Sinopsis
Naskah drama Petang di Taman karya Iwan Simatupang ini menceritakan tentang pertemuan empat orang manusia dengan latar belakang yang berbeda-beda di sebuah taman. Mereka tidak saling mengenal, tetapi taman adalah publik, sehingga semua orang merasa bebas untuk masuk ke dalam suatu obrolan. Di dalam pertemuan tersebut ada seorang pria yang sedang diam ditaman, ada seorang kakek yang kehilangan minah, ada seorang pria penjual balon yang memiliki hobi terhadap balon, dan ada seorang wanita yang memiliki anak tapi bukan nyonya.
Setiap karakter memiliki latar belakang yang berbeda, seperti penjual balon yang balonnya di curi kemudian menangis dan menolak ketika balon tersebut dibeli. Ketika ditanya bahwa balon itu adalah hobinya untuk mencintai balon. Lalu seorang wanita yang memilik anak tetapi bukan nyonya, yang meminta balo tersebut tetapi dipecahkan oleh seorang kakek, kemudian lelaki separuh baya marah karena sikap kakek tersebut, sehingga terjadilah pertengkaran. Tetapi pada akhirnya penjual balon, wanita , dan kakek pulang satu persatu.
Naskah drama Petang di Taman karya Iwan Simatupang ini menceritakan tentang pertemuan empat orang manusia dengan latar belakang yang berbeda-beda di sebuah taman. Mereka tidak saling mengenal, tetapi taman adalah publik, sehingga semua orang merasa bebas untuk masuk ke dalam suatu obrolan. Di dalam pertemuan tersebut ada seorang pria yang sedang diam ditaman, ada seorang kakek yang kehilangan minah, ada seorang pria penjual balon yang memiliki hobi terhadap balon, dan ada seorang wanita yang memiliki anak tapi bukan nyonya.
Setiap karakter memiliki latar belakang yang berbeda, seperti penjual balon yang balonnya di curi kemudian menangis dan menolak ketika balon tersebut dibeli. Ketika ditanya bahwa balon itu adalah hobinya untuk mencintai balon. Lalu seorang wanita yang memilik anak tetapi bukan nyonya, yang meminta balo tersebut tetapi dipecahkan oleh seorang kakek, kemudian lelaki separuh baya marah karena sikap kakek tersebut, sehingga terjadilah pertengkaran. Tetapi pada akhirnya penjual balon, wanita , dan kakek pulang satu persatu.
PETANG DI TAMAN
karya Iwan Simatupang
karya Iwan Simatupang
Orang Tua (OT)
Laki-laki Separuh Baya (LSB)
Penjual Balon (PB)
Wanita (W)
Setting: sebuah taman, dalam jangka waktu kurang lebih satu jam, terus-menerus
(Taman. Bangku. OT masuk, batuk-batuk, duduk di bangku. Masuk LSB, duduk di bangku)
LSB : Mau hujan
OT : Apa?
LSB : Hari mau hujan. Langit mendung
OT : Ini musim hujan?
LSB : Bukan. Musim kemarau
OT : Di musim kemarau, hujan tak turun
LSB : Kata siapa?
(Bunyi guruh)
OT : Ini bulan apa?
LSB : Entah
OT : Kalau begitu, saya benar. Ini musim hujan
LSB : Bulan apa kini rupanya
OT : Entah
LSB : Kalau begitu, saya benar. Ini musim kemarau
OT : Salah seorang dari kita mesti benar
LSB : Kalau begitu, saya kalah. Ini musim hujan
OT : Tidak, tidak.! Yang lebih tua mesti tahu diri, dan mau mengalah. Ini musim kemarau.
OT : Tidak! Tidak! Yang lebih muda mesti tahu menghormati yang lebih tua. Ini musim hujan.
(Bunyi guruh)
OT : Kita sama-sama salah.
LSB : Maksudmu, bukan musim hujan, dan bukan pula musim kemarau?
OT : Habis, mau apa lagi?
LSB : Beginilah, kalau kita gila hormat
OT : Maumu bagaimana?
LSB : Ah, kita boleh lebih kasar sedikit
OT : Lantas?
LSB : Akan lebih jelas, musim apa sebenarnya kini.
OT : Dan kalau sudah bertambah jelas?
LSB : (diam)
OT : (merenung) Dan kalau segala-galanya sudah bertambah jelas, maka kitapun sudah saling bengkak-bengkak, karena barusan saja telah cakar-cakaran. Dan siapa tahu, salah satu dari kita tewas pula dalam cakar-cakaran itu. Atau, kita berdua. Dan ini semua, hanya karena kita telah mencoba mengambil sikap yang agak kasar terhadap sesama kita. (tiba-tiba marah). Bah, persetan dengan musim! Dengan segala musim!
(Bunyi guruh. Tak berapa lama kemudian, masuk PB. Balonnya beraneka warna )
OT : (kepada PB) Silakan duduk.
PB : (bimbang masih saja berdiri)
OT : Ayo, silakan duduk! (menepi di bangku)
LSB : Tentu saja dia menjadi ragu-ragu bapak buat
OT : Kenapa?
LSB : Pakai silakan segala! Ini kan taman! (tiba-tiba marah). Dia duduk kalau dia mau duduk, dan dia tidak duduk kalau dia memang tak mau duduk. Habis perkara! Bah! (melihat dengan geramnya kepada PB)
PB : (duduk)
LSB : (masih marah) Mengapa kau duduk?
PB : Eh ....... saya mau duduk
OT : (tiba-tiba tertawa terpingkal-pingkal)
LSB : (sangat marah) Mengapa bapak tertawa?
OT : (dalam tertawa) Karena ...... saya mau tertawa ..... (terbahak-bahak)
(Bunyi guruh. Angin berhembus. Balon-balon kena hembus. Sebuah mau terlepas. Dengan cepat PB menangkapnya. LSB menerkam balon itu, ingin supaya ia lepas, terbang ke udara. PB dan LSB bergumul. Balon-balon lainnya kini lepas semua dari tangan PB, terbang ke udara. Sebuah balon itu dapat tertangkap oleh OT, yang kemudian bermain-main gembira, kekanak-kanakan dengannya)
LSB : (lepas dari pergulatan dengan PB berdiri, nafasnya satu-satu)
PB : (duduk di tanah, menangis)
OT : (masih dengan gembiranya bermain-main dengan balon tadi)
LSB : (kepada PB) Mengapa ...... hei, mengapa kau menangis?
PB : (tak menyahut, terus duduk di tanah, menangis)
LSB : (timbul marahnya) Hei! Mengapa kau menangis?
OT : (sambil terus bermain-main dengan balon) Karena dia memang mau menangis
PB : (tiba-tiba) Bukan! Bukan karena itu.
OT + LSB = (tercengang)
LSB : Kalau begitu kau menangis karena apa?
PB : Karena balon-balon saya terbang
OT : (mengerti) Ooooo! Dia pedagang yang merasa dirugikan
LSB : Oooo, itu! (merogoh dompoetnya dari saku belakangnya). Nah ini sekedar pengganti kerugianmu!
PB : (berdiri) Tidak! (duduk di bangku tangisnya menjadi) Saya tak mau dibayar.
OT + LSB = (serempak) Tak mau?
PB : (menggelengkan kepalanya)
LSB : Mengapa?
PB : Saya lebih suka balon
LSB : (tak mengerti) Tapi kau kan penjualnya?
PB : Itu hanya alasan saya saja untuk memegang-megang balon. Saya pencinta balon
LSB : Apa-apaan ini?
OT : Mengapa merasa aneh? Dia pencinta balon, titik. Seperti juga orang lain pencinta harmonika, pencinta mobil balap, pencinta perempuan-perempuan cantik. Apa yang aneh dari semuanya?
LSB : (masih belum habis herannya). Jadi kau sebenarnya bukan penjual balon?
OT : (kepada PB). Ini terima balonmu kembali.
PB : Tidak. Bapak pegang sajalah terus
OT : (heran) Saya pegang terus?
PB : Karena saya lihat, bahwa bapak juga menyukainya. Saya suka melihat orang yang suka
OT : (tertawa kecil). Ah, ini bukan lagi kesukaan namanya, tapi kenangan. Kenangan kepada dulu. Tidak, nak. Sebaiknya bila kau sudi menerima kembali balon ini
PB : Saya tak sudi dan tak berhak menerima kenangan orang. (menolak balon)
(Masuk W, mendorong kereta orok)
W : (menggapai ke arah balon). Berilah kepada saya, kalau tak seorang yang menghendakinya.
OT : (tiba-tiba memecahkan balon itu, lalu melihat geli kepada W)
LSB : (sangat marah). Mengapa bapak pecahkan?
OT : Karena saya mau memang mau memecahkannya. Jelas? (tertawa)
LSB : Jahanam! Orang tua keparat! (menerkam OT)
W : (melerai). Sudah, sudah! Jangan berkelahi hanya karena itu. Bukan itu maksud saya tadi dengan meminta balon itu.
LSB : Lepas! Lepaskan saya! Biar saya hajar dia dulu!
W : Jangan! Jangan! (menangis)
LSB : (kesal melihat W menangis). Ah, ir mata lagi! Persetan! Mengapa nyonya datang ke mari?
W : (tiba-tiba sangat marah). Siapa bilang saya nyonya?
LSB : O, baik, baik! Jadi nyonya bukan nyonya. Kalau begitu, nyonya apa? Nona barangkali?
W : (gugup). Ti ........... (menangis)
OT : Ahaaaa! Nyonya bukan, nona pun bukan ......... Ahaaaaa! (tertawa)
PB : Sungguh kasar. Sungguh biadab kalian! (menuntun W supaya duduk di bangku). Sudahlah, bu! Jangan hiraukan mereka. Sebaiknya ibu lekas-lekas saja pergi dari sini, sebelum mereka menghina ibu lebih parah lagi nanti. Pergilah!
OT : (kepada PB) Ahaaa, pergi dengan kau? Ahaaa! Akhirnya sang putri bertemu dengan sang pangerannya di tengah sebuah taman. Dan .....ahaaa! Si anak pun akhirnya bertemu dengan ayahnya ........(terbahak-bahak)
PB : (tiba-tiba menyadari makna kata-kata OT). Siapa bilang saya ........ (melihat silih berganti kepada OT, W, dan ke dalam kereta orok bayi). Tidak! Tidak! Saya bukan ..........
OT : (cepat-cepat nyeletuk). Bukan apanya, nak?
PB : (kepada OT). Bapak mau menuduh saya?
LSB : Menuduh apa, bung? Kau tampaknya begitu bernafsu berbincang tentang suatu tuduhan yang sebenarnya tak ada. Kemudian kau tampaknya begitu bernafsu menolak tuduhan itu. Ingat! Tuduhan yang tak ada itu, hingga ......... (tertawa) saya kini benar-benar mulai curiga dan benar-benar menuduh kau tentang sesuatu yang dengan terus-terang saja kukatakan belum jelas bagiku sendiri.
PB : (bingung). Tidak! Tidak!
W : (dengan bernafsu sekali datang mendekat kepada PB, memperhatikan wajahnya dengan sangat teliti)
PB : (semakin gugup oleh sikap W). Tidak! Tidak! Bukan saya! (mencoba menutupi mukanya dengan kedua tangannya)
W : (geram). Ayo! Buka tanganmua, aku mau melihat kau! Ayo! (merenggutkan tangan PB dari mukanya)
PB : Tidak! Bukan saya! Bukan saya!
W : Jahanam! Ayo, buka tanganmu kataku! Buka, bukaaaa!
PB : Bukan saya! Bukan saya!
W : Kurang ajar! Kau telah lari, ha! Lari, dan kau tinggalkan aku sendirian dengan seluruh keadaan ke dalam mana kau campakkan aku dengan perbuatanmu. Aku sendirian harus menaggungkan semuanya. Aku seorang wanita, sendirian! Bah! (merenggutkan dengan sangat kuatnya kedua tangan PB dari mukanya). Ayo, bukaaaa!
PB : Bukan saya! Bukan saya! Saya cuma berbuat sekali saja!
OT : (nyeletuk). Itu, kan sudah cukup, tolol!
LSB : (membantah OT). Belum tentu. Menurut ilmu kedokteran modern ....
W : Ayo, buka tanganmu! (kepada OT dan LSB). Tolonglah saya, tuan-tuan!
LSB : Bukan saya tak mau menolong. Tapi saya secara prinsipil tak sudi ikut-ikut campur dalam urusan yang bukan urusan saya
W : (kepada OT). Ayo, pak tolonglah saya.
OT : Saya orang tua
LSB : Bah! Apa pula maksudmu dengan kalimat datar serupa itu: “Saya orang tua”. Semua kami melihat bahwa bapak memang orang tua, dan sedikit pun tak ada memperlihatkan tanda-tanda bahwa bapak adalah kebalikan dari ucapan itu.
OT : Katakanlah saya hanya ingin mempertegas kedudukan saya dalam peristiwa yang sedang kita hadapi ini, yakni: Ketuaan saya melarang saya terlibat sedikitpun di dalamnya. Dan kalau kalian tanyakan bagaimana pendirian saya dalam peristiwa kalian yang sedikit rumit ini, maka jawab saya: Saya pro kalian berdua, lepas dari pertanyaan apakah benar atau tidak peristiwa itu benar-benar terjadi. Tegasnya: saya pro setiap kejadian beginian.
LSB : Kata-kata hanya kata-kata yang muluk-muluk! Sedang yang diminta sekarang ini dari bapak adalah “perbuatan”
OT : Kata-kata saya yang mengemukakan pendirian saya, itu adalah perbuatan saya!
LSB : Bagus! Bagus! Berkata-katalah terus, dan persaksikanlah betapa kedua mereka ini sebentar lagi bakal saling telan-menelan. (maju menolong W merenggutkan kedua tangan PB dari mukanya)
PB : (sangat dahsyatnya). Bukan saya! Bukan saya! Sungguh mati, saya cuma melakukannya sekali, tak lebih ......
OT : (geli) ........ dan tak kurang!
LSB : Diam bangsat! Cuma sekali ......... itu kan sudah cukup? Maumu berapa kali, ha? Serakah! Jadi, kau mengaku sekarang?
W : (histeris). Aku ............ aku ditinggalkannya, dan dia menghilang, meninggalkan aku menghadapi semua akibatnya. (buas). Ayo, buka tanganmu!
LSB : (sangat dahsyatnya). Buka! Buka!
(Setelah bergumul sebentar, LSB berhasil merenggutkan terbuka kedua belah tangan PB dari wajahnya, sedang kedua tangannya terus dikepit oleh LSB ke belakang punggungnya)
PB : Bukan saya! Bukan saya .........
W : (maju dekat sekali melihat ke wajah PB). Bangsat! Laki-laki jahanam! Kurangajj ...... (tiba-tiba memekik). Bukan! Bukan! Ya, Tuhan. Bukan, bukan dia ...........
LSB + OT = (serempak). Bukan dia?!
W : Bukan ...... (pingsan, tapi cepat-cepat dipegang OT)
PB : (terus meraung-raung putus asa). Bukan saya! Cuma sekali! Cuma sekali!
LSB : (gemas melepaskan kedua tangan PB). Huh, bukan kau .........
PB : Bukan, bukan, bukan sayaaaa! Cuma sekaliiiiiii ...........
OT : (repot mengipasi W yang pada saat itu sudah dibaringkannya di bangku). Sudah, cukup! Biar kau telah melakukannya lebih dari sekali sekali, sekarang ini soal itu sudah tak penting lagi. Ayo, mari, daripada kau nberteriak-teriak tak berguna begitu, lebih baik kau (melihat kepada LSB) kalian, menolong saya dengan dia ini (terus mengipasi W)
LSB : Menolong bagaimana?
OT : (sangat kesal). Ya, menolong dengan melakukan apa yang lazimnya dilakukan pada setiap orang yang pingsan seperti ini.
LSB : Saya merasa agak segan
OT : Segan? Kenapa?
LSB : Dia, eh ......... perempuan
OT : ..............dan kau laki-laki. Bah! Lagi-lagi ucapan cemplang. Semua orang melihat bahwa dia ini memang wanita dan kau memang laki-laki. Lalu, mau apa?
LSB : Maksud saya, saya ......... eh, segan bersentuhan dengan tubuh wanita
OT : Apa? Apa-apaan ini! Ayo, lupakan kelaki-lakianmu dan tolong aku
LSB : Saya adalah jenis laki-laki yang bila bersentuhan dengan tubuh wanita bisa saja terus ........
OT : (cepat-cepat memotong). Saya tahu, saya tahu. Tapi, laki-laki mana yang tidak?
LSB : O, jadi bapak juga menganut prinsip yang sama?
OT : (sangat tercengang). Prinsip?! Ah, kata siapa ini soal prinsip. Aku malah lebih cenderung menyebutnya sebagai penyakit. Ah, persetan dengan semuanya. Bukankah tiap prinsip adalah penyakit juga? Dan sekarang ku minta dengan hormat padamu: hentikan kesukaanmu yang agak berlebih-lebihan pada dan dengan kata-kata itu. Sadarlah, bahwa dalam peristiwa seperti ini yang sangat segera dibutuhkan adalah perbuatan, tindakan cepat. Dan tindakan cepat di sini adalah menolong aku berbuat sesuatu dengan wanita pingsan ini.
LSB : Kalau aku tak salah, dengan orang pingsan ---- entah dia perempuan, entah dia laki-laki --- kita tak dapat berbuat apa-apa selain menantikan pingsannya lewat lewat dengan sendirinya.
OT : Ya, ya. Tapi bagaimana bila pingsannya tak bakal lewat?
LSB : Dalam hal demikian; maka dalam artinya yang sesungguhnya, kita telah berhadapan lagi dengan seorang wanita pingsan, tapi ........
OT : (sangat takut). Tapi, apa?
LSB : Ya, bisa saja: dengan wanita yang ..........
OT : (sangat takut). Yang ...............?
(Orok dalam kereta orok menangis)
W : (mendengar oroknya menangis, W tiba-tiba berdiri lalu cepat-cepat menuju ke kereta). Anakku! Anakku! (berusaha menyruh diam oroknya dengan cara menggoyang-goyangkan sedikit kereta orok). Kalian telah membuat dia bangun! Bah! Laki-laki kasar kalian semua! (suara orok menangis terus)
OT + LSB + PB = (saling berpandangan)
W : Sungguh laki-laki kasar, kasar ....................(kepada oroknya dalam kereta). Ssst, ssst, ssst .......... diamlah nak, diam. Laki-laki semuanya sama saja, kasar tanpa kecuali (menangis)
LSB : Stop! Stop! Stop dengan air matamu, mau kau?
(Orok dalam kereta orok tambah kuat menangis)
LSB : (mau menyerbu ke kereta orok). Stop menangis! Stoooooooop!
W : (mencegah LSB). Jangan, jangan apa-apakan anakku!
PB : (berhasil menahan LSB). Apa-apaan ini? Kau mau membunuh orok ini barangkali! Gila, benar-benar telah gila engkau!
LSB : (dalam rangkulan kasar dari PB). Sudah kukatakan: stop! Berhenti! Jangan menangis! Jangan lagi ada yang menangis .............. Aku tak kuat melihatnya .................... Tak kuat .................... (menangis tersedu-sedu)
(OT, W, dan PB melihat terharu kepada LSB yang mencoba menindas isak-tangisnya. Mereka terharu, iba. Dan di antara isaknya, LSB mengisakkan: janganlah ........lagi ada yang menangis......... Aku tak kuat .............. tak kuat melihatnya ................)
PB : (kepada W). Sebaiknya ibu pergi saja sekarang
OT : Ya, kau sebenarnya telah menyebutkan kata yang setepat-tepatnya yakni: ibu. (kepada W). Ya, sebaiknya ibu pergi saja.
W : (agak gugup). Ibu ............Saya ibu ............ (melihat kepada bayinya di dalam kereta). Baik, baik, saya kira juga lebih baik bila saya pergi.
OT : Nah, bagus. Dan jagalah dia (melihat ke dalam kereta) baik-baik. Dia (OT lalu berdiri di samping W melihat kepada orok dalam kereta) sungguh manis, anak yang sehat. (menggelitik-gelitik orok dalam kereta. Kedengaran suara orok tertawa-tawa)
PB : (berdiri di samping OT dan W, ikut melihat lucu kepada orok dalam kereta orok)
LSB : (berhenti dari isaknya, dan juga pelan-pelan pergi berdiri di samping OT, W dan PB melihat dengan tersenyum kepada orok dalam kereta orok)
OT : (terus menggitik-gitik si orok yang terus tertawa-tawa geli). Nah dengar tuh, hujan bakal datang. Lekaslah ibu pulang.
PB : Nanti dia (menunjuk ke dalam kereta) basah, bisa sakit
LSB : Kalau ibu berjalan cukup cepat, ibu masih bisa kering sampai di rumah
W : Baiklah. (melihat terharu kepada ketiganya). Terima kasih banyak kawan-kawan! Berkat kalian bertiga, aku telah menemui diriku kembali. Pertemuan dengan kalian ini tak akan mudah dapat kulupakan. (menjabat tangan PB). Maafkanlah aku, aku telah menempatkan saudara tadi dalam kedudukan yang sangat memalukan. (menjabat tangan LSB, kemudian tangan OT). Harap saudara-saudara sudi memaafkan aku. Dan semoga kita saling bertemu lagi. (pergi, lenyap dari pentas)
OT + LSB + PB = Sampai bertemu lagi, bu ....... (kemudian mereka berpandangan penuh arti)
(Bunyi guruh)
LSB : Langit telah gelap benar. Hari mau hujan
OT : (jenaka) Kata siapa?
LSB : Alaaa, mau main pencak dengan kata-kata lagi?
OT : Siapa yang mau main kata-kata? Lihat, tuh, langit justru mulai terang
OT + LSB + PB = (sama-sama melihat ke langit)
PB : Sungguh ajaib! Langit benar-benar mulai terang sekarang
LSB : (heran). Dan guruh yang barusan?
OT : (tambah jenaka). Ya, tetap guruh. Soalnya sekarang adalah, bahwa guruh yang barusan saja kita dengar itu sedikit pun tak mempunyai sangkut-paut apa-apa dengan hujan. Hujan tak bakal turun, jelas?
LSB : Sungguh saya tak memahaminya lagi. (geleng-geleng kepala, duduk di bangku)
PB : Dan saya, sekiranya ditanyakan secara jujur kepada saya, sedikit pun saya tak memahami persoalan apa sebenarnya yang ada antara kalian berdua. (duduk di bangku. Memungut balon yang dipecahkan OT dari tanah, meniup sobekan-sobekannya menjadi balon-balon kecil)
OT : Itulah celaka dari tiap taman. Setiap orang yang datang atau lewat di taman menganggap dirinya merdeka untuk mencampuri setiap pembicaraan. Ya, setiap kehidupan yang kebetulan sedang terjadi di situ.
LSB : Habis, ini kan taman! Ini adalah tempat terbuka untuk umum. Di setiap tempat umum, ada pembicaraan umum. Oleh sebab itu setiap orang boleh saja terus ikut berbicara. Demi pendapat umum! Kalau bapak mau punya pendapat pendapat sendiri, yah..... janganlah datang ke taman!
OT : Lalu saya harus ke mana?
LSB : Ke mana saja asal jangan ke taman
OT : Kau enak saja bicara. Ke mana saja! (sedih, pilu). Saya tak dapat ke mana-mana
LSB : Mengapa?
OT : (tiba-tiba menangis). Tak ada seorang pun yang menginginkan saya. Seorang pun tidak
LSB : Anak-anak bapak?
OT : Delapan orang. Tapi, tak seorang pun dari mereka menyukai saya.
LSB : Terlalu! Dan istri bapak bagaimana?
OT : (tiba-tiba meraung). Minah! Minah!
PB : (pada saat itu ia telah siap membuat beberapa balon-balonan kecil dari sobekan balon-balonnya tadi). Siapa Minah?
LSB : Sssst, ibu ........ maksud saya: istri bapak kita ini
PB : (terperanjat) I-b-u?
LSB : Sssst, ibu ........ maksud saya: istri bapak kita ini
PB : O, katakan begitu dari tadi, dong. Hhh, saya benar-benar dibikin kaget oleh kata “ibu” itu tadi .......... Eh, mengapa ibu, eh, istri bapak kita ini rupanya?
LSB : Sssst, jangan keras-keras. Saya sendiri belum tahu
OT : (meraung-raung). Minah! Minah!
LSB : Apakah Minah istri bapak?
OT : Minah, Minah, mengapa kau tinggalkan aku?
LSB : (kepada PB). O, jadi Minah memang istrinya, dan rupa-rupanya dia minggat
OT : Minah, Minah, mengapa kau tinggalkan aku, setelah kita hidup bahagia delapan tahun?
LSB : Wah, delapan tahun. Kalau begitu, dia tiap tahun dapat seorang anak
PB : Hebat juga si Minah, eh, istri bapak kita ini, maksud saya
LSB : Hebat? Itu kau katakan hebat? Huh, begitu rupanya tanggapanmu tentang manusia dan kemanusiaan, ya? Itu tafsiranmu rupanya tentang wanita, ya? Aku menyebutnya: iseng! Manusia lelaki yang tak punya fantasi, lalu merongrong tubuh manusia perempuan.
PB : Merongrong gimana, ah! Kalau si perempuan tidak mau dirongrong, saya kira seluruh persoalan dan filsafat iseng itu tak akan pernah ada
LSB : Ah, kau tahu apa! Seolah-olah filsafat iseng itu hanya filsafat ranjang dan hormon yang berlebihan saja. Seandainya bapak kita yang terhormat ini punya fantasi sedikit, maka apa yang hendak ku katakan adalah: alangkah baiknya, seandainya selama delapan tahun dia berumah tangga dengan istrinya yang bernama Minah itu, dia cukup membuat anak dua orang saja dan enam buah novel misalnya
PB : Ahaaa! Kau seorang pengarang rupanya. Pengarang gagal, yang lalu terdampar ke taman untuk menganalisa peristiwa-peristiwa kecil sebagai hiburan untuk melupakan kegagalanmu itu.
LSB : Tahu apa pula kau tentang makna sebenarnya dari kegagalan? Betapa banyak kejadian, bahwa kegagalan itu merupakan penampikan yang paling prinsipil terhadap karya yang punya mutu kepalang tanggung. Dan kau jangan lupa: tak ada yang lebih dapat merasakan arti berhasil selain orang yang telah mengalami kegagalan.
OT : Minah! O, Minah! Telah ku cari kau ke mana-mana. Di mana kau, o, Minah
LSB : Apa dia tak ada di rumah salah seorang anak bapak yang delapan itu?
OT : Tidak!
PB : Apa bapak sudah pasang iklan di koran?
LSB : Soal-soal seperti ini tak layak diiklankan.
PB : Banyak saya baca iklan-iklan demikian. Seperti yang saya baca pagi tadi di salah satu koran, berbunyi: ADINDA NUR! KEMBALILAH KEPADA KAKANDA. PINTU RUMAH KAKANDA SELALU TERBUKA LEBAR UNTUK KAU. KAKANDA TELAH MAAFKAN SEMUANYA
LSB : (marah). Laki-laki bubur, bah! Setelah istrinya yang bernama Nur itu berbuat jahanam dengan laki-laki lain, kemudian lari karena ketahuan berbuat begitu, nah --- sekarang sang suamiberwatak daun pisang pembungkus itu mau mengambil sikap seorang pahlawan dari roman-roman abad pertengahan. Dan sikap ini dipertontonkannya kepada kita, masyarakat dari abad ke-20 ini, melalui media komunikasi yang paling murah dan paling vulgar: suratkabar. Bah!
PB : Vulgar? Melalui iklan suratkabar adalah cara yang paling praktis. Dan jangan lupa, bukan suami si Nur saja yang telah berbuat begitu
LSB : Pers abadke-20 ini akan lebih tertolong, apabila mereka menolak iklan-iklan bergaya suami si Nur ini. Dan tahukah kita, berapa lagi berkeliaran lelaki macam suami si Nur ini di luar kantor surat-suratkabar? Bayangkan, seandainya orang yang senasib dengan dengan suami si Nur ini berbuat hal yang sama.
OT : (nyeletuk). Saya juga telah menyuruh siarkan kehilangan Minah melalui radio
LSB : Ck,ck. Hebat. Dan bagaimana hasilnya?
OT : Nol
LSB : Seperti yang kuduga. Ck,ck,ck
OT : (kembali meraung-raung). Minah! O, Minaaaah!
LSB : (dengan sikap yang sangat menyangsikan). Tunggu dulu, pak! Minah ini sebenarnya siapa?
OT : (suara datar). Kucing betina saya. Kucing yang saya sayangi
LSB + PB = Kkk-ucing?!
OT : Dia senantiasa pulang pulang kembali. Tapi kali ini, dia telah menghilang lebih dari seminggu. (meraung). Minah! Minah!
LSB : (kesal sekali). Kucing! Dan istri bapak sendiri di mana?
OT : Ada di rumah
LSB : Di rumah?! Rumah siapa?
OT : Rumah saya, sudah tentu
LSB : Ah, rupanya bapak mau mempermainkan kami. Kata bapak tadi, bapak tak bisa ke mana-mana. Tak seorang pun menyukai bapak.
OT : Benar. Sebenar-benarnya. Dan istri saya juga tak menyukai saya
LSB : Kenapa?
OST : Dia istri saya yang kedua. Dia hanya menginginkan harta saya saja. Setelah harta saya habis dijualnya untuk dibelikannya barang-barang yang di hadapan notaris diakuinya sebagai miliknya sendiri, lalu saya tak ingin lagi dia lihat, katanya.
LSB : Lalu siapa yang ingin dilihatnya sekarang?
OT : Laki-laki lain, lebih muda, lebih gagah
LSB : Hm, tentu, tentu. Masak dia bakal mencari laki-laki yang jauh lebih tua dan lebih buruk dari bapak. Dan kini, di mana laki-laki lebih muda dan gagah ini sekarang?
OT : Di rumah saya, sudah tentu.
LSB : Hm, ya, sudah tentu, sudah tentu.
OT : Dia sudah menggantikan kedudukansaya dalam artinya yang menyeluruh
LSB : Hm, tentu, tentu. Kecuali sikat gigi bapak saja saya kira yang tak ikut dia ambil alih
OT : Juga sikat gigi saya
LSB : Wah, laki-laki yang sungguh hebat. Sungguh hebat! Juga sikat gigi! Dan lalu, bapak kini tidur di mana?
OT : Di rumah saya itu juga, tapi di gudangnya. Sebelah kamar babu, dan bersama Minah
LSB : Kalau boleh saya mengajukan pertanyaan terakhir: Istri bapak yang pertama di mana sekarang?
OT : Mati delapam tahun yang lalu
LSB : Namanya?
OT : Minah (tiba-tiba dia meraung kembali). Minah! Minah!
LSB : (termangu-mangu, mengerti kini duduk perkara yang sebenarnya)
PB : (geram). Bah! (memecahkan balon-balon kecil itu semuanya satu-persatu)
LSB : (kepada PB). Hei, hei! Mengapa kau?
PB : (sangat marahnya. Sebuah balon-balonan kecil rupanya sulit benar dipecahkan dengan tangannya. Dengan sangat marahnya balon-balonan kecil itu ditaruhnya di tanah, lalu diinjak-injak dengan gemasnya). Bah! (ia pergi lenyap dari pentas)
(Di kejauhan terdengar lonceng gereja, menandakan pukul enam petang)
LSB : (setelah diam hening sejenak). Hari telah petang, pak. Pulanglah ke rumah. Itu lebih baik, bagi kau dan bagiku
OT : (pilu). Pulang ke rumah mana, nak?
LSB : Ke gudang apekmu, sebelah kamar babumu
OT : Tanpa Minah?
LSB : (pilu sekali) Tanpa Minah. Minah kedua-duanya ........
OT : (menangis terisak-isak kecil). Tak dapat aku, nak. Tak dapat. Dan pula aku tak mau
LSB : Pulanglah, pak. Taman ini diadakan kotapraja untuk dapat sekedarnya menghibur warga kotanya yang letih, yang risau. Apa pula kata mereka nanti di koran, bila esok pagi mereka dapati bapak di sini mati kedinginan?
OT : Mati adalah lebih baik bagiku dalam keadaanku seperti sekarang ini.Minah tak ada lagi. Minah .........
LSB : Benar, dan aku pun sependapat dengan bapak. Hanya kematian bapak dalam gudang apek itu akan lebih menyamankan kotapraja daripada di sini
OT : Mati di taman lebih indah
LSB : (tertawa). Indah, ya .......... bagi para pencinta roman picisan, yang menyukai judul-judul seperti, “Mati di Tengah Taman”, atau “Taman Maut”. Pulanglah, pak. Nantikanlah dengan tawakal di gudang apekmu yang penuh cecunguk dan tikus itu hari penghabisanmu. Sungguh sangat menyedihkan! Tapi, sayang sekali .............. jalan lain memang tak ada lagi bagi bapak.
OT : (merenung). Cecunguk, tikus ........
LSB : ...........dan kesepian
OT : Dan kau, nak. Bagaimana dengan kau sendiri?
LSB : (tersenyum). Tak lebih baik sedikit pun dari bapak. Habis, kita mau berbuat apa lagi? Seperti kata penjual balon tadi: aku mencoba menjadikan kegagalanku suatu barang tontonan idah di taman. Bapak lihat kembang itu? Di sana? Bagus, bukan? Dan bapak baca tulisan di papan yang ditancapkan oleh kotapraja di hadapannya? “DILARANG MEMETIK BUNGA” ............... (tersenyum)
OT : Ya, kau pengarang dan kau mahir benar membenamkan deritamu di balik kata-kata yang sewaktu-waktu dapat kau hamburkan. Tapi, bagaimana, nak, dengan kesunyianmu? Ikutlah saya ke gudang apek saya. Agar ada teman saya. Dan, agar ada teman anak.
LSB : Terima kasih, pak. Kebersamaan kita seperti sekarang yang bapak gambarkan itu lebih parah lagi daripada kesendirian kita masing-masing.
OT : Naluri saya --- dan ingat ini naluri orang tua, lho --- berkata, keadaan anak tak jauh bedanya dari keadaan saya
LSB : Saya tak akan membantahnya. Tapi, telah saya katakan: usia yang lebih muda ada pada saya. Kemungkinan-kemungkinan dari kesepian saya jauh lebih banyak.
OT : Artinya anak tak mau ikut saya?
LSB : Selamat malam, pak. (menyalam dengan sangat mesranya OT). Siapa tahu, besok kita bertemu lagi.
OT : Besok?
LSB : Ya, besok. Mengapa bapak sangsi akan hari esok?
OT : Dengan keadaan kita seperti sekarang ini?
LSB : Justru karena keadaan kita seperti inilah!!
OT : (tertawa sayu). Tidak, tidak! Aku tak mau bertemu kau lagi. (tersenyum). Selamat malam, nak. Mudah-mudahan tidurmu nyenyak --- di mana saja kau tidur malam ini. (sambil batuk-batuk pergi pelan-pelan, lenyap dari pentas)
(LSB menaikan leher bajunya. Bangku dibersihkannya dengan tangannya. Semua gerak-geriknya menandakan ia mau tidur malam itu, seperti juga malam-malam, dan malam-malam yang akan datang lagi, di bangku itu ......)
LSB : (melihat ke langit). Syukurlah, hujan tak bakal turun. Atau ......... mudah-mudahan hujan tak bakal turun malam ini. Tidur di bawah jembatan, dengan udara kotanya yang bertumpuk di situ, membuat bengekku makin menjadi.(ia melihat sekeliling, kalau-kalau ada orang yang datang. Kemudian ia merebahkan diri di bangku itu. Suara binatang-binatang malam mulai terdengar. Angin menghembus, dedaunan di taman itu gemersah. Di kejauhan terdengar suara-suara mobil lewat, anjing menyalak, kemudian suara kereta api yang lewat sangat jauh, jauh sekali. Tak berapa lama kemudian, kedengaran suara seorang pria dan seorang wanita, tertawa-tawa genit, semakin mendekat. Masuklah ke pentas sepasang muda-mudi berpegangan tangan erat sekali)
GADIS : (melihat LSb tergolek di bangku). Ssst, ada orang
LSB : (tergelak tiba-tiba). Ya, ya. Bangku ini sudah ada orangnya. (dia duduk di bangku). Tapi ini, kan, taman. Di sana ada bangku kosong (tertawa). Ke sanalah kalian. Saya tak akan melihat, sungguh ....... (tergelak). Lagi pula saya sangat mengantuk
GADIS + PEMUDA = (malu)
LSB : Ayo, pergilah ke sana. Jangan sia-siakan kesempatan, selagi kalian masih muda (tergelak). Saya benar-benar tak akan melihat. Lagi pula saya amat letih, amat mengantuk .......
GADIS + PEMUDA = (setelah ragu-ragu sebentar, pergi ke arah yang ditunjuk oleh LSB)
LSB : (tertawa mengerti. Sejenak ia ikuti mereka dengan matanya. Kemudian ia rebahkan kembali tubuhnya di bangku itu). Lagi pula ....... saya amat mengantuk ....... amat letih .......... letih ...... (suara binatang-binatang malam semakin kentara. Angin berhembus. Di kejauhan seekor anjing menyalak, dan suara kereta yang lewat .......)
LAYAR TURUN PELAN-PELAN
*****SELESAI*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar