ?
KAKEK : Tidak !
NENEK : Baiklah engkau seorang badut. (LAKUNYA SEPERTI BERKATA KEPADA ANAK KECIL)
KAKEK : Aku senang jadi badut. Ingatkah kau ketika aku masih mahasiswa? Aku pernah jadi juara lomba lawak.
NENEK : Tentu saja, engkau badut yang manis.
KAKEK : Manisku, aku sekarang badut.
NENEK : Badut yang pintar, bukan ?
KAKEK : Badut yang manja.
NENEK : Boleh, sekarang badut yang manja ingin apa ?
KAKEK : Saya ingin kau jadi layang-layang.
NENEK : Ini layang-layang (MENGEMBANGKAN TANGANNYA)
KAKEK : Uluuuuuur, tariiiiiiiiiiiiik, uluuuuuuuuuuur, tarik………….. uluuuuuuur-uluuuuuuuur…………. Ah putus.
(NENEK JATUH KE LANTAI, KAKEK TERTAWA SENANG )
NENEK : ( TERENGAH-ENGAH ) Wah, badutnya nakal. (TAPI NAMPAK NENEK SANGAT SENANG )
KAKEK : Hihihihihihihihihihi, lihatlah aku sendiri ketawa, kaulah badut dunia penghibur orang lain dan aku sendiri.
NENEK : (BERDIRI) Engkau tertawa dan mukamu segar seperti buah apel. Engkau mengalahkan kesempitan dan kekosonganmu, hiburan bukanlah pesta yang mahal. Hiburan sejati adalah kebijaksanaan (BERTEPUK TANGAN) Badutku, hore………. Hore……. (KAKEK MEMBUNGKUK HORMAT) Badut adalah raja kebudayaan (APPLAUSE DARI NENEK)
NENEK : Aku lelah sayang, maukah kau berbuat sesuatu untukku ?
KAKEK : Aku selalu bersedia sayang, Abunawas selalu bersedia.
NENEK : Tidak, engkau tidak lagi menjadi badut. Sekarang ganti jadilah Haodini main sulapan untuk saya.
KAKEK : Aku tidak mau. Tanganku yang tua tidak tangkas lagi main sulapan.
NENEK : Kalau begitu jadilah pagi hari.
KAKEK : Pagi hari manisku ?
NENEK : Ya ! Pagi hari.
KAKEK : Baiklah ini pagi hari. (MENGGAMBARKAN PAGI HARI DENGAN GERAK TANGAN) Pagi hari manisku.
NENEK : Terima kasih, hebat sekali, engkau sangat pandai, engkau mestinya jadi jendral, kalau engkau punya kemauan mestinya kau sudah jadi jendral sekarang.
KAKEK : Aku bukanlah jendral, aku hanya seorang profesor yang dilupakan.
NENEK : Tapi dulu kau pernah bergerilya, berjuang untuk Perancis. Engkaulah adalah pahlawan Perancis, putra Jeanne d’arc. Pahlawanku, apakah kau mencintai aku ?
KAKEK : Aku mencintaimu dengan semangat musim semi yang abadi.
NENEK : Cantikkah aku pahlawanku.
KAKEK : Engkau gilang-gemilang bagai putri Zeba !
NENEK : Darahku berdeburan, pahlawanku. Dengan hormat berbuat sesuatu untukku.
KAKEK : Ciuman-ciuman sudah terlalu badani, tapi…………. (MENGHAMPIRI MEJA) Akan kusajikan minuman untuk membujuk darahmu Zeba. Tuan putrid berkenan minum apa ? (ASOSIASI SEOLAH-OLAH ADA BENDA-BENDA ITU) Anggur dari Malaga, Wysky Scotlandia, Baounnet ? Martini ? Atau Champagne dari Canada ?
NENEK : (TERSENYUM)
KAKEK : Aha,…… atau teh dari Timur ?
NENEK : Terima kasih, ya.
KAKEK : (BERBUAT SEOLAH-OLAH MELAYANI TEH) Aha ? Inilah cawan dari Tiongkok, hasil karya tangan berbakat dari lembah Yang Tse Kiang (MENGAMBIL CANGKIR). Cangkir dan cawan berhias naga. Naga-naga ini berwarna hijau, karena disanapun hijau bagai zamrut. (MENUANG TEH). Dan inilah the dari Assam. Tuan putri ingin gula berapa ?
NENEK : Dua !
KAKEK : (MEMASUKKAN GULA MENGADUKNYA DAN MEMBERIKANNYA KEPADA NENEK). Teh dari timur untuk putri Zeba.
NENEK : Terima kasih pahlawanku, (MINUM TEH). Lezat sekali ! Ah (BANGKIT MENUJU KURSI GOYANG) Apakah sang pahlawan menghendaki kue-kue dan panganan ? dan silahkan panganan ini. Ini namanya kue “Harapan Senja Kala” Meskipun sebenarnya tidak lebih dari kue Cherio ditambah vanili telor dan irisan buah apel. (MENGAMBIL CAWAN) Ini juga bikinan Perancis tanah air kita. (MENGAMBIL GARPU DAN MENYUGUHKANNYA KEPADA KAKEK) Ini buat putra dari Perancis, pahlawan dari Orleance.
KAKEK : Terima kasih putri Zeba (MAKAN KUE)
NENEK : Enak ?
KAKEK : Lezat sekali.
NENEK : Dulu kau pernah gemar makan kue Cherio, tapi kemudian kegemaranmu selalu berubah-ubah.
KAKEK : Kau pernah membuat bistik dari Jerman yang lezat untuk saya.
NENEK : Ah iya ! Waktu itu kita gemar piknik dan main tenis, kenapa kita jadi tua.
KAKEK : Karena bumi berputar, berputar……………….
NENEK : Kau pintar sekali, mestinya kau jadi jendral.
KAKEK : (TIBA-TIBA DENGAN LEMAS DUDUK DI LANTAI). Aku bukan jendral. Aku hanyalah profesor yang dilupakan, aku sampah di buang.
NENEK : Jangan begitu ! Ayolah ! Bangkit dari lantai.
KAKEK : Aku orang hina, tempatku di tanah.
NENEK : Tidak. yang di tanah cuma cacing, pahlawanku selalu berdiri di atas kedua kaki. Engkau pahlawan Perancis, engkau pernah berjuang dan berperang untuk Perancis, engkau pernah mendapatkan Legion d’honour, engkau harus berdiri.
KAKEK : Hidupku hampa dan sia-sia.
NENEK : Putra Perancis berdirilah !
KAKEK : Aku orang terkutuk, aku tak punya anak, hidupku 200 tahun dan tak punya anak.
NENEK : (TERPAKU). Dengan hormat, saya minta………… (MULAI MENANGIS) dengan hormat sayang, dengan hormat manisku. Oh ! Kita tak boleh menangis. Bulan akan luput dari mata, kereta kencan akan tiba, kita tak boleh menangis, kita punya kebudayaan, kita tak boleh menangis (TIBA-TIBA) Henryyyyy mari, inilah bayi kita menangis Henry.
KAKEK : (MENDEKAT, NENEK MULAI BERSENANDUNG LAGU CRADLE SONG) Siapa nama anak kita ?
NENEK : Jean Valjan (DIBACA ZYONG VALZYONG).
KAKEK : Jean Valjan dari Les Misserable ? Jadi ia laki-laki ?
NENEK : Ya, laki-laki. Ah, bayi kadang-kadang membingungkan apakah ia laki-laki atau perempuan. Lihatl;ah sayang, mulutnya seperti mulutmu.
KAKEK : Hidungnya seperti hidungmu.
NENEK : Cobalah dukung dia.
KAKEK : Tak mau.
KAKEK : Ayolah Henry. (KAKEK MENDUKUNG TAPI KELIRU) Ya Tuhan jangna begitu (MEREBUT BAYI DARI KAKEK). La, laaaaaaaala lililililili, lulululululu, bayi harus diperlakukan secara halus, ia sangat lemah seperti kupu-kupu yang baru ke luar dari kepompongnya, lililililili…… lulululululu……
KAKEK : Oh,….. oh,……. Oh,…….!
NENEK : Kenapa ?
KAKEK : Bayinya kencing !
NENEK : Oh, oh, (RIBUT) Bayi nakal (MELETAKKAN BAYINYA DIBUAIAN) Ia nakal seperti papanya (MENGANTIKAN POPOK BAYI). Kalau ia sudah besar ia akan menjadi Jendral. Henry, cobalah kau sekarang menimangnya.
KAKEK : Aku belum bisa, beri dia makan dulu.
NENEK : Lili………li……..lulululu…….lu…
KAKEK : Lalalalala…..lalalala…….laaaaaaaaaalala………
NENEK : Anakku sayang, bungaku sayang, bintangku sayang, boboklah. Boboklah, boboklah supaya lekas besar.
KAKEK : (MEMAINKAN BIBIRNYA). Brrrrrrrrr, Brrrrrrrrrrrrrrr, brrrrrrrr, papa pinta ya! Papa gagah ya! Papa lucu ya!
NENEK : Kau menimang dirimu sendiri, bukan bayinya.
KAKEK : (TETAP MEMAINKAN BIBIRNYA). Brrrrrrrrrr, brrrrrrrrrrr (TIBA-TIBA MENINGGALKAN BUAIAN). Ah, aku sudah bosan bayinya nangis saja.
NENEK : (PERGI DULU KE KURSI BAGUS). Sekarang kita main halma ?
KAKEK : Malas.
NENEK : Sekarang baiklah, kau sekarang mendongeng saja.
KAKEK : Mendongeng apa ? Serigala dengan anggur ?
NENEK : Tidak, sambungan yang lalu.
KAKEK : Baiklah kalau belum bosan……… maka setelah pengembaraan yang lama itu, sampailah kita kesebuah gerbang besi yang besar, kita telah basah kuyub. Berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan kehujanan, kita menggigil dan gigi gemeretukkan. Ini terjadi seratus dua puluh lima tahun yang lalu, ingatkah kau waktu kita minta dibukakan pintu, tapi mereka tak mau membukakannya. Dibalik gerbang itu ada padang rumput, dan ada jalan berkerikil yang menuju ke sebuah puri. Maka puri itu di kelilingi oleh kebun dan taman, dan taman itu penuh dengan bunga anggrek dan gladiol……. Kita tak diperkenankan masuk, kita harus mengembara lagi, 125 tahun lagi. Kita tiduri kota, seluruh ibu kota di dunia. New York, New Delhi, Angkara, Peking, Madrid, Jakarta……….
NENEK : Kota yang indah bukan ?
KAKEK : Lambang kebudayaan.
NENEK : Tapi London telah hancur…………
KAKEK : London hancur, Madrid hancur, Moskow jadi padang belantara, di Berlin tumbuh semak belukar lebat, dan tak terduga New York telah menjadi rawa.
NENEK : Dan Paris, manisku ? Paris yang dulu kau bela dengan senjata itu ?
KAKEK : Dan Paris kota yang tercinta itu telah hancur, kota yang jaya itu telah lebur manisku. Batu bata di atas batu bata telah punah.Eifel terjungkir balik, Arc de Triumph hilang dengan jejaknya dan Noterdam dun Paris telah terlibat oleh sangkala, hanya tinggal sebuah lagu di kota itu.
NENEK : Sebuah lagu ?
KAKEK : Sebuah lagu buaian, sebuah perumpamaan.
NENEK : Kota yang malang
KAKEK : Kota tercinta yang malang.
(PINTU DIKETUK KERAS-KERAS, NENEK DAN KAKEK TERKEJUT)
NENEK : Ada tamu.
KAKEK : Apakah bulan sudah luput dari pandangan mata ?
(KETUKAN PINTU)
NENEK : Bukalah pintu.
KAKEK : Apakah itu betul-betul tamu?
(KETUKAN PINTU)
NENEK : Putra Perancis, bukalah pintu.
(KAKEK MEMBUKA PINTU, TERKEJUT)
KAKEK : Perdana Menteri !
NENEK : Perdana Menteri ! (MENYAMBUT DENGAN GEMBIRA)
KAKEK : Ya, Perdana Menteri. Silahkan masuk yang mulia (ABSTRAK. KAKEK MEMBETULKAN PAKAIANYA, MEMBAWA TAMUNYA KE RUANG TENGAH ) Yang mulya inilah istri saya.
NENEK : Yang mulya.
KAKEK : Maafkanlah Yang mulya, harap topinya di bawa saja, di sini tidak ada kapstok, mantelnya juga harap dibawa saja.
NENEK : Maafkanlah keadaan rumah ini.
KAKEK : Semuanya sudah dimakan oleh sangkala. Rumah terlalu besar, orangnya terlalu kecil, tambah perabot rumah sudah punah. Tinggal kami berdua saja yang tinggal di rumah, sebagai dua ekor tikus yang pengap.
NENEK : Matahari menjahui kami.
KAKEK : Kami ini tikus yang tidak dikehendaki orang lagi.
NENEK : Silahkan duduk (MENUNJUK KE KURSI BAGUS). Bagaimana ?
KAKEK : Oh ? Paduka Perdana Menteri ingin duduk di kursi goyang. Silahkan Yang mulya, ya silahkan. (BERHENTI SEJENAK). Kami berdua mengucapkan terima kasih atas kunjungan paduka, yang berarti kehormatan bagi kami.
NENEK : Kunjungan paduka membuat kami bangga dan mendapatkan diri kami.
KAKEK : Oh ya, betul ! Sebenarnya dulu para perdana menteri suka mengunjungi kami. Ya perdana menteri Inggris, India, dan juga Khaisar Jepang, presiden America, Presiden Philipina dan Sekretaris PBB pernah datang mengunjungi kami.
Apa ? Oh ya, mereka datang meminta nasehat saya, mengenai urusan pemerinatahan. Pengadilan, Liberalisme, ataupun perlucutan senjata (MENJELASKAN).
Bagaimana ? Tidak, tidak…… saya tidak memberi nasehat, tak ada gunanya……… saya hanya memberi teka-teki saja.
NENEK : Tetapi sekarang dunia telah melupakan (SEJENAK). Ia telah ditindas roda jaman.
KAKEK : Begitu Paduka…………. Oh ya, terima kasih, saya sangat bersuka bahwa paduka tidak melupakan saya………..
Apa ?……. Oooo ya, ………. Astaga, jadi paduka pernah jadi murid saya ? Pada waktu saya di Sorbonne ? Tahun berapa ? ….Oh ! Dan mata kuliah apa yang paduka ambil pada waktu itu? Filsafat, apa kimia, apa sejarah ? Oh ekonomi……. Ya saya pernah mengajar semua itu, dan juga enthnologi, dan ilmu pasti. Ya……… saya pernah juga mengajar di fakultas kedokteran, saya menjadi dokter bedah ketika umur saya 32 tahun (TERTAWA).
Tidak, tidak……… saya tidak pernah jadi mantri. Saya hanya punya satu muka, sebab itu saya tidak bisa jadi politikus. Tidak, saya tidak berpendapat bahwa politikus punya dua muka, tapi saya berpendapat bahwa politikus punya seribu muka.
NENEK : Henry, jagalah lidahmu !
KAKEK : (KEPADA YANG MULIA) Bagaimana ? Ya, ya….. Kalau paduka marah boleh saja. Oh…….begitu, syukurlah kalau paduka tidak marah. Paduka seorang yang baik, memang kalau begitu paduka tidak suka bolos kuliah, bukan ? (TERSENYUM). Paduka memang seorang yang baik, dan juga paduka tidak pernah melupakan gurunya. Itu bagus, baiklah…….. sekarang harap diberi tahu, apakah perlunya paduka berkunjung kemari ? (BERHENTI SEJENAK). Apakah sesuatu yang bisa saya tolong…… Paduka telah tahu hal itu ? …….. Apa ? Ya, ya kami tidak akan mengadakan pesta perpisahan…….. Apa ? Muridku yang lain akan datang ? Wah ! Manisku bagaimana ini, sebentar lagi akan banyak tamu datang…………. Mereka ingin mengadakan pertemuan perpisahan dengan kita.
NENEK : Ya, ya……. Tapi rumah kita sudah bobrok, tak ada perabotan kecuali yang ada ini. (KEPADA YANG MULIA) bagaiman Yang mulia ?……….. Ya, betul……… mereka akan berdiri, tetapi saya malu……..dan ruang yang lain lebih buruk lagi.
(PINTU DIKETUK DENGAN KERAS DAN BERULANGKALI)
KAKEK : Mereka datang.
NENEK : ?????? Mereka datang, buka pintu !
KAKEK : (MEMBUKA PINTU DAN TAK ADA YANG NAMPAK)
(NENEK DAN KAKEK SIBUK DENGAN PARA TAMU)
Selamat datang Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya (ORANG-ORANG MENGAJAK BERSALAMAN). Nah itu istriku (SEOLAH-OLAH MENGAJAK TAMU UNTUK BERSALAMAN, NELAYANI PARA TAMU). Selamat datang, selamat malam, sayang atap rumah ini sudah hancur, perabot sudah habis. (ORANG TERUS DATANG DAN MENYALAMI, DAN ADA BEBERAPA ANAK KECIL). Selamat datang Tuan-tuan, selamat datang Nyonya-nyonya, selamat datang manis, selamat datang sayang, selamat datang mensinyur kardinal, selamat datang senator, selamat datang jendral, selamat datang kapten……… Ahaaaaa, inilah bintang film Perancis yang paling cantik, selamat datang. (SELAMA INI NENEK MENYAMBUNG). Selamat datang Mastro, selamat datang, Ayooooo silahkan duduk, nyonya yang dekat kursi itu, silahkan duduk. (MEREKA MEMAKSA KEDUANYA DUDUK). Apa saya sendiri………. (KEPADA NENEK) Ah, bagaimana ini ? Tidak saya berdiri saja. Wah, wah,…….. Baiklah. (MEREKA DIDORONG DUDUK DI KURSI) Bagus,bagus…….
NENEK : Kita tidak pantas duduk Henry, biarlah mensinyur saja.
KAKEK : Ya, jendral saja.
NENEK : Ya, baiklah kalau kami dipaksa ! Apa boleh buat.
KAKEK : Oh ya, saya lupa. Tuan-tuan, dan nyonya-nyonya saya perkenalkan tamu saya yang pertama ialah………. Paduka……. Hei, di mana beliau tadi ? Di mana ? Oh ! Itu dia ! Wah, wah. Jadi sudah kenal ? Maafkanlah orang tua gampang lupa.
NENEK : Henry, ucapkanlah pidato selamat datang. Ya, ya…….. ia akan pidato nanti.
KAKEK : Ah, tidak usah saya……….
NENEK : Henry. Ingat etika.
KAKEK : Baiklah……… (SEGAN-SEGAN BERDIRI DAN PIDATO DENGAN LANCARNYA). Yang mulya mensinyur kardinal, para uskup, para guru, para maha guru, para jendral, para senator, tuan tukang kayu, tuan penjual kelontong, tuan tukang kebun, tuan tukang masak, anak-anak yang manis, dan ya semua saja hadirin yang saya sayangi.
Kami ucapkan selamat datang, saya tidak akan berpidato dengan panjang lebar, dan sukar, karena banyak anak-anak berada ditengah kita. Maka dari itu pembicaraan kita akan bersifat sepanjang umur saja. Sebentar lagi bulan akan luput dari mata, angin menderu dan jam menunjukan tengah malam. Lalu datanglah kereta kencana itu, saya berterima kasih bahwa para hadirin telah suka datang untuk mengucapkan kata perpisahan. Tuan-tuan , nyonya-nyonya………………… Apa ? Bagaimana …………. Anak-anakku ?………….. Ah saya tidak boleh memakai kata anakku, sebab ada para menteri, para kardinal……….. Bagaimana ? ………………. Ah, baiklah……….. Anak-anakku……………… (TIBA-TIBA MENANGIS).
NENEK : Kenapa sayang, kenapa ?
KAKEK : Lihatlah……………. Ini semua anak kita. Di saat ini setelah 170 tahun. Nanti akhirnya diperkenankan juga kita mempunyai anak sebanyak ini, merekalah bunga Perancis, ahli waris dari prinsip-prinsip perjuangan yang telah kubela dengan senjata, ahli waris dari lagu cinta yang abadi. Ahli waris yang menantang penindasan dan penjajahan…………….. Anak-anakku………. Bapak ingin berburu bersama putra-putranya, bapak ingin bermain catur bersama dengan putri-putrinya…………. Anak-anakku (MENANGIS DENGA HEBAT DAN KEHABISAN DAYA DAN TERTUNDUK).
NENEK : (MEMBELAI KAKEK) Henry sayang, pahlawanku sayang…………... diamlah, pada suatu saat saja………. Ketika langit di timur bersinar jingga, di atas air laut yang juga jingga, adalah seekor elang laut yang hendak terbang meninggalkan sarang. Ia mempunyai dua ekor anak, dan keduanya menanggis semuanya, mereka semuanya tidak suka ditinggalkan ibunya. Ibunya menerangkan, bahwa sebentar lagi akan lapar……….. kalau lapar perut jadi sakit, dan lemas. Sebab itu ibu harus pergi ke laut, di laut banyak ikan-ikan yang lezat denga sisik megkilat. Ibu akan menangkap ikan-ikan itu itu untuk sarapan pagi anak-anaknya………. Aanak-anakku berhentilah menangis ………… dan anak-anakkupun berhenti menangis………… (TANGIS KAKEK REDA)
(PINTU DIKETUK DENGAN KERAS)
NENEK : Ada tamu.
KAKEK : (BERDIRI) Siapa ? Buka pintu (PERINTAH)
(PINTU DIBUKA ORANG DAN NAMPAKNYA ORANG-ORANG RIBUT)
NENEK : Siapa yang datang? Siapa Kaisar?
KAKEK : Kaisar ?
NENEK : Apa di Perancis ada Kaisar ?
KAKEK : Minggir semua, minggir, (SEMUA MINGGIR DAN KAKEK MENUJU KE PINTU, IA BERHENTI, DAN KEMUDIAN JATUH KE LANTAI). Siapa tuan yangdatang melangkah dengan cahaya gilang-gemilang ? cahaya tuan menyilaukan mata, mata tuan bagaikan matahari tak kenal senja. Di depan tuan saya jatuh tak berdaya………………… Kaisar ? Bukan, …………… Kekaisaran dari bumi.
Kekaisaran dari kerajaan yang terang dan benar………….berlutut ………………. Semua berlutut ntuk kaisar (SEMUA BERLUTUT, KAKEK MEMPERSILAHKAN TAMUNYA).
Sri baginda, hamba tak pantas mendapat kunjungan paduka, tetapi berkata sepatah kata saja tentu akan menjadi bersih. Hamba harap diampunkan, sebab hamba terpaksa memasukkan baginda ke dunia dosa. Silahkan…………….. minggir, minggir Sri bagind akan duduk di kursi goyang. (SETELAH BAGINDA DUDUK KAKEK MENGANDENG NENEK MENGHADAP KAISAR). Baginda inilah istri hamba. Ayolah manisku, sri baginda mintakita berdiri (KEDUANYA BERDIRI BERGANDENGAN TANGAN). Kunjungan baginda berarti kehormatan bagi kami, lebih dari itu, suatu karunia. Ya, ya hamba sudah menduga arti kedatangan baginda………… ya seperti juga yang lain, memang hamba mengerti, kami telah menanti. Demikianlah………… bila bulan telah pudar………….. bila angin mendayu………… ya, bulan tengah malam pukul dua belas. Ya, hamba percaya percaya kereta itu pasti bagus, suatu kemulyaan. Tidak, kami tidak lagi berkisah, cahaya telah datang………… permohonan terakhir.
NENEK : Ya, ucapkan permohonan terakhir sayang.
KAKEK : Oh, apa yang kan aku ucapkan ? Sri baginda inilah permohonan kami yang terakhir.
Kaisar dari kerajaan benar dan terang, kami mohon ampun bagi yang mulya uskup, para jendral, para senator, para tukang kebun, para tukang kayu, para tukang masak, para anak-anak manusia, untuk istri yang tercinta, yang telah tua ini. Dan untuk seekor cacing tanah ialah hamba sendiri yang hina dina.
NENEK : Terima kasih baginda.
KAKEK : Terima kasih sri baginda.
NENEK : Kami mengerti.
KAKEK : Ya, kami mengerti dan siap
NENEK : Kami siap dan menanti.
KAKEK : Setiap detik
NENEK : (TIBA-TIBA)
Minggir, minggir sri baginda akan kembali, beri hormat dan minggir.
(ANGIN MASUK MENDERU. KAKEK DAN NENEK MEMEGANG PAKAIANNYA)
KAKEK : Angin.
NENEK : Angin yang menderu.
KAKEK : Minggir, minggir……………….
Saya mau mengantar sri baginda, beri aku jalan.
Minggir, hai………………………..
Mengapa kalian pergi bersama baginda ? Hai…………………
(HENING. MEREKA TELAH LENYAP SEMUA)
NENEK : Tutuplah pintu.
KAKEK : (TERHENTI DI PINTU) Langit mendung dan bulan lenyap dari mata.
NENEK : Dengan segenap kasih tutuplah pintu, manisku.
(KAKEK LALU MENUTUP PINTU, LALU PERGI KE KURSI GOYANG, NENEK KE KURSI PIANO)
NENEK : Apakah kau takut ?
KAKEK : Tidak, aku berdebar-debar.
NENEK : Perpisahan badan bukan berarti perpisahan jiwa.
KAKEK : Kita berdua tak akan dipisahkan.
NENEK : Henry, aku mencintaimu.
KAKEK : Kita adalah dua tangkai mawar yang saling berbelitan, akupun mencintaimu.
NENEK : Ingkatkah kau pohon landen di kebun rumah orang tuaku.
KAKEK : Pohon lenden itu manisku ?Adalah kipas raksasa yang mengagumkan.
NENEK : Kita berdua suka membaca buku di situ, waktu itu kau sedang gila belajar kesusastraan, kau ucapkan padaku sebuah sajak John Concord yang bernama Huesca.
KAKEK : Dan kau lalu mengucapkan sajak Van Ostajen yang bernama Malopee.
NENEK : Maukah kau mengucapkan Huesca sekali lagi untuk saya?
KAKEK : Maukah kau mengucapkan Malopee sekali lagi untuk saya ?
(NENEK BERDIRI MEMULAI, KAKEK MENYAMBUNG DENGA HUESCA)
NENEK : Terima kasih manisku.
(BUNYI KERETA)
NENEK : Dengarlah.
KAKEK : Kereta.
NENEK : Kereta kencana.
(TIBA-TIBA KEDUANYA MEMEGANG JANTUNGNYA DENGAN KESAKITAN, KAKEK MAJU DUA LANGKAH )
KAKEK : Putri Zeba, inilah teh dari Timur. (MAJU DUA LANGKAH)
NENEK : Inilah kue Cherio untuk putra Perancis.
(KEDUANYA RUBUH, LONCENG BERDENTANGAN DUA BELAS KALI. LAMPU PADAM DAN SELESAILAH SANDIWARA INI )
*****SELESAI*****
PPPG KESENIAN YOGYAKARTA
29 JANUARI 2004
makasih yh gan, tlah membantu saya, karena saya ada tugas
BalasHapusbagaimana kalau masalahnya di tempat rumah sakit, tetapi nenek nya ini sakit karena bertengkar dengan kakeknya, dan kebetulan juga nenek ini mengalami sakit darah tinggi? dan masalah nya ada 3 di rumah sakit..?
BalasHapusbacot
Hapus