tag:blogger.com,1999:blog-42988035273657862262024-03-16T11:53:14.360-07:00KUMPULAN NASKAH DRAMARUANG PEKERJA SENIAHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.comBlogger151125tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-14206542159901869732023-01-31T10:19:00.006-08:002023-01-31T10:40:31.307-08:00PUNK Zaman Pasca Reformasi sampai Pasca Pilpres - Viddy AD Daery <p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6F_ETSABNIXEHAHgLOhmhW7KqM2e2zNVcNPwYyEuBHFbhWhlm19jlDMONK0HmLgPBWdvE1ldsNdh0NfkZ3prwHSxDURgyw8FHo0KIHa8PQkHchGpupanF0LqYkK6fndEkf4O0IBGSJ7vp0R67OU3h8frmm3F2hhIEamzpuaF580QbU-Woh-6T0Wcc/s9055/PUNK1.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6F_ETSABNIXEHAHgLOhmhW7KqM2e2zNVcNPwYyEuBHFbhWhlm19jlDMONK0HmLgPBWdvE1ldsNdh0NfkZ3prwHSxDURgyw8FHo0KIHa8PQkHchGpupanF0LqYkK6fndEkf4O0IBGSJ7vp0R67OU3h8frmm3F2hhIEamzpuaF580QbU-Woh-6T0Wcc/w400-h261/PUNK1.jpg" width="400" /></a></div><p></p><span style="font-family: arial;"><br /><br /><b>PUNK<br />Zaman Pasca Reformasi sampai Pasca Pilpres<br /> Karya : Viddy AD Daery </b><br /><br /><b><i> (Untuk pementasan dengan durasi 30-45 menit).</i></b></span><div><span style="font-family: arial;"><br /><i><b> Sinopsis:</b></i><br /> Segerombolan anak-anak Komunitas Punk bernama “Nam-Punk,” karena menyukai angka 6, diserupakan dengan lambang 69 di bendera mereka -pada suatu hari sehabis berapresiasi seni di markasnya yang kumuh dan pesing- didatangi beberapa tokoh partai politik tua maupun muda. Mereka ingin merekrut kaum Punkers untuk konstituen mereka yang baru, menyambut pemilu yang akan datang. Anak-anak Punk yang anti-kemapanan diajak berpolitik? Maukah mereka? Lalu apa yang terjadi? <br /><b><br /><i>Pemeran Utama:</i></b><br /> Kit: Remaja berusia 22 tahunan, tokoh non formal Genk Punk “6-Punk”, selalu bersama teman-temannya sejumlah 6 orang Punkers (2 wanita, 1 di antaranya berjilbab hitam –memang, mereka menyukai kostum warna hitam, berlobang-lobang serta ditambahi asesoris bermacam-macam). <br /><br />Gus Uzur: tokoh politik tua usia 55 tahunan, perawakan gemuk, selalu memakai batik, dan kopiah, berjalan mengenakan tongkat.<br /> Kadam: 35 tahunan, asisten pribadi Gus Uzur, berkostum sama dengan tuannya, memelihara jenggot agak panjang, dan beberapa figuran. <br /><br /><b><i>Adegan Dimulai:</i></b><br /><i> Setting:</i><br /> Pojok GOR (Gedung Olahraga) Republik Jontor yang kumuh, kotor, penuh sampah, bau kencing, alkohol, muntahan, dan sebagainya menjadi satu dengan puing-puing berserakan persis Indonesia Raya.<br /> Di dinding-dinding yang sudah kusam, karena lama terlantar tak pernah diperbarui catnya, retak-retak penuh coretan grafiti berbau sex, pornografi, anti pemerintah, anti kapitalisme, anti orang tua, tetapi sayang Ibu.<br /> Juga tertempel dua poster yang memuja tokoh Grup Punk, dan satu poster semboyan: NgEROCK 24 JAM KECUALI SEDANG NgOROCK!!! <br /><br /><br /><i>(Adegan dimulai dengan berdentaman suara Musim Punk-Rock Super bising, yang vocalnya kayak orang demam. <br /><br />SFX: Terdengar suara bising musik rock super underground yang tidak bisa dibedakan suaranya, antara musik dengan tembakan mitraliyur perang dunia. <br /><br />Enam Punkers (2 wanita) berjoget uyel-uyelan ala Punk-Rock yang tidak beraturan, malah mirip orang berkelahi. <br /><br />Setelah beberapa lama, kemudian Kit, tokoh kelompok non formal “6 Punk” menepuk tangan, dan langsung saja musik cadas keras terhenti seketika, lantas semuanya yang menari berhenti ajojing dengan tidak beraturan, tidak serta merta, serba tidak beraturan -semaunya. </i><br /><br /><b>Kit: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hai teman-teman! Hari ini ada rejeki tiban! Kita mendapat sumbangan dari “seorang hamba Alloh” berupa 1 krat bir!!!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Punk 2 / cewek: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya Ollooooh…hamba Alloh kok nyumbang bir?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Punk 3 / cowok: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Alaaa… itu hamba Syetan namanya!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Punk 4/ cewek berjilbab: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hee… tokek! Hamba Syetan ya kita semua…!!!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><i> (Semua tertawa terbahak-bahak dan terkikik sepuasnya sebebas-bebasnya). </i><br /><br /><b>Kit: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudah, sudah, Coy! Mari kita syukuri sumbangan dari orang yang nggak mau disebutkan namanya tuh! Mari nyante pesta bir sambil berapresiasi seni… ayo siapa yang mau mulai?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Punk 2: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bonar tuuh! Dia baru pulang nyusu emaknya di Tarutung, Medan! Coba barangkali dia mau nyanyi Buteeeeeettt…<i> </i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Semua ketawa ngakak). </i><br /><br /><b>Punk 5 / Bonar / berlogat Batak: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ah, kau ini… cemmana bilang Punker nyusu Ibu? Boleh juga kalau nyusu tante-tante susu gede?!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /> (Semua Punkers ketawa, sambil kemudian mulai membuka bir dan menenggaknya, lantas ada yang gelegeken dahsyat… semua pesta ketawa gembira). </i><br /><br /><b>Punk 5 / Bonar : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oke, oke… aku tidak, menyanyilaah… aku punya oleh-oleh yang lain… puisi Batak gambaran dari kampong Ibuku, di mana semua orang sudah puzzziiing, karena harga-harga naiiik terus mengikuti BBM yang naik teruuuzzz… hanya harga diri kitalah yang turun! <i>(Bonar baca puisi).</i> Puisi…. monggo dibikin… puisi teler absurd.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><i> (Semua tepuk tangan meriah, dan bersuit-suit). </i><br /><br /><b>Punk 4 / cewek berjilbab: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau masalah pusing harga naik terus, bukan cuma urusan orang Bataklah Bonar. Seluruh Republik Jontor ini juga pening aku… pening aku..!<i> (meniru akting Ruhut Batak yang memukul-mukul dahi ala di sinetron Gerhana). </i><br /><br /><b>Punk 3: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku gak mau kalah reek! Punker Suroboyo asli Cuuk…Aku mau nyanyi lagu kebangsaan kita “Punk Rock Panas Dingin”.Kalian yang kesetrum pingin ikut nyanyi bolehlah ikutan nyanyi bareng!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><i> (Musik SFX berbunyi, Punk 3 mengacungkan jemari tangan, dan menggerakkan acungannya ke kanan ke kiri ala superstar rock di panggung… dan semua temannya mengikuti). </i><br /><br /><b>Punk 3 diikuti teman-temannya:</b><br /> Panas-panas-panas-panaaaaaaas<br /> Anget-anget-anget-angeeeeeet<br /> Dingin-dingin-dingin-dingiiiiiiiin<br /> Anyep-anyep-anyep-anyeeeeeeeeep… <br /><br />Panas -dingin,panas- dingin tubuhkuuuuu<br /> Anget-anyep-anget-anyep bathukkuuuuuuu (2 X) <br /><br />Kalau panas tolong dinginkaaaaan<br /> Kalau dingin tolong hangatkaaaaaan (2 X) <br /><br />Panas-dingin-panas-dingin<br /> Panas-dingin-panas-dingin (8 X) <br /><br />Semua sembuh, karna kasih sayang-Muuuuu<br /> Semua sembuh, karna cinta suci-Muuuuuu<br /> Semua sembuh, karna persahabatan yang aaaaabbbaaadddiiii….</span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /> (Lalu semua toast dengan khusyuk, seakan mereka semua baru berzikir, lalu saling keplakkan tangan, dan akhirnya bertepuk tangan). </i><br /><b><br />Punk 6: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oke, penampilan berikutnya, aku Punker nJombang ! Aku mau menyanyi lagu irama Punk-Slow… ini lagu keramat warisan embahku…Simak baik-baik yaa… <br /><br />Tombo ati iku lima sak wernane<br /> Kaping siji moco Qur’an sak ma’nane… <br /><br /><b>Semua meledek:</b><br /> Alaaa… brentiii… brentiii… wooee… wooeee! Masak Punkers dikasi lagu yang letoy… Bikin semangat hidup kita lemes gak enerjik maaaan! <br /><br /><b>Kit bangkit, lalu bersuara lantang: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudah, sudah, Coy!!! Kuingatkan ya… kita-kita ini orang Punk harus punya solidaritas tak terbatas kepada sesama Punk…Kita ada di sini kan karena MUAK dengan orang-orang di luar sana, yang selalu memberi hidup ini penuh dengan batasan-batasan…<i>(Kit diam sejenak memandang berkeliling, teman-temannya menyimak). <br /></i><br />Hidup harus begini gak boleh begitu!<br /> Atau harus begitu gak boleh begini!<br /> Begini begitu begini begitu begini ni ni niiiii<br /> Begini begitu begini begitu begitu tu tu tuuuuu</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><i> (diulang-ulang meniru Benyamin S., dan teman-temannya menirukan Kit, sang pemimpin non formal itu). </i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>Setelah itu, semua ketawa lepas, menertawakan hidup ngakak sepuasnya…<br />(Terdengar Suara Bedug dan Adzan lamat-lamat).</i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Kit: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Subhanallooohhh… Naah! Sudah tiba waktunya sholat ashar! Ishoma! Ishoma! Aku mau sholat ashar dulu, yang mau ikut ayuk…Yang gak mau sholat silahkan nyante aja…</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>Kit bangkit diikuti Punk wanita berjilbab, mereka masuk ke balik panggung Teman-teman Punk yang lain terus menikmati bir dan bersenda gurau.</i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /> *** <br /><br /><i>Tiba-tiba datang seorang tokoh Partai usia tua, terkenal dengan nama Gus Uzur, atau dipanggil Gus Zur. Gus itu datang disertai seorang Kadam atau kyai muda staf ahli yang berjenggot agak panjang. Di belakang tampak 2 bodyguard sangar menjaga. <br /><br />Gus berjalan terbata-bata seperti orang tua, melangkah dengan tongkat di tangan, diiringi Kadam yang selalu bawa buku agenda, pulpen, dan senantiasa siap mencatat apa-apa perintah Gus Uzur.<br /> Dua bodyguard berpenampilan serem dan sangar menjaga di belakang, mata mereka jelalatan ke kiri-kanan dengan kewaspadaan yang berlebihan. <br /></i><br /><b>Gus: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Assalamu’alaikum adik-adiik… Yok opo kabare rek?<i> (sok akrab)</i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Para Punkers: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wa’alaikum salaam…emm maaf, siapa ya?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Kadam: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Waaduuh, kalian ini kuper! Hidup tertutup siiih…Masak gak tahu tokoh terkenal kayak gini! Ini Gus! Gus Uzur! Tapi cukup dipanggil Gus saja! Sudah tahu ?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Punkers: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mmm… siapa ya Gus itu?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Kadam : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kampungan! Gus itu tokoh Partai Besar! PMR atau Partai Memperalat Rakyat! Naah, tahu kan sekarang? <br /><br /><b>Punkers: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Maaf.. enggaaaak!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Kadam: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Masya Alloh… jadi yang kalian tahu apa saja?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Punkers: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Banyaak… Nazi, Swastika, Sex Pistols, 69, Musik Rock, Bir, Rokok…</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Kadam: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Naudzubillahi min ndzaalik! Kalian ini hamba-hamba syetan! Kalian calon penghuni neraka nomoer satu!!!!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><i> (Keadaan jadi tegang… Para Punkers bersikap menantang, maka Gus segera mendinginkan suasana). </i><br /><br /><b>Gus: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Maaf, maafkan Kadamku yang kasar ya adik-adik!!! Kadam,… minggir! Kamu jangan kasar begitu doong. Syetan juga hamba Alloh kok! Ya kan adik-adik?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Punkers: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Setujuuuu, Gus!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><i> (Keadaan menjadi cair lagi). </i><br /><br /><b>Gus: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Naah, begini ya, eh… ngomong-ngomong sudah pada minum bir 1 krat belum?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Punk : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudaah, Gus! Kok Gus tahu sih, kalau kami barusan minum bir 1 krat?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Gus: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lhooo…wong yang mbelikan saya kok… hamba Alloh itu sayaa…cuma saya nggak mau riya’…kita itu kalau amal nggak mau menonjol-nonjolkan diri… takut pahalanya hilang…</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Punk: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Waah terimakasih ya Gus.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><i> (Semua Punkers menyalami Gus. Mereka salaman biasa saja. Namun Kadam marah-marah lagi). <br /></i><b><br />Kadam: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hei! Nggak tahu sopan santun ya! Kalau salaman dengan Gus itu harus pakai nyium tangan!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><i> (Punkers bingung lagi… lholhak lholhok…).</i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Gus: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudah, sudah, Kadam! Giiitu aja kok repoot… Kamu nggak tahu ilmu politik ya… pelajaran politikmu belum lulus Kadam! Sudah kamu diam dulu! Di sini ini pakai bahasa politik, jangan pakai bahasa pondok pesantren! Paham? Kadam dan para bodyguard: Pahaaaaam…..</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><i> (Para Punkers tertawa terbahak-bahak, Kadam dan para bodyguard tersinggung, tapi Gus menenangkan mereka). </i><br /><br /><b>Gus: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Gini ya adik-adik… kalian ini kan punya tujuan hidup kan? Nah, tujuan hidup adik-adik ini apa sih sebenarnya?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Punk 3: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ngerock! Ngebir ! Ngesex!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Kadam: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Astaghfirullah hal adziim…</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><i> (Gus memberi isyarat tangan, melarang anak buahnya bereaksi berlebihan). <br /><br />Begitu Kadam pergi, lalu masuklah Kit dan Punkers berjilbab, mereka agak bingung dan merasa surprise serta bangga, karena melihat Gus tokoh besar kok berada di kalangan lingkungan mereka. </i><br /><br /><b>Kit: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Waah, ada tamu besar rupanya… Assalamu’alaikum Gus! Anda tokoh favorit saya!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Gus: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Okkkee… okeee… jadi begini adik-adik… saya menawari kalian semua jadi underbow Partai saya….</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Kit: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">underbow itu apa????</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Gus: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Underbow ituuu… semacam Organisasi Sayap atau organisasi pendukung… jadi gini… Pemilu yang barusan berlangsung… kan Organisasi Underbouw Partai kami, ada beberapa… misalnya: Ban Serep… anggotanya adalah para preman penambal ban. Ben Jol… anggotanya adalah para preman berkepala botak. Komunitas Pasien RSJ… anggotanya adalah para pasien dan alumnus orang Gila. Dan beberapa lagi… Nah sekarang kita akan bikin Komunitas Punkers Syari’ah… <br /><br /><b>Gus: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Yaaa, aku ngerti, itu tujuan utama kalian. Atau kesenangan hidup kalian yang paling utama. Tapi kan ada yang sekunder, atau yang kedua yang justru dalam jangka panjang bisa membuat hidup kalian lebih enak daripada sekarang. <br /><b><br />Punkers : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kami nggak ngerti Gus. Apa itu ya?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Gus: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Yaa misalnya ingin jadi Menteri! Atau anggota DPR! Atau minimal menjadi anggota Partai Besar! Mendapat seragam, mendapat kartu anggota, mendapat identitas yang jelas, menjadi orang berguna! Naah bagaimana? <br /><i><br />(Para Punkers makin bingung. Bagi mereka, masalah politik adalah masalah yang jauh tinggi di awang-awang, asing bagi mereka, masalah paling penting dalam keseharian para anak Punk adalah musik rock, makan-minum, dan rokok). </i><br /><br /><b>Punkers: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kami bingung Gus! Jangan ajak kami bicara yang muluk-muluk, mendingan ajak kami makan siang ajalah… sudah sore begini kami belum makan siang… perut kami lapar! <br /><br /><b>Gus: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ooo begitu to? Oke, oke itu masalah kecil. Kadam, tolong beli nasi bungkus untuk adik-adik Punk ini!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><i> (Kadam segera melesat pergi membeli nasi bungkus).</i><br />Tentunya kita akan gelontor Dana untuk operasi kegiatan… paling tidak anggaran Nasib Bungkus dan Bir sudah pasti kita adakan. Naah… gimana setuju??? <br /><i><br />(Kit berfikir mewakili teman-temannya).</i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Kit: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hmmmm baiklah Gus… kami mewakili teman-teman menyatakan Setuju, tapi ada syarat… yaitu… Komunitas Pendukung kami juga anda perbolehkan jadi anggota Onderbow… gimana???</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Gus: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hmmmm…. boleh-boleh… tentu saja boleeehhhh… jadi kamu mau tambahkan anggota Onderbow apa saja???</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Kit: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Komunitas Pecinta Kucing… Komunitas Pecinta Anjing… Komunitas Pecinta Reptil… dan Komunitas Pemburu Hantu Pocong…. <br /><b><br />Gus: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Huuuahahahahaaaa… baguuusss… itu ide sangat baguuuusss… aku setujuuuuu!!!! Tos doong!!! <br /><br /><i>(Gus mengajak semua anggota Punk bertos).</i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /> Tos.<br /> Tos.<br /> Tos.<br /> Tos.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><i> Lalu semua berjoget diiringi lagu Dangdut merdu ala Suket Teki… </i><br /><br /><b><i>LAMPU MENUJU GELAP<br /> LAYAR PUN TURUN </i></b><br /><br />Griya Ugahari Margonda, 17 Agustus 2009<br /> Laren, Lamongan, Jawa Timur, 25 Februari 2020. <br /><br /> *) Viddy Ad Daery, penyair, novelis, wartawan, budayawan, dan pembuat filem. Lahir di Lamongan, 28 Desember 1961. Kini suka mengembara di seluruh pelosok Nusantara, negeri paling ajaib di dunia, demi mencari ilham karya serta menyebarkan setetes ilmunya. No Kontak: 0856 481 50 681. Yang ingin mementaskan lakon Drama ini, mohon menghubungi penulisnya, terima kasih. <br /></span><br /></div>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-2258117426044036442023-01-31T10:11:00.010-08:002023-01-31T10:49:08.603-08:00KIBAR BENDERA SI SARTO DI HALAMAN RUMAH - Rodli TL<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgc06ixshtEbXPi8CI0Wl2lPFGZdsRi9lwjKHpgk4VmjlEocTWDLlVq0FnnJED4ZuV7tOxn4D6-pwsSNqJmy7IB4ic53o4MgeMTI-Ddxqu6mi0pGGnvpiyrM4gh4aVqDK6JYHt-G1pE7Fjj_ey6koe1p-ypFpf8KtBBCXu1ULWY2_te_1rBiC26axa8/s9055/Kibar%20Bendera%20Si%20Sarto%20Di%20Halaman%20Rumah1.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgc06ixshtEbXPi8CI0Wl2lPFGZdsRi9lwjKHpgk4VmjlEocTWDLlVq0FnnJED4ZuV7tOxn4D6-pwsSNqJmy7IB4ic53o4MgeMTI-Ddxqu6mi0pGGnvpiyrM4gh4aVqDK6JYHt-G1pE7Fjj_ey6koe1p-ypFpf8KtBBCXu1ULWY2_te_1rBiC26axa8/w400-h261/Kibar%20Bendera%20Si%20Sarto%20Di%20Halaman%20Rumah1.jpg" width="400" /></a></div><span style="font-family: arial;"><b><br /><br />KIBAR BENDERA SI SARTO DI HALAMAN RUMAH<br />Karya: Rodli TL</b><br /><br /><i><b>Para Tokoh; </b></i><br /><br />Sartib, lelaki kampung yang berusia 40-an. Hari-harinya dirundung sedih karena belum genap seratus harinya ditinngal istri tercintanya. <br /><br />Sarto, Bocah laki-laki berusia belasan tahun. Ia bisu dan kurang normal pikiranya, tapi ia punya semangat hidup yang tinggi. <br /><br />Mbok Sumi, Perempuan Tua yang masih lantang bicaranya. Ia adalah tetangga yang sangat perhatian. Namun sangat cerewet. <br /><br />Marjo, Pemuda penjual bendera <br /><br />Kepala Desa, sesusia dengan Sartib. Ia suka main perempuan dan sok berwibawa. Sangat otoriter. <br /><br /><br /><b>ADEGAN I </b><br /><br /><i>Seorang bocah laki-laki bisu berdiri di bawah tiang bendera. Ia memegangi talinya sambil menaikkan bendera merah putih yang sudah sobek-sobek. Ia tarik pelan sambil menyanyikan lagu “Indonesia Raya”.<br /> Dalam nyanyian yang hikmat, seorang lelaki dewasa berteriak memanggil bocah yang sedang khusuk bernyanyi. Lelaki yang memanggil itu adalah Sartib, ayah dari si bocah bisu itu. </i><br /><br /><b>Sartib : </b></span><div><span style="font-family: arial;">Sarto!</span><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Sarto : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(sedang khusuk bernyanyi)</i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sarto! Bapak minta mantuan!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sarto : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(terus menarik tali, menaikkan benderah merah putih)</i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sarto, sedang apa kamu?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sarto : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(terus saja ia pandangi benderanya yang sudah naik di atas setengah tiang)</i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(lebih keras suaranya)</i> Kenapa kamu tidak mengindahkan panggilan bapakmu sama sekali, apa kamu sudah budek?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Sarto : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(tetap hikmat menyanyikan lagu Indonesia Raya) </i><br /><i><br />Sartib keluar dari rumah, melihat apa yang sedang dilakukan anaknya. Ia menggeleng-gelengkan kepala, lalu berusaha bersabar menunggu anaknya menyelesaikan bait terakhir lagu “Indonesia Raya”.<br /> Usai menyanyikan lagu Indonesia Raya, Sarto kemudian berlagak seperti komandan upacara untuk menghadap dan hormat pada ayahnya yang ia perlakukan sebagai Instruktur Upacara. </i><br /><br /><b>Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sarto, sarto ………… ya sudah bubarkan!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sarto : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(menggelengkan kepala)</i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sarto, komandan upacara, bubarkan, upacara telah selesai!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sarto : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(menggelengkan kepala)</i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Upacara hari ini sudah bisa dibubarkan, tidak ada amanat dari instruktur upacara. Ayo bubarkan!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Sarto : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(menggelengkan kepala) </i><br /><br /><i>Sarto berlarian masuk rumah dan keluar dengan membawa sobekan kardus, ia berjalan tegap seakan membawa map yang berisi teks Proklamasi. </i><br /><b><br />Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa yang harus bapakmu lakukan, Sarto?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Sarto : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(menggerakkan tangannya untuk meminta membaca teks Proklamasi dengan mengangkat tangannya seakan meneriakkan “merdeka”)</i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sarto, semuanya kita anggap ‘pre-memori’ ya</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sarto : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(terus memaksa untuk membacakan teks Proklamasi dengan mengangkat tangannya”Merdeka”)</i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya, pembacaan Proklamasi pre-memori. Ini kan masih latihan. 17 Agustus kan masih beberapa hari lagi.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sarto : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(mengangkat tangannya berulangkali)</i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya, nanti anakku, kalau tanggal 17 Agustus kita akan mengadakan upacara di halaman rumah ini. Kita akan mengundang semua teman-temanmu, paman, bibi, semua sanak kita, dan tidak lupa para tetangga.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Sarto : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>( terus memaksa bapaknya untuk membacakan teks Proklamasi)</i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib :</b> </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Dengan suara membujuk) </i>Anakku Sarto, upacara kemerdekaan itu harus dilaksanakan dengan banyak orang, tidak cukup hanya berdua. Ada komandan upacara, ada pengibar bendera, ada pembina upacara, ada pembaca teks Proklamasi. Ada pembaca do’a dan puluhan peserta upacara. Kalau upacara itu hanya kita lakukan berdua, akan ditertawakan oleh orang-orang yang lalu lalang di depan rumah kita. Mereka menganggap kita gila anakku, kamu Sarto dan bapakmu ini akan jadi omongan orang, bahwa anak dan bapaknya sama-sama gilanya. <br /><br /><i>Lagu Indonesia Raya mengalun.<br /> Sarto mulai murung. Ia berjalan meninggalkan bapaknya. Ia sangat kecewa dengan perlakuan bapaknya yang tidak mau di ajak upacara. <br /></i><b><br />Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sarto, kamu mau kemana? Jangan pergi, bapak masih butuh bantuanmu. Sarto, belikan bapak rokok, ada kembaliannya buat kamu. <br /><br /><i>Sarto langsung bergegas memenuhi panggilan bapaknya. Ia sangat girang. </i><br /><br /><b>Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ini uangnya, buat belikan rokok dua batang, sisanya buat kamu. (tersenyum merasa senang) Ya gitu, kamu harus riang. Besok kalau 17 Agustus kita akan adakan upacara di depan rumah . Bendera putihnya tidak sobek seperti milik kamu itu, kalau bapak punya uang kita ganti dengan yang baru. (bersemangat) Bendera si Sarto akan berkibar di halaman rumah. <br /><i><br />Sarto bergegas pergi, ia berlari sambil menyanyikan bait terakhir lagu Indonesia Raya berulang-ulang. </i><br /><br /><br /><b>ADEGAN II </b><br /><br /><i>Syair-syair lagu Indonesia Raya, berkumandang keras dalam degup jantung Sartib yang menunggu anaknya si Sarto yang belum juga datang. Pikiran Sartib berkecamuk antara keinginan merokok dan keinginan anaknya untuk melakukan upacara. Sartib meminum kopi untuk membuang pikiranya yang ruwet..<br /> Tiba-tiba seorang peremupuan tua berlarian memanggil-manggil Sartib. Ia adalah mbok Sumi. </i><br /><br /><b>Mbok Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sartib, Sartib gak waras kamu ya, kamu tega dengan anak kamu sendiri. Ternyata kamu lebih sakit daripada anakmu. Sarto walaupun begitu, ia masih anakmu, Sartib!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ada apa mbok Sumi? Apa salah anak saya?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Mbok Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bukan salah anak kamu, tapi kamu yang salah.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa yang di lakukan Sarto mbok, apa?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Mbok Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sartib, Sartib……. kamu bener-bener keterlaluan, kamu tidak bisa menjaga amanat bojomu, gak bisa jaga amanate Karti, Ibunya si Sarto.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mbok Sumi, jangan membawa-bawa nama almarhumah Karti, istriku. Biarkan ia tenang di sisi Tuhan.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Mbok Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Belum genap seratus harinya. Istrimu meninggal. Kamu sudah lupa dengan amanatnya. Istrimu semakin tidak tenang karena kamu tidak bisa menjaga Sarto anaknya.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mbok Sumi…… <br /><br /><i>Seorang laki-laki menggendong bocah yang diselimuti dengan bendera merah putih. Ia adalah si Sarto. Bocah itu ditidurkan di atas amben bambu. Sartib berusaha membantunya. Sartib membuka pelan bendera yang menutupi wajah anaknya. </i><br /><br /><b>Karjo : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudah sabar ya, Gus. Sudah waktunya.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa yang terjadi dengan anak saya, Mas?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Karjo : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Usai membayarkan uangnya pada saya untuk membeli bendera baru itu. Ia bergegas membuka lipatan bendera. Saking gembiranya, ia kibarkan bendera merah putih itu sambil berlarian. Ia tidak melihat kanan kiri langsung berlari menyebrang jalan. Ia kecelakaan, ia ketabrak sepeda motor.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak terjadi apa-apa kan dengan dia. Dia hanya ingin tidur kan?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Karjo : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dia sudah meninggal, Gus.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Mbok Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(tangisan mbok Sumi langsung pecah dan menghamburkan tubuhnya merangkul Sarto)</i> Innalillahi, Sarto. Kenapa secepat ini. Kenapa kamu cepat ingin bertemu makmu, le?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">maksudnya?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Karjo : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ia sudah meninggal dunia, Gus Sarto</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(menangis histeris)</i> Tidaaaak… tidak anakku Sarto, jangan tinggalkan bapakmu. Sarto ayo bangun, ya bapak mau sekarang, kita akan mengadakan upacara kemerdekaan. Bangun sarto, bapak akan membacakan Proklamasi. Ayo sarto, percayalah pada Bapak akan membacakan Proklamasi. Sarto bangun anakku. Ayo kita melaksanakan upacara bendera. Bangun Sarto…….! <i>(menempelkan pipinya pada telinga anaknya, sambil menangis ia mengucapkan Proklamasi) </i>Sarto anakku…. Karti, maafkan aku yang tidak bisa menjaga anak kita. Maafkan aku Karti….!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><i> Back soud lagu Indonesia Raya mengiringi kepergian Sarto. Lampu fade out dan panggung menjadi gelap. </i><br /><br /><br /><b>ADEGAN III <br /></b><i><br />Lagu Indonesia Raya mengibarkan semangat Sartib untuk bersiap mendatangi Pak Kades di Balai Desa. Ia memakai sarung dan pecinya, dan langsung bergegas berangkat.</i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Assalamualaikum, selamat pagi Pak Kades!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pagi, Sartib. Ada apa kok pagi-pagi betul datang ke Balai Desa?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya ada perlu, Pak Kades</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya perlu apa? Mau menikah kamu Tib? Ya sukur. Tapi ya nggak pantes kalau secepat ini kamu mau menikah lagi. Belum genap saratus harinya Surti istrimu meninggal, anakmu yo baru kemarin meninggal. Kalau kamu mau cepat-cepat menikah yo nggak baik. Sabar duluh, tunggu sekitar satu tahun lagi. Kalau benar-benar nggak kuat ya paling tidak setenga tahun lagi la. Ngomong-ngomong mau menikah sama siapa sih?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">tidak, pak Kades</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sartib-Sartib, kamu ini seperti anak remaja yang lagi pertama jatuh cinta, pakai malu-malu segala. Perempuan mana, masih perawan atau sudah janda?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak pak Kades</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kita ini sudah berumur, Sartib, sudah makan asam garam persoalan perempuan, persoalan rumah tangga. Kamu kok pakai rahasia segala. Sungguh tidak akan saya sampaikan sama siapa-siapa.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak pak</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sartib, kalau aku tahu dan kenal perempuan itu. Aku kan akan bisa melindungi. Selaku Kepala Desa aku akan mengayomi. Maksud aku, kalau ada laki-laki yang menggoda perempuan calonmu itu, aku kan bisa ngomong kalau perempuan itu tidak boleh digoda karena bakal calonmu.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Maaf, pak kades…</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oh, kamu takut sama saya. Takut kalau calon perempuanmu itu akan aku goda. Maaf Sartib. Selera aku dengan selera kamu jauh berbeda. Selera aku itu perempuan yang suka pakai lipstik, merah warnanya. Sartib sartib…..</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Maaf, pak kades. Maksud kedatangan saya ke sini bukan mau melapor kalau saya mau menikah.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Terus untuk apa?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">hari ini kan tujuh harinya anak saya, Si Sarto</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lha urusan tahlilan saja kok kamu laporkan ke kantor desa</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bukan tahlilannya pak kades</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Terus apa?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hutang saya pada sarto anak saya</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hutang apa itu?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya berhutang mau ngadakan upacara bendera di halaman rumah saya, Pak Kades.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa, upacara bendera di halaman rumah kamu?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya pak.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Terus sama siapa kamu akan mengadakan?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sama para tetangga. Dan saya berharap pak kades datang sebagai instruktur upacara untuk menyampaikan amanat.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kamu tahu sejarah nggak, kenapa upacara bendera itu diadakan?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak banyak pak. Setahu saya ya untuk memperingati kejadian pada tanggal 17 agustus sebagai hari kemerdekaan kita. Bendera merah putih dikibarkan dan teks proklamasi dibacakan oleh Bung Karno. 17 agustus adalah pintu gerbang kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk merdeka, berkarya dan membangun.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hanya itu?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">ya hanya itu pak, maklum tidak pernah makan bangku sekolah, Pak.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kamu pernah lihat tidak upacara itu dihadiri tukang ngarit, tukang angon, tukang matun. Ya pokoknya orang-orang seperti yu ton, mbok sumi, Kang gus marjo tetangga kamu itu. Dengan memakai sewek dan kudung umbrut-umbrut gitu?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Belum pak</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kamu pernah tahu tidak upacara bendera merah putih itu diadakan di depan Rumah?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Belum pak</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Begini Kang Gus sartib. Para pahlawan kita itu tidak main-main memperjuangkan kemerdekaan. Ia mengorbankan segala yang dimilikinya termasuk nyawanya. Kita sebagai warga negara yang baik, sebagai generasi perjuangan haruslah bisa merayakan dengan penuh hikmat.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya serius pak Kades. Sungguh saya tidak main-main</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">kalau upacaranya di halaman depan rumah sampean dan yang hadir itu tetangga-tetangga sampean ya itu namanya main-main, Gus</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak Pak, sungguh saya tidak main-main, saya serius ingin mengadakan upacara bendera, saya ingin menghormati anak saya yang sangat menghormati pahlawan yang memperjuangkannya.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau ada upacara di laksanakan di halaman rumah dan diikuti oleh para tetangga itu namanya main-main, Gus. Upacara itu di laksanakan di halaman sekolah, di halaman kantor pemerintah, di alun-alun. Dan yang hadir adalah para pegawai pemerintah dan anak-anak sekolah.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">tapi kami akan melaksanakan dengan serius, pak Kades</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau kamu dan para tetangga yang melaksanakan. Itu namanya mempermainkan</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sungguh Pak Kades, saya tidak main-main. Dengan tulus saya ingin mengadakan upacara untuk menghormati anak saya yang menghormati para pahlawannya.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(membentak)</i> Tidak, tidak ada upacara di depan halaman rumah kamu!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">kenapa tidak boleh, pak Kades?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Karena kamu yang melaksanakan.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kenapa kalau saya yang melaksanakan tidak diperbolehkan, padahal saya sunguh-sungguh ingin melaksanakan. Saya ingin menghormati anak saya yang sungguh-sungguh menghormati para pahlawan.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak! Pak sartib, saya tidak bisa membayangkan buah bibir warga, orang-orang kampung sebelah kalau upacara itu dilaksanakan.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kenapa, Pak Kades?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mereka akan mentertawakan kita. Mereka akan menganggap kita gila.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kenapa mereka menganggap kita gila, Pak Kades?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Karena mengadakan Upacara memperingati kematiannya orang yang tidak normal alias gila.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Siapa yang tidak waras pak Kades, anak saya atau para pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan kita itu?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hai goblok, yang tidak waras itu anak kamu yang bisu itu. (diam) Kang Gus Sartib, Si Sarto anak kamu itu tidak pernah sekolah, tidak pernah belajar, ngomong saja tidak bisa apalagi membaca. Masak kita akan memperingati kematiannya seperti kita memperingatai para pahlawan.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Sartib : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi, dia juga pahlawan, pak</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(tertawa) </i>apa, pahlawan? Pahlawan bagi siapa? Enaknya kamu ngomong bahwa ia pahlawan. Enaknya kamu menyamakan orang yang bisu dengan para pahlawan.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> Sartip : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dia mati karena sangat mencintai bendera merah putih, dia mati karena dia ingin mengadakan upacara bendera untuk menghormati para pahlawan.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pak Sartib. Ya itu, keinginan seperti itu hanya pada orang-orang yang tidak waras. Dia mati karena memperjuangkan ketololannya. Dan dia mati bukan sebagai pahlawan, tapi itu namanya mati gila! <br /><i><br />Lagu Indonesia raya melantun mengiris hati. Mengiringi kepergian Sartib dengan rasa kecewa. Kecewa karena tidak dizinkan mengadakan upacara, dan kecewa karena anaknya dikatakan tidak waras dan mati gila! </i><br /><br /><br /><b>ADEGAN IV </b><br /><br /><i>Sartib memegangi bendera yang seminggu lalu menjadi selimut kematian anaknya. Ia berjalan dengan hati sedih mengingat keinginan anaknya yang ingin sekali mengadakan upacara bendera merah putih. Di bawah tiang bendera ia ikatkan bendera dan ia tariknya pelan. Sampai pada setenga tiang bendera itu melambai sedih. Tiba-tiba Sartib kaget karena ada suara yang menghardik. </i><br /><br /><b>Kades : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tangkap Sartib. Dia sedang gila, dia sedang tidak waras, dia menghina bendera merah putih kita! Ayo, amankan si Sartib yang gila itu! <br /><i><br />Sartib ditangkap dan diamankan dengan iring-iringan lagu Indonesia Raya. </i><br /><br /><b><i>Lamongan, 30 April 2008<br />TAMAT</i></b></span><br /><p class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"></span></p></div></div>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-35535715656705411702023-01-31T10:00:00.005-08:002023-01-31T11:11:02.293-08:00RUMAH DO RE MI - Mayang Sari<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgF0FkN5u12XT5HYTnqgCRkibVt3-tncKJOgSeae19qmHOS6Kc4AntGFjhuDOg-IPTU5hCXC0aVlABgOZpeUIts3MQN7pHqgZ4F_kSP3rAjn7zZozyXg_GM9SiL34oI5UNy_IFmJdfzULn1nL96SY6Hq2NfVcrMb0PRVaA0ZwLJs9YUQSsG9RE7CPQu/s9055/Rumah%20Do%20Re%20Mi.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgF0FkN5u12XT5HYTnqgCRkibVt3-tncKJOgSeae19qmHOS6Kc4AntGFjhuDOg-IPTU5hCXC0aVlABgOZpeUIts3MQN7pHqgZ4F_kSP3rAjn7zZozyXg_GM9SiL34oI5UNy_IFmJdfzULn1nL96SY6Hq2NfVcrMb0PRVaA0ZwLJs9YUQSsG9RE7CPQu/w400-h261/Rumah%20Do%20Re%20Mi.jpg" width="400" /></a></div><br /> <span style="font-family: arial;"><br /><br /><b>RUMAH DO RE MI<br />Karya : Mayang Sari</b><br /><br /><br /><b>ADEGAN 1 </b><br /><br /><i>Suatu malam yang dingin dan mencekam, di dalam sebuah kamar terdapat anak-anak panti asuhan yang sedang tertidur, semuanya seakan sepakat untuk mengalami mimpi buruk yang sama dalam tidur mereka itu. Dalam mimpi mereka, terdengar suara lantang dan menyeramkan dari pengurus panti, pengurus mereka. Terdengar pula suara cambukan dan rintihan kesakitan anak-anak. </i><br /><br /><b>Renata : </b></span><div><span style="font-family: arial;">Dengarkan kata-kata ibu, jangan berani-beraninya kalian mengulangi kesalahan yang sama! Karena ibu tidak akan segan-segan untuk menghukum kalian lebih keras lagi! Kalian harus mengikuti semua aturan yang telah ibu buat! Semuanya! Tanpa terkecuali! Taati semua perkataan ibu! Ingat, bagaimanapun juga panti asuhan ini harus berjalan sesuai dengan yang ibu inginkan! <i>(berkata dengan keras sambil memukuli anak-anak dengan kayu ringan, sementara anak-anak merintih dan menangis ketakutan)</i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /></span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b>ADEGAN 2 </b><br /><br /><i>Keesokan hari, di ruang tamu, Renata sedang berbicara dengan pimpinan Panti Asuhan yang bernama Julia. Julia membawa seorang mahasiswa magang untuk membantu Renata mengurus anak-anak, mahasiswa itu bernama Fauzi, wajahnya ramah dan menyenangkan. Akan tetatp Renata tidak menyukai kedatangan pria itu. </i><br /><br /><b>Julia : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya mengerti Ibu Rena, tapi bagaimanapun juga panti asuhan ini dibangun dengan uang saya, dan saya ingin anak-anak yang berada disini memiliki masa depan yang cerah. <br /><br /><b>Renata : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Iya bu, maafkan saya. Akan tetapi saya ingin Ibu memahami bahwaselama ini sayalah yang merawat mereka dan mengurus keseharian mereka, jujur saya agak kewalahan. Saya yang harus menyiapkan sarapan pagi, makan siang hingga makan malam. Saya juga yang membersihkan rumah, mencucikan seluruh pakaian mereka, merawat mereka, mengurus mereka apabila mereka sakit. Belum lagi tugas sekolah mereka, dengan mereka yang memiliki perbedaan umur, tugas yang berbeda pula dan kenakalan yang tak ada habisnya. Setiap hari saya harus mengingatkan mereka untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan oleh sekolah, bila mereka tidak dapat mengerjakan sendiri, saya yang harus mengajarnya sendirian. Sedangkan jumlah mereka bukanlah satu ataupun dua. Saya sangat menginginkan pengertian dari Ibu Julia selaku pimpinan Panti ini. <br /><br /><b>Julia : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Justru itulah maksud kedatangan Saya kesini.Saya sudah mempersiapkan sebuah rencana untuk mengurangi permasalahan tersebut.Perkenalkan, ini Mas Fauzi, Dia adalah mahasiswa jurusan psikologi tingkat akhir, Dia datang kesini untuk praktik kerja lapangan yang ditugaskan oleh kampusnya, sekaligus membantu anda mengurus anak-anak.<i> (Renata kelihatan tidak begitu senang) </i>Anda tidak keberatan kan? Saya melakukan ini tentunya untuk kebaikan Anda juga. <br /><br /><b>Renata : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(gelagapan)</i> Oh tentu saja tidak, apapun yang terbaik untuk panti asuhan ini. <br /><br /><b>Julia : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Baguslah kalau begitu. Mas Fauzi, Anda bisa langsung berkenalan dengan anak-anak.<i>(berbicara pada Fauzi, tersenyum). </i><br /><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Baiklah bu, permisi. <i>(Fauzi masuk ke kamar anak-anak) </i><br /><br /><b>Julia : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ibu Rena, ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan.<i>(kembali berbicara kepada Renata dengan serius). </i><br /><br /><b>Renata : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tentang apa itu Bu? <i>(Terlihat cemas) </i><br /><br /><b>Julia : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ini tentang donatur, ada beberapa hal yang perlu Ibu ketahui. Mari Bu.<i>(Keduanya beranjak ke ruang kantor Renata)</i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /></span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br />ADEGAN 3 </b><br /><br /><i>Kamar anak-anak, Mereka sedang bermain di dalam kamar dengan ceria. Fauzi masuk ke dalam kamar, memperhatikan anak-anak dengan senang. <br /></i><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Tersenyum, hangat)</i> Halo, anak-anak! <br /><br /><b>Anak-anak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Anak-anak berhenti berbicara dan memperhatikan Fauzi dengan berbagai ekspresi. Ada yang senang, ada yang heran, ada juga yang merasa terganggu karena permainan dihentikan. Akan tetapi semuanya membalas sapaan Fauzi dengan sopan)</i>. Halo. <br /><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hai, nama Kakak, Fauzi. Salam kenal. Kakak berada disini untuk membantu Ibu Rena merawat Kalian untuk sementara waktu, bolehkah kakak berkenalan dengan Kalian? <br /><br /><b>Chika : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">(berkata dengan centil, anak perempuan satu ini sangat manis. Rambutnya dikuncir dua dan sangat feminin)Namaku Chika. Nama Kakak siapa? <br /><br /><b>Anak-anak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kakak? Bapak kali. <br /><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nggak papa <i>(berkata sambil tersenyum ramah).</i> Panggil Kakak aja. Kakak kan masih kuliah. Tadi Kakak juga sudah memberi tahu nama Kakak. Tapi tidak apa-apa, sekali lagi Kakak beritahu, nama Kakak Fauzi. Lengkapnya Ahmad Fauzi. Nah, yang lain namanya siapa? <br /><br /><b>Karin : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya Karin! <i>(anak perempuan ini berpenampilan seperti anak lelaki, rambutnya pendek dan memakai topi, pakaiannya adalah kaos lelaki, dan dia sedang memainkan bola kaki ditangannya) </i><br /><br /><b>Anita : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya Anita Kak!<i> (Anak wanita satu ini, mengikat rambut panjang hitamnya tinggi-tinggi, kulitnya hitam manis dan memakai kacamata, wajahnya adalah wajah paling ramah diantara yang lainnya) </i><br /><b><br />Acong : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya Putra Kak!<i> (Seorang anak lelaki berdiri, penampilannya agak aneh, karena dia melilitkan sarung dikakinya hingga nyaris seperti rok tiga perempat, tapi wajahnya tak kalah ramah dengan Anita).</i> Bisa dipanggi Acong<i> (berkata dengan penuh semangat). <br /></i><br /><b>Didi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Anak Mencong! <i>(berkata meledek Acong, dan anak-anak lain tertawa sedangkan Acong cemberut dan berpikir untuk membalas didi). <br /></i><br /><b>Jono : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya Jono kak!<i> (Anak ini terlihat paling pintar dibanding yang lain, memakai kacamata tebal dan disekelilingnya terdapat tumpukan buku).</i> Saya sahabat terdekatnya Bos! <i>(tersenyum sumringah). <br /></i><br /><b>Setyo : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan saya adalah bos yang disebut oleh Jono! Nama saya Prasetyo kak! Dipanggil Setyo. <i>(Anak ini adalah Anak bertubuh paling besar dari yang lain, memiliki suara paling keras, dan menyenangkan). <br /></i><br /><b>Apin : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya Apin! <i>(Badanya tak sebesar badan Setyo, tapi kelihatannya Dia tak bisa menahan lapar lebih lama dari yang lain. Tubuhnya gemuk, berkulit kecoklatan. Terdapat sebuah tompel kecil di dekat hidungnya. Dia berbicara dengan mulut penuh makanan). </i><br /><b><br />Didi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Si Tompel! <i>(semua kembali tertawa mendengar ledekan Didi).</i> Saya Didi Kak! <i>(anak lelaki ini adalah yang paling muda namun paling bertingkah dibanding yang lain, tapi semua menyukainya). </i><br /><br /><b>Acong : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Didi Kempot! <i>(berkata meledek Didi sambil mengempotkan pipinya, tawa anak-anak kembali meledak). <br /></i><br /><b>Rafi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya Rafi.<i> (Anak ini terlihat agak aneh, namun yang melihatnya pasti langsung menyayanginya. Anak ini memiliki kelainan dengan cara berfikir dan bicaranya, namun Dia sangat senang membantu orang lain). </i>Saya, Apin, Didi, dan Acong suka bermain bersama. <br /><br /><b>Karin : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan mereka pun dipanggil kumpulan para idiot. Karena mereka suka berbuat hal-hal diluar kata normal. <i>(mendengar itu Apin, Didi, dan Acong tidak merasa kesal, melainkan cekikikan menyetujui pernyataan Karin). <br /></i><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wah, Kakak sangat senang bisa berkenalan dengan kalian, kalian memiliki beraneka macam sifat dan pola pikir. Pasti kita bisa bersahabat dengan baik. (wajah anak-anak meragukan hal tersebut. Namun, Fauzi tetap bersemangat menghadapi mereka). Oh iya, Kakak memiliki sesuatu untuk Kalian! <br /><br /><b>Chika : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa itu Kak? <i>(semua langsung tertarik mendengarkan dengan serius). </i><br /><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ada syaratnya kalau kalian ingin tahu.<i>(wajah anak-anak agak kecewa karena dibuat penasaran olehnya). <br /></i><br /><b>Acong : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa Kak syaratnya? <br /><br /><b>Fauzi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hmm, Kalian harus belajar bernyanyi! <br /><br /><b>Chika : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Menari juga dong pak! <br /><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Iya menari juga. <br /><br /><b>Anak-anak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">HORE!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /></span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b>ADEGAN 4 </b><br /><br /><i>Suatu Malam, Rena sedang berbicara sendiri di Kantornya dengan sangat kesal. </i><br /><b><br />Renata : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ini tidak boleh terjadi! Enak saja orang baru itu. Belum ada dua minggu dia berada di panti asuhan ini, laganya sudah seperti bertahun-tahun. Baru menjadi mahasiswa tingkat akhir saja sudah belagu. Dan Julia, Kenapa Dia selalu membanggakan Fauzi?Kenapa Dia selalu menanyakan anak-anak kepada Fauzi? Bukan kepadaku! Selama bertahun-tahun inikanAku yang mengurus dan menjaga anak-anak, Aku yang lebih mengerti Mereka. Ditambah lagi anak-anak yang sekarang sudah mulai berani melawan dan mengabaikan semua aturanku.Tidak! Panti ini tidak boleh terus-menerus seperti ini. <i>(berpikir keras) </i>Aku harus mencari cara untuk menyingkirkannya dari sini!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /></span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b>ADEGAN 5 </b><br /><i><br />Di lain malam, anak-anak sedang bersenda gurau dikamar mereka, lalu masuk Fauzi membawa sebuah keranjang yang membuat anak-anak penasaran. <br /></i><b><br />Setyo : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jadi nih, <i>(bercerita dengan penuh semangat kepada anak-anak lainnya, semua serius memperhatikan Setyo, menantikan sebuah cerita yang luar biasa). </i>Pada suatu hari, ada seorang tukang roti dengan senangnya menjual rotinya dengan mengendarai sepeda. Dia bersenandung dengan ceria dan penuh semangat. Akan tetapi, ketika dia berbelok ke kanan, dia tidak melihat bahwa di kiri jalan ada lubang besar! Dan BUG! Terjatuhlah dia bersama barang dagangannya. Lalu dengan sigap datang seorang Polisi bersiap untuk membantunya. Berkatalah Polisi itu ‘Ada apa pak?’ dan apakah kalian semua tau apa yang dijawab oleh tukang roti itu?<i> (Setyo menghentikan sejenak untuk memperhatikan wajah teman-temannya yang sangat serius, dan bersiap memberikan klimaks dari ceritanya) </i>Tukang roti itu berkata dengan kesakitan ‘ada roti coklat pak, ada rasa stroberi, srikaya’. Hahaha, dia malah jualan Teman-teman<i> (tawa anak-anak pun meledak). </i><br /><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Memperhatikan anak-anak dari pintu kamar dengan penuh rasa sayang, ditangan Fauzi terdapat sebuah keranjang yang berisi dengan beraneka ragam barang. Begitu tawa anak-anak mereda, Fauzi masuk dan menyapa anak-anak). </i>Malam anak-anak! <br /><br /><b>Anak-anak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Malam Kak Fauzi! Wah, apa itu Kak? <i>(bertanya dengan penuh antusias memperhatikan barang bawaan Fauzi) <br /></i><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ini? <i>(berkata sambil mengangkat barang bawaannya tinggi-tinggi).</i> Kalian mau tau ini apa? <br /><br /><b>Anak-anak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Iya Kak, Apa itu kak? <br /><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau Kalian ingin tahu apa ini, Kalian harus menyanyikan dan menarikan lagu yang Kakak sudah ajarkan! Gimana? <br /><br /><b>Anak-anak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Siap Kakak!<i> (bersiap-siap dengan semangat, lalu mengambil posisi untuk menyanyi dan menari) </i><br />Hai kawan kawan semua, jangan pandang kami sebelah mata<br />Walau kami tak punya orang tua, walau lahir tanpa cinta<br />Kami bisa bahagia<br />Hai kawan kawan semua, lihatlah apa yang kami punya<br />Rumah kami yang penuh dengan warna warna,<br />Yang bisa kami buat selalu bernada<br />Ada bos besar bersama anak buahnya yang oon<br />Ada para idiot yang bisa bikin tertawa<br />Ada cewek-cewek yang gemar menceritakan harinya<br />Ada juga canda dan tawa<br />Ada juga canda dan tawa <br /><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bagus! Kakak sangat suka, nah kalian siap anak anak? <i>(Anak-anak mengangguk antusias, lalu dengan sigap mereka duduk dengan rapi)</i>. Keranjang ini berisi dengan Cita-cita! <i>(anak-anak kaget lalu semakin senang, sekejap ruangan penuh dengan pertanyaan apa yang akan mereka lakukan dengan cita-cita itu. Namun, mereka mengerti untuk kembali memperhatikan Fauzi).</i> Cita-cita ini, Kakak siapkan untuk Kalian semua, untuk Kalian gapai di masa depan Kalian! Siapkah Kalian semua untuk menangkap cita-cita yang Kakak berikan? <br /><b><br />Anak-anak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Siap Kak! <i>(Teriak anak-anak penuh semangat). </i><br /><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Baik, Kita mulai cita-cita yang pertama. Cita-cita ini dapat membuat yang memilikinya berlari dengan cepat, gesit, lincah, dan dia yang memilikinya, dapat mencetak gol dengan spektakuler! Cita-cita ini adalah ATLET SEPAK BOLA! <i>(Mengeluarkan baju sepak bola bewarna merah dari dalam keranjang)</i>. Siapa yang menginginkannya?<i> (Bertanya dengan penuh semangat ke arah anak-anak) <br /></i><br /><b>Karin : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Karin mau Kak! Karin mau cita-cita itu! Karin mau menjadi pemain sepak bola yang handal dan terkenal Kak! <i>(Karin menghampiri Fauzi penuh semangat, lalu mengambil baju yang ada ditangan Fauzi. Karin memakai baju bola yang diberikan Fauzi, dan ruangan sekejap menjadi lapangan sepakbola yang sangat besar, di lapangan itu sedang terjadi pertandingan sepak bola tingkat nasional, penonton bersorak menyemangati Karin yang sedang bertanding, dan pada akhirnya Karin mencetak GOL!Gemuruh penonton menyelimuti stadion). <br /></i><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Selamat Karin!<i> (semua tersadar dari imajinasi mereka dan lembali memerhatikan Fauzi dengan semangat yang bertambah).</i>Kamu telah memiliki sebuah cita-cita! Kakak sudah siap memberikan yang lain cita-cita juga!Berikutnya, cita-cita ini dapat membuat orang itu memiliki akting yang hebat, sering masuk televisi, fotonya sering dipajang dimana-mana, Dia akan disukai banyak orang dan Dia akan menjadi sangat terkenal. Cita-cita ini bernama ARTIS! <i>(Mengeluarkan sebuah piala berwarna kuning keemasan). </i><br /><br /><b>Chika : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya mau Kak Fauzi yang ganteng!Saya mau jadi aktris yang terkenal dan disukai banyak orang.<i>(Lalu Kamar kembali berubah menjadi podium penerimaan piala, dan terdengar pembawa acara membacakan nominasi aktris terbaik) </i><br /><br /><b>Seseorang : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan pemenang aktris terbaik jatuh kepada, CHIKA!<i> (chika menaiki podium) </i><br /><br /><b>Chika : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Terima kasih kepada Allah,Dewan Juri, Kak Fauzi dan Ibu Rena,serta semua teman-teman Chika yang sudah mendukung Chika, piala ini aku persembahkan untuk kalian teman-teman! <i>(semua penonton bersorak-sorai dan menghampiri Chika untuk memberikan ucapan selamat), </i><br /><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Anak-anak! Disini ada cita-cita selanjutnya loh! <i>(kembali menyadarkan anak-anak dari imajinasi mereka yang luar biasa)</i> Cita-cita ini, dapat mengubah segala bentuk makanan menjadi suatu hidangan yang diinginkannya, Dia dapat membuatnya menjadi rasa yang Ia mau, dan Dia tidak akan pernah kehabisan makanan. Cita-cita ini dinamakan KOKI! Siapa yang menginginkan cita-cita ini?<i> (laluFauzi mengeluarkan topi koki) </i><br /><br /><b>Apin : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">APIN KAKAK! APIN! APIN! Apin ingin cita-cita itu! Apin ingin makanan Apin tidak akan habis Kak! Pokoknmyacita-cita itu Cuma buat Apin! <br /><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudah Kakak duga! Ini Apin, cita-cita ini sekarang milikmu.Kamu akan menjadi seorang koki! <i>(lalu kamar menjadi sebuah ruangan acara demo masak kelas dunia) </i><br /><br /><b>Seseorang : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Baiklah, selamat datang chef terkenal dunia, APIN….! Chef Apin, masakan apa yang akan anda buat hari ini? <br /><br /><b>Apin : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apin mau buat istana coklat!Cara pertama masukan terigu, kedua telur, ketiga chiki, lalu roti, permen,cilok, bakso goreng, es doger dan akhirnya kita aduk aduk! <i>(satu-persatu berdatangan orang-orang mewakili bumbu yang Apin masukan) </i>Dan jadilah ISTANA COKLAT! Karena istana coklatnya sudah jadi, sekarang waktunya makan! <i>(Istana coklat sekejap buyar dihentikan oleh Fauzi begitu melihat anak-anak bersiap melompat-lompat mengejar imajinasi Apin). </i><br /><br /><b>Anak anak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wah Hebat! <br /><br /><b>Acong : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kakak! Manacita-cita untuk saya apa Kak? <br /><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Putra, dengarkan Kakak baik-baik. Inilah cita-cita kamu, kamu akan bisa membuat sebuah cerita yang sangat spektakuler dan dapat dinikmati banyak orang. Dalam cerita itu, kamu bisa membuatnya sesukamu, cerita itu merupakan tampilan dari imajinasi kamu dan akan ada di bioskop-bioskop di seluruh negara. Kamu akan menjadi sutradara hebat dan terkenal!<i>(Mengeluarkan topi sutradara). </i><br /><br /><b>Acong : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wah, sutradara Kak? Cerita Acongakan ada di bioskop-bioskop Kak? Wah, hebat!Acong mau Kak jadi sutradara! <br /><b><br />Didi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kak, Didi juga mau dong jadi sutradara hebat dan cerita Didi itu dinikmati banyak orang Kak. Boleh kanKak? <br /><br /><b>Acong : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Didi, Masa cita-cita kita sama? Kamu yang lain dong. Sutradara itu cita-cita aku. <br /><br /><b>Didi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kata Kak Fauzi boleh kok, iya kanKak? <br /><b><br />Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Iya, boleh. Dan tenang saja, Kakak sudah menduga bahwa Kamu juga menginginkannya Didi. Jadi, kakak sudah menyiapkan dua buah topi! <i>(mengeluarkan topi yang lain, Acong dan Didi semakin senang) <br /></i><b><br />Acong dan Didi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kami berdua adalah Sutradara terkenal! <i>(mengucapkan kalimat tersebut dengan melakukan gerakan yang kompak). <br /></i><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Didi, Cerita seperti apa yang akan kamu buat? <br /><b><br />Didi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku akan membuat sebuah film yang sangat spektakuler! Pemainnya berasal dari bintang-bintang terkenal dari Holywood! Memakan biaya yang sangat besar! Berupa film Kolosal, pemainya ribuan orang. Film yang akan Didi buat adalah Film PERANG, serbu! Serbu! Teman-teman ayo segera kita buat filmnya! <i>(lalu kamar berubah menjadi studio film yang mewah, Didi dan kawan-kawan pun telah berubah menjadi sosok sutradara dan para crew film besar. Mereka sedang menyiapkan peralatan untuk shooting, lalu Didi mulai mengarahkan semuanya untuk memulai adegan. Ketika adegan dimulai muncullah sekumpulan tentara berlarian dari sisi kiri dan kanan, perang! Adegan berlanjut dengan begitu luar biasa.Namun Didi merasa kurang puas dengan itu semua)</i> CUT! CUT! Berhenti semuanya! Kalian semua sebenarnya bisa main tidak? Ah sudahlah! Istirahat semuanya! <br /><br /><b>Anak-anak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Studio kembali menjadi kamar anak-anak, semua terpesona dengan sosok Didi yang sudah persis seperti Sutradara, dan semuaya mengucapkan selamat). </i><br /><b><br />Acong : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Teman-teman! Sekarang giliran Acong! Didi payah jadi sutradara! Kalian semua mesti lihat jika aku yang menjadi sutradara. <i>(Kamar berganti kembali menjadi studio film yang megah)</i> KalauAcong, mau buat cerita romantis!Ada peran gantengmya,ada peran cantiknya, mereka berdua bermesraan diatas kapal. Sang lelaki memegang kedua tangan sang wanita dari belakang, dan merentangkan kedua tangannya. Keduanya melihat lautan yang ditiup angin kencang dan burung-burung berterbangan menemani mereka. Oh, sungguh romantis!<i> (lalu Acong menggantikan Didi menjadi sosok sutradara, dengan gaya yang berbeda Acong mengarahkan mereka untuk menyiapkan perlatan. Lalu hadir seorang lelaki dan wanita mewakili imajinasi Acong, mereka bermesraan diatas kapal dengan sangat romantis. Semua temannya terpesona, dan mengucapkan selamat dengan penuh rasa kagum di wajah mereka). </i><br /><br /><b>Anak-anak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Kamar pun kembali, dan anak-anak tersadar dari imajinasi mereka) Kakak! Lagi dong lagi! (berteriak memohon dengan semangat kepada Fauzi). </i><br /><b><br />Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Iya, Kakak mengerti. Cita-cita selanjutnya, Anak yang memiliki cita-cita yang luar biasa ini, akan dapat mengelilingi dunia, menjelajahi angkasa, menemui banyak orang yang berbeda-beda, dan dia dapat mengendarai kendaraan di langit, cita-cita ini adalah seorang PILOT! <i>(Mengeluarkan topi pilot) </i><br /><br /><b>Rafi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Rafi mau cita-cita itu Kak. Rafi ingin mengelilingi Dunia! <br /><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya! Ini untuk Kamu Rafi!<i> (menyerahkan topi pilot tersebut kepada rafi, lalu kamar segera berganti menjadi lapangan penerbangan.Sekumpulan orang datang bergerak seakan perlahan berubah menjadi pesawat dan berubah menjadi roket lalu terbang ke angkasa) </i><br /><br /><b>Rafi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Masuk kedalam imajinasinya bersama dengan teman-temannya. Berubah menjadi seprang pilot dan membawa banyak orang untuk terbang bersamanya). </i>Hore! Rafi bisa keliling dunia!<i> (ruangan kembali menjadi kamar, teman-temannya pun bergantian memeluknya). </i><br /><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Berikutnya! Cita-cita berikut ini dapat membuat pemiliknya tampil sangat cantik!Dia digemari banyak orang, Dia akan dapat menggunakan pakaian-pakaian bagus dan mahal, wajahnya akan dipoles menjadi sangat cantik. Cita-cita ini bernama, MODEL! <i>(Mengeluarkan mahkota dan selendang) </i><br /><br /><b>Jono :</b> </span></div><div><span style="font-family: arial;">Ah Kak, Jononggak mau cita-cita model Kakak!<i> (berkata dengan merengut). </i><br /><br /><b>Anita : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lah? Memang bukan buat kamu Jono, tapi itu buat aku. <br /><br /><b>Jono : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oh iyaya, yaudah tuh ambil cita-cita Kamu. <br /><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nih,cita-cita ini untuk kamu ya Anita. Kamu akan menjadi seorang model terkenal. <br /><br /><b>Anita : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Terima kasih Kakak<i>. (tersenyum dengan sangat ramah, lalu ruangan berganti menjadi pameran model yang sangat mewah.Anita berjalan laksana seorang model dan di kerumuni wartawan yang tak hentinya mengambil gambar Anita) </i><br /><br /><b>Seseorang : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Inilah model tercantik dunia.. <br /><br /><b>Anak anak :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Kamar pun kembali)</i> Hore! <br /><br /><b>Jono : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya dong Kak! <br /><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Iya Jono, iya <i>(berkata dengan sabar dan penuh rasa sayang).</i> Nah, cita-cita ini adalah cita-cita yang sangat hebat, kamu dapat menyembuhkan banyak orang dari penyakit-penyakit, kamu dapat menyelamatkan banyak jiwa, dan kamu akan menjadi seorang pahlawan. Cita-cita ini bernama DOKTER!Ini untukmu Jono.<i>(mengeluarkan stetoskop dan pakaian dokter) </i><br /><br /><b>Jono : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wah,terimakasih ya Kak. Jono sekarang seorang dokter!<i> (ruangan berganti menjadi rumah sakit yang dipenuhi orang-orang mengantre untuk diobati oleh Jono)</i> SUSTER!<i> (memanggil seorang wanita yang membawa suntikan sangat besar).</i> Hari ini pasien kita sangat banyak ya sus, <i>(memerhatikan semua pasien yang mengantri). </i>Baiklah sekarang, Jono akan menyuntik satu-satu, Cus! <i>(begitu banyak yang disuntik, Jono nyaris kelelahan, akhirnya Jono mengambil alternatif lain). </i>Sekarang waktunya pengobatan masal!<i> (lalu orang-orang yang tersisa berbalik badan dan disuntik secara bersamaan dengan suntikan besar tersebut, pasien langsung sembuh!). </i><br /><b><br />Sekumpulan : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">wah kita sembuh terima kasih pak dokter.. <br /><b><br />Anak anak :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Kamar kembali)</i>. Selamat ya JONO! <br /><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Semua sudah dapat cita-citanya kan? <br /><b><br />Setyo : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kakak! Saya belum! Kok Setyo dilupakan! (berkata dengan kesal). <br /><b><br />Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak Setyo, Kakak sama sekali tidak lupa<i> (Tersenyum geli melihat amarah Setyo).</i> Cita-cita ini hanya untuk kamu, Cita-cita ini dapat membuat Kamu menciptakan banyak lagu, suaramu yang merdu akandisukai oleh banyak orang, dan Kamu akan bernyanyi mengelilingi dunia.Cita-cita ini bernama, <i>(mengeluarkan sebuah jaket berbahan denim, membuat Setyo yang awalnya terpesona kembali merengut). <br /></i><br /><b>Setyo : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tukang jaket! Nggak mau! Kakak jahat! Yang lainnya ada yang jadi dokter, model, pilot. Kenapa kakak malah menjadikan Setyo tukang jaket! Pokoknya Setyo nggak mau, biar kakak aja yang jualan jaket. Nih, Setyo bantuin. Cita-cita ini adalah TUKANG JAKET! <i>(meraih jaket tersebut sebentar dan mengembalikannya ke Fauzi dengan wajah masam). <br /></i><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Setyo, Kamu jangan marah dulu. Kamu belum mendengarkan kalimat kakak hingga selesai. <i>(berkata dengan penuh kesabaran)</i> cita-cita yang Kakak maksud bukan jualan jaket, melainkan ROCKSTAR! <br /><br /><b>Setyo : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">ROCKSTAR? <i>(wajahnya terkaget-kaget dan langsung melompat kegirangan merebut jaket yang ada ditangan Fauzi, kamar pun menjadi imajinasi Setyo, berubah menjadi panggung mewah yang dipenuhi ribuan penonton didalamnya)</i> Semuanya SIAP? <i>(Setyo berteriak dengan penuh semangat kearah penonton yang berdandan ala metal, penonton pun bersorak-sorai mengelu-elukan idolanya itu).</i> KITA MULAI! <i>(lalu alunan musik metal pun terdengar keras, semua menikmati lagu yang dipersembahkan oleh Setyo). <br /></i><br /><b>Anak anak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wah, terima kasih Kakak!<i> (semua memeluk erat-erat barang yang diberikan Fauzi kepada mereka, semua wajah terlihat berbinar-binar). <br /></i><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Iya, sama-sama nak. Nah, Kakak masih memiliki sesuatu di dalam keranjang ini<i> (Anak-anak kembali penasaran dan mendengarkan Fauzi dengan serius, sedangkan Fauzi mengeluarkan sebuah origami berbentuk burung dari dalam keranjang).</i> Ini adalah burung cita-cita, tuliskan cita cita kalian disini dan simpan dan selalu ingat akan mimpi kalian, burung ini akan membawa kalian terbang hingga kalian dapat meraih cita-cita kalian. Tapi ingat.untuk menggapai cita-cita kalian ini, kalian harus belajar giat dan pantang menyerah. Kalian juga harus melakukannya dengan senang hati.Kakak yakin, kalian pasti akan dapat mencapainya suatu saat nanti. <br /><br />Hari ini kami berbicara tentang mimpi<br />Esok hari kami akan mengejar mimpi<br />Suatu saat nanti, semua akan lihat kami<br />Menjadi sesuatu yang berarti <br /><br />Rumah ini adalah saksi<br />Bahwa kami bisa bermimpi<br />Mimpi yang berwarna-warni seperti pelangi<br />Yang akan terlihat setelah hujan berhenti<br />Rumah ini adalah saksi<br />Bahwa kami bisa bermimpi<br />Mimpi yang berwarna-warni seperti pelangi<br />Yang akan terlihat setelah hujan berhenti <br /><br /><b>Renata : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Selamat malam anak-anak! <i>(masuk ke dalam kamar, wajahnya serius dan tegas). </i><br /><b><br />Anak-anak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Selamat malam bu!<i> (membalas sapaan Renata dengan senang dan ceria). </i><br /><br /><b>Chika : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bu, lihat deh. Ini burung Cita-cita bu dari Kak Fauzi!<i> (berkata dengan polos). </i><br /><b><br />Renata : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya ya ya, bagus, bagus! Tapi ini sudah malam!<i> (berkata dengan amarah yang meluap-luap)</i> Kalian kenapa sih?Kok jadi begajulan seperti ini?Kalian lupa dengan semua aturan Ibu? Kalian mulai berani melawan Ibu! <br /><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Maaf bu, Saya tadi sedang mengajarkan anak-anak untuk mengenal cita-cita.<i>(berusaha menjelaskan dengan baik). </i><br /><b><br />Renata : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi ini sudah malam Mas Ahmad Fauzi! Bagaimana jika mereka sakit nanti! Anda seharusnya tahu besok mereka harus bangun pagi dan pergi ke sekolah. Lihat kamar mereka, berantakan! Saya tidak ingin melihat pemandangan seperti ini lagi! <br /><b><br />Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Iya Bu. saya mengerti. <i>(Berusaha memberikan pengertian namun tahu itu akan sia-sia. Lalu fauzi teringat akan suatu hal)</i> Bu.. <br /><br /><b>Renata : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ada apa lagi? <br /><b><br />Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Maaf bu sebelumnya.Besok saya ingin ke kampus untuk mengurus laporan saya selama bekerja di panti ini. Nanti saya akan memberitahu Ibu Julia dan menyampaikan semuanya. <br /><br /><b>Renata : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oh begitu<i> (sejenak kaget, namun sekelebat rencana muncul di dalam pikirannya) </i>Tidak usah, biarkan saya yang mengurus laporannya ke Ibu Julia. <br /><b><br />Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oh <i>(agak heran, namun tidak memperlihatkannya).</i>baiklah kalau begitu. Saya akan siap-siap. <br /><br /><b>Renata : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Silakan.<i> (Fauzi pergi, Rena mulai mengancam anak-anak ketika mereka mulai berisik kembali) </i><br /><b><br />Renata : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Diam! Apa yang kalian Kenakan? <br /><b><br />Anak-anak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Cita-cita dari Kak Fauzi Bu.<i>(berkata hati-hati, sangat ketakutan), </i><br /><b><br />Renata : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Cita-cita? Tidak penting itu cita-cita! Yang kalian harus lakukan hanyalah mendengar semua perkataan Ibu! Keranjang apa itu?<i> (semua menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Renata, wajah mereka memucat dan ingin menangis).</i> Sekarang kalian masukkan semua yang diberikan oleh Fauzi kedalam Keranjang itu! Cepat! Sekarang Juga! Jangan Lambat! <i>( Anak-anak berlari dan menaruh barang-barang yang diberikan fauzi, beberapa mulai mengeluarkan air mata karena ketakutan. Akhirnya semua sudah memasukkan barang-barang yang diberikan Fauzi ke dalam Keranjang) </i>Dengar kata-kata Ibu ya! Mulai Hari ini tidak ada yang boleh berbicara dengan Fauzi! Jika Ibu melihat salah satu dari kalian berbicara dengan dia, Ibu tidak akan segan-segan menghukum kalian!Sekarang pergi ke tempat tidur kalian masing-masing, kalian harus mendapatkan hukuman.(wajah anak-anak memucat ingin berteriak meminta pertolongan Fauzi namun sadar Fauzi telah jauh pergi ke rumah kosnya, akhirnya dengan sangat terpaksa dan ketakutan mereka beranjak ke tempat tidur mereka untuk menerima hukuman. Rena kembali mengancam dengan keras dengan mengambil penggaris besi dan memukuli kaki mereka satu persatu, mulai terdengar isak tangis) Dengar kata-kata ibu, Jangan berani kalian mengulangi kesalahan yang sama! Karena Ibu tidak akan segan-segan menghukum kalian lebih keras lagi!Apa ini Baju bola, Gitar, topi-topi tidak jelas! Kalian harus melupakan cita-cita kalian itu! Kalian tidak perlu bermimpi! Yang harus kalian lakukan hanyalah mendengar kata-kata Ibu! Ketertiban haus dikembalikan ke Panti Asuhan ini! Ingat, panti asuhan ini harus berjalan sesuai dengan yang Ibu inginkan.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /></span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br />ADEGAN 6 </b><br /><br /><i>Beberapa hari kemudian, disaat Fauzi kembali ke Panti Asuhan. Julia dan Renata sudah menunggu Fauzi untuk membicarakan sesuatu yang serius. </i><br /><br /><b>Julia : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Begini Pak, Saya mendapat laporan bahwa metode yang anda gunakan terlalu keras, dan tidak sesuai dengan anak-anak<i>.(berkata penuh amarah dan tegas kepada Fauzi) </i><br /><b><br />Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi Bu <i>(keheranan),</i> Terakhir kali saya melihat anak-anak mereka baik-baik saja. <br /><br /><b>Julia : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Iya memang, tapi sekarang kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang anda jelaskan kepada saya. Mereka sekarang terlihat sangat ketakutan seperti orang trauma. <br /><br /><b>Fauzi ; </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi Ibu sudah melihat laporan saya kan?<i> (berusaha mendapatkan penjelasan atas semua tuduhan itu). <br /></i><b><br />Julia : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Iya, Saya sudah membaca keseluruhan laporan anda dari Ibu Rena. Akan tetapi laporan anda sangat parah<i>.(menatap fauzi dengan kesal). </i><br /><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bagaimana bisa? Ibu Rena? <i>(Bertanya pada Renata memohon bantuan, namun dari ekspresi Renata, Fauzi tahu dia tidak mendapatkan hal itu). </i><br /><br /><b>Rena : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Loh itu pendapat Ibu Julia bukan pendapat saya, dan seharusnya anda menghargai pendapat pimpinan Panti Asuhan ini! <br /><b><br />Julia : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tepat sekali. <br /><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(merasa sangat kecewa, akan tetapi tahu Dia tidak dapat melakukan hal lain lagi) </i>Bu. Baiklah, Tapi izinkan saya untuk bertemu anak-anak untuk terakhir kalinya. <br /><b><br />Julia : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Silakan, Tapi jangan terlalu lama. <br /><br /><b>Rena : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(ketika Fauzi sudah setengah jalan menuju kamar anak-anak, Renata memanggilnya) </i>Mas Fauzi, Selamat Jalan<i>.(tersenyum dengan penuh kemenangan).</i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /></span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br />ADEGAN 7 <br /></b><br /><i>Fauzi masuk kekamar anak-anak, tetapi anak-anak menjauh ketakutan. Fauzi kecewa melihat itu semua dan berusaha membujuk anak-anak untuk menjelaskannya. <br /></i><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa kabar anak-anak? <i>(tersenyum pahit melihat anak-anak tak ingin melihat wajahnya, mereka hanya menunduk, menahan tangis)</i>.Kakak hanya mengembalikan ini semua, ini punya kamu kan Setyo? <br /><br /><b>Setyo : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(perlahan-lahan anak-anak memperhatikan apa yang ada ditangan Fauzi, ternyata gitar kecil milik Setyo, dan di samping kaki Fauzi terlihat keranjang berisikan cita-cita mereka, ternyata Fauzi nekat mengambil barang-barang tersebut di gudang. Anak-anak semakin ingin menangis)</i> Iya kak, Tadinya. Sekarang gitar itu milik Ibu Rena. <br /><br /><b>Fauzi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Wajah Fauzi semakin sedih, Fauzi ingin memeluk mereka namun mereka merapat menegaskan bahwa Fauzi tidak boleh mendekati mereka. Tubuh Fauzi melemas, dia pun menyerah tak ingin menyakiti anak-anak lebih jauh lagi) </i>Ini adalah hari terakhir Kakak datang kemari. Kakak sangat ingin memeluk kalian, ingin melihat kalian bernyanyi dan menari untuk terakhir kali. Apakah bisa? <i>(anak-anak terdiam, tetesan air mata mulai mengalir di pipi mereka). Sepertinya tidak (tersenyum sedih).</i> Anak-anak, dengarkan kakak untuk yang terakhir kalinya. Ada atau tidaknya kakak di panti ini, kalian harus tetap memiliki cita-cita. Kalian harus tetap menggapai cita-cita kalian, jangan pernah berhenti bermimpi, ingatlah pelangi kita, Kakak sayang kalian anak-anak.<i>(Fauzi pun pergi dengan sedih, menahan tangis yang jauh lebih perih dari siapapun). </i><br /><br /><b>Anak-anak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Ketika Fauzi tidak terlihat lagi anak-anak mulai menangis) </i>Kami juga sayang Kakak <i>(menangis tersedu-sedu, Setyo menghampiri keranjang yang ditinggalkan Fauzi. Dengan penuh rasa takut dia mengambil gitar kecilnya dan memeluknya erat-erat. Melihat tindakan berani Setyo, anak-anak lain mengikutinya. Mereka mengambil cita-cita mereka dan burung cita-cita. Mereka terisak, dan akhirnya menangis penuh pilu lalu mereka menyanyikan lagu cita-cita yang telah mereka buat bersama dengan Fauzi) </i><br /><br />Hari ini kami berbicara tentang mimpi<br />Esok hari kami akan mengejar mimpi<br />Suatu saat nanti, semua akan lihat kami<br />Menjadi sesuatu yang berarti <br /><br />Rumah ini adalah saksi<br />Bahwa kami bisa bermimpi<br />Mimpi yang berwarna-warni seperti pelangi<br />Yang akan terlihat setelah hujan berhenti <br /><br />Rumah ini adalah saksi<br />Bahwa kami bisa bermimpi<br />Mimpi yang berwarna-warni seperti pelangi<br />Yang akan terlihat setelah hujan berhenti <br /><br /><b><i><br />*****Tamat*****</i></b><br /><i><br />Nb : Naskah ini ibuat sesuai dalam mengikuti lomba SENDRA FTI III</i></span><br /><p align="center" class="MsoSubtitle" style="mso-margin-bottom-alt: auto; text-align: center;"><span face=""Arial","sans-serif""></span></p></div>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-26562573405207824992023-01-31T09:58:00.002-08:002023-01-31T11:14:33.737-08:00WC (Warung Colitik) - Zohry Junedi<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiX8T0nUVWtNdnE7o122PAv1nm1O1ImnRhvElZfa94eWcjUZS0ec6JMrUNPHXRgrOV5MfpHizGdSCHPp_HolwWcKAXqHUQXX0KUnE3ku0GU10gBgwC3PPdJBviFNizDpA9itAVw3aXk5j2mZYwTUwQr_Ylyam-QcWQ14yp6JBaPAPmiFaWV-Ht6kcKT/s9055/WC1.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiX8T0nUVWtNdnE7o122PAv1nm1O1ImnRhvElZfa94eWcjUZS0ec6JMrUNPHXRgrOV5MfpHizGdSCHPp_HolwWcKAXqHUQXX0KUnE3ku0GU10gBgwC3PPdJBviFNizDpA9itAVw3aXk5j2mZYwTUwQr_Ylyam-QcWQ14yp6JBaPAPmiFaWV-Ht6kcKT/w400-h261/WC1.jpg" width="400" /></a></div><p></p><span style="font-family: arial;"><b><br />WC (Warung Colitik)<br />Karya : Zohry Junedi<br /></b><br /><i>Ditengah panggung tersedia 3 jamban bersebelahan yang sebenarnya sudah tidak layak pakai, orang-1 masuk pria muda setengah baya (setengah kaya), orang ke-2 muncul lelaki 40 tahunan (kaya), orang ke-3 dan ke-4 muncul wanita sok seksi (kaya baru). didalam jamban terlibat obrolan yang ternyata tanpa diduga mereka terlibat kontrak politik. <br /><br />(masuk membawa koper, keliling panggung tergesa-gesa sepertinya dia sedang mencari kamar kecil) </i><br /><b><br />Dr.Plontos : </b></span><div><span style="font-family: arial;">akhhh akhirnya itu dia, <i>(buru2 melepaskan celana dan menggantungkannya di sisi jamban sementara koper tanpa sengaja ia lempatkan keluar)</i> Akhhh, benar2 nikmaTt, akhirnya beban berat ini terlepaskan sudah, pergi kau keluar wahai makanan dan minuman yang tak bertuan pergi kau keujung dunia, dehidrasi di gurun sahara hilang di segitiga Bermuda, pergi kau keluar angkasa hipotermia di kutub utara hilang di samudra antartika dan jangan kembali (prettT…) kemudian membaca Koran sambil bersiul siul . . . <br /><br /><i>(masuk seorang priyayi tua berdandankan intan permata, yang disebut2 akan menjadi capres di 2012 mendatang) <br /></i><br /><b>Prof.Untung Phd : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">dasar tai memang tidak bisa diajak kompromi, klo udah maunya, pengen merojol sajah, beda ma pejabat pemerintah, gampang diajak kompromi cukup dengan dempulan uang, wuahh berarti pejabat stratanya kalah dunk ma tai gw, wkwkkw . . . sTtt, diem gw kan juga pejabat ehehee . . .<i>(sambilan buang hajat terlihat si lelaki tengah sibuk membaca buku porno sambil ketawa cekikikan wkwkw) <br /></i><b><br />Prof.Untung Phd: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">husss ujang udah dunk jangan ikut campur ini urusan saya <i>(sambil melihat2 kearah bawah)</i> ayooo ujang bobok gih . . . duh ujang kok makin lama kamu makin keriput yah, ehehee . . . tapi saya yakin kamu masih semangadh kok berjuang ya toh, buktinya aparat kita yang udah tua aja masih aja mau disuap pake wanita, wkwkw . . . haduhh rani rani . . .!!! <br /><i><br />(masuk 2 0rg perempuan seksi ikutan buang hajat) </i><br /><br /><b>Ir.sutiem: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">akhirnya itu dia WCnya . . . <br /><br /><b>Dr. Nurjinah: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">weitsss ntar dulu, saia juga mo bokerr neh, let me go . . . <br /><br /><b>Ir.Sutiem : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">wah kan saia duluan yang dapet WCnya buk, budayakan antri dunk . . .!!! <br /><br /><b>Dr. Nurjinah: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">antre kepale loe, ini WC umum jadi bukan siapa duluan yang dapat tapi siapa yang kuat yang menang, wadohhh dah di ujung tanduk neh . . . Minggir Sutiem Prikitiew!!!! <br /><b><br />Ir.Sutiem: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">baiklah langkahi dulu mayatku sebelum kau buang hajattT, hiatttt . . .<i>(Sutiem menghujamkan Belati Ke tubuh Nurjinah, mayat nurjinah diseret keluar panggung) </i><br /><br /><b>Ir. Sutiem prikitiw: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(seperti berbisik)</i> enaknya makan kodok basi, dipanggang diguling jadi ragi…3x <br /><b><br />Dr,Plontos : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(nyambung)</i> apalagi makan kodok borok, dipanggang diguling jadi ubi <br /><br /><b>Prof.Untung Phd: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">tapi paling enak makan kodok basi ma kodok borok bareng2 donk… <br /><br /><b>Dr. Plontos: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">yesss, itu kata kuncinya, baik tetap dalam posisi kalian jangan sampai terlihat mencurigakan kita akan bicarakan tentang kontrak politik kita kedepan, <br /><br /><b>Prof.Untung Phd: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Baiklah, terima kasih saya ucapkan atas kedatangan bapak-bapak ibu-ibu sekalian yang telah berkenan hadir di tempat teraman sedunia akhirat ini, <i>(preTt….) </i><br /><i><br />(lewat Orang gila cengangas cengengesan, spontan membuat 3 pejabat tersebut panik sehingga kembali pura2 buang hajat, PretttttT….) <br /></i><b><br />Orang Gila : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">hohOo, Indonesia Negara ku, Negara yang paling kucin Taiii…. Cin… taiii…. Taiii… taiii…. Wkwkkw . . . . alangkah beruntungnya saia jadi orang gila yang sadar akan kegilaan saya dari pada jadi orang gila yang tidak sadar dengan kegilaannya, HohooO . . . <br /><br />Dr.Plontos: </span></div><div><span style="font-family: arial;">Brengsek ntuh orang gila, nyanyi atau nyidir ntuh, baiklah langsung saja kita mulai agenda rapat kita kali ini tentang pemilu mendatang di 2012 dimana partai kita akan mencalonkan bapak Prof. Dr.Untung Melulu P.hd, <i>(pretTT . . .) </i>kepada bapak saya persilahkan : <br /><br /><i>(disambut hangat dengan gempuran kentut . . . ) </i><br /><br /><b>Prof.Untung Phd: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">sebelumnya Saya ucapkan terimakasih kepada bapak/ibu para bangsat yang duduk di WC terhormat, lho?? Kenapa dengan kata2 bangsat?? Kenapa Heran, bukankah kata-kata itu sudah lumrah di negeri ini, justru kata ini harus kita populerkan demi mewujudkan negara yang tidak bermartabat seperti cita-cita kita bersama, bukan begitu bangsat?? Huahaaa...... jika saya terpilih menjadi presiden di 2012 mendatang saya akan berikan secara gratis jatah mobil dinas baru untuk kita semua sebuah toyota Crown seharga 1,3 Milyar plus sebuah rumah dinas seharga 100 Milyar, setujuh bangsad huahaaa . . . .Baik itu sekilas sajah, mbok jangan tersinggung toh mas, tapi kalau ga tersinggung keterlaluan juga toh mas . . . jadi lebih baik tersinggung terus pulang mampir ke mall cari lantai paling atas trus lompat bunuh diri deh disana, kan lagi tren, hohoOo…. <br /><br /><i> ( Lalu Dr.Plontos keluar dari Wc dengan wajah tertunduk menuju Dr.Untung ) </i><br /><br /><b>Dr.Plontos: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Tok… tok… tok…) </i>Maaf pak mengganggu, boleh bicara sebentar, berdua saja . . . tapi jangan sampai tahu orang lain ya pak . . ? <br /><i><br />(Ketika Prof.Untung Phd keluar dari Wc-nya, dengan sikap aneh Dr.Plontos langsung menikam dan membungkam mulut Prof.Untung Phd hingga tak bersuara lagi, kemudian mayatnya ditutup oleh kain hitam.) <br /><br />(kemudian , setelah membunuh Prof.Untung Phd kembali lagi menuju Wc-nya . . .) </i><br /><br /><b>Ir. Surtiem Prikitiew: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hmm . . . hmm . . , dari mana saja pak . . ! Kok ngak kedengaran lagi suranya dalam perbincangan ini . . ? <br /><br /><b>Dr.Plontos: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">oh ntuh toh, Ah.., ngak apa – apa, ada yang kelupaan buk surtiem hehe…<i>(Dengan gugup Dr.Plontos berbicara pada Ir.Surtiem Prikitiew. Lalu keadaan sunyi sebentar kemudian lanjut lagi dengan obrolan) <br /></i><br /><b>Dr.Plontos : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Stt, stt . . . Buk surtiem, buk . . ! Bisa bicara diluar sebentar, saya mau ngobrol sama ibu tentang proyek besar saya. <br /><b><br />Ir. Surtiem Prikitiew : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oh ya ya . . . boleh pak. <br /><b><br />Dr.Plontos : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi ini hanya antara kita berdua saja ya bu, eets… ingat bu jangan sampai orang tau. <br /><b><br />Ir. Surtiem Prikitiew : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">beres pak itu bisa diatur . . <i>.(kontan Seketika Ibu Surtiem menjerit karena Plontos menodongkan sebilah Belati) </i><br /><b><br />Dr.Plontos : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mati Kau politisi goblok, makanya jangan sesekali bermain api kalau ga mau terbakar, jangan masuk dunia politik kalau ga licik, huahaa . . . <br /><br /><i>(tiba-tiba penyakit jantung Dr.Plontos kembali kambuh, dan akhirnya Dr.Plontos is dead) <br /><br />(Masuklah orang gila petantang petenteng ngambil uang, harta kekayaan 3 orang politisi malang) <br /></i><br /><b>Orgil: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">huahaahaaa . . . hueeheee . . . makanya selain licik, jadi politisi juga harus gila atau pura-pura gila kayak saya , jadilah musuh yang tak terlihat . . . huahaa . . . aku kayaaaaa aku kayaa . . . . . <br /><b><i><br />----The End---- </i></b><br /><br /><i>Mementaskan naskah ini harap menghubungi penulis untuk sekedar pemberitahuan.<br /> Penulis: Zohry Junedi<br /> Facebook: http://www.facebook.com/profile.php?id=1704112218<br /> HP: 081229091987 </i><br /><br /> <br /></span><br /></div>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-3059459271237366212023-01-29T10:27:00.008-08:002023-01-30T12:13:32.354-08:00ARWAH-ARWAH - W. B. Yeats<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9sI1RmTRZfIWu3VQqwdD_JIIZ8Cb4oeVgxegvCJ4vXR7IfkZooJFxolwBDeAPQ-oHDNxPXCvFH4yfaqyF6XMsMqN-0N7lsDDQuuyZvKAu7us_t21W_vDy2JDh6aDOtbeOiQdU40ZGuNI2qo1FVoSkfbKkDg6AZPCIy1hAv2C2XUy_Ao55NyXzA-zH/s9055/ARWAH%20ARWAH.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9sI1RmTRZfIWu3VQqwdD_JIIZ8Cb4oeVgxegvCJ4vXR7IfkZooJFxolwBDeAPQ-oHDNxPXCvFH4yfaqyF6XMsMqN-0N7lsDDQuuyZvKAu7us_t21W_vDy2JDh6aDOtbeOiQdU40ZGuNI2qo1FVoSkfbKkDg6AZPCIy1hAv2C2XUy_Ao55NyXzA-zH/w400-h261/ARWAH%20ARWAH.jpg" width="400" /></a></div><p></p><span style="font-family: arial;"><b><div><span style="font-family: arial;"><br /></span></div>ARWAH-ARWAH </b></span><div><span style="font-family: arial;"><b>Karya : W. B. Yeats</b><br /><i><br /></i></span><div><span style="font-family: arial;"><i>RERUNTUHAN RUMAH, SEBATANG POHON TAK BERDAUN </i><br /><br /><b>PEMUDA</b><br /> Setengah pintu, pintu tengah<br /> Kesana kemari siang dan malam<br /> Memikul beban, ke bukit dan ke lembah<br /> Mendengar kau bicara saja. <br /><br /><b>ORANG TUA</b><br /> Perhatikan rumah itu. Kuingat kisah dan leluconnya. Kuingat apa yang dikatakan si pelayan kepada si penjaga mabuk pada pertengahan Oktober, tapi aku tak bisa. Dimana kisah dan lelucon sebuah rumah kalau ambang pintunya dipakai memperbaiki kandang babi? <br /><b><br />PEMUDA</b><br /> Kau pernah kenal jalan ini? <br /><br /><b>ORANG TUA</b><br /> Bulan bersinar di atas jalan, bayangkan awan jatuh di atas atap rumah. Itulah lambang. Lihatlah pohon itu! Seperti apa rupanya? <br /><br /><b>PEMUDA</b><br /> Orang tua lupa ingatan! <br /><br /><b>ORANG TUA</b><br /> Aku melihatnya tahun yang lalu botak seperti sekarang. Maka kupilih kerja yang paling baik. Aku melihatnya lima puluh tahun yang lalu sebelum petir membelahnya. Daun-daun hijau, daun-daun tua, daun-daun segemuk mentega, hidup gemuk dan berlemak. Berdiri di situ dan lihatlah! Karena ada orang di rumah itu. <br /><br /><b>PEMUDA</b><br /> Tak seorangpun di sini. <br /><br /><b>ORANG TUA</b><br /> Ada orang di situ! <br /><b><br />PEMUDA</b><br /> Lantai sudah hilang, jendela hilang dan dimana seharusnya ada atap, hanya langit yang membentang. Dan di sini pun pecahan kulit telur jatuh dari sarang burung gagak. <br /><b><br />ORANG TUA</b><br /> Tapi ada beberapa yang tidak peduli pada apa yang hilang atau pada apa yang ada. Arwah-arwah dari alam barzah yang kembali ke rumah dan tempat yang mereka kenal. <br /><b><br />PEMUDA</b><br /> Kau sedang melantur lagi! <br /><b><br />ORANG TUA</b><br /> Untuk merasakan lagi dosa-dosa mereka. Tidak sekali tapi berulang-ulang. Akhirnya mereka tahu akibat dari dosa-dosa itu. Atas orang lain ataupun atas dirinya sendiri. Atas orang lain, orang lain bisa menolong. Tapi kalau atas dirinya sendiri tak ada pertolongan kecuali atas diri sendiri dan pada belas kasihan Tuhan. <br /><b><br />PEMUDA</b><br /> Cukup sudah! Bicaralah pada burung-burung kalau kau harus bicara juga! <br /><br /><b>ORANG TUA</b><br /> Berhenti! Duduk di situ! Itulah rumah dimana aku dilahirkan. <br /><b><br />PEMUDA</b><br /> Rumah tua yang terbakar itu? <br /><br /><b>ORANG TUA</b><br /> Ibuku atau nenekmu memiliki tanah di daerah ini. Kandang-kandang anjing dan kuda. Ia punya kuda di ladang ternak dan disana bertemu dengan ayahku, budak di kandang kuda. Saling pandang, lalu mereka kawin. Tapi kemudian ibuku tak mau mengenalnya lagi. <br /><b><br />PEMUDA</b><br /> Apa yang benar dan apa yang salah? Kakekku mendapatkan gadisnya beserta uangnya. <br /><b><br />ORANG TUA</b><br /> Ayahku memboroskan semua milik ibuku. Ibuku tak pernah tahu yang terjelek karena ia meninggal waktu melahirkan aku. Tapi sekarang ia tahu semuanya karena ia telah mati. Orang-orang besar hidup dan mati di rumah ini. Patih-patih, Demang-demang dan Hakim-hakim, Ponggawa-ponggawa dan perwira yang dulu bertempur di semenanjung dan muara. Mereka yang telah pergi dengan tugas pemerintah pulang untuk mati atau datang dari seberang tiap awal musim kemarau untuk meninjau bunga-bunga di bulam Mei dalam taman. Mereka mencintai pohon-pohon yang ditebang ayahku untuk membayar kekalahan di meja judi atau dengan kuda, minuman atau perempuan. Mereka mencintai semua lorong yang ada di rumah ini. Membinasakan rumah dimana orang-orang besar menjadi dewasa, kawin dan meninggal. Kunyatakan disini, telah berlangsung suatu kejahatan yang laknat! <br /><br /><b>PEMUDA</b><br /> Wah, tapi kau beruntung. Pakaian mewah, mungkin kuda gagah untuk ditunggangi. <br /><b><br />ORANG TUA</b><br /> Supaya aku tidak lebih unggul darinya, ayahku tidak pernah mengirim aku ke sekolah. Tapi masih ada orang yang cinta karena aku juga anak ibuku. Istri penjaga mengajar aku membaca, Pak Padri mengajar aku bahasa. Banyak buku-buku berharga dengan jilidan mewah abad lalu. Buku-buku modern dan kuno. Beribu-ribu buku. <br /><b><br />PEMUDA</b><br /> Dan aku kau beri pendidikan apa? <br /><b><br />ORANG TUA</b><br /> Kuberi kau pendidikan yang patut bagi anak haram yang gampang. Ketika aku berumur enam belas tahun, ayahku membakar rumah-rumah itu dalam mabuknya. <br /><br /><b>PEMUDA</b><br /> Itu usiaku enam belas tahun. <br /><br /><b>ORANG TUA</b><br /> Dan seluruhnya terbakar habis. Buku-buku, perpustakaan dan segalanya. <br /><br /><b>PEMUDA</b><br /> Apa benar juga yang kudengar sepanjang jalan bahwa kau membunuh ayahmu di rumah yang terbakar itu. <br /><b><br />ORANG TUA</b><br /> Tak ada seorangpun disini kecuali kita? <br /><b><br />PEMUDA</b><br /> Tak seorangpun ayah. <br /><b><br />ORANG TUA</b><br /> Kutikam dia dengan pisau. Pisau yang sehari-hari biasa kita pakai. Setelah itu kutinggalkan dia di tengah api yang sedang berkobar. Mereka menemukan mayatnya. Seseorang menemukan bekas pisau tapi tak berani memastikan karena mayat itu hangus bagai arang. Beberapa teman pemabuknya bersumpah untuk menghadapkan aku ke pengadilan, mendalihkan ancaman yang pernah dilontarkan. Penjaga memberikan pakaian tua, aku melarikan diri, bekerja dimana-mana, hingga aku menjadi penjual dari jalan ke jalan. Bukan pekerjaan baik, tapi cukup baik. Karena aku anak ayahku. Karena apa yang dia lakukan bisa aku lakukan. Dengar! Dengarlah! Derap kuda! Dengar! <br /><br /><b>PEMUDA</b><br /> Aku tidak mendengar apa-apa. <br /><br /><b>ORANG TUA</b><br /> Jalan terus! Jalan terus! Malam ini adalah peringatan malam perkawinan ibuku atau malam aku dikandung, ayahku naik kuda dari tempat minum. Sebotol arak di tanganya. <br /><i><br />DI JENDELA MUNCUL WANITA MUDA </i><br /><br /><b>ORANG TUA</b><br /> Lihat di jendela! Ibuku berdiri di situ, mendengar. Pelayan-pelayan sudah tidur. Ibuku sendirian. Ayahku pulang jauh ditengah malam karena ia berjudi dan mabuk-mabukan di kedai minum. <br /><b><br />PEMUDA</b><br /> Tak ada apa-apa kecuali lubang kosong pada tembok. Kau dusta. Tidak, kau gila! Kau makin gila tiap hari! <br /><br /><b>ORANG TUA</b><br /> Suara itu makin keras karena ia melewati jalan berkerikil yang kini ditutupi rumput. Suara derap berhenti. Ia pergi ke belakang rumah, mengandangkan kudanya. Ibuku turun membuka pintu, malam ini ia tak lebih sopan dari suaminya yang terhuyung karena mabuk. Ibuku tergila-gila padanya. Mareka naik tangga. Ibuku membawanya ke tempat tidur. Itulah kamar perkawinan mereka dan itulah ranjang perkawinan mereka. Jendela sudah setengah gelap kembali. Jangan biarkan dia menjamahku! Tidak benar bahwa suami mabuk tak bisa membuahi dan kalau ia mulai berhasil, kau harus mengambil benih pembunuhnya. Tuli! Tuli! Keduanya tuli! Bahkan jika kulempar kayu atau batu mereka tak mendengar. Itulah bukti pikiranku sudah sakit. Tapi ada satu soal, ibuku harus mengalami sekali lagi semua bahkan segalanya. Didorong oleh rasa sesal. Tapi bisakah ia berkelamin lagi dan tak menemukan kepuasan didalamnya. Bila ketidakpuasan harus bersama-sama, mana yang lebih kuat! Aku tanpa didikan. Pergilah! Panggil pertulian! Ia dan aku akan menguraikan segalanya sementara kedua orang itu berbaring di ranjang, membuahi dan mengandung aku. <br /><br /><i>PEMUDA MENGADUK-ADUK KANTONG LALU MEMBAWANYA </i><br /><br /><b>ORANG TUA</b><br /> Kembali! Kembali! Kau kira kau bisa melarikan diri dengan bungkusan uangku di tanganmu? Dikiranya sementara aku bicara tak melihat kau mengaduk-aduk buntalan itu? <br /><br /><b>PEMUDA</b><br /> Kau tak pernah memberiku bagian. <br /><b><br />ORANG TUA</b><br /> Jika kuberikan, anak muda seperti kau akan menghabiskannya pada minuman. <br /><b><br />PEMUDA</b><br /> Kalau aku menghendakinya? Aku berhak menggunakan uangku semaunya. <br /><b><br />ORANG TUA</b><br /> Berikan bungkusan itu dan tutup mulutmu! <br /><br /><b>PEMUDA</b><br /> Tidak mau! <br /><br /><b>ORANG TUA</b><br /> Akan kuhancurkan jari-jarimu. <br /><br /><i>MEREKA MEMPEREBUTKAN KANTUNG. DALAM PERKELAHIAN KANTUNG ITU LEPAS DAN UANGNYA BERHAMBURAN. ORANG TUA ITU TERHUYUNG TAPI TIDAK JATUH. MEREKA BERDIRI SAMBIL MEMANDANG JENDELA. TAMPAK TERANG. TAMPAK SEORANG LELAKI SEDANG MENGISI GELASNYA DENMGAN WHISKEY. </i><br /><b><br />PEMUDA</b><br /> Bagaimana kalau kau kubunuh? Kau membunuh kakekku karena kau muda dan ia tua. Sekarang aku yang muda dan kau yang tua. <br /><br /><b>ORANG TUA</b> <i>(MELIHAT KE JENDELA)</i><br /> Kini lebih jelas. Enambelas tahun itu. <br /><b><br />PEMUDA</b><br /> Apa yang kau ocehkan? <br /><br /><b>ORANG TUA</b><br /> Lebih muda. Padahal perempuan itu harus tahu bahwa lelaki itu bukan macamnya. <br /><br /><b>PEMUDA</b><br /> Apa yang kau katakana? Hentikan! Hentikan! <br /><i><br />ORANG TUA ITU MENUNJUK KE JENDELA </i><br /><b><br />PEMUDA</b><br /> Tuhanku! Jendela itu terang dan seseorang berdiri di situ. <br /><b><br />ORANG TUA</b><br /> Jendela itu terang lagi. Ayahku datang untuk mendapatkan segelas whiskey. Ia bersandar di sana seperti binatang yang kepenatan. <br /><b><br />PEMUDA</b><br /> Orang mati dibunuh yang hidup kembali. <br /><b><br />ORANG TUA</b><br /> Dan ranjang pengantin jauh pada Adam’. Dimana kubaca kata-kata itu. Padahal tidak ada sesuatupun yang tersandar di jendela itu selain bayangan yang ada di kepala ibuku yang mati kesepian dalam sesalnya. <br /><b><br />PEMUDA</b><br /> Tubuh yang menjelma sebelum dilahirkan. Mengerikan! Mengerikan! <i>(MENUTUP WAJAHNYA) <br /></i><br /><b>ORANG TUA</b><br /> Makluk itu takkan tahu apa-apa, karena bukan apa-apa, jika kubunuh orang di bawah jendela itu, ia bahkan takkan sempat memutar kepalanya. <br /><i><br />ORANG TUA MENIKAM ANAK MUDA ITU <br /></i><br /><b>ORANG TUA</b><br /> Ayahku dan anakku oleh pisau yang sama. Ini mengakhiri. <br /><br /><i>ORANG TUA MENIKAM BERULANG-ULANG, JENDELA JADI GELAP </i><br /><br /><b>PEMUDA</b><br /> Ibuku sayang, jendela itu gelap kembali. Tapi kau ada dalam cahaya sebab telah kuselesaikan segala akibatnya. Kubunuh anak itu karena ia telah tumbuh. Ia akan mematahkan nasib seorang perempuan, membuahinya dan melanjutkan keonaran. <br /><br /><b><i>***SELESAI*** </i></b><br /><br /><i>ARWAH-ARWAH<br />Naskah Teater Karya: W. B. Yeats<br /> terjemahan: Suyatna Anirun <br /></i></span><br /> </div></div>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-9526791601686029792023-01-29T10:12:00.010-08:002023-01-30T12:12:55.663-08:00MANUSIA KARDUS - Rodli TL<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBteX7GwBfT16vdlZQeaRwzyXECCZv_9NvowDqgkGl6l9DyDrwWTYbu3pNSda1SiugeCRXuOTOtCVBNvUL6WjYbH-MsZhoKVzSMu0f5ZZZgaqzPJmwyq-mkAz7FAjefNB7qTg5WIUiubk_42YwNn-QpghyO_gMCsv7y3g72JxQf1K-yJUSvF4Hv7SE/s9055/MANUSIA%20KARDUS.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBteX7GwBfT16vdlZQeaRwzyXECCZv_9NvowDqgkGl6l9DyDrwWTYbu3pNSda1SiugeCRXuOTOtCVBNvUL6WjYbH-MsZhoKVzSMu0f5ZZZgaqzPJmwyq-mkAz7FAjefNB7qTg5WIUiubk_42YwNn-QpghyO_gMCsv7y3g72JxQf1K-yJUSvF4Hv7SE/w400-h261/MANUSIA%20KARDUS.jpg" width="400" /></a></div><br /><span style="font-family: arial;"><b>MANUSIA KARDUS <br />Karya : Rodli TL</b></span><br /><div><div><span><br /><i style="font-family: arial;">KARDUS-KARDUS MEMASUKI PANGGUNG, MENARI DAN MENYANYI </i><br /><br /><span style="font-family: arial;">Kardus, kardus, kardus</span><br /><span style="font-family: arial;"> Tak berakal, tak berbekal</span><br /><span style="font-family: arial;"> Kardus pembungkus kebaikan</span><br /><span style="font-family: arial;"> Dari debu dan kotoran kehidupan</span><br /><span style="font-family: arial;"> Nasib kardus bukan malang</span><br /><span style="font-family: arial;"> Kardus juga makhluk Tuhan</span><br /><span style="font-family: arial;"> Berguna untuk barang kemasan </span><br /><br /><b style="font-family: arial;">1. Kardus 1 : </b></span><div><span style="font-family: arial;">Saya adalah kardus</span><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 2. Kardus 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bungkus, bungkus, bungkus</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 3. Kardus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya, kardus untuk membungkus</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 4. Kardus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bungkus, bungkus, bungkus</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 5. Kardus 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dunia tidak sempurna tanpa kardus</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 6. Kardus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kardus TV</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 7. Kardus 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kardus Kulkas</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 8. Kardus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kardus roti</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 9. Kardus 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kardus, kardus, kardus</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 10. Kardus1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bahkan air pun dibungkus dengan kardus</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 11. Kardus 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mampus, mampus, mampus!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 12. Kardus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kenapa?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 13. Kardus 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku bosan jadi kardus. Mampus, mampus, mampus</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 14. Kardus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kenapa?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 15. Kardus 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bila kita aus, kita menjadi sarang tikus</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 16. Kardus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lalu kenapa?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 17. Kardus 2 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kita harus berubah</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 18. Kardus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Berubah? Berubah bagaimana?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 19. Kardus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lihat tikus-tikus itu. <br /><i><br />TIKUS TIKUS BERDATANGAN MENARI DAN MENYANYI </i><br /><br />Cit cit cit<br /> Cit cit ci<br /> Cit cit cit<br /> Kamilah tikus-tikus berjalan beriringan<br /> Cit cit cit Cit cit cit<br /> Kulitku hitam, mataku tajam.<br /> Cit cit cit Cit cit cit<br /> Kumisku panjang, aduh sangatlah manis.<br /> Cit cit cit Cit cit cit<br /> Tikus-tikus mencari sampah<br /> Tikus-tikus ada di rumah<br /> Tikus-tikus makan apa saja.<br /> Cit cit cit Cit cit cit <br /><b><br />20. Tikus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Long life, tikus</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 21. Tikus 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">yo mesti long life</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 22. Tikus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saksikanlah kami. Para tikus! Hidup bebas dimana saja. Di hutan, di tempat sampah, bahkan di rumah-rumah mewah.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 23. Tikus 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hidup tikus!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 24. Tikus-Tikus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hidup tikus!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 25. Tikus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Long life, tikus</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 26. Tikus-Tikus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hidup tikus!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 27. Tikus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kami juga tidak pernah manja.. kami bisa makan apa saja, mulai dari soto, tahu campur, sampai permen sugus. <br /><i><br />TIKUS-TIKUS KEMBALI BERGERAK DAN BERNYANYI. </i><br /><b><br />28. Kardus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mampus! Tikus-tikus menuju kemari</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 29. Kardus 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mampus! Pasti mereka mau beranak-pinak</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 30. Kardus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nasib terburuk kardus adalah menjadi sarang persalinan tikus</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 31. Karsus 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hi hi hi hi……Ayo kita lari! <br /><br /><i>KARDUS BERUSAHA BERLARI, NAMUN TIDAK SECEPAT TIKUS-TIKUS. TIKUS-TIKUS TELAH MENGUASAI KARDUS-KARDUS. TIKUS-TIKUS MENGGIGIT KARDUS-KARDUS SAMBIL BERNYANYI </i><br /><br />Tikus-tikus makan kardus<br /> Kardus-kardus sarang tikus <br /><br /><b>32. Kardus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sebelum hancur, mari kita berdo’a pada Tuhan. Tuhan berjanji akan mengabulkan do’a orang teraniaya</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 33. Kardus 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kita bukan orang.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 34. Kardus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Siapa tahu sama. Ya Tuhan! Sebelum kami hancur, kabulkan satu permohonan.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 35. Kardus 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">To the point saja! Jangan berbelit-belit</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 36. Kardus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya Tuhan, Jadikanlah kami makhluk bebas hidup dan makan apa saja seperti tikus-tikus</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 37. Kardus 2 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sial, kenapa kamu meminta menjadi makhluk seperti tikus… padahal tikus-tikus itu adalah makhluk yang paling kita benci</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 38. Kardus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Terlanjur</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 39. Kardus 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mampus, kita menjadi tikus <br /><b><br />KARDUS-KARDUS BERGERAK BERUBAH MENJADI TIKUS-TIKUS. MEREKA BERNYANYI MENYESALI NASIBNYA <br /></b><br />Eh mampus, kardus-kardus menjadi tikus-tikus <br /><i><br />KARDUS TELAH BERUBAH MENJADI TIKUS. MEREKA BERGERAK DARI LAMBAN KE CEPAT DENGAN NYANYIAN </i><br /><br /><b>40. Tikus1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hi, di sini ada tikus</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 41. Tikus 2 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Di sini juga ada</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 42. Tikus 1 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wah, disini tikusnya masih muda-muda. Masih cantik dan tampan-tampan</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 43. Tikus 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau disini tikusnya sudah tua.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 44. Tikus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau begitu kesini saja, siapa tahu ada yang naksir kita</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 45. Tikus 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">It’s good idea. Ayo kita kesana, ke tempat tikus-tikus yang cantik dan tampan-tampan <br /><br /><i>TIKUS-TIKUS BERGERAK MENUJU KE TEMPAT YANG DITUJU </i><br /><br />Cit cit cit cit cit cit<br /> go go there, go there, go there mencari mangsa<br /> tikus-tikus mencari mangsa memakan apa saja<br /> tikus cantik<br /> tikus tampan<br /> I love you <br /><i><br />KARDUS TIBA-TIBA KETAKUTAN</i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 46. Tikus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sialan,</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 47. Tikus 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ada kucing</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 48. Kucing-kucing : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ha ada kucing?!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 49. Tikus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mana dia?!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 50. Tikus 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Itu dia!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 51. Tikus 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Itu juga</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 52. Tikus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Di sana juga banyak kucing</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 53. Tikus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wah, kucingnya banyak sekali, sangat menakutkan. Ayo kita lari! <br /><i><br />TIKUS-TIKUS SEMBURAT BERLARIAN. MEREKA BERKUMBPUL MERAPAT LAGI LALU BERNYANYI </i><br /><br />Mata kucing<br /> Mata kucing<br /> Mata kucing maunya mencengkramku <br /><br /><i>MUNCUL KUCING MENGENDAP-ENDAP BERUSAHA MENANGKAP TIKUS-TIKUS. NYANYIAN TIKUS TIKUS MENJADI MILIK KUCING </i><br /><br />Mata kucing<br /> Mata kucing<br /> Mata kucing maunya menerkam tikus <br /><b><br />54. Tikus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wah, dia terus mengejar kita, bagaimana ini</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 55. Tikus 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Selama kita menjadi tikus kan belum pernah berdo’a pada Tuhan..</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 56. Tikus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Maksud kamu kita meminta pertolongaNYA</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 57. Tikus 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Itu jalan satu-satunya yang harus kita lakukan</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 58. Tikus 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mana mungkin. Dosa kita terlalu banyak. Makanan yang selalu kita makan adalah hasil curian.. pasti Tuhan sedang marah pada kita. Tuhan tidak akan mengabulkan do’a kita</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 59. Tikus 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jangan pesimis. Tikus-tikus diciptakan tidak untuk menjadi makhluk yang mudah putus asa. Kita harus sunggu-sunggu dan berbaik sangka pada Tuhan. Tuhan pasti mengabulkan do’a kita</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 60. Tikus-Tikus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(bersama-sama) </i>amin, amin, amin…. <br /><br /><i>TIKUS-TIKUS MELAKUKAN GERAKAN DO’A YANG KHUSUK <br /></i><b><br />61. Tikus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya Tuhan, sungguh kami termasuk makluk yang aniaya, yang dholim, yang sesat, yang rendah. Kami telah melakukan banyak maksiat kepadaMu. Kami selalu mencuri, mengambil hak makhluk lain. Dan yang lebih dosa lagi hasil curian itu kami bagi-bagikan kepada teman-teman kami, saudara kami, bahkan ibu bapak kami.. ampunilah kami Tuhan yang telah memasukkan keluarga kami ke lembah nista, ke jalan menuju neraka. Sungguh Tuhan. Bila engkau tidak mengampuni kami, kami akan menjadi makhluk yang rugi selamannya. Ampunilah kami Tuhan, ampunilah….<i> (MENANGIS MENYESALI DOSA-DOSANYA) </i>Ya tuhan yang maha pengasih, kasihanilah kami, jadikanlah kami makhluk yang lebih baik dari sebelumnya. Menjadi kucingpun tidak apa-apa. <br /><i><br />SEKETIKA ITU TIKUS-TIKUS BERUBAH MENJADI KUCING. </i><br /><br />Mata kucing<br /> Mata kucing<br /> Mata kucing maunya menerkam tikus</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 62. Kucing 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kawan-kawan, ayo berangkat bersama-sama mencari mangsa. Mencari tikus-tikus. Di sana!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 63. Kucing 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya, mungkin di sana, di tempat itu.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 64. Kucing 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ayo kita cepat kesana. Kita tangkap tikus-tikus itu lalu kita makan dagingnya <br /><i><br />KUCING-KUCING BERGERAK KE SEGALA PENJURU BERBURU TIKUS SAMBIL BERNYANYI </i><br /><br />Mata kucing<br /> Mata kucing<br /> Mata kucing maunya menerkam tikus</span></div><div><b><span style="font-family: arial;"><br /> 65. </span><span style="font-family: arial;">Kucing Kardus: </span></b></div><div><span style="font-family: arial;">Kawan-kawan! Di sana tadi saya melihat ada orang makan daging yang lezat. Tidak hanya makanan yang lezat yang dia miliki, tadi saya melihat dia juga memasukkan uang banyak ke dalam saku pakain dalamnya. Tapi aneh, kenapa ya, waktu memasukkan uang dia kok lihat kanan-kiri dengan wajah ketakutan. Jangan-jangan. Ah tidak. Tidak boleh berburuk sangka pada makhluk lain.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 66. Kucing 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ayo kita mendekat saja… lalu kita amati. <br /><i><br />KUCING-KUCING BERGERAK MENGENDAP-ENDAP </i><br /><br /><b>67. Kucing 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oh, betul dia pencuri</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 68. Kucing 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hus, jangan cepat menuduh</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 69. Kucing 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lihat saja gerakannya, seperti gerakan kita saat mencuri ikan pindang</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 70. Kucing 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak sama, kucing dan manusia…</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 71. Kucing 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa bedanya</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 72. Kucing 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kita hewan sedang manusia punya hati dan fikiran</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 73. Kucing 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ah sama saja</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 74. Kucing 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak sama</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 75. Kucing 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sama saja <br /><br /><i>KUCING-KUCING BERDEBAT DENGAN DUA KATA “SAMA DAN TIDAK SAMA”. PERDEBATANYA BERUBAH MENJADI PERTARUNGAN. MEREKA SALING MENCAKAR. </i><br /><b><br />76. Kucing Kardus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya Tuhan, kenapa semua hewan punya punya sisi jahat..saya fikir menjadi tikus, kucing lebih baaik dan aman daripada menjadi kardus… menjadi tikus suka mencuri, menjadi kucing suka bertengkar…lalu menjadi apalagi kita ini?!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 77. Kucing 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kita menjadi manusia saja</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 78. Kucing 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">betul, agar kita tahu sebenarnya manusia itu pencuri atau bukan</span></div><div><b><span style="font-family: arial;"><br /> 79. </span><span style="font-family: arial;">Kucing Kardus : </span></b></div><div><span style="font-family: arial;">Ya Tuhan, ini adalah permohonan kami yang terakhir, kabulkanlah do’a kami. Jadikanlah kami makhluk termulya, makhluk yang punya hati dan akal, sebagai makhluk yang engkau percaya memjadi kholifah,.. ya Tuhan, kabulkanlah do’a kami menjadi …..</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 80. </b></span><span style="font-family: arial;"><b>Kucing Kardus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jangan-jangan… jangan memohon pada Tuhan menjadi manusia.. saya tahu persis..manusia ternyata lebih rendah dari kucing-kucing dan tikus-tikus…saya tadi masuk ke dalam TV.. lalu TV itu berbicara.. manusia juga suka mencuri dan bertengkar. Pak nazar, pak udin, bu melly, bu indah, pak rodli, pak padli, pak haji, pak heru, pak ali, pak amar, pak her, pak ilham, dan lain sebagainya. mereka semua penipu dan pencuri. sungguh jangan meminta untuk menjadi manusia..di sana-sini terjadi, pencurian, pertengkaran, kemaksiatan, pornoaksi, narkotika, tawuran antar kampung dan pelajar…hamper semua kerusakan di bumi ini disebabkan tangan-tangan manusia….sunggu jangan kita berdo’a menjadi manusia… jangan sampai kita menghianati Tuhan sang pencipta…. <br /><i><br />SEMUA KUCING-KUCING MENANGIS </i><br /><b><br />81. Kucing 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lalu apa yang harus kita lakukan?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 82. Kucing Kardus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kita meminta pada Tuhan untuk kembali menjadi kardus..kita bersyukur pada Tuhan.. Tuhan Maha Tahu dengan Segala kebaikan makhluknya.. <br /><i><br />KUCING-KUCING MEMBUAT FORMASI DO’A PADA TUHAN DENGAN UNGKAPAN BAHASA KUCING. KUCING-KUCING BERUBAH MENJADI KARDUS LALU MENYANYI BERSAMA-SAMA. </i><br /><br />Kardus, kardus, kardus<br /> Tak berakal, tak berbekal<br /> Kardus pembungkus kebaikan<br /> Dari debu dan kotoran kehidupan<br /> Nasib kardus bukan malang<br /> Kardus juga makhluk Tuhan<br /> Berguna untuk barang kemasan <br /><i><b><br />*****THE END*****</b><br /><br />Lamongan, 17 Oktober 2011 </i><br /></span><br /> <p></p></div></div></div></div>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-19242755137349935202023-01-29T09:28:00.007-08:002023-01-30T12:11:54.240-08:00DO’A SI MISKIN - Rodli TL<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6E9UM6TLEAa6zCatmgqPMd0tfpk6aEz5ItzgK1j09VipetUfT8DJu36NxdRXSiGaI03YK_Qu32_pQAF96vNhUGaD4FeIl9An6PtTtRWjW7sWxwvRucuSWR9cr6iRN6rK03K2WnxJm9sKlv9T6i0e3zn76IWPfWKTFXysQgwbTbpacwPEpg7xD0Ksc/s9055/DOA%20SIMISKIN.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6E9UM6TLEAa6zCatmgqPMd0tfpk6aEz5ItzgK1j09VipetUfT8DJu36NxdRXSiGaI03YK_Qu32_pQAF96vNhUGaD4FeIl9An6PtTtRWjW7sWxwvRucuSWR9cr6iRN6rK03K2WnxJm9sKlv9T6i0e3zn76IWPfWKTFXysQgwbTbpacwPEpg7xD0Ksc/w400-h261/DOA%20SIMISKIN.jpg" width="400" /></a></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b><br /> </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><b>DO’A SI MISKIN </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><b>Karya : Rodli TL</b></span></div><div><span><span style="font-family: arial;"><br /></span><i style="font-family: arial;">Musik Pagi.<br /> Pagi hari tatkala ayam jantan masih berkokok dan embun-embun mulai berterbangan. Anak-anak mulai bangun dari tidurnya, dan menyanyikan sebuah lagi dari tempat tidurnya masing-masing </i><br /><br /><span style="font-family: arial;">Inilah pagi ayam jantan berkokok</span><br /><span style="font-family: arial;"> Membangunkan matahari</span><br /><span style="font-family: arial;"> Embun-embun bercengkrama</span><br /><span style="font-family: arial;"> Pada rerumputan </span><br /><i style="font-family: arial;"><br />berkemas menyiapkan diri untuk pergi ke sekolah<br /> Mereka siap dan pergi ke sekolah.</i></span><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 1. Anak-Anak :</b> </span><div><span style="font-family: arial;"><i>(berteriak bersama)</i> berangkat ke sekolah!<br /><i> (bernyanyi) </i></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oh ibu dan ayah selamat pagi<br /> Ku pergi sekolah sampai kan nanti <br /><br /><i>Sesampainya di ruang kelas mereka berucap salam dengan sesama teman mereka </i><br /><b><br />2. Renti : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">hai teman-teman, selamat pagi dan selamat belajar! Sebelum bapak ibu guru datang, mari kita berlatih menyanyikan hymne guru, bagaimana?</span></div><div><b><span style="font-family: arial;"><br /> 3. </span><span style="font-family: arial;">Teman-teman : </span></b></div><div><span style="font-family: arial;">setuju….</span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br />Teman-teman sekolah menyambut dengan suka ria ajakan untuk berlatih bernyanyi. Mereka kemudian membuat formasi barisan koor hymne </i><br /><br /><b>4. Renti : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">dua, tiga, empat</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 5. Anak-Anak :</b><i> (koor)</i><br /> Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru<br /> Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku<br /> Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku<br /> Sebagai prasasti terima kasihku tuk pengabdianmu <br /><br />Engkau sebagai pelita dalam kegelapan<br /> Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan<br /> Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa <br /><br /><i>Di tengah nyanyian hymne, satu persatu mereka meninggalkan Lita. Hanya Mega yang masih setia menemani <br /><br />Musik mengalun sedih </i><br /><br /><b>6. Lita : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mega, kenapa teman-teman meninggalkan kita?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 7. Mega : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">saya tidak tahu</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 8. Lita : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">saya heran, padahal kan tadi teman-teman bersemangat untuk belajar bernyanyi</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 9. Mega : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">ya, mungkin mereka belum sarapan</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 10. Lita : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">maksudnya?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 11. Mega : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">ya mereka tidak kuat menahan lapar, kemudian mereka pergi untuk beli jajan sebagai pengganti sarapan</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 12. Lita : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">aneh!?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 13. Mega : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">kamu tadi sudah sarapan?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 14. Lita : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">tidak biasa</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 15. Mega : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">maksud kamu?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 16. Lita : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">ya, saya tidak biasa sarapan sebelum berangkat ke sekolah</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 17. Mega : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">jadi kamu belum sarapan kan?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 18. Lita : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">belum</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 19. Mega : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">kalau begitu ayo kita beli jajan seperti mereka</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 20. Lita : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">saya tidak punya uang</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 21. Mega : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">sudahlah, ayo! <i>(menarik tangan Lita) <br /></i><br /><i>Menghilang pergi ke kantin diiringi musik sedih<br /> Diam </i><br /><i><br />Musik ceria mulai terdengar. Hanung dan teman temannya berkumpul menyanyi dan menari </i><br /><br /><b>22. Hanung : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">hai teman-teman, aku punya uang banyak sekali</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 23. Rozi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">halaaah, paling-paling kamu bohong</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 24. Hanung : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">hai Rozi, sejak kapan kamu tidak percaya sama saya?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 25. Rozi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">sejak kamu belum mentraktir kita</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 26. Eko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">iya Hanung, kalau kamu betul-betul banyak uang. Traktir kita lagi dong!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 27. Hanung : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">ah kalian, selalu saja minta ditraktir</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 28. Supri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">lha kalau kita yang mentraktir ya tidak pantas, yang banyak uangnya kan Hanung</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 29. Hanung :</b> </span></div><div><span style="font-family: arial;">okelah, let’s go<i> (sambil merogo sakunya mencari uang, namun tak menemukannya) </i>sebentar, uang saya dimana ya? Oh ya saya ingat, uang itu tadi saya simpan di saku tas <i>(mengambil tas dan mencari uangnya, namun ia tidak menemukan uangnya)</i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 30. Hanung : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">uang saya dimana ya, kok tidak ada. Hai teman-teman, apa kalian menemukan uang saya?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 31. Eko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">paling kamu lupa tidak membawanya</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 32. Hanung : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">tidak, saya ingat betul, tadi saya simpan di saku tas ini</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 33. Supri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">paling-paling sudah kamu buat beli jajan. <br /><i><br />Di sasat mereka kebingungan, tiba-tiba Renti masuk kelas </i><br /><b><br />34. Renti : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">ada apa ini?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 35. Hanung : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">hai Renti, kamu yang mengambil uang saya?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 36. Renti : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">apa kamu bilang Hanung?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 37. Hanung : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">kamu mengambil uang saya!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 38. Renti : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">jangan sembarangan kamu menuduh orang</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 39. Hanung : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">saya tidak menuduh. Saya hanya tanya</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 40. Renti : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hanung, Itu artinya menuduh</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 41. Hanung : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">terserah kamu. Sekarang kembalikan uang saya</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 42. Renti : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">dengar Hanung. ibu bapak saya tidak pernah mengajari saya menjadi pencuri. Ibu bapak saya mengutuk anak-anaknya berbuat yang merugikan orang lain.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 43. Eko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">sudah diam! Jangan bertengkar</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 44. Supri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hanung, bagaimana kalau kamu tanya pada Lita dan Mega. Pada waktu kita keluar beli jajan, mereka kan masih di dalam kelas</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 45. Rozi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">ya hanung, tanya saja mereka berdua</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 46. Hanung : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">kalau begitu mari kita cari mereka <br /><br /><i>Mereka pun beramai-ramai memanggil Lita dan Mega. Mereka memaksa Lita dan Mega ke ruang kelas dan mengadilinya. </i><br /><b><br />47. Lita : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">ada apa ini, kenapa kalian berbuat kasar kepada kami?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 48. Rozi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">ya, ini pantas diperlakukan pada pencuri</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 49. Mega : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">apa kamu bilang?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 50. Eko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mega, jangan berlagak. Terus terang aja!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 51. Mega : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">hai teman-teman, maksud kalian apa?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 52. Hanung : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lita si anak miskin dan kamu Mega. Tidak biasanya kalian berdua ke kantin membeli jajan.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 53. Lita : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">terus kenapa kalian berbuat kasar pada kami? Apa tidak boleh kami sesekali membeli jajan.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 54. Hanung : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">hai si miskin, diam! Darimana kamu dapat uang?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 55. Lita : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">dibelikan sama Mega <br /><br /><i>Teman-teman lain mulai merasa menemukan siapa pencurinya </i><br /><br /><b>56. Rozi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">hai teman-teman, sudah jelas kan siapa yang mencuri uang Hanung.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 57. Eko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">pencurinya adalah……</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 58. Hanung : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">stop tidak perlu kalian jawab</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 59. Eko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pencurunya adalah…..</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 60. Supri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Stop, tidak perlu dijawab. Tidak perlu dikatakan. Semua disini sudah mengetahui siapa pencurinya. Hanung tanya sekali lagi pada Lita!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 61. Hanung : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lita si anak miskin, dari mana kamu uang untuk beli jajan?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 62. Mega : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">hai, apa maksud kalian, kalian menuduh kami mencuri uang kalian?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 63. Hanung : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Diam Mega, aku tidak tanya kalian.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 64. Hanung : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lita, jawab! Dengan uang siapa kamu beli jajan?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 65. Lita : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">saya dibelikan Mega</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 66. Eko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">kesimpulanya, pencurinya adalah…………</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 67. Supri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">stop, sekali lagi tidak perlu dijawab. Kita semua sudah tahu pencurinya.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 68. Renti : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mega, kalian mengerti kan maksud teman-teman?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 69. Mega : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">ya aku mengerti. Kalian menuduhku mencuri uang Hanung.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 70. Hanung : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(marah) </i>mega aku tidak menuduhmu. Tapi ini kenyataan. Kamu adalah pencurinya</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 71. Mega : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(marah) </i>Hanung, jangan sembarangan kamu bicara..</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 72. Eko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mega, jangan berkelit.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 73. Mega : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">oh jadi kalian bersepakat menuduh kami pencuri <br /><i><br />Teman-teman lain ramai berteriak mengatakan Mega dan Lita yang mengambil uang Hanung. </i><br /><br /><b>74. Hanung : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">dengarkan mereka Mega… bukan saya saja yang mengatakan kamu dan temanmu si miskin itu pencuri. Tapi semua teman yang ada di sini bersepakat bahwa kalian yang mengambil uang saya</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 75. Mega : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">atas dasar apa kalian menuduh kami?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 76. Supri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">ketika teman-teman pergi jajan, kalian masih saja tinggal di kelas</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 77. Eko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">dan hari ini kamu banyak uang, buktinya kamu beli jajan</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 78. Hanung : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mega akui saja perbuatan tercela itu.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 79. Mega : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Berapa uang kamu yang hilang?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 80. Hanung : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">lima puluh ribu</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 81. Mega : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">silakan cari di tas saya atau tas Lita</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 82. Hanung : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Teman-teman tolong geledah tas mereka berdua <br /><br /><i>Teman-teman Hanung mengeluarkan semua isi tas mereka berdua tapi mereka tak menemukannya. <br /></i><br /><b>83. Eko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">tidak ada Nung!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 84. Rozi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">ya jelas tidak ada, uangnya sudah dibelikan jajan</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 85. Mega : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">saya membeli jajan tidak dengan uang sebesar itu. Saya hanya mebeli satu bungkus kerupuk yang harganya lima ratus rupiah dan dengan uang lima ratus rupiah. Kerupuk itu kami makan<br /> berdua. Demi Tuhan tidak lebih dari itu. Tanyakan pada Bulek penjual jajan itu kalau tidak percaya!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 86. Lita : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">ya aku akui itu, memang aku tidak sering keluar kelas untuk beli jajan seperti kalian. Aku akui, kalian memang benar memanggilku dengan sebutan si miskin karena kami benar-benar anak miskin. Lebih dari itu yang aku alami. Kami bukan saja miskin, tapi kami juga tidak punya ibu. Sungguh teman kami tak pernah melakukan perbuatan tercela itu (menangis mengingat ibunya) <br /><br /><i>Musik mengalun sedih, mengiringi nyanyian </i><br /><br /><b>87. Mega :</b><i> </i></span><span style="font-family: arial;"><i>(menyanyi) </i></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oh ibu air matamu</span></div><div><span style="font-family: arial;"> Ku ingin bersimpuh padamu<br /> Nyanyikan dongeng belaianmu<br /> Surga di telapak kakimu</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 88. Lita : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">maafkan saya ibu, sungguh aku tidak melakukan perbuatan yang tidak terpuji itu. Sungguh ibu saya bukan pencurinya.<br />Tuhan kabulkanlah do’a si miskin yang sedang teraniayah ini.<br /> Tuhan berikanlah peringatan kepada orang-orang yang memakan barang yang tidak menjadi haknya.<br /> Tuhan berikanlah peringatan kepada orang-orang yang memakan barang yang tidak menjadi haknya.<br /> Tuhan berikanlah peringatan kepada orang-orang yang memakan barang yang bukan haknya<br /> Tuhan berikan kami petunjuk menuju jalan yang benar, jalan yang Engkau ridloi.<br /> Tuhan, sungguh kabulkan do’a si miskin yang piatu yang kini<br /> sedang teraniaya. <br /><br /><i>Nyanyian Mega terus mengalir mengiringi doa si yatim. Sedang Lita khusuk menagisi do’anya pada Tuhan. <br /><br />Tiba-tiba Rozi dan Eko mengerang kesakitan. Mereka sakit perut. Mempertanyakan jajan yang mereka beli </i><br /><b><br />89. Eko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">aduuh sakit</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 90. Rozi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">perutku juga sakit, aduuuh</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b> 91. Eko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">mungkin roti yang kita beli tadi. Roti itu mungkin sudah jamuran.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 92. Rozi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">bukan hanya roti itu, tapi uang yang kita gunakan untuk membeli</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 93. Eko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">maksudnya uang yang kita curi itu</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 94. Rozi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">juga do’a Lita si miskin yang piatu itu.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 95. Eko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">aduuuh sakit</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br /> 96. Rozi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">perutku juga sakit, aduuuh <br /><br /><br /><i style="font-weight: bold;">*****Tamat*****</i><br /><i>Lamongan, 20 September 2004 </i><br /></span><br /> <p></p></div></div></div>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-35895489838530870172023-01-29T09:24:00.005-08:002023-01-30T12:10:53.012-08:00SALAH SMS - Paulus PN Simangunsong<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQqRa5ORwvfonqFQy7DNf3sY4Rl_wJDOkqeTy5lfBfM8rPRzapF0EVPbM1sayRnTJLKBiENZongVIqENRTOIaDu375tz5OBaqyckAwEf6fim59c1_n7C5VgB0pzImdKvEV-kSM-c9bqiDBm11crDuO5ErXvS7T-k-qq6BeBn37HXZobi36z8NTpo_s/s9055/salah%20sms.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQqRa5ORwvfonqFQy7DNf3sY4Rl_wJDOkqeTy5lfBfM8rPRzapF0EVPbM1sayRnTJLKBiENZongVIqENRTOIaDu375tz5OBaqyckAwEf6fim59c1_n7C5VgB0pzImdKvEV-kSM-c9bqiDBm11crDuO5ErXvS7T-k-qq6BeBn37HXZobi36z8NTpo_s/w400-h261/salah%20sms.jpg" width="400" /></a></div><b><br /></b><div><span style="font-family: arial;"><b>SALAH SMS </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><b>Karya : Paulus PN Simangunsong</b></span></div><div><span><span style="font-weight: bold;"><span><span style="font-weight: 400;"><span style="font-family: arial;"><br /></span></span></span><i style="font-family: arial;">Para tokoh:</i></span><br /><span style="font-family: arial;">01. Nina : Pelajar SMA</span><br /><span style="font-family: arial;">02. Togi : Abang ipar Nina</span><br /><span style="font-family: arial;">03. Kakak Nina : Istri Togi</span><br /><span style="font-family: arial;">04. Dandi : Pacar Nina</span><br /><span style="font-family: arial;">05. Tono : Pengagum Nina</span><br /><span style="font-family: arial;">06. Ruri : Teman Nina yang sering iri</span><br /><span style="font-family: arial;">07. Tuti : Teman Nina</span><br /><span style="font-family: arial;">08. Orang 1 : Kelompok Ruri</span><br /><span style="font-family: arial;">09. Orang 2 : Kelompok Ruri</span><br /><span style="font-family: arial;">10. Kepala sekolah</span><br /><span style="font-family: arial;">11. Guru</span><br /><span style="font-family: arial;">Para pelaku tidak bicara </span><br /><br /><br /><b style="font-family: arial;">1</b><i style="font-family: arial;"><br />KANTIN SEKOLAH. PAGI.<br />LAGU GARUDA PANCASILA DALAM IRAMA DANGDUT.<br />BUNYI LONCENG TANDA ISTIRAHAT. TERDENGAR SORAK-SORAI GEMBIRA. </i><br /><br /><i style="font-family: arial;"><b> PARA MURID MENARI DAN MENYANYI</b></i><br /><span style="font-family: arial;">Wo wo wo…</span><br /><span style="font-family: arial;">Tiba saatnya istirahat sekolah</span><br /><span style="font-family: arial;">Ya ya ya… </span><br /><span style="font-family: arial;"> Lupakan sejenak ilmu eksakta</span><br /><span style="font-family: arial;"> Ya ya ya wiyuuu… </span><br /><br /><span style="font-family: arial;"> Andai tak ada gedung sekolah</span><br /><span style="font-family: arial;">Mungkin belajar di jalan raya</span><br /><span style="font-family: arial;">Berbaur dengan pedagang kaki lima </span><br /><span style="font-family: arial;">Menggelar alas koran di trotoar kota </span><br /><br /><span style="font-family: arial;">Wo wo wo…</span><br /><span style="font-family: arial;">Tiba saatnya istirahat sekolah</span><br /><span style="font-family: arial;">Ya ya ya… </span><br /><span style="font-family: arial;"> Lupakan sejenak ilmu eksakta</span><br /><span style="font-family: arial;">Ya ya ya wiyuuu… </span><br /><br /><span style="font-family: arial;"> Bukannya benci belajar</span><br /><span style="font-family: arial;">Bukannya tak ingin pintar</span><br /><span style="font-family: arial;">Tapi hati ingin senang sejenak </span><br /><span style="font-family: arial;">Istirahatkan otak walau sesaat</span><br /><span style="font-family: arial;">Wo wo wo… Ye ye ye… </span><br /><i style="font-family: arial;"><br />TELEPON GENGGAM BERBUNYI KENCANG MENANDAKAN SMS MASUK. </i><br /><br /><b style="font-family: arial;">Ruri : </b></span><div><span style="font-family: arial;"><i>(LATAH) </i>Copot…copot…copot….copot. Eh, copot. Hhhh… suaranya kencang banget. Bikin kaget. Nggak ada yang lebih kenceng lagi? SMS nih. Baru pegang eh, sudah ngagetin. Bagaimana kalau lama? Atau sambil dielus-elus? Bisa mati jantungan aku. <br /><br /><b>Nina : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"> Baca saja! Makanan datang nih. Ruri, kamu masih sering lewat taman? Hati-hati lho! Aku baca di koran tadi pagi, semalam ada pemerkosaan disana. <br /><br /><b>Ruri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"> Iya. Aku juga dengar dari Bapak. Selanjutnya lebih baik pulang. Lewat depan kelurahan walau sedikit jauh memutar. Tidak apa -apalah? Daripada ada apa-apa. <i>(MEMBACA SMS. KAGET,MENYEMBUNYIKAN RASA KAGET) </i><br /><br /><b>Nina : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"> Dari siapa? Apa pesannya? <br /><br /><b>Ruri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(GUGUP) </i>Belum baca kok he he he… Aduh! Tiba-tiba ingin ke WC. Tunggu sebentar ya! Sampai nanti.<i> (MENINGGALKAN HP) </i><br /><br /><b>Nina : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MENYANTAP MAKANAN. SMS TIDAK DIBACA) </i>Tingkahnya aneh bin ajaib? Ooo… mungkin kena sindrom HIV stadium empat HIV, Hasrat Ingin Vivissssss… <br /><br /><i>(LONCENG ISTIRAHAT SELESAI. NINA BURU-BURU MEMBAYAR LALU MASUK KELAS)<br />LAMPU BERUBAH<br />MEJA-KURSI KANTIN BERUBAH POSISI MENJADI MEJA-KURSI DI KELAS. <br /></i><br /><b><br />2</b><i><br />DALAM KELAS. SIANG. MURID-MURID MASUK SETELAH JAM ISTIRAHAT SELESAI. RURI MENYANYI DENGAN TEMAN-TEMANNYA. <br /></i><br /><b>Ruri :</b> <i>(MENYANYI)</i><br />Hai teman-teman <br />Ada berita bagus <br />Bukan akal bulus <br />Kalian tentu senang<br /> Sini sini aku bisikkan</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br />Di antara kita semua<br />Ada yang ihh… nggak tega</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br />Semua : </span></div><div><span style="font-family: arial;">Ada apa sih<br />Bikin penasaran <br /><b><br />Ruri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Di antara kita semua <br />Salah satu teman kita<br />Sudah bercinta tadi malam ah ah ah…<br />Bukan hanya itu saja<br />Tapi ada kondom dom dom dom <br /><br /><b>Semua : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Siapa? Siapa? Bohong lagi kan? <br /><br /><b>Ruri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Eee… Sini…Sini<i> (BERBISIK) </i><br /><br /><b>Semua: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nggak mungkin. Nggak mungkin.<br />Nina itu anak baik-baik<br />Nggak mungkin berbuat tak baik.<br />Pacarnya alim<br />Belajarnya rajin<br />Jadi nggak mungkin, nggak mungkin benar <br /><b><br />Ruri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Memang orang alim nggak tahu yang enak? Tidak suka yang enak- enak? Salah. Justru mereka lebih gila imajinasinya. Sadar! Sadar! Air tenang menghanyutkan toh? Siapa tahu pacarnya Nina menghanyutkan? Siapa tahu? Eh, siapa tahu waktu dia melamun ternyata membayangkan kita lagi telanjang? Hiiii seram kan? <br /><br /><b>Orang 1: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak usah munafik Ruri! Bukannya suka? <br /><b><br />Ruri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau pacarnya Nina mau? Ya, mau juga sih. <br /><b><br />Semua : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Huuu… <br /><br /><b>Ruri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi benar lho. Dengan mata kepala sendiri kubaca SMS itu. Malah. Lebih dulu baca daripada Nina. Tadi barusan. Aku pura-pura ke WC, terus kesini memberitahu kalian. Dibilangin tidak mau percaya. <br /><b><br />Semua:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa? Apa? Apa? <br /><br /><b>Ruri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MENGAWASI SEKITAR. MULAI BANYAK YANG MASUK KELAS.) Sayang titik titik titik. (MENJELASKAN)</i> Titiknya ada tiga. <i>(MELANJUTKAN ISI SMS)</i> Tadi malam, koma, aku tidak pakai kondom ,titik, hari ini sudah beli. <i>(MENGAGETI) </i>Kondom! <br /><b><br />Orang 2:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(LATAH)</i> Kondom…kondom eh kondom. <br /><br /><b>Semua:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(TERTAWA) </i><br /><br /><b>Orang 1:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(IKUT LATAH) </i>Udah dom dom dom eh dom. <br /><b><br />Semua:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(TERTAWA) </i><br /><br /><b>Orang 2::</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Udah nggak keset keset keset lagi dong? <br /><b><br />Orang 1:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Blong? <br /><b><br />Orang 2:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bolong? <br /><br /><b>Ruri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ompong. Melompong. Tapi enak kali ya? <br /><b><br />Semua:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Enak tenan… sst sst sst! <br /><b><br />Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MASUK TANPA MERASA ADA APA-APA. TEMAN-TEMANNYA MENATAP ANEH. GURU MASUK.) <br /><br />LAMPU BERUBAH </i><br /><b><br /><br />3</b><br /><i>RUANG TAMU KELUARGA TOGI. SORE. TOGI DAN ISTERI SEDANG BERSANTAI. </i><br /><br /><b>Togi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Penonton tahu tidak? Ini apa? Tidak tahu? Masa tidak tahu? Wah ketinggalan jaman. Ini namanya EICH PI. Telepon seluler. HAP…PE. HAP… PE ini baru ganti onderdil. Bukan ganti EL SI DI atau antena atau KI PET tapi SIM KART. SIM KART lama diganti dengan yang baru. SIM KART lama sudah kadaluwarsa soalnya kelamaan tidak diisi pulsa. Maklum! BBM naik, listrik naik, ongkos bus kota naik. Semua serba naik. Kere jadinya. Semua harus hemat. Pulsa pun dihemat. Karena terlalu hemat, tenggang waktu aktif SIM KART habis. Jadi harus beli kartu baru. Yang menyebalkan, nomor telepon teman-teman di SIM KART lama ikut hilang. Terpaksa deh bercapek-capek ria mendata lagi nomor-nomor telepon.<br />Satu-satu masukin punya ibu<br />Dua-dua masukin punya ayah<br />Tiga-tiga masukin punya istri<br />Satu dua tiga baru yang lainnya.<br />Capek juga memasukan semua nomor. Untung pernah membuat backup di buku telepon. Kalau tidak, harus tanya lagi ke orangnya. Hilang dong nomor si gadis cantik. Sebenarnya bukan itu yang menarik. Tapi ini nih<i> (BUNYI SMS MASUK) </i>Nah! Datang lagi. Betul dia lagi. <i>(MEMBACA) </i>Aku tidak kenal anda. Jelas saja tidak kenal. Aku juga tidak kenal anda. Tadinya kupikir ini nomor istriku tercinta, si super galak. Ternyata bukan. Mungkin keliru memasukkan data nomor, jadinya salah ke nomor orang lain. Jaman begini harus hemat. Kurangi pemakaian telepon! Manfaatkan fasilitas SMS semaksimal mungkin! Andai saja ada gerakan massal anti menelepon, tentu penghematan besar-besaran. Semua serba SMS. Dijamin negara tetangga tidak akan tertarik membeli perusahaan telepon negara kita. Namun sungguh celaka. Bangsa kita suka gosip. Negeri doyan ngerumpi. Bisa berjam-jam cuap-cuap di telepon. Cuap-cuap apa saja. Dari harga cabe melambung tinggi hingga gosip artis kawin-cerai. Susah! Lihat saja berapa banyak acara psst psst… artis di televisi! Semua stasiun televisi punya. Yang ini harus dipertahankan. Apalagi dia sekolah di tempat yang putri-putrinya terkenal cantik jelita. Kan sudah jadi rahasia umum kalau wanita sekarang suka dengan lelaki yang lebih tua. Apalagi sudah berkeluarga, banyak dicari. Sudah pengalaman, kata mereka. Ditambah pula bisa memberikan hadiah bedak atau baju baru, maka jadilah pasangan bersenang-senang dan terus ke… penonton terusin sendiri deh! Ups, tapi ini kan sekolah adik iparku? Ngeri juga kalau sampai tercium SMS-an dengan anak sekolah. Bisa lumat aku. Tapi ada ini. Otak. Otak mencari siasat. <br /><br /><b>Kakak Nina:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Siasat apa? <br /><b><br />Togi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak ada apa-apa. Aku lagi bersiasat agar hemat pulsa. <br /><b><br />Kakak Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kirain siasat ngibulin istri. Pah, pinjam HP! <br /><b><br />Togi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nah itu siasat pertama. Tidak meminjamkan HP kepada istri. <br /><b><br />Kakak Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sebentar saja. Nggak bakalan dimakan. Pulsa Mama habis. Pinjam dong ! Sebentar saja. <br /><br /><b>Togi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Siasat kedua, tidak boleh meminjamkan HP kalau sebentar. <br /><br /><b>Kakak Nina:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya sudah. Pinjamnya lama. <br /><b><br />Togi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Siasat ketiga, tidak boleh meminjamkan HP, apalagi lama. <br /><br /><b>Kakak Nina:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pak Togi, aku kan isterimu? SMS sekali saja. <br /><br /><b>Togi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kakaknya Nina, tidak boleh. Siasat keempat, tidak meminjamkan HP Untuk SMS. Apalagi istri. <br /><br /><b>Kakak Nina:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(SEBAL)</i> Mau dipegang saja.<i> (TOGI MAU MENJAWAB). </i>Itu siasat ketiga tidak meminjamkan HP untuk dipegang saja oleh istri. Awas ya! Nanti malam tidak boleh pegang-pegang! Titik <i>(KELUAR) </i><br /><br /><b>Togi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Itu beda. Kalau urusan pegang itu nggak pakai siasat-siasatan. Istriku! Istriku! Puasa lagi malam ini. Gara-gara HP ini sih. Gencatan senjata deh. Istriku!(MENGEJAR) <br /><i><br />LAMPU BERUBAH <br /></i><br /><br /><b>4</b><br /><i>DALAM KELAS. PAGI. MEJA DAN KURSI TERSUSUN RAPI. DI KELAS HANYA ADA NINA DAN TUTI. </i><br /><br /><b>Nina :</b> <i>(MENYANYI) </i><br />Kepada angin dan matahari<br />Kemana jawab akan kutemui<br />Tak tahu aku apa yang terjadi<br />Seolah aku kembang bangkai mati<br />Baunya tajam menusuk nurani <br /><br />Sahabat saja yang aku cari<br />Yang telah ada pergi menjauhi<br />Apalah arti hidup begini<br />Seperti mati<br />Sendiri dan sepi <br /><br />Perjalanan kehidupan<br />Butuh teman untuk berbagi<br />Walau tak abadi tapi berganti<br />Sesaat saja dibutuhkan hati<br />Hati yang damai<br />Teman yang ramai <br /><br /><b>Tuti :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku masih sahabatmu. Tak usah risau. Tapi jujur Nin! Kita kan sahabat. Aku butuh kejujuranmu. Benar tidak isi SMS itu? Terus terang! Tidak usah malu atau sungkan. Aku sahabat yang bisa menjaga rahasia. Kamu tahu sendiri kan? <br /><br /><b>Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kamu sahabat sejati Tuti. Isi SMS itu benar. Tapi tidak ada hubungannya denganku. <br /><b><br />Tuti :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak ada hubungan? Dia tahu nomormu. Dia menge-SMS berkali-kali. Dia tahu sekolahmu. Untung dia belum tahu rumahmu. Apa dia sudah tahu lagi? <br /><br /><b>Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Itu aku yang beritahu. Maksudku, agar dia percaya kalau dia salah <br /><br /><b> SMS.</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku kasih tahu kalau aku bukan istrinya. Aku ini anak sekolah. Eh malah SMS lagi: istriku bisa saja. Untungnya, masalah tempat tinggal dia tidak kuberitahu. <br /><b><br />Tuti :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi Nina, bahaya memberitahu identitas kepada orang tidak dikenal. Siapa tahu dia pembunuh berdarah dingin? Atau pemerkosa yang mencari mangsa? Atau perjaka tua yang cari perawan tingting? Orang-orang jaman sekarang penuh tipu daya. Bukan hanya orang lain atau tetangga yang ditipu, bahkan istri dan anak tega ditipu. <br /><b><br />Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku cuma ingin jujur. Berharap supaya dia mau mengirim SMS, menyatakan salah kirim SMS. Itu saja. Bukti itu akan jadi alatku melawan gosip miring yang beredar. Aku tidak tahan lagi tatapan mata aneh teman-teman karena SMS pertama itu? <br /><b><br />Tuti :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Memang! Aku sahabatmu ikut terganggu. Kamu anak baik. Sepengetahuanku tidak pernah berbuat macam-macam. Aku percaya kamu seratus persen. <br /><b><br />Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi dia tidak pernah meluluskan permintaanku. Malah ingin Kenalan lebih jauh. Mengejak bertemu. Kopi darat. <br /><b><br />Tuti :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Terus mau? <br /><b><br />Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya tidak. Takut lah. Aku takut kalau dia berbahaya seperti katamu tadi. Aduh bagaima ini? Kalau gosip ini sampai ke guru, bisa gawat. Pasti akan sampai ke Kepala Sekolah. Terus sampai juga ke keluarga. Gawat. <br /><br /><b>Tuti :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kenapa tidak ditelepon saja? Sudah berusaha menelepon? Mungkin dengan begitu dia mau berbaik hati? Dugaanku kamu kenal dia. Niatnya hanya menggoda kamu. Main-main. <br /><b><br />Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudah. Tapi dia tidak mau mengangkat. Malah balas SMS: hemat pulsa! Cintailah SMS seumur hidup! Lagian kan tidak surprise kalau sudah ngobrol dulu? Mendingan ketemu langsung saja.Jadi, tidak mungkin kita saling kenal. Bagaimana dong? Biasanya kamu banyak akal. <br /><b><br />Tuti :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Masalah begini nggak berani kasih masukan deh. Urusannya bisa panjang. Nanti ada apa-apa, aku ikut bertanggung jawab. Pertama-tama jadi saksi lalu terdakwa. Saksi kan bisa jadi terdakwa? Nggak ah. <br /><b><br />Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jadi dibiarin saja? Nanti teman-teman menganggap isi SMS itu memang benar. Kelakuanku seperti gosip miring yang beredar sekarang memang benar. Pembuktian dari sumber SMS bisa membantuku membersihkan nama. <br /><br /><b>Guru :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MASUK)</i> Nina dipanggil Kepala Sekolah. <br /><b><br />Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Baik Bu. Tuh kan? Pasti gosip sudah sampai. <br /><br /><b>Tuti :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sementara diamin saja Nin. (DILIRIK GURU) Bukan. Bukan Ibu. <br /><br /><i>LAMPU BERUBAH <br /><br />MEJA-KURSI KELAS BERUBAH POSISI MENJADI MEJA-KURSI DI KANTOR KEPALA SEKOLAH </i><br /><br /><br /><b>5</b><br /><i>RUANG KEPALA SEKOLAH. </i><br /><b><br />Kepala sekolah :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Selamat pagi anak manis! <br /><br /><b>Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Selamat pagi juga Ibu cantik! <br /><b><br />Kepala Sekolah:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Haus? Silahkan minum! <br /><b><br />Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak Bu. Terima kasih. <br /><br /><b>Kepala sekolah:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kamu cantik hari ini. <br /><b><br />Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ah, Ibu bisa saja.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b>Kepala sekolah:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudah beli kondom ya? <br /><b><br />Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kondom? <br /><b><br />Kepala sekolah :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Memalukan. Kamu menorehkan aib di sekolah ini. Tidak Ibu sangka. Anak cantik dan sepintar kamu bisa berbuat bejat. Serigala berbulu domba. Tanggalkan bulu domba itu! <br /><b><br />Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya tidak pakai bulu Bu. <br /><b><br />Kepala sekolah:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Maksud saya, kamu harus menanggalkan, melepaskan aib dari Sekolah ini. <br /><b><br />Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(KEPADA DIRI SENDIRI) </i>Menanggalkan aib, melepaskan aib. <i>(KE KEPALA SEKOLAH) </i>Bu ampun! Mohon jangan keluarkan saya dari sekolah! Bagaimana masa depanku Bu? Saya masih ingin belajar dan bermain dengan teman-teman. Apa masalahnya Bu? Saya tidak melakukan kesalahan apa-apa. <br /><b><br />Kepala sekolah:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak bersalah bagaimana? Hubungan badan di luar nikah bukan apa-apa? Masalah kondom anakku yang cantik kitik kitik kitik! Itu masalahnya. Saya akan siapkan surat pemecatanmu dari sekolah ini. Segera pulang! Beresi buku-bukumu dari kelas. <br /><b><br />Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya tidak ngapa-ngapain kondom Bu. Benar! Tidak mencuri kondom siapa- siapa.<i> (SADAR)</i> Ooo, masalah SMS itu ya Bu? Tidak Bu. Tidak. Itu tidak benar. SMS itu salah kirim Bu. Salah kirim. Mohon, jangan Hanya mendengar dari satu sumber! Nomor pengirim SMS itu benar -benar tidak saya kenal. <br /><br /><i>(GURU DAN RURI MASUK) </i><br /><br /><b>Guru :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ada informasi tambahan <i>(BERBISIK KE KEPALA SEKOLAH) </i><br /><br /><b>Kepala sekolah:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Baik. Terima kasih. <i>(GURU DAN RURI KELUAR) </i><br /><br /><b>Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bu, saya benar-benar tidak bersalah. <br /><b><br />Kepala sekolah:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nina Nina. Sulit bagi Ibu mempercayaimu. Masalah SMS kamu bantah. Sekarang ditambah lagi kamu berpacaran dengan pak Gatot. Berpacaran dengan gurumu sendiri. Itu sama sekali tidak etis. Dilarang. Tidak baik seorang murid berpacaran dengan gurunya. Tahu? Masih mau membantah? Menghindar? Alasan apa lagi akan keluar dari mulutmu? <br /><br /><b>Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Masalah apa lagi ini? Itu lebih tidak benar lagi Bu. Saya mengagumi pak Gatot. Dia ganteng, simpatik, pintar mengajar dan kebetulan rumahnya searah rumah saya. Jadi sering jalan bersama. Saya memang menyukai pak Gatot. Kalau dia mau jadi pacar, saya tidak keberatan. <br /><b><br />Kepala sekolah:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(KE PENONTON) </i>Saya juga mau tahu. <br /><br /><b>Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya tidak ada apa-apa Bu. Kenapa Bu? <br /><br /><b>Kepala Sekolah:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya mau tahu. Eh, maaf. Hmmm… baik-baiklah. Kamu bisa berceloteh apa saja. Silahkan cuap-cuap apa saja. Tapi Ibu butuh bukti. Buktikan berita kondom itu benar-benar kesalah -pahaman! Kesalah- kiriman SMS. Ibu butuh bukti. Ibu tidak ingin ini jadi hal buruk di sekolah kita. Hubunganmu dengan pak Gatot akan Ibu usut lebih lanjut. <br /><br /><b>Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Silahkan Bu! Saya sudah menghubungi si pemilik HP. Saya menelepon langsung. Juga sudah saya SMS. Tapi dia tidak menggubris. Malah mengajak kenalan segala. <br /><b><br />Kepala sekolah:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ibu tidak mau tahu. Pokoknya kamu harus dapat bukti. Bagaimana caranya, Ibu tidak mau tahu dan tidak ikut campur. Kalau tidak ya bye bye. Sudah. Masuk kelas sana! Ibu tunggu paling lambat tiga hari. <br /><br /><b>Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Baik bu. <br /><i><br />LAMPU BERUBAH <br /><br />MEJA-KURSI RUANGAN KEPALA SEKOLAH BERUBAH POSISI MENJADI MEJA-KURSI DI KELAS. </i><br /><br /><b>Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MASUK KELAS) </i><br /><br /><b>Ruri :</b><i> (MENYANYI)</i><br />Nah lo ini dia<br />Gadis manis sok manis<br />Tapi bau amis hiii <br /><br />Teman-teman:<br />Nah lo ini dia<br />Putri manis bukan gadis<br />Hiii <br /><br /><b>Ruri:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tak punya malu sedikitpun <br />Tak bermoral secuilpun<br />Apa guna hidupmu<br />Kalau bernoda dirimu <br /><br />Semua : Nah lo ini dia<br />Gadis manis sok manis<br />Tapi bau amis hiii<br />Nah lo ini dia<br />Putri manis bukan gadis<br />Hiii <br /><b><br />Semua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pecat! Pecat! Usir! Usir! Tidak tahu malu he! <br /><br /><b>Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(KELUAR SAMBIL MENANGIS) </i><br /><br /><b>Semua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Huuuuu….! <br /><br /><i>LAMPU BERUBAH </i><br /><br /><br /><b>6</b><br /><i>SUATU TEMPAT. SORE. </i><br /><br /><b>Dandi :</b> <i>(MENYANYI)</i><br />Kekasih <br />Benarkah berita yang kudengar<br />Jangan jadikan aku sedih<br />Aku ingin kejujuran<br />Kejujuran <br /><br />Apalagi yang bisa kuharap<br />Semoga dewa cinta<br />Masih menyatukan hati kita<br />Kalau tidak<br />Apa yang bisa kulakukan <br /><br />Bila berita itu benar<br />Aku dibohongi selama ini<br />Dibohongi beningnya mata<br />Dan lembutnya kata dari mulutmu<br />Apa aku kau bohongi <br /><br /><b>Nina:</b><i><b> </b> (MENYANYI)</i><br />Tidak kekasih<br />Semua itu tidak benar<br />Kesalah paham semata<br />Dan salah kirim<br />Hhhh… <br /><br /><b>Dandi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku tak percaya<br /> Aku tak percaya<br /> Tak bisa percaya begitu saja<br /> Pasti ada sesuatu yang salah<br />Bagaimana dia bisa tahu kamu? Bagaimana bisa tahu? Berita ini pun telah diketahui kedua orang tuaku. Mereka menasehati menjauhimu. Aku juga tidak ingin kena getah perbuatanmu. <br /><br /><b>Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dengan apa kubuktikan? Bagaimana caranya agar kau percaya? Haruskah menggantung diri di jembatan merah? Berteriak-teriak di perempatan lampu merah? Memasang iklan di koran-koran? Begitukah? Atau? Baiklah. Aku tidak menunggu lagi hingga malam pengantin. Aku mau menyerahkan lebih cepat sebagai pembuktian. Toh aku akan kehilangan itu suatu saat. Apa salahnya mempercepat. Carilah tempat yang layak! Atau di sini saja? Tapi aku takut ada orang lewat. Aku mencintaimu Dandi. Tidak ingin berpisah darimu. Aku patuh padamu seumur hidupku. Bila aku kehilanganmu, tidak tahu harus berbuat apa. Ayolah! <br /><br /><b>Dandi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(TERTAWA)</i> Tidak. Aku tidak bodoh. Kamu ingin menjebakku dengan tubuhmu? Siapa tahu aku bukan orang pertama yang menyentuhmu? Kamu ingin aku jadi tumbal kalau kekasihmu yang mungkin sekarang telah meninggalkanmu? Tidak. Aku tidak akan terjebak. <br /><br /><b>Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudah lama kita pacaran. Tidak sekalipun ada niat menghianati. Aku masih suci Dandi, tidak pernah melakukan hal buruk. Sekalinya ciuman pernah kulakukan hanya denganmu. Aku tidak mau lagi melakukan, takut dosa. Aku tidak ingin terlalu menikmati dosa. Berat akibatnya kalau semakin terjerumus. Kau setuju dan tidak pernah meminta lagi. Tapi sekarang tidak terpikir lagi dosa, tidak terpikir lagi. Walau harus melakukan dosa paling besar aku rela. Asal tidak kehilangan dirimu. Percayalah! <br /><br /><b>Dandi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak. Tidak. Kita harus saling melupakan. Janji yang pernah kita buat anggap tidak pernah ada. Anggap masa lalu. Tidak ingin kena getah perbuatanmu. Titik. <br /><b><br />Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Semudah itu rasa percayamu hilang? Lalu apa gunanya selama ini berkasih-kasihan? Berjanji mempertahankan cinta walau badai menghadang? Baru angin kecil saja, sudah menyerah. <br /><b><br />Dandi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Masalah ini kamu bilang angin kecil? Ini topan badai Nina? Please! <br /><br /><b>Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Setidaknya bukan masalah kematian. Gampang sekali tidak percaya padaku. Mau membuktikan malah mengatakan akan menjebak. Lalu dengan cara apa kubuktikan. <i>(DANDI PERGI)</i> Dandi! Oh? <br /><br /><i>(MENYANYI) </i><br />Kepada siapa lagi mengadu<br />Tidak ada yang percaya<br />Bahkan kekasih hati<br />Orang pertama mencium bibirku<br />Tidak percaya lagi <br /><br />Ooo… dunia kemana harus pergi<br />Adakah ujung dunia tempat mengadu<br /><i>(MENANGIS) </i><br /><br /><i>LAMPU BERUBAH </i><br /><br /><b>Tono :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(HENDAK MEMELUK) </i><br /><br /><b>Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hei! <br /><br /><b>Tono :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jangan sok jual mahallah! Jual murah saja sudah tidak laku lagi. (HENDAK MEMELUK) <br /><b><br />Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa-apaan sih? <br /><br /><b>Tono :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau tidak mau, kulaporkan ke keluargamu. Biar dipecat jadi anak. Atau kita cari tempat aman? Ayolah! Tidak ada yang tahu. <br /><b><br />Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Berani macam-macam akan kuteriaki maling. <br /><br /><b>Tono : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(TERTAWA) </i>Aku memang maling. Maling profesional. Jeli. Memanfaatkan kesempatan. Dulu berusaha mencuri hatimu tapi tidak mau. Sekarang kesempatanku memilikimu. Akan sama-sama senang, aku puas kamu aman. Ayolah! <br /><b><br />Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tolong! <br /><br /><b>Tono :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Beneran teriak lo. Kabur! <i>(KELUAR) </i><br /><br /><b>Nina :</b> <i>(MENYANYI) </i><br />Kepada siapa lagi mengadu<br />Tidak ada yang percaya<br />Bahkan kekasih hati<br />Orang pertama mencium bibirku<br />Tidak percaya lagi <br /><br />Ooo… dunia kemana harus pergi<br />Adakah ujung dunia tempat mengadu <br /><b><br />Tono :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MASUK LAGI).</i> Ayo! <br /><br /><b>Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tolong!<i> (MENGEJAR TONO) </i><br /><i><br />LAMPU BERUBAH </i><br /><br /><b><br />7</b><br /><i>TAMAN. SORE. </i><br /><br /><b>Togi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ciluk ba! Ketemu lagi. Sudah beberapa hari ini dia itu tuh rajin SMS. Pagi-sore, siang-malam, terus menerus. Dengan perjuangan keras, akhirnya dia mau bertemu. Di taman lagi. Tempat romantis. Pucuk dicinta ulam pun tiba hua ha ha ha…SMS-nya itu lho bikin nggak tahan. Mas pasti ganteng, baik hati, ramah. Jadi nggak sabaran mau cepat-cepat ketemu. Dia nggak tahu kalau aku juga tidak sabaran mau ketemu. Apalagi istri tidak memberi jatah. Wah pusing! Tapi laki-laki kan harus jaga gengsi. Sedikit cuek. Pura-pura jual mahal. Pura-pura sibuk. Taktik tarik ulur mendapatkan mangsa. Tanya dulu ah sudah dimana posisi. Posisi, posisi? <br /><i><br /> (NINA DAN KAKAKNYA MASUK. MEREKA DALAM PERJALANAN MENUJU TAMAN). <br /></i><br /><b>Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MEMBACA) </i>Posisi dimana?<i> (KE KAKAKNYA) </i>Kak, dia tanya posisi. <br /><br /><b>Kakak Nina:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bilang sudah dekat! <br /><br /><b>Togi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oh, sudah dekat. Makin tidak sabaran. Hasrat meledak, kepala mau pecah, burung hendak keluar dari sarang. O, buruuung kau sabarlah! <br /><br /><b>Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak sebaiknya menghubungi Polisi kak? <br /><b><br />Kakak Nina:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak usah dulu. Taman dekat jalan besar. Lagipula banyak penonton. Kakak sembuyi tidak jauh darimu. Begitu ada apa-apa, Kakak akan teriak memanggil orang. Kita tangkap dia dengan tangan sendiri. Kakak gemes ingin menjitak kepalanya. Huh! <br /><br /><b>Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">OK. Tapi agak takut Kak. <br /><b><br />Kakak Nina:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tenang! Kalau dia macam-macam akan ku ciat ciat ciat. Dia belum Tahu kalau aku sabuk hitam karate. Ciat. <br /><b><br />Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Alaa… sama kucing saja takut. <br /><br /><b>Kakak Nina:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kucing beda. Bulunya bahaya buat rahim wanita. <br /><br /><b>Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Laki-laki juga seperti kucing, suka daging mentah. Daging apa saja. Huh! Harus bisa kujelaskan segala masalah ini. Semoga secepatnya bisa bebas dari tatapan sinis teman-teman, sangsi kepala sekolah dan Dandi <i>(MENANGIS). </i><br /><br /><b>Kakak Nina:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudah jangan menangis! Masalah ini segera selesai. Kita sudah di taman.. Kakak menunggu di sini. Ayo jalanlah! <br /><br /><b>Togi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hei Nina? Dia mau kemana? Tumben lewat taman? Bukankah dia takut lewat sini? Nggak takut lagi? Sejak kapan? Sendirian pula? Katanya takut lewat sini. Cari tempat sembunyi. Kacau kalau ketahuan. Bisa kacau pertemuan. <br /><br /><b>Nina : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tadi si Abang bukan ya? Oh, mungkin diminta kakak ikut mengawasi kalau terjadi apa-apa. Aman. Sudah dua orang menemani. Orang-orang juga siap membantu kalau kakak beraksi. Tinggal teriak, bantuan datang. Mana dia ya? Sudah jam segini belum muncul juga. <i>(SMS MASUK. MEMBACA) </i>Aku sudah di taman, kamu dimana? <br /><b><br />Togi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wah gawat. ada istriku di sini. Kok semua serba kebetulan ya? Aku sedang menunggu sesorang eh, malah datang dua orang yang tidak diharapkan. Bagaimana caranya biar aman?<i> (SMS MASUK) (MEMBACA) </i>Aku juga sudah di sini. Kamu dimana? Dia sudah di sini. Wah gawat. Harus pindah lokasi, kalau tidak barabe. <br /><br /><b>Kakak Nina:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(SMS MASUK)</i> SMS dari Nina. <i>(MEMBACA)</i> Dia ngajak pindah Tempat ketemuan. Ke dekat tempat sampah di dekat pintu keluar. Jangan-jangan tuh cowok sudah tahu kalau aku jagain Nina. Bagaimana ya? (MENGETIK) K-A-M-U spasi K-E S-A-N-A spasi S-A-J-A tanda seru A-K-U spasi I-K-U-T spasi D-I spasi B-E-L-A-K-A-N-G titik <br /><b><br />Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(SMS MASUK) (MEMBACA) </i>Aku sudah di posisi. Buruan ya! <br /><br /><b>Togi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Yes. Pesan sudah delivered. Aduh! Nina kok malah ke sini? Aduh! Harus pindah posisi lagi. <br /><b><br />Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mana dia? <i>(MENGETIK)</i> A-K-U spasi S-U-D-A-H spasi D-I spasi P-O-S-I-S-I spasi. K-A-M-U spasi D-I spasi M-A-N-A tanda tanya. <br /><b><br />Kakak Nina:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Si abang ngapain mengendap-endap di situ? Tadi katanya mau reunian SMA. Kok ada di taman ini? Nina minta datang kali? Aku kasih tahu Nina, abang iparnya sudah di sini, biar tenang. <i>(MENGETIK)</i> B-A- N- G spasi T-O-G-I spasi D-I spasi S-I-N-I titik T-E-N-A-N-G spasi S-A-J-A. titik.nSent. Kok unsent. Yah unsent lagi. Cek pulsa. Ah, pantas. Sudah nol. Bang! Bang! <br /><b><br />Togi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Istriku tahu. Aduh! Dia memanggil lagi? Tanda tanda gagal. Kok ada disini? <br /><b><br />Kakak Nina:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nemenin Nina. Lho abang kan mau reunian? Kok di sini? <br /><b><br />Togi:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oh? Reuninya ditunda. Jadi Abang ke taman. Cuci mata saja. <br /><br /><b>Kakak Nina:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lihat cewek? <br /><b><br />Togi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oh? tidak. Untuk apa lihat wanita lain? Istri sendiri lebih cantik dari semua yang ada? Aku pergi beraksi dulu ya. Bye. <br /><b><br />Kakak Nina:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Eh mau kemana? Tunggu dulu. Kita di sini saja. Pinjam HP dulu! Mau SMS. <br /><br /><b>Togi:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Harus sendiri-sendiri biar seru. Boros sih SMS melulu. (KE DIRI SENDIRI) Ups, bisa ketahuan isi SMS dari si gadis cantik. Ayo! Buruan delete. Aman. Jangan banyak-banyak! <br /><b><br />Kakak Nina:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ada rahasia ya? Pakai diutak-atik. <br /><b><br />Togi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa sih yang mesti dirahasiain. Tadi tombolnya agak macet. Abang Coba dulu. Ternyata tidak masalah lagi. Silahkan putri. <br /><b><br />Kakak Nina:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MENGETIK)</i> B-A-N-G - T-O-G-I - D-I - S-I-N-I - D-E-K-A-T - T-E-M-P--T-M-U - M-E-N-U-N-G-G-U - P-E-R-T-A-M-A - T-A-D-I. Ngomong-ngomong mau kemana lagi sih Bang? Sudah. Nih! <br /><br /><b>Togi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jalan-jalan doang. <br /><br /><b>Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(SMS MASUK)</i>. Bang Togi? Kok dia SMS pakai nomor ini? Kenapa ya? Ooo… dia pasti sudah menangkap orang itu. Abang meng SMS lewat SMS lewat HP si pembuat susah itu. Hebat. Abang iparku benar-benar hebat<i> (MENGETIK).</i> K-A-K L-A-K-I - L-A-K-I - I-T-U - S-U-D-A-H - K-E-T-A-N-G-K-A-P - A-K-U - M-E-N-U-J-U - T-E-M-P-A-T - M-E-N-U-N-G-G-U - P-E-R-T-A-M-A - T-A-D-I. <br /><br /><b>Kakak Nina:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(SMS MASUK) </i>Jangan kemana-mana dulu! Kita ke sana sebentar Nemuin Nina. Dia sudah ketemu yang mengganggunya. <br /><br /><b>Togi:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi? <br /><b><br />Kakak Nina:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak ada tapi-tapian<i> (MENARIK TOGI). <br /></i><br /><b>Togi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(KESAL) </i><br /><b><br />Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Itu mereka. Tapi mana laki-laki itu? Mereka berdua saja. Bang mana orangnya? Sudah dibawa Polisi atau kabur? <br /><b><br />Kakak Nina:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Orangnya? Siapa? Dari tadi aku dengan abangmu kok. Dia tidak menangkap orang. <br /><br /><b>Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dia SMS pakai nomor laki-laki itu. <br /><br /><b>Kakak Nina:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nomor laki-laki itu? Sini lihat! Yang mana? <br /><b><br />Nina:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Yang ini. <br /><br /><b>Kakak Nina:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalimat ini Kakak yang kirim pakai nomor…. Ooo, pengganggu. Nina itu ternyata kamu. Kampret. Adik sendiri mau dimakan. Dasar kucing garong. <br /><b><br />Nina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Abang? <br /><b><br />Kakak Nina:</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Iya! Dia baru ganti nomor. Nomor Bang Togi di HP-mu sudah tidak berlaku lagi. Dasar suami mata keranjang. <br /><b><br />Togi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"> Ampun! Ampun! <br /><br /><i>LAMPU BERUBAH <br /></i><br /><b>Semua pemain:</b> <i>(MENYANYI)</i><br />Hati-hati dalam kehidupan<br />Waspadai setiap kejadian<br />Tak selamanya kejujuran<br />Dibalas dengan kebaikan<br />Berhati-hatilah <br /><br />Jangan pula percaya saja<br />Pada teknologi yang cepat berubah<br />Meski mudah tapi awas<br />Kadang ada negatifnya<br />Waspadalah <br /><br />Teknologi punya dua sisi<br />Bisa baik, bisa juga jahat<br />Pergunakan sesuai fungsi<br />Jangan pakai untuk kejahatan <br /><br />Hati-hati dalam kehidupan<br />Waspadai setiap kejadian<br />Bisa-bisa nikmatnya mimpi<br />Berubah jadi mimpi setan<br />Yoi yoi yoi yoi…<br /> Yoi yoi yoi yoi… <br /><br /><br /><i><b>### SELESAI ###</b><br />JUARA Harapan 1</i></span><br /> <p></p></div></div>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-48285354227258462532023-01-29T09:06:00.008-08:002023-01-30T12:36:03.099-08:00SAMPAH NEGERI - Haji Adjim Arijadi<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6ep80UCo8h4e2SXvshQmrUcOfSWLuFWlDx1Z831d5BA76YHbm5uNluW3Nwn9yB51gjIDR7p3reMLGHY9ANXOkvgEEbpbg-OS6Gi2Gr5s1VSk0EcoJ4ikJEwjBxSji6dgEzVxFLwwF6397j-l-9lZbKZd1aZeqRevi2e5HWcl9sh0NKH87LV72QGge/s9055/SAMPAH%20NEGERI.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6ep80UCo8h4e2SXvshQmrUcOfSWLuFWlDx1Z831d5BA76YHbm5uNluW3Nwn9yB51gjIDR7p3reMLGHY9ANXOkvgEEbpbg-OS6Gi2Gr5s1VSk0EcoJ4ikJEwjBxSji6dgEzVxFLwwF6397j-l-9lZbKZd1aZeqRevi2e5HWcl9sh0NKH87LV72QGge/w400-h261/SAMPAH%20NEGERI.jpg" width="400" /></a></div><span style="font-family: arial;"><br /><b><br /></b></span><div><span style="font-family: arial;"><b>SAMPAH NEGERI </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><b>Karya : Haji Adjim Arijadi</b><br /></span><div><span style="font-family: arial;"><br /></span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><i>Para Pelaku :</i></b><br />1. Pengemis<br />2. Gelandangan Gadis<br />3. Gelandangan Tua<br />4. Cina<br />5. Lelaki<br />6. Suami<br />7. Isteri <br /><i><br />Pada sebuah kaki lima, toko milik warga negara Cina, para pengemis tengah mengakhiri istirahatnya dan langsung menyibukkan diri dengan membersihkan lantai kaki lima tersebut. Seorang pengemis yang menguasai wilayah kaki lima itu pada bingung menempatkan bendanya berupa keranjang sampah yang selalu dianggapnya sebagai tempat demokrasi dan berkas rahasia. Keserbasalahan tersebut karena ia merasa bahwa harta bendanya selalu diincar-incar oleh mata manusia. Dimatanya dalam penempatan benda itu sudah cukup baik, tetapi belum tentu kena bagi mata pemilik toko. </i><br /><b><br />Pengemis : </b></span><div><span style="font-family: arial;"> Memang serba salah. Salah bagi orang yang tidak mau mengerti akan kebenaran dan kepastian yang kumiliki-kutaruh disini, memang tepat menurut anggapanku. Tapi apakah tepat bagi rasa dan biji mata orang lain ? Lebih-lebih bagi bibir ceriwis si Cina itu. Lantas dimana ? Nah disini……oh, tidak. Disini akan jadi alas an tepat bagi si Cina untuk menendang keranjang ini. Keranjang bagi orang kota memang tempat sampah. Tapi bagiku adalah sebuah almari Cabinet indah yang serasi untuk dokumen rahasia atau harta yang mengandung nilai sejarah. Disini letak perbedaan yang paling prinsipil. <br /><br /><i>MUNCUL GELANDANGAN TUA DENGAN ANAK GADISNYA </i><br /><b><br />Gel. Tua : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bagus sekali. Kau telah menempati janjimu dengan baik. Ah… <i>(DUDUK BERSILA) </i>cukup payah. <i>(MENGGERAPAKAN PINGGANGNYA) </i><br /><br /><b>Pengemis : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Memangnya jalan jauh <br /><br /><b>Gel. Tua : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mana mungkin orang seperti saya ini punya rumah di kota <br /><br /><b>Pengemis : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Makanya jangan memandang diri kita terlalu rendah <br /><b><br />Gel,. Gadis : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jangan minder, begitu bukan maksudnya. ? <br /><br /><b>Pengemis : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Duillah, Awet muda nih. Cantik lagi. Sudah pernah kawin ? <br /><b><br />Gel. Gadis : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mana ada orang yang mau <br /><b><br />Pengemis : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Waduhhh…masih perawan. Betul-betul perawan, ya ! <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Memangnya kalau dia perawan, mau apa sih ? <br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ah, nggak apa-apa. Ngomong-ngomong sudah lapar atau belum ? <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa yang dimakan ? <br /><b><br />Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nah, kebetulan, saya banyak menyimpan nasi bungkus, <br /><br /><i> (SIBUK MENCARI DIANTARA ISI KERANJANGNYA) </i><br /><br /><b>Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dari pesta perkawinan ? <br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ah, kita tak usah perduli, dari mana datangnya. Nah, ini mari kita sarapan bersama <i>(MENYUGUHKAN) </i>Mari <i>(MENGAJAK SI GADIS) </i><br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MEMBUKA BUNGKUSAN) </i>Kok, Cuma tulang melulu <br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Rezeki jangan ditampik. Rezeki harus disyukuri. Tulang tulang sekalipun tapi banyak sum-sumnya. Makanan bergizi. Ayah, jangan malu-malu, nanti keburu siang. <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ah, <i>(MENCOBA MENGUNYAH TULANG, TAPI GIGINYA PATAH) </i>Waduh, bagaimana bisa mendapatkan sumsum <br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jangan cari enaknya saja, Pak, Mendapatkan sumsum ayam sama saja dengan menggali batu intan. Mana mungkin, batu intan datang sendiri. <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya, tapi gigi ini. Nih, lihat. <br /><br /><i> (MENUNJUKKAN PATAHAN GIGI) </i><br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tulang memang keras, sukar dipecahkan. Nah, tulang ayam muda. <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MENOLAK) </i><br /><b><br />Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nih, bantu ayahmu, coba kau pecahkan dengan gigimu <br /><br /><i> MEREKA SEDANG ASYIK MAKAN, KEMUDIAN MEREKA DIKEJUTKAN OLEH PEMILIK TOKO </i><br /><b><br />Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hayyaaa ! Bagaimana ini, kalian bikin rusak pemandangan. Ayo minggir, Toko mau dibuka <br /><b><br />Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kok, tak libur Ngkoh <br /><b><br />Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa libur libur. Mau malas-malasan, akan makan batu ? Hayyaa, Hidup tak boleh malas-malasan. Harus rajin, kau malas, nah akibatnya sedang kau rasakan bukan ? <br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Maksud saya, bukan mengatakan Ngkoh malas. Tapi hari ini hari libur Nasional. Hari Raya Indonesia. <br /><b><br />Gel.Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Iya ya.. Tujuh Belas Agustus <br /><b><br />Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia <br /><b><br />Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Siapa larang orang mau jualan, sana minggir, halaman toko jangan dikotori. Kalian hamburkan tulang tulang itu ya ? Kalian hamburkan wabah penyakit. Itu kotor merusak kota. Pemadangan jelek. <br /><b><br />Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ayah. Ayahkan tak pernah pisah dengan bendera <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">O….. ya aku lupa dengan hari bersejarah kita<i> (MENGAMBIL DI DALAM BAJUNYA, RUPA-RUPANYA BENDERA ITU TERBELIT DI PINGGANGNYA).</i> Ini dia. Merah Putih. <br /><br /><b>Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mau dipasang itu Bendera ? Disini tidak boleh <br /><br />Pengemis :</span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan saya juga banyak menyimpan hiasan merah putih<i> (MENGAMBILNYA DARI DALAM KERANJANG)</i>. Nah.. <i>(HIASAN RANTAI KERTA MERAH PUTIH). <br /></i><b><br />Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bagus sekali. Kita harus turut merayakan. Dan kita harus menghiasi tempat tinggal kita ini. <br /><br /><b>Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa ! Menghias tempat tinggal kalian ? Dimana ? <br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya tak punya tanah dan tak punya rumah. Di desa memang ada. Tapi luas tanah terbatas pada seluas kuburan orang tua dan isteri saya. Cuma itu. Nah, kalau boleh saya ungin menghias muka took ini saja. <br /><br /><b>Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak bisa ! <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Betul juga. Ini bukan milik kita <br /><b><br />Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi hari kemerdekaan harus kita sambut dengan meriah. Kita punya bendera Merah Putih. Dan kita juga punya hiasan kebangsaan. <br /><b><br />Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pokoknya kalian jangan bikin kacau dengan sampah-sampah itu. Ayah ! Menjauh. Akibat kalian buka took ini jadi berantakan dan kotor. Ayah !! sebelum polisi kota menyalahkan saya, agar kalian menjauh dengan segera. <br /><br /><b>Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ngkoh, saya kan sudah Ngkoh kenal. Masa kami harus diusir. Halaman took Ngkoh adalah ladang kami. Bagaimana kami bisa mendapatkan uang Ngkoh. <br /><b><br />Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya, tapi demi saran kalian untuk kepentingan ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan, maka saya minta kalian berpartisipasi dengan kota. Partisipasi itu ialah untuk keberhasilan kota. Artinya kalian harus menjauhi muka took ini. <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ayolah, agat tahu diri ! Disini bukan milik kita <br /><b><br />Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ayah sudah menyalahi prinsip perjuangan ayah. Bukankah sejak kecil ayah telah menanamkan pengertian pada saja, bahwa bumi Indonesia yang kita rebut dari tangan asing adalah bumi kita juga. Tiap jengkal tanah air adalah tanah air kita. <br /><b><br />Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mana bisa. Saya sejak dulu banyak keluar uang untuk memiliki tanah dan toko ini. Ini bukan milik orang banyak. Saya telah membelinya. <br /><b><br />Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya punya segel adat yang diketahui kepala Kampung. Saya punya sertifikatnya, lantas kalian mau mengakuinya ? Tak usah, ya.. <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kau tidak boleh salah dalam menafsirkan. Negara kita adalah Negara hukum. Punya perlindungan hokum, atas hak milik kita. <br /><b><br />Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lho, kitapun tidak berkeinginan untuk mengambil harta milik si Cina ini. Kita tidak bermaksud untuk merampasnya. Tulang-tulang ayam yang barusan kita santap tadipun telah saya dapatkan secara halal. Saya bermaksud akan berpartisipasi terhadap orang yang pernah memberikan jasa kepada kita. Jangan Ngkoh kira, saya akan menjadi durhaka terhadap Ngkoh. Ngkoh cukup berjasa dalam hidup saya, kalau bukan dengan kemurahan hati nyonya, mungkin saya tidak punya tempat tidur. <br /><b><br />Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Na, itu orang tahu diri namanya. Jangan seperti dia. Tiap jengkal tanah yang ditempatinya selalu jadi miliknya. Itu perampok namanya. <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Maafkan kesalahan anak saya, Ngkoh. <br /><b><br />Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalian hanya bisa saya maafkan kalau sudah menjauh dari tempat ini. <br /><b><br />Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi saya harus cari uang disini. Ngkoh <br /><b><br />Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalian sejak dulu telah melanggar hukum. Kalian tiap hari datang kesini bikin nyanyi-nyanyi cari uang. Mana pernah minta izin. Sudahlah jangan banyak cingcong, lekas pergi sana ! <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dimanapun kita berada maka jiwa kita selalu dekat dengan negeri kita. Nusantara dengan kemerdekaannya ada dalam jiwa kita. <br /><br /><i>TERDENGAR BUNYI GENDERANG, TAK LAMA MUNCUL SEORANG LELAKI DENGAN GENDANG PLASTIK YANG DIBALUT DENGAN RUMBAI MERAH PUTIH. PADA KEPALANYA JUGA TERBELIT SECARIK KAIN MERAH PUTIH. </i><br /><br /><b>Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Barisan berhenti !<i> (IA TEGAP BERHENTI) </i>Istirahat <i>(IA MAJU MENATAP ORANG ORANG).</i> Hei ..! Kau, Cina Jawab ! Cina atau bukan ? <br /><br /><b>Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya, ya Saya orang Cina. Tapi saya orang Indonesia. <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Orang Cina tapi orang Indonesia !? Tidak bisa ! Cina Bukan Indonesia. Tapi Cina boleh saja tinggal di bumi Indonesia. Dan kau <i>(PADA PENGEMIS)</i> Orang Indonesia. Saya kenal dari hidungmu. Kau juga <i>(PADA GELANDANGAN TUA)</i> saya kenal dari kepasrahanmu. Tapi kau <i>(PADA GELANDANGAN GADIS) </i>Seorang betina Indonesia yang malang. Saya punya banyak teman wanita. Galak-galak. Tapi zaman telah lampau. Saya pengagum wanita yang berhati singa. Tapi saya juga dikagumi wanita berhati lembut. Tapi saya juga dikagumi wanita berhati singa.. Bagi saya wanita itu bukan tanah liat. Bukan juga embun. Wanita adalah singa. Harus berani, dan wanita dulu memang pemberani. Berani angkat sumpah. Berani angkat senjata melawan Belanda. Dan kau memang wanita yang saya kagumi itu. Saya mencintaimu, tahu? Saya ingin mengambilmu. Kamu harus jadi isteri saya. Nah, siapkan dirimu, Siapa Walimu? Kau ?<i> (PADA PENGEMIS). </i><br /><b><br />Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(GELENG KEPALA) </i><br /><br /><b>Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tentu bukan suaminya. Suaminya pasti Cina ! Atau kau barangkali. <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya ayahnya <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kebetulan sekali. Kita harus kawin sekarang juga <br /><b><br />Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kau gila ! <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sedikit. <br /><b><br />Gel.Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dia bukan ayah saya. <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Baik, Tapi dia mengakui anak. Itu penting sebab wanita tanpa dikawal jadi wanita raja singa. <br /><br /><b>Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa maksudmu <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudah berapa kali kita lalui ulang tahun kemerdekaan. Dan kemerdekaan yang pernah menyita darah isteriku harus dibalas pula dengan cinta wanita. Kau harus mencintai saya. Itu janji saya. <br /><b><br />Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi kita tidak boleh seenaknya begitu. <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jangan jual mahal. Jaman merdeka tidak ada yang boleh sombong. Lebih-lebih para wanita. Kemerdekaan menuntut setiap wanita agar meningkatkan emansipasinya untuk kepentingan pria. Bukan sebagai saingan. Jadi engkau harus punya pengertian siapa saya. Kita akan berumah tangga. <br /><b><br />Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kau benar-benar gila. <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudah kukatakan, gilaku hanya sedikit. <br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Gila kok sedikit. <br /><br /><b>Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalian semua gila. Ayoh minggir dari tokoku. <br /><br /><b>Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Cina itu juga gila. Kita semua gila. Barisan bersiap. Maju jalan ! <i>(MEMUKUL GENDERANGNYA TAPI BERHENTI KEMUDIAN MELIHAT KEATAS, LALU KEPADA CINA) </i><br /><br /><b>Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dari datuk saya, saya sudah menjadi milik saya. <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bagus, Kau orang kaya. Tapi tidak kau punya tiang bendera. Kau membenci kemerdekaan ? Mana bendera Merah Putih. Kau menghina Negara. Kau memang gila. Gila kemerdekaan yang menyita banyak korban. Termasuk korban isteriku. Ayo kibarkan Merah Putih. Kau tahu ini ? <i>(MENGAMBIL BAMBU RUNCING, LALU MENGANCAMKAN KEPADA CINA) </i>Bambu Runcing ini akan menikam setiap jantung penghianat kemerdekaan. Sekarang giliran jantungmu.<i> (MAU MENIKAM, TAPI DISAMBUT OLEH PENGEMIS). </i>Kau tukang pukulnya ? <i>(REBUTAN) </i>Lepaskan! Lepaskan! <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MEMEGANGI DARI BELAKANG) </i>Sabar, sabar.. <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kami bersekutu dengan Cina ? Penghianat bangsa. Lepaskan ! <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sabar. Sabar. Ambil tombaknya. <br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MEREBUTNYA) </i><br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(NGAMUK TIDAK SADARKAN DIRI) </i>Penghianat ! Barisan siap ! Serbu.<i>(SIKAP MENEMBAK DAN BERFANTASI DALAM PERANG) <br /></i><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Salah satu korban dari peran empat lima. <br /><br /><b>Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apakah menurut ayah, dia seorang pejuang ? <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dialah komandan ayah, dia seorang pejuang ? <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dialah komandan ayah dalam pasukan tengkorak putih. Dia seorang komandang yang berani. <br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bapak seorang pejuang ? aku juga, pak <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kau lari ke kota, karena takut berjuang ? <br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya lari membawa surat penting. <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pedalaman Alam Roch ? <br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Yah. Daerah Selatan dari pertahanan Kalimantan <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lari ? Dengan maksud apa ? <br /><b><br />Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">ini <i>(MENUNJUKAN BERKAS SETELAH MENCARI ISI KERANJANGNYA) </i>Menyelamatkan surat-surat ini <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MENELITI)</i> Hei. Bukankah ini daftar nama pejuang yang tergabung dalam ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan. <br /><br /><b>Gel.Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Daftar nama pejuang ? <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nak, matamu lebih awas. Coba kau cari nama ayah. <br /><br /><b>Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">tentu namaku ada disini. <i>(MENELITI) </i>Tengkorak putih. Siapa nama komandan yang sinting itu ayah ? <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">H. Marhasan, yang dikenal dengan nama Pangeran Kumba Karna. <br /><br /><b>Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Betuk ayah. Dan nama ayah juga ada disini. <br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Utuh Batung <br /><br /><b>Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hei. Kamu mengenal nama ayahku ? <br /><b><br />Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Disana juga ada nama aluh Bungsu. <br /><br /><b>Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aluh bungsu namaku. <br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dikenal dengan nama Puteri Selat. <br /><br /><b>Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hei….. <br /><b><br />Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kita juga sampah. Sampah bagi negeri ini. <br /><br /><b>Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Siapa sebenarnya kamu ? <br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Orang yang pernah memerintahkan seseorang untuk menculik Puteri Selat. <br /><br /><b>Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Di zaman gerombolan Ibnu Hajar ? <br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi Aluh Bungsu. <br /><br /><b>Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bangsat. <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Yah.dia betul-betul bangsat. Sekian tahun kita merdeka kerjaku mengembara dengan tujuan mencarimu. <br /><b><br />Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ayah <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kau diam saja. <br /><b><br />Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ayah, jangan bikin rebut dimuka toko saya. Nanti polisi mengira saya buka huru-hara dihari Ulang Tahun Kemerdekaan. Ayah, kalau mau jangan rebut disini. <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ngkoh jangan terlalu sombong. Ngkoh bukan orang yang berjasa di dalam negeri ini. Dan Nkoh jangan coba-coba menghalangi saya menumpas orang ini. <br /><br /><b>Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hayyyaaa… Saya hanya minta jangan bikin keributan disini. <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kini saat yang tepat. Hari Kemerdekaan ini harus ditandai dengan percikan darahmu. <br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi, bapak jangan terlalu yakin dengan dugaan bapak. <br /><br /><b>Gel.Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kau kira keyakinan saya ini atas dasar dugaan ? Tidakkah kau rasakan akibat dari perbuatanmu itu. <br /><b><br />Gel.Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Gara-gara anak gadisku kau culik, seluruh masyarakat telah menyisihkanku, karena anak gadisku yang sudah ternodai tidak kuhabisi riwayatnya. Dia dan saya ayahnya, jadi cacat di mata masyarakat. Dan kali ini kau akan jadi tebusannya. <br /><b><br />Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tunggu Ayah <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa yang ditunggu. Kau telah kehilangan dendammu ? <br /><b><br />Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi dia tidak bersalah. <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dengan ternodanya dirimu itu, kau katakana tidak bersalah ? <br /><br /><b>Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oh, Tuhan lebih tahu. Aku sama sekali tidak ternoda oleh siapapun. <br /><b><br />Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku juga lebih tahu tentang diriku. Bahwa Tuhan pasti akan bertindak adil. Dan kau harus jujur mengakuinya, bahka aku tidak pernah menodaimu. <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dinodai atau tidak bukan lagi urusan kalian. Aku harus membunuhmu <br /><br /><i> TERDENGAR SUARA LELAKI </i><br /><br /><b>Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Munduuur <i>(MUNCUL TERERNGAH-ENGAH)</i> Perang sudah berakhir. Merah Putih sudah dinaikian. Bendera Belanda harus dilemparkan ke negerinya. Dan kita segera kawin. <br /><b><br />Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ayah… <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Di komandan ayah. Dan dia telah menggunakan seluruh pasukan tengkorak putih untuk menyelamatkan kau. <br /><b><br />Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa maksud ayah? <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kau harus menerima lamarannya. <br /><b><br />Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ayah… <br /><br /><b>Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hidup hari Kemerdekaan Republik Indonesia <br /><br /><i> (SERAYA MEMBUNYIKAN GENDERANGNYA) </i><br /><br /><b>Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(GELISAH) </i><br /><br /><i>TIBA-TIBA MUNCUL SEPASANG SUAMI ISTERI PERLENTE. SEMUA PERHATIAN TERCURAH PADA PASANGAN SUAMI ISTERI ITU. SEMUANYA JUGA JADI TERKEJUT. LEBIH-LEBIH SI LELAKI. </i><br /><br /><b>Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ini dia. Tepat di hari Ulang Tahun Kemerdekaan<i> (MENCEGAT DAN MENGANCAMNYA). </i><br /><br /><b>Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa-apaan ini ? <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sayalah yang pantas bertanya, mau apa lewat sini. <br /><br /><b>Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Inikan jalan umum ? <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sejak kapan kalian ikut andil buat jalanan ini. <br /><br /><b>Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalian sinting. Atau apa ? <br /><br /><b>Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kamu anggap saya sinting. Dan kami anggap kalian gila ! Ia, nggak. Ia nggak. <br /><br /><b>Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mari Pap. Menyingkir dari kami. <br /><br /><b>Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Yang harus menyingkir itu siapa ? Ayo jawab ? <br /><br /><b>Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan kamu siapa ? <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lupa, toh ? Ayo tebak siapa saya ? Siapa dia ? Dan kamu lupa siapa dia ? <br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Galuh, coba kamu cari dalam daftar itu. Apa terdapat nama yang pakai amat ? <br /><b><br />Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Amat…Amat… <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kok tiba-tiba saja otak saya jadi jernih…Oya betul. Ada Amat Butun, ada Amat Lukah, ada Amat Gasing, Tampirai, <br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Itu Utuh Tampirai awan Utuh Paluntaan <br /><b><br />Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Amat Jaring, Amat, Amat… <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Amat Di Laga ! Betul, Amat Di Laga ! Ada, ada, ada, <br /><br /><b>Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Amat Di Laga ! Betul, ada tertulis <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa betul, tercatat disitu ? <br /><br /><b>Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>KETIKA DISEBUT AMAT DILAGA, JADI KAGET, TAPI CEPAT DISEMBUNYIKAN </i><br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nama Amat Di Laga, memang terdapat dalam daftar itu. Tapi catatan penghianatannya luar biasa banyaknya. <br /><br /><b>Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kamu Amat Dilaga bukan ? <br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jangan ngaco. <br /><br /><b>Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ayo, Pap ? Mau apa disini. <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Eeeee..jangan buru pergi. <br /><br /><b>Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mh, Bau amis ! <br /><br /><b>Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Penghinaan ! <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hari ini hari raya. <br /><b><br />Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(BURU-BURU MENCARI ALAT TABUHAN YANG TERSIMPAN DI KERANJANG) </i>Nah ini dia. Harta Budaya Bangsa. <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ini baru hiburan. <br /><i><br /> TERJADILAH HIBURAN SPONTAN DALAM LAGU DAN TARI PERGAULAN TIRIK.<br /> SEBUAH IMPROPISASI KREATIF.<br /> (TIBA-TIBA LELAKI DIBAYANGI OLEH SUASANA PERTEMPURAN IA BERTIARAP) </i><br /><br /><b>Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MENGAMBIL KESEMPATAN MENARIK SUAMI HENDAK PERGI) </i><br /><br /><b>Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MENCEGAT SAMBIL MENODONGKAN TOMBAK) </i>Jangan lari ! Angkat Tangan ! Kalian tidak boleh lari dari kenyataan. <br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kita berdua tidak punya kepentingan apa-apa. <br /><br /><b>Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apakah kamu berdua tidak merasa terhibur ? <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya sudah berikan apa yang saya punyai. <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tentunya bapak punya tuntunan pula. Dan kau ngkoh merasa terhibur ? <br /><br /><b>Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya tidak pernah minta dihibur <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dana mana tentu merasa keberatan, kalau jerih payah nona tidak mendapat imbalan bukan ? <br /><b><br />Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hidup saya tergantung dari suara saya. <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nah sudah cukup jelas. Hei, kalian punya derajat parlente. Apalah artinya dengan uang seribu atau dua ribu rupiah. <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Itu cukup adil. <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan bagaimana dengan si Cina ini. <br /><b><br />Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dia orang asing, cukup kaya. Tapi ia tetangga saya. <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lantas kalau ia sebagai tetangga, kenapa ? <br /><b><br />Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kita bisa pertimbangkan sedikit. <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kita bukan penagih pajak. <br /><b><br />Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Maksud saya, jangan dipaksa. <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Siapa bilang, meminta sumbangan itu harus dipaksa. Pada mulanya hiburan tadi kita buat hanya berdasarkan kesadaran. Tidak pernah terpikir untuk mengancar-ancar biaya. Kita tidak perlu biaya latiha. Tidak perlu uang penampilan. Kita sudah berjasa kepada siapa saja yang sempat menjadi saksi hiburan kita. Tanpa diberi orang juga tidak apa-apa. Disini, kita punya arti telah membuat jasa kepada manusia. <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi kami perlu makan <br /><b><br />Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya juga <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Semua kita perlu makan. Rezeki diatas bumi Indonesia ini tidak saja untuk si Ngkoh. Tidak pula untuk nyonya parlente itu. Semuanya adalah milik kita. <br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Termasuk emas intan di dalam toko cina itu. <br /><b><br />Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mana bias. Harta benda itu milik saya. Milik kalian ? Hayyyaaaa. <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya berjuang dengan darah dan keberanian. Semata untuk kemerdekaan. <br /><br /><b>Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kita sekaang sudah merdeka <br /><b><br />Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Harta kekayaan ada diatas darah dan kemerdekaan <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Yah, ada di dalam toko Cina itu. <br /><b><br />Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mau apa kalian ? <br /><b><br />Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Selama ini santapan saya cuma nasi dan sisa tulang-tulang. <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kita punya hak. <br /><b><br />Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalian mau merampok ? <br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Merampok di hari keramat ? <br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pap, cepat pergi. Nanti kita terlibat. Ayo. Pap. <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kau akan membocorkannya ? Berdiri di situ ! Hei (Kepada Pengemis) Pegang Tembok ini. <br /><b><br />Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Akan kulaporkan pada polisi <br /><br /><b>Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kenapa ? <br /><b><br />Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalian mau membongkar toko saya ! Kalian perampok <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hei <i>(kepada pengemis) </i>Bungkam dia ! <br /><b><br />Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Berteriak atau mau disumbat dengan ujung tombak ini ! Mana kunci toko. <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hei, Bung. Mau kerjasama atau pilih mati berdiri. <br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa yang bung inginkan dengan membongkar tokosi Cina itu ! <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kok masih Tanya lagi. <br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Untuk keperluan apa ? <br /><b><br />Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sok moralis. <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Yah, sok jujur. Apa beda pekerjaan saya ini dengan manipulasi yang kau lakukan selama ini. <br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kau jangan menghina suami saya. Sudah hamper separo dari kekayaan suami saya disumbangkan untuk kepentingan social. <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Separo dari kekayaan suami nyonya sudah diamalkan. <br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Untuk kepentingan pendidikan dan anak yatim <br /><br /><b>Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lantas kau anggap bahwa noda hitam didahimu ini sudah bisa dihapuskan ? <br /><b><br />Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MENGAMBIL KESEMPATAN UNTUK LARI) </i><br /><b><br />Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MENCEGAT DENGAN TOMBAK) </i><br /><br /><b>Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dasar Cina ! Mau lari dengan cara tidak jujur ? <br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Begini saja. Daripada kalian terkena tindak criminal. Lebih baik berbuat jujur saja. <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kami sudah terlalu jujur. <br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dengan merampok harta si Cina ? <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan kau masih ingat ? Apa yang kamu ingat di zaman perang ? Berapa banyak korban nyawa pejuang, akibat penghianatanmu. <br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Masa lalu, bukan lagi masa kini <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bagi kamu justru punya kesamaan antara masa lalu dengan masa kini. Dulu pada saat Pemerintahan Belanda sedang Berjaya, kamu ikut Berjaya. <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tampangnua saja sebagai pejuang, tapi wataknya selicin belut. <br /><b><br />Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Manusia licik ! <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan sekarang, disaat pejuang sejati tengah menata Negara ini, kami tahu kamu tampil sebagai orang pintar sebagai orang nomor satu dibarisan kemerdekaan. <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Timpakul janjam ! <br /><b><br />Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Orang seperti dia harus disingkirkan <br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pengemis buruk rupa. <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jangan menghina calon isteri saya ! Kamu bukan orang sini. Saya tahu asal-usul kamu ! seenaknya bicara ! Kami berpijak di bumi siapa. Dan langit yang kau junjung di atas tanah banyu siapa ! <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Masuk orang pinter juga kamu. <br /><br /><b>Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Itu sudah jelas. Dan siapa saya, semua pejuang sudah tahu. Pangeran Kumba Karna. <br /><br /><b>Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sekarang bukan rahasia lagi. Kita sama sekandang dalam barisan empat lima. <br /><br /><b>Pengemis : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan tidaklah heran dalam kawan sekandang sering terjadi ketidak beresan. <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pinter juga kamu <br /><br /><b>Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tepat sekali. Tapi apakah di zaman empat lima, saya ini pinter apa bodoh ? Lalu kalau zaman itu saya terbilang pinter, zaman sekarang ini, masuk orang yang bagaimana ? <br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Di zaman perang, kamu seorang komandan. <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Termasu orang pinter kamu ? <br /><br /><b>Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Di zaman perang, saya dipanggil bapak. Tapi di zaman sekarang, saya disebut gila. Begitukah Puteri Selat ? <br /><br /><b>Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kamu, saya, ayahku dan dia sekarang ini, termasuk orang bodoh. <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kita yang bodoh, atau zaman ini yang membodohi kita. <br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Zaman tak akan pernah merobah kita jadi bodoh, tapi orang-orang pinterlah yang selalu menganggap dirinya pinter, dan menciptakan diri seperti kita jadi bodoh. <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Masuk pinter juga kamu. <br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi masih banyak orang lebih pinter yang menganggap kita orang bodoh. <br /><br /><b>Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ayolah Pap, akhirnya kita jadi bodoh sendiri, bila kita tidak pergi dari sini. <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Urusankami dengan Ngkoh ini belum selesai. Dan tidak seorangpun yang boleh meninggalkan tempat ini. <br /><br /><b>Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Itu urusan kalian, dan bukan urusan kami. <br /><br /><b>Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau kami merampas semua harta si Cina ini, semua kita jadi terlibat. Saya ingin semua kita ikut berbuat dan semua kita kebagian hak. <br /><br /><b>Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kamu masih punya keberanian. Semangat kepemimpinan yang kamu miliki masih belum rapuh. Saya suka orang seperti kamu. Nah kalau kamu mau bekerjasama dengan saya dalam pekerjaan yang lebih mulia dengan janji akan jadi kaya, ini kartu nama saya. Datanglah kapan-kapan, saya akan menerima kamu dengan tangan terbuka. Ini (MENYERAHKAN) <br /><br /><b>Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MASIH RAGU MENERIMANYA) </i><br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Paling-paling akan jadi bandit mafia. <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau ingin disebut pinter, terima saja <br /><br /><b>Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bapak juga. Usia bapak sudah berapa ? <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudah jelas tua, kok masih Tanya. Tapi saya masih ragu juga, apakah usia saya ini sudah termasuk pension atau masih usia tergolong muda. <br /><br /><b>Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kenapa begitu ? <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya inikan pejuang. Pangeran Kumba Karna itu, pernah jadi komandan saya. Lalu Belanda angkat kaki dari bumi Haram Manyarah ini. Setalah Indonesia merdeka, sebahagian para pejuang banyak yang iri kepada orang-orang pejuang yang pinter bersama orang-orang yang tidak pernah berjuang, mendapat kedudukan yang nyaman serta jadi kaya. Tapi yang merasa kecewa menghimpun kekuatan. Oleh pemerintah yang berkuasa disebut gerombolan jahat, dan harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Memang benar. Mereka diburu. Mereka ditindas. Mereka dibunuh. Na, Puteri saya hamper jadi korban. Saya jadi bingung. Dari pihak gerombolan menganggap saya musuhnya, dengan menculik puteri saya ini. Sementara dari penguasa tidak menghiraukan saya. Maka jadilah saya seperti sekarang ini. Tak ada uang jasa atau uang pensiun. <br /><br /><b>Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Itu kesalahan bapak sendiri. Terlalu pasrah. Tidak mau memperjuangkan nasib sendiri. <br /><b><br />Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Na, na mulai lagi. Masih menghina calon mertua saya, ya. <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hidup saya jadi morat marit! Semua ini gara-gara si bangsat ini ! <br /><br /><b>Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kok marah pada saya <br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Memang kamu. Semuanya gara-gara kamu, yang mencengkeram orang di muka saya. Saya jadi malu. Saya malu ! Dan saya tidak ingin pulang kampong. <br /><br /><b>Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bukanlah manusia, kalau perjalanan hidupnya tak pernah cacat. Semua kesalahan yang kita lakukan tetap tercatat sebagai dosa. Dan dosa pada Tuhan tak akan bisa dihapus. Tapi Tuhan masih berikan kesempatan untuk menggandakan amal baik kita. <br /><br /><b>Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Karena itu suami saya berusaha untuk berbuat baik kepada siapa saja. <br /><br /><b>Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dendam sesame kita harus kita hapuskan. Karena itu janganlah saling menghujat. <br /><br /><b>Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sekarang hati saya jadi senang. Tua orang mulia. Mari silahkan mampir. Hari ini toko saya tidak jadi jualan. Saya ingin menjamu tuan dan nyonya, juga kalian semua. <br /><br /><b>Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pap, bagaimana kalau bapak dan puterinya ini, kita ajak tinggal di rumah kita ? <br /><br /><b>Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sungguh bagus sekali. <br /><br /><b>Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(KEPADA LELAKI) </i>Kalau kamu bisa putuskan sekarang ikutlah bersama kami. Tapi kalau masih berfikir, terima kartu ini. Kamu juga <i>(KEPADA PENGEMIS). </i>Ini kartu nama saya. <br /><br /><b>Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hari ini benar-benar hari keramat. Hari bersatunya orang-orang pribumi. Saya gembira. Saya ingin adakan pesta di took saya. Mari, mari tuan-tuan, silakan masuk. <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ngkoh, saya minta maaf. <br /><br /><b>Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Itu tidak banyak piker. Tuan-tuan. <br /><br /><b>Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi, saya jadi malu. <br /><br /><b>Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Buang rasa malu itu. Bangkitkan semangatmu <br /><br /><b>Lelaki :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya ini orang gila<i> (SAMBIL MENGHENTIKAN STIK GENDERANGNYA)</i> Barisan, bersi…ap. Maju….jalan <i>(MEMUKUL GENDERANG SAMBIL BERJALAN MENINGGALKAN BUNYI GENDERANG ITU BERANGSUR HILANG). </i><br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kasian Komandan say. <br /><br /><b>Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kita tidak boleh membiarkan dia. Bagaimanapun juga, dia banyak berjasa dalam perjuangan. <br /><b><br />Pengemis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jasa-jasanya hilang akibat kegilaannya. <br /><br /><b>Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jangan putus asa. Pak. Bukankah dia mencintai puteri bapak ? <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Selagi dia masih jadi komandan saya, saya sangat mencintainya. Walau dia masih sangat muda saat itu, tapi kecakapan dan kebijaksanaannya sangat mengagumkan saya. <br /><br /><b>Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bagaimana kalau puteri bapak berkenan menyadarkan dia kemudian membujuknya agar dia bisa tinggal bersama saya. <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Usul yang sangat bagus. Aluh Bungsu. Susul dia. <br /><br /><b>Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(AGAK MALU-MALU) <br /></i><br /><b>Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya yakin, dia akan jadi orang baik. Susullah dia. <br /><br /><b>Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ayah menyuruhku ? <br /><br /><b>Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudah sejak tadi, dia ayah terima sebagai calon menantu ayah. Ayo susuli dia. <br /><br /><b>Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Baik ayah. <br /><br /><b>Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Na, begitu <br /><b><br />Gel. Gadis :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(DENGAN AGAK MALU MENYUSULINYA) </i><br /><b><br />Gel. Tua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sungguh pinter puteriku <br /><br /><b>Cina :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya sangat gembila. Hali ini benal-benal hali kelamat. Hali kemeldekaan. Mali tuan-tuan. Kita tunggu saja hasilnya didalam sambiil makan-makan. Silahkan-silahkan. <br /><br /><br /></span><span style="font-family: arial;"><b><i>*****TAMAT*****</i></b></span><span style="font-family: arial;"><br /><br /><i>Banjarmasin, 10 Agustus 1982<br />Revisi, Januari 2001<br />Penulis,<br />Haji Adjim Arijadi.</i></span><br /> </div></div></div>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-63508167171598613402023-01-29T08:50:00.005-08:002023-01-31T11:32:39.716-08:00RACUN DUNIA<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhsqc4M8XtA72dssC0Bo_wRKga741qakluk_IlUi2FG8IhPRiOfAU0Q_J3-cN68XZJlaIauTAgeWlLXyvRZjbikl7-T0nedfSMPAeh3PHTThjGEaOVKdyM8sFu3Bh71t8rHgFxvxAke0wL9E9rfkNTlEjUrL5y9MYp9YoWSguqWRgQpgfgufUXCCZyX/s9055/RACUN%20DUNIA.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhsqc4M8XtA72dssC0Bo_wRKga741qakluk_IlUi2FG8IhPRiOfAU0Q_J3-cN68XZJlaIauTAgeWlLXyvRZjbikl7-T0nedfSMPAeh3PHTThjGEaOVKdyM8sFu3Bh71t8rHgFxvxAke0wL9E9rfkNTlEjUrL5y9MYp9YoWSguqWRgQpgfgufUXCCZyX/w400-h261/RACUN%20DUNIA.jpg" width="400" /></a></div><div><br /></div><span style="font-family: arial;"><b><div><span style="font-family: arial;"><b><br /></b></span></div>RACUN DUNIA</b></span><div><span style="font-family: arial;"><b><br /></b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><b>BABAK 1</b><br /><br /><i>(Lagu racun dunia, bercakap-cakap, bercakap-cakap, lagu cari jodoh) </i><br /><br /><b>Bokir : </b></span><div><span style="font-family: arial;">Halo….Bossss… <br /><b><br />Joko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Si Bossss lagi marah ya…..? <br /><br /><b>Bos Parman : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Berisik….! <br /><br /><b>Joko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Siapa yang berisik…? <br /><br /><b>Bokir : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Iya siapa yang berisik…! <br /><br /><b>Joko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oh….aku tahu Kir..! siapa yang berisik. <br /><br /><b>Bos Parman : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bisa diam nggak sih? <br /><br /><b>Joko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(membisik Bokir) </i>yang berisik itu penonton! <br /><br /><b>Bokir : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hai penonton jangan berisik donk! gak tahu apa Si bos lagi marah. <br /><br /><b>Bos Parman :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Yang berisik itu bukan penonton, tapi kalian berdua, dasar mulut ember, disuruh diam malah lower, mau tak jewer? <br /><b><br />Bokir : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wuh…! Si Bos sekarang galak banget. <br /><b><br />Joko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ada apa sih Bos? <br /><br /><b>Bos Parman : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalian tahu nggak? <br /><br /><b>Bokir : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku tahu…Si bos pasti lagi….! <br /><b><br />Joko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lagi nggak punya uang? <br /><br /><b>Bos parman : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(melempar uang) </i>dasar…! <br /><br /><b>Bokir : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Si bos lagi banyak uang, terus uangnya dilempar-lempar! <br /><b><br />Bos Parman : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(sambil melempar sandal)</i> Diam…..! Joko…..! <br /><br /><b>Joko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya bos….. <br /><b><br />Bos Parman : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Sambil menunjuk bahu) </i>Pijet….! Sini uangnya ! <br /><br /><b>Bokir : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ada apa si Bosss? Kelihatannya kesal banget? <br /><b><br />Bos Parman : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku pingin nikah. <br /><b><br />Joko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa? Pingin nikah <br /><br /><b>Joko & Bokir : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(tertawa)</i> ha…ha…ha…. <br /><br /><b>Bokir : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(lagu Cari jodoh)</i>……………….. <br /><br /><b>Bos Parman : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sekarang kita cari minum dulu ….! <br /><br /><br /><b>BABAK 2 </b><br /><br /><i>(Bokir, Joko, bos Parman keluar. Lastri, Agus masuk) </i><br /><br /><b>Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Las…las…..Lastri….! tunggu aku donk Las? <br /><b><br />Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ada apa sih Gus ? <br /><br /><b>Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(lagu Ridlo Roma ) </i><br /><br /><b>Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Maaf ya Gus! Aku harus pulang…! Sekarang sudah sore. <br /><br /><b>Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku anter ya ? <br /><br /><b>Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa nggak ngerepotin! <br /><br /><b>Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nggak.! rumah kita kan satu jalur ! <br /><br /><b>Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya sudah kalau gitu. <br /><br /><br /><b>BABAK 3 </b><br /><br /><i>(Lagu…., lastri, Agus keluar. ibu , bapak masuk ) </i><br /><br /><b>Bapak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(sambil baca Koran) </i>……………………, Buk…3X Buatkan Bapak kopi….jangan terlalu pahit, dan jangan terlalu banyak gula. <br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tumben minta dibuatin kopi tidak terlalu pahit dan manis! Kok Bapak sudah tahu kalau kopi dan gulanya sudah habis. <br /><b><br />Bapak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ini kopi apa teh ? kok gak hitam ? <br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Katanya minta yang tidak pahit! Itukan tidak pahit. <br /><br /><b>Bapak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya iya, tapi…… <br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi kenapa ? kurang manis ? sudah tahu kopi dan gulanya habis. <br /><br /><b>Bapak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kemarinkan sudah bapak kasih uang! <br /><b><br />Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(masuk)</i> assalamu'alaikum…… <br /><br /><b>Ibu & Bapak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wa'alaikum salam, itu siapa Las….? <br /><br /><b>Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oh……ini Agus. <br /><br /><b>Bapak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oalah Agus. <br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Agus ! <br /><br /><b>Bapak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Agus-agus <br /><br /><b>Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Maaf Pak, Bu, kebetulan saya dan lastri satu kelas. Tadi ada les tambahan jadi pulangnya agak sore. <br /><br /><b>Bapak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Terima kasih ya? Sudah mau ngater Lastri. <br /><b><br />Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Agus pamit dulu! <br /><b><br />Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Terima kasih ya? Gus! Hati-hati dijalan. <br /><br /><b>Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pulang dulu ya Las…! Assalamu'alikum <br /><br /><b>Lastri & bapak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wa'alaikum salam <br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Las…! Agus itu siapa? Anak siapa? <br /><b><br />Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Agus dari keluarga baik-baik lho buk! Meskipun dari kelurga yang kurang mampu tapi hatinya baik dan suka menolong. <br /><b><br />Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Las….ibu tidak suka kalu kamu berteman dengan anak orang miskin, ntar kita malah ketularan miskin. <br /><b><br />Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi buk!</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pokoknya ibu tidak suka kalau kamu berteman dengan anak orang miskin. <br /><br /><b>Bapak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Gimana Las…sekolahnya. <br /><b><br />Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sebentar lagi lastri mau lulus. Lastri nglanjutin ke peguruan tinggi ya Pak? <br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa nglanjutin? nggak ada nglanjutin. Ibu sudah carikan jodoh kamu, jadi kamu nggak usah nglanjutin sekolah lagi. <br /><b><br />Bapak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ibu sudah carikan jodoh buat lastri ? <br /><br />Ibu : </span></div><div><span style="font-family: arial;">ya pak..! dia anak orang yang paling kaya di desa ini, punya mobil, sawahnya luas, dan …………. <br /><b><br />Bapak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan………. <br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan sapinya juga banyak, jadi kalau kita punya menantu dia, pasti hidup kita dan anak kita juga terjamin. Bapak nggak usah susah-susah kerja. Apalagi dia anak tunggal, kalau bapaknya meninggal pasti dia jadi pewaris tunggal. <br /><b><br />Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak……! Lastri tidak mau……! Ibu tega, menikahkan anak hanya gara-gara hartanya. Itu namanya hubbud dunya. <br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pokoknya kamu harus nikah dengan Parman anak Blantik sapi itu. <br /><b><br />Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau Ibu masih maksa………..<i>(sambil masuk kamar). </i><br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pokoknya kamu harus nikah dengan Parman, ibu pingin hidup kamu itu terjamin, tidak susah dan terpandang karena jadi menantu orang kaya. <br /><br /><br /><b>BABAK 4 </b><br /><br /><i>(Bos Parman, Bokir, Joko masuk) </i><br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Eh……nak Parman! baru aja ibu omongin, eh…sekarang da datang. <br /><b><br />Bos Parman : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ah..... ibu bisa aja!<i> (sambil mendorong Bokir) </i>eh….begini bu. Maksud……maksud…….. <br /><br /><b>Bokir : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">ha….ha..haa…si boss gemetar…… <br /><b><br />Joko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bos Parman gak bisa ngomong……. <br /><b><br />Bos Parman : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Suuuuuut! <i>(sambil menyeret bokir, Joko) </i>Diam……begok! Maksud saya…..maksud saya……… <br /><b><br />Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Maksud nak Parman mencari lastri..…ada kok…..dia baru aja pulang. Las ada tamu………… <br /><br /><b>Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(menyahut) </i>maaf bu lastri ga' bisa temui…..Lastri capek bu….lastri mau istirahat.. <br /><br /><b>Bos Parman : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Eh….maaf bu....mungkin lastri butuh istirahat. (sambil memberi uang) kalau gitu saya pulang dulu bu! <br /><b><br />Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Terima kasih nak Parman, maafkan lastri ya nak Parman? <br /><b><br />Bos Parman : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya gak papa bu…..<i>(Bos Parman, bokir, joko keluar diiringi lagu hancur hatiku). <br /></i><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Belum jadi apa-apanya aja sudah dikasih uang banyak. Apalagi jadi mertuanya pasti minta apapun keturutan. <br /><b><br />Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Astagfirullah hal 'adlim. Istigfar bu…! Istigfar. Ibu sudah kena racun dunia. Ibu pikir dengan harta yang melimpah hidup lastri bisa jadi bahagia, tidak bu..! kebahagian bukan berasal dari kekeyaan harta melimpah, tapi kebahagiaan berasala dari ketengan hati dan jiwa bu. <br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kamu belum ngerti apa-apa Las…………Pokoknya kamu harus kawin dengan nak Parman anak blantik sapi itu. <br /><br /><b>Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau ibu tetap memaksa , lebih baik Lastri pergi dari rumah ini. <br /><br /><b>Bapak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">sudah..! sudah…! Las …Kamu masuk kamar sana <br /><br /><b>Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">ya Pak..! <br /><br /><b>Bapak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bu ada benarnya juga apa yang dikatakan Lastri, kekayaan itu bukan sumber kebahagiaan. Kalau ibu tidak percaya ibu bisa lihat Pak Sukron tetangga kita. Meski rumahnya mewah, bertingkat. Tapi Pak Sukron tak pernah tidur di rumah, karena harus menunggu semangkanya di sawah. <br /><b><br />Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">bapak ini gimana sih….! Bukannya membela ibu, malah membela Lastri. Ibu mau tidur. Bapak tidur di luar . <br /><br /><b>Bapak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kok malah marah Sih buk..? bapak bukannya membela Lastri, tapi yang benarkan memang seharusnya begitu. Kekayaan itu bukan sumber kebahagiaan. <br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">da tidur di luar sana..! gak usah masuk kamar….! <br /><b><br />Bapak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wah…nasib-nasib <i>(keluar panggung). </i><br /><br /><b><br />BABAK 6 </b><br /><i><br />(Bos Parman, Bokir, Joko, masuk sambil bawa minuman) </i><br /><br /><b>Bokir : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Olah raga dulu yuk Bos….<i>.( Lagu Lupa-lupa) </i><br /><br /><b>Joko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bos..! setelah aku perhatikan ternyata Latri itu mirip MANOHARA….Si bos memang pandai memilih calon istri. <br /><b><br />Bokir : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bukan Manohara begok..! tapi Si Lastri itu mirip Saskiya Meka. <br /><br /><b>Bos Parman - Joko: </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Tertawa) </i>ha….ha…ha…. <br /><br /><b>Bokir : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya bos..! Kalau Manoharakan gak pakai kerudung, sedangkan Sazkiya Meka selalu pakai kerudung, jadi Lastri itu mirip Sazkiya Meka bukan Manohara. <br /><b><br />Bos parman : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">kalian berdua ada-ada aja…..! <br /><br /><b>Bokir : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bos….. <br /><br /><b>Bos Parman : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">apa..? dasar <br /><b><br />Joko : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Cari minum lagi yuk Bos…. <br /><br /><b>Bos Parman : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya ….malam ini kita pesta sampai pagi ha…ha…..(keluar panggung) <br /><br /><b><br />BABAK 7 </b><br /><i><br />(Lastri masuk, sambil telpon secara sembunyi-sembunyi) </i><br /><br /><b>Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">halo….assalamu'alaikum Gus..! <br /><br /><b>Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wa'alaikum salam Las..! da apa Las malam-malam telpon ? tumben! Ada hal yang penting ya ? <br /><br /><b>Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">gawat…Gus..! gawat <br /><br /><b>Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Gawat…gawat gimana? Memangnya ada pa Las …? <br /><br /><b>Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pokoknya gawat…! Ibuku mau menjodohkanku <br /><b><br />Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa..? menjodohkanmu..? <br /><b><br />Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya…gus ..! Ibu mau menjodohkanku dengan Bos Parman anak blantik sapi yang ada didesa kita itu. <br /><br /><b>Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bos Parman….? Anak belantik sapi? Yang suka judi dan mabuk-mabukan itu …? Wah bener-bener gawat Las..! Kok bisa sih Las…? <br /><br /><b>Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">da ya Gus..! da malam, aku takut ibuku terbangun besok aku lanjutin lagi ceritanya, aku nggak bisa cerita sekarang. <br /><br /><b>Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">ya Las….! <br /><br /><b>Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">da..ya Gus..! assalamu'alaikum <br /><br /><b>Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wa'alaikum salam. Met bobok ya Las…! <br /><br /><br /><b>BABAK 8 </b><br /><i><br />Musik ……………<br />( Siswa masuk) </i><br /><b><br />Siswa 1, 2, 3, 4 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hum pimpa alaihum gambreng…gambreng…..gambreng. <br /><br /><b>Siswa 5 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Teman-teman tunggu aku donk….! Sepatuku lepas nih…! <br /><b><br />Siswa 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Uh….dasar gendut…! Makanya kalau punya badan itu dijaga biar tidak gendut seperti, tuhkan sepatunya sampai nggak muat. Jadi wanita itu harus pandai merawat diri agar tubuh kita tetap seksi. kayak aku nih….! Ya kan penonton..? <br /><b><br />Siswa 5 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi biar gendut-gendut begini ..! banyak yang naksir lho…! <br /><br /><b>Siswa 1,2,3,4 :</b> </span></div><div><span style="font-family: arial;">Hu…hu… dasar gendut. <br /><br /><b>Siswa 3 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Da...kita lanjutin lagi yuk…! <br /><b><br />Siswa 4 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kamu jadi ikut nggak ? ntar yang kalah harus cerita tentang cowok idamannya ..! <br /><b><br />Siswa 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Gimana…. berani nggak? <br /><br /><b>Siswa 5 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">OK…siapa takut!<br /><i>(Bersama-sama) </i></span></div><div><span style="font-family: arial;">hum pimpa alaihum gambreng…gambreng….wak kaji gawe klambi doreng….. <br /><br /><b>Siswa 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ha…ha….gendut dulan..! <br /><b><br />Siswa 5 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wah…kalian curang..! <br /><br /><b>Siswa 3 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Siapa yang curang !</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br />Siswa 4 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Gitu aja..! malu-malu. <br /><br /><b>Siswa 5 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya dech cerita…. Tapi jangan ditertawain ya….? <br /><br /><b>Siswa 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nggak..nggak! <br /><br /><b>Siswa 5 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Laki-laki idamanku itu….laki-laki yang kuat serperti gatot koco, yang tampannya kayak arjuno, dan hatinya lembut kayak Anjas Moro. <br /><b><br />Siswa 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hu…….hu………… <br /><br /><br /><b>BABAK 9 </b><br /><br /><i>(2 Pengamen masuk) </i><br /><br /><b>Pengamen 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Permisi mbak…! <i>(nyanyi lagu anak jalanan) </i><br /><br /><b>Siswa 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dik…! Adik kok tidak sekolah malah ngamen? <br /><br /><b>Siswa 3 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya dik…! Padahal seusia adik kan seharusnya masih sekolah? <br /><br /><b>Siswa 4 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Maaf dik..! apa adik tidak dimarahin sama orang tua adik? <br /><br /><b>Pengamen 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dari kecil kami tidak tau siapa orang tua kami. <br /><br /><b>Siswa 4 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">terus adik tinggal sama siapa ? <br /><br /><b>Pengamen 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kami cuma berdua saja, tinggal di bawah jembatan. <br /><b><br />Siswa 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jadi kalian berdua ini anak yang terlantar ? maaf ya dik..? <br /><br /><b>Siswa 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dik kami cuma bisa kasih ini, maaf ya dik…? <br /><br /><b>Pengamen 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Maksih mbak…..! permisi…! <br /><br /><b>Siswa 5 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wah….kasihan ya…? Hidup sebatang kara tinggal di bawah kolong jembatan ? <br /><b><br />Siswa 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aneh…! Padahal Negara kita sudah merdeka lebih dari 50 tahun tapi tetep aja masih ada anak yang terlantar. <br /><br /><b>Siswa 4 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya…aneh banget padahal dalam undang-undang dasar 45 pasal 34 juga disebutkan bahwa " fakir miskin dan anak yatim yang terlantar dirawat dan dipelihara oleh pemerintah". <br /><br /><b>Siswa 5 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Makanya kalau milih wakil rakyat jangan hanya karena ada uangnya saja! Pilih wakil rakyat yang memiliki jiwa kerakyatan, mau mendengarkan suara rakyatnya. Jangan cuma ikut-ikutan, begini ni jadinya. Kalau wakil rakyat dipilih karena uangnya. Kalau sudah jadi pemimpin tidak lagi memikirkan nasib rakyatnya. <br /><br /><br /><b>BABAK 10 </b><br /><br /><i>(agus masuk) </i><br /><br /><b>Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pagi teman-teman ! lihat Lastri nggak? <br /><b><br />Siswa 5 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kenapa cuma mencari Lastri ? sudah lupa ya sama Rindu ? <br /><br /><b>Siswa 1, 2, 3 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hu…hu… dasar gendut ! <br /><br /><b>Siswa 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Emang ada ada apa dengan Lastri ? <br /><br /><b>Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tadi aku kerumahnya, kata orang tuanya dari pagi dia sudah gak ada di rumah. Jangan-jangan dia kabur dari rumah. <br /><br /><b>Siswa 1, 2, 3 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kabur dari rumah…? <br /><b><br />Siswa 3 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Memang ada masalah apa sampai Lastri nekat kabur dari rumah ? <br /><b><br />Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau gak salah…! Tadi malam Lastri bilang kalau dia mau dijodohkan dengan Bos Parman anak belantik sapai ! Mungkin itu masalahnya, sehingga lastri nekat kabur dari rumahnya. Ya…. Sudah aku cari dulu barangkali dia masih belum jauh. <br /><br /><b>Siswa 5 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya…Gus…hati-hati di jalan. Kita-kita juga ikut bantu kamu mencari Lastri. Teman-teman kita berpencer. Kamu kearah sana dan kamu ke arah sana. Las….Lastri…Las….Lastri……..(suara berlalu, semua keluar) <br /><br /><br /><b>BABAK 11 </b><br /><br /><i>(Lastri masuk, menyanyi lagu suara Luna Maya) ) </i><br /><b><br />Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pak…Bu…maafkan lastri ya…? Bukan maksud Lastri untuk membuat ibu menderita. Sekarang bapak dan ibu pasti sedeng bingung mencari Lastri. Lastri baik-baik aja kok bu…! Seandainya ibu tidak memaksa Lastri untuk kawin dengan Parman, lastri juga gak bakalan kabur dari rumah. Tapi kenapa perasaanku tiba-tiba gak enak ya? Jangan-jangan terjadi apa-apa dengan ibu dan bapak di rumah. Kalau gitu….. <br /><br /><b>Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Assalamu'alaikum gus…! Lastri <br /><br /><b>Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lastri….? Wa'alaikum salam las..! gimana keadaanmu sekarang..? baik-baik aja kan? <br /><br /><b>Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Alhamdulillah..! sehat-sehat aja gus..! kamu gak usah kwatir. <br /><b><br />Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Da satu bulan lebih aku cari-vcari kamu kemana-mana tapi gak ketemu-ketemu. Kemana aja Las…? Aku mencemaskanmu…! <br /><b><br />Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku numpang di rumah temanku di Lamongan. Oh ya…Gus..! gimana kabar ibu dan bapakku? Baik-baik aja kan? Aku kwatir banget sama mereka, aku sering mimpi yang nggak2, aku takut terjadi apa-apa di rumah. <br /><br /><b>Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kamu aharus segera pulang Las…! Lima hari setelah kamu kabur dari rumah ibumu jatuh sakit, sampai sekarang juga belum sembu-sembuh. Aku juga sering ke rumahmu kok! Insya'allah ibumu sudah mulai sadar. Jadi kamu harus segera pulang..! <br /><b><br />Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya sudah kalau ibu sudah sadar, insya'allah besok aku akan pulang, tolong jemput aku di terminal ya Gus..? <br /><b><br />Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya ….las….. <br /><b><br />Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Da dulu aku mau kemasi barang-barangku dulu sekarang da malem. Assalamu'alaikum… <br /><br /><b>Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wa'alaikum salam warohmatullahi Wr. Wb. <br /><br /><br /><b>BABAK 12 </b><br /><i><br />(bapak, ibu masuk) </i><br /><b><br />Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pak maafkan ibu ya…? Ibu telah berbuat salah besar, ibu menganggap bahwa harta adalah segala-galanya, sekarang ibu baru sadar ternyata harta bukanlah sumber kebahagiaan. Ibu jadi sedih….ibu kangen sama Lastri. Sudah hamper 2 bulan lastri tidak pulang-pulang, ini semua gara-gara ibu. Pak ibu takut terjadi apa-apa sama Lastri<i> ( menangis…) </i><br /><b><br />Bapak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudahla bu…! Yang lalu biarlah berlalu, sekarang ibu jangan bersedih terus, sebaiknya ibu berdo'a, semoga tidak terjadi apa-apa sama Lastri, kita memohon semogo Lastri segera pulang! <br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi Pak…! <br /><br /><i>(Lastri , Agus masuk) </i><br /><br /><b>Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Assalamu'alaikum <br /><br /><b>Bapak - ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wa’alaikum salam Wr. Wb. <br /><b><br />Bapak : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bu…doa kita terkabulkan.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br />Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Alhamdulillah ya Allah, kamu da pulang nak…! Maafkan ibu ya nak ? <br /><b><br />Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Maafkan Lastri juga bu…Lastri sudah membuat bapak dan ibu menjadi cemas, Lastri tidak akan mengulangi lagi, lastri tidak akan kabur dari rumah lagi, Lastri janji. <br /><b><br />Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Maafkan ibu Las…! Ibu sudah berbuat salah, sekarang ibu sudah sadar harta bukanlah segala-galanya. <br /><br /><b>Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudahlah…bu….! Ibu cepat sembuh ya…? <br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Maafkan ibu ya Las….? Ibu telah melarang kamu berteman pada Agus. Sekarang ibu sudah sadar, ibu juga yakin pilihanmu itu tidak salah. Las…..ternyata Agus itu anak yang baik hati, semenjak ibu jatuh sakit, Agus telah banyak membantu keluarga kita. Mengantar ibu ke rumah sakit, beli obat kesana-kemari. Ibu berhutang budi banyak padanya. Terima kasih ya Gus..! <br /><b><br />Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bu…Ibu gak usah ngomong gitu! Sudah sepatutnya saya menolong ibu, sebagai sesama muslim kita kan harus saling tolong- menolong. Ibu tidak usah berterima kasih begitu. <br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Terimakasih ya Gus…! Kamu benar-benar anak yang patut dibanggakan. Sudah tampan baik hati lagi. <br /><br /><b>Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ibu jangan berlebihan, agus jadi malu. <br /><br /><b>Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Terima kasih banyak ya…. Gus..! <br /><br /><b>Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya…Las..sama-sama. <br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Gus…seumpama ibu minta tolong lagi sama agus, kira-kira agus keberatan nggak? <br /><b><br />Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Selama Agus mampu, Agus pasti tolong dan bantu ibu. Ibu nggak usah sungkan-sungkan. <br /><b><br />Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ibu minta….nak Agus nikah sama Lastri, itupun kalau nak agus tidak keberatan! Ibu pingin sekali nak Agus jadi menantu Ibu. <br /><br /><b>Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bu….. <br /><b><br />Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Maaf bu…bukannya Agus menolak permintaan ibu, tapi………… <br /><b><br />Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi apa Gus…? <br /><br /><b>Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Agus kan anak orang tidak mampu, Agus merasa tidak pantas menjadi menantu ibu. Lagian Lastri kan juga sudah punya pilihan sendiri. <br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Gus…sekarang ibu sudah sadar, harta bukanlah ukuran, harta bukanlah sumber kebahagian. Ibu tidak mempermasalahkan masalah harta, kamu sendiri gimana Las..? Maukan menikah sama Agus? <br /><b><br />Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau Lastri sih tidak keberatan…... Asalkan ibu merestui, Lastri mau..mau aja! <br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Gimana Gus..? <br /><br /><b>Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau memang Ibu dan Lastri sudah sepakat, Agus juga tidak menolak. <br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Alhamdulillah………..ibu senang mendengarnya. Kalau begitu besok kamu dan orang tuamu datang melamar sekaligus pesta perkawinan. <br /><b><br />Agus : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau begitu Agus pulang dulu, ibuku pasti juga senang mendengar berita ini, Pak,Bu, Las…! Agus pamit. Assalamu’alaikum. <br /><b><br />Ibu -</b></span><span style="font-family: arial;"><b> Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wa’alaikum salam Wr. Wb.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br />Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Las….sekarang kamu juga harus siap-siap untuk menyambut Agus. <br /><br /><b>Lastri : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya bu…… <br /><br /><i>Musik…….<br />( Petugas penata kursi nganten, tukang foto masuk)<br />……………………………………….<br />( kedua pengantin masuk dari arah yang berlawanan bersama pengiring, diiringi sholawat yaa nabi…..) </i><br /><br /><br /><b><i>TAMAT</i></b></span><br /> <p></p></div></div>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-36615206451834459672023-01-25T12:24:00.004-08:002023-01-25T12:25:56.141-08:00PAMFLET MERDEKA<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgby08hFnkhysia1ow9YhF7kjezmlX_leeZJahrP029jK1FZj8Ytt1wyeEvKWTfVPPBuwo9VPOQV4PVLKuYFwp62omRHstAxHA9vHWInriqldr9mItEoUtslhmDmw-gR1JDalO5zTJhUR-C1u69EIpu3lbTDVN7jx7DZrpdm2rgjoE8y3odYXHSKnyF/s9055/Pamflet%20Merdeka.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgby08hFnkhysia1ow9YhF7kjezmlX_leeZJahrP029jK1FZj8Ytt1wyeEvKWTfVPPBuwo9VPOQV4PVLKuYFwp62omRHstAxHA9vHWInriqldr9mItEoUtslhmDmw-gR1JDalO5zTJhUR-C1u69EIpu3lbTDVN7jx7DZrpdm2rgjoE8y3odYXHSKnyF/w400-h261/Pamflet%20Merdeka.jpg" width="400" /></a></div><br /> <span style="font-family: arial;"><br />Babak A <br /><br />Panggung terlihat gelap dan perlahan cahaya lampu menyinari tetapi masih redup. Seorang kekasih sedang duduk menunggu kekasihnya. Ada 2 orang yang satu duduk didekat kekasih dan yang satu berdiri pada posisi kuda-kuda, dua orang tersebut membuat gerakan yang telah ditentukan. Setelah selesai lampu tidak lagi redup dan Datang seorang lelaki membawa sebuah pamflet dia terus mengamati benda itu sampai melupakan sekitarnya. <br /><br />Kekasih :<br />dari mana aja, saya sudah tunggu dari tadi? <br /><br /><i>Lelaki itu tidak mendengarkan kekasihnya. </i><br /><br />Kekasih :<br />dari mana aja? (dengan nada sedikit keras) <br /><br />Lelaki :<br />ternyata disini, aku cari ke kebon binatang sebelah ngak ada. <br /><br />Kekasih :<br />emang, aku monyet? <br /><br />Lelaki :<br />mungkin iya, mungkin tidak. <br /><br />Kekasih :<br />lalu kau anggap apa aku ini? <br /><br />Lelaki :<br />em..........entah lah. <br /><br />Kekasih :<br />apa? <br /><br />Lelaki :<br />sudah lah, ini aku punya sebuah pertanyaan. <br /><br />Kekasih :<br />tidak mau. <br /><br />Lelaki :<br />ini……..(memberikan pamflet) <br /><br />Kekasih : </span><div><span style="font-family: arial;">dari mana kau dapat ini? <br /><br />Leleki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">tepatnya 17 Agustus tahun lalu, aku memungutnya dipingir jalan raya. Kertas ini selalu ku taruh diatas meja kerjaku, ku tanyakan pertanyaan ini setiap orang yang datang kepada ku, ah…..coba jawab pertanyaan pamflet itu!. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">rumit. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">apa rumit…………jawabannya ahanya satu atau dua kata. Pertanyaan “ masih adakah kemerdekaan di hati kita?” jawaban ya atau tidak, gampang! <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">bila pertanyaan itu ku jawab iya maka aku salah, bila ku jawab tidak itu juga salah. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">tidak mungkin. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">pernah kau menanyakanya pertanyaan itu entah kapan dengan kaget, aku terdiam. Jawaban dari Ku tak butuh teori-teori tapi kau butuh kenyataan. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">itu lah dirimu. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">kau hanya mengerti aku setengah dari diri ku bukan sepenuhnya! <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">janggan bahas soal itu, aku sudah tunduk kepada mu. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">bukan kah kau masih lelaki liar? Dengan segala masalah. Ingat waktu kau terjerat suatu kasus. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">itu awal cinta kita bukan? <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">Mungkin. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">Pada hari itu tepatnya hari senin aku dihadapkan sederet para penghukum yang siap menjebloskan ku dalam hotel jeruji bintang 16 dan kau duduk disebelah ku sebagai pengacara ku. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">itu waktu tergila yang pernah kita temui. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">aku tau itu, tapi sebentar dengarkan cerita ku. Tapi jangan kaget ya…..Perhatian-perhatian kepada para penonton yang mendengarkan cerita saya “sakit berlanjut hubungi dokter” Begini. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">begini apa? <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">jangan menyela. Begini ceritanya. J</span><span style="font-family: arial;">am satu siang, pintu rumah saya di ketuk oleh beberapa polisi. saya buka pintu, </span><span style="font-family: arial;">saya bicara dalam hati “ wah pasti akan ada hal yang seru”</span></div><div><span style="font-family: arial;">“maaf ini betul rumah bapak sukar?” kata lelaki besar itu.<br />Dengan sopan saya menjawab “ iya, saya sendiri”<br />“kami datang kemari datang untuk melaksanakan tugas”<br />Dengan bercucuran keringat kedua polisi itu mengusap keringatnnya.<br /> “ silahkan masuk dulu pak”<br />Wah betul-betul akan ada peristiwa seru. Didalam saya sengaja tidak membuat kan minum. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">kenapa? <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">mau menangkap saya kok di buatin minum, nambah pekerjaan saja. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">kau memang membuat masalah. teruskan cerita mu. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">saya tertawa meliahat mereka kepanasan.<br />“mohon maaf tugas apa ya?”<br />Mereka memberikan sebuah amplop coklat dan saya buka. Wah surat penangkapan, dengan sengaja saya pura–pura tidak bisa membaca.<br />“mohon maaf pak tolong dibacakan saya tidak bisa membaca!”<br />Kepala kedua polisi itu mengeleng-geleng, dalam hati saya tertawa. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">gila kamu, itu namanya penipuan. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">biar saja merekakan pelayan masarakat.Mereka terburu-buru menangkap saya. Saya bilang.<br />“bapak polisi yang terhormat, saya belum mandi dari tadi pagi saya mohon untuk berbenah sebentar”<br />“tapi jangan kabur ya”<br />“tunggu saya disini atau bapak didalam dan bapak satunya mengawasi di luar”<br />Lah kok polisi engkel-engkelan.<br />“Kamu yang diluar”<br />“Kamu aja”<br />“tidak”<br />“Sudah-sudah, sut aja bagaimana?”<br />Mereka turuti kata-kata ku, saya tertawa. Emang ada penjahat yang memerintah polisi. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">banyak. Buktinya mulai dari polisi, kejaksaan agung sampai sipir dapan disuruh seperti anjing peliharaan gayus. Bahkan bisa lihat tenis di bali. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">hahahahahahaha………………Dimana-mana kok selalu yang punya uang yang menang. pajak di embat, “apa kata dunia”. Oh iya, setelah aku masuk kamar mandi saya lama-lamakan saja sambil bernyayi lagunya bang iwan, berkali kali kamar mandi saya didodok.<br />“maaf pak apa sudah selesai?”<br />Saya berteriak. “sebentar lagi selesai”<br />Dengan mengunakan handuk saja saya buka pintu kamar mandi. Saya bilang. “jangan nafsu ya pak”<br />Pak polisi itu geleng-geleng kepala, saya pun menuju kamar tidur untuk ganti pakaian.<br />Didepan pintu pak polisi itu berdiri.<br />“pak baju ini cocok untuk dipakai hari ini”<br />Pak polisi itu cuek saja. Berulang kali saya bertanya soal baju sampai pak polisi marah-marah.<br />“sudah cepat-cepat itu saja juga bagus”<br />Saya memilih baju batik dan songkok. Kekasih itu memakaikan baju batik dan songkok. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">sudah rapi, tapi jangan menjadi koruptor. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">engak tapi aku mau jadi penjahat seorang koruptor. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">itu baru aku suka. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">Sekitar jam setengah tiga saya berada dikantor polisi. Disana ada 23 pertanyaan yg harus dijawab, di kursi saya terlebih dahulu mendengarkan ceramah, saya pura-pura budeng. Ini kantor polisi atau lembaga dakwah. Jam 4 sore baru dimulai pertanyaan. Satu persatu pertanyaan saya jawab. Pukul 19.00 wib, introgasi selesai dan saya dinyatakan bersalah dan akan menjadi terdakwa. Waktu itu pak. Polisi meminta saya berada dikantor polisi untuk wawancara sebentar, katanya untuk mulusnya pengadilan besok.<br /> “saudara sukar, besok kami akan menjeput saudara untuk pengadilan sekitar jam 1 siang dan kami harap bapak tidak kabur”<br />“ baik”<br />“begini saudara sukar kami bersedia memberikan kesaksian yang sebetul betulnya, asal”<br />Saya tersenyum “ lihat saja pengadilan besok” </span></div><div><span style="font-family: arial;">Seburuk inikah polisi negeri ini. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">kalau kau tak mau berurusan dengan polisi, kenapa kau mau menanggungnya sendiri. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">bagaimana tidak semua orang ketakutan ada yang lari kebirit-birit sambil kencing, ada yang bersembunyi, ada yang pura-pura tidak tau, semua ketakutan! Dari semua pimpinan produksi hanya tiga yang masuk kepengadilan dan yang lain dibiarkan mengalir seperti air kencing. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">itu permainan politik. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">bukan……….. itu permainan. Dari awal aku diintrogasi ada unsur-unsur yg dibuat-buat. mereka berbicara penuh semangat toh pada intinya akhirnya dia menawarkan sebuah kesepakatan yang berujung imbalan. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">sekarang dan dulu apa sama? <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">sama……..apa lagi mencakup uang. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">coba lihat kepengurusan-kepengurusan mulai daerah sampai pusat. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">sama aja, sama sialanya. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">sedalam ilmu pengetahuan yang ku timba hingga menjadi pengacara aku tidak pernah meningalkan satu perkulihahanpun pada saat jam mata kuliah pancasila dosen berkata “pemerintahan haruslah menjunjung pancasila dalam setiap pemeritahan dan para penggerak pemerintahan tidak ada kepentingan apa-apa dalam pemerintahan, hanya sebagai penjalan pemerintahan dengan baik” lalu apakah tercemin dalam pemerintahan negeri ini? <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">tentu saja teaori butuh praktek begitu sebaliknya. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">ingat ketika presiden kita mengusik sebuah pemerintahan daerah yang berjalan dengan baik. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">tentu “ saya tidak ada masalah terhadap hamengku Buwono ke 10, maka dri itu daerah istimewa yogyakarta akan diadakan pemilu yang diatur oleh pemerintah pusat” hahahahaha sudah salah kaprah negeri ini. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">mengusik macan yang sedang makan. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">apa artinya pemilu-pemilu bila meja-meja kekuasaan macet. Hanya membuang-buang uang rakyat. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">pemerintahan ini penuh permainan. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">monopoli kekuasaan? <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">mari kita bermain, sayang ku. <br /><br /><i>lelaki dan kekasihnya menari dengan diiringi lagu, menuju keluar panggung lampu pun perlahan mati </i><br /><br /><br />Babak B <br /><br />Lampu panggung perlahan menyala.<br />Ada dua orang berdiri membawa sebuah bendera selenjutnya membuat gerakan. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">ha………..(berteriak karena merasa tertekan) <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">ada apa? <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">aku kalah. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">kenapa tidak banding saja. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">halah, percuma baik banding apa tidak toh hasilnya sama. Aku terjebak pengadilan ini dengan parapangadilan berengsek mereka akhirnya menang. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">sudah-sudah jangan marah-marah nanti kamu ngompol. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">untuk hal ini aku tidak akan ngompol kan sudah kamu popoki. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">coba ceritakan pengadilan itu. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">bertahun tahun saya memakai pekaian necis demi menghadap sisi gelap hukum di Indonesia.entah mengapa aku banyak temui hal-hal yang lucu dipengadilan betapa tidak setelah pengadilan pertama bapak hakim penasehat menghapiri saya memberikan selembar kertas, lalu saya baca “ transfer sekian maka anda akan bebas, ini nomor rekening saya” bangsat………ujung-ujungnya duit. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">kau tak akan berbuat itu, aku tau kamu. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">tidak, bila saya lakukan itu berarti saya mengaku salah. Setelah pengadilan pertama selesai saya ditahan sementara di sebuah kantor polisi. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">maafkan aku waktu itu saya tidak bias membantu banyak. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">tidak sayang, kau begitu membantuku sampai sekarang. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">bukan kah pengadilan mu sudah ditangani oleh pengacara yang terbaik. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">halah……percuma pengadilan ini selalu ditunda-tunda sampai sekarang sepertihalnya jam karet. Pengacara hebat semacam apapun tak mampu menyelesaikan kasus ku kecuali pengacara hebat yang berbentuk rupiah. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">berarti aku bukan pengacara hebat. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">kau bukan seorang pengacara bagiku kau kekasihku. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">begitukah. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">sayang, aku pamit dulu, aku sudah ditunggu di didepan meja hijau. Menunggu hal yang lucu sembari mendengarkan omongan membosankan. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">pergilah menjadi bromocorah bersanjung sastra! <br /><br /><i>Lampu panggung perlahan mati. </i><br /><br /><br />Babak C <br /><br />Perlahan lampu panggung menyala kembali.<br /> Ada Tiga orang duduk bersila dan membuat gerakan-gerakan. Setelah selesai lalu mereka berdiri di belakang meja dan menutup mata mereka dengan kain hitam. Datang seseorang yang berposisi memibisik disamping mereka.<br />Lelaki itu datang kesebuah gedung pengadilan . dia duduk didepan para jaksa. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">saya kemari untuk mengakhiri kasus ini yang lama ditunda, dan saya mengaku dan bertangungjawab terhadap pertunjukan tersebut dan saya siap mendengarkan bapak ketua hakim untuk memutuskan hukuman bagi saya. <br /><br /><i>Terdengar suara ketukan yang sangat keras. </i><br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">ada apa? Kenapa bapak hakim ketua hanya diam dan termangu, binggung mau memutuskan apa? Atau tak bias mendapatkan uang sogokan untuk makan keluarga bapak ? Anda tau Saya juga punya keluarga bapak hakim yang terhormat, saya punya kehidupan bukan hanya untuk menanti persidangan-persidangan yang ditunda terus, saya bosan. Bagaimana dengan hak kita dalam untuk mendapatkan keadilan yang sama dimata hukum kalau bapak sendiri tidak adil terhadap diri anda sendiri. Anda menjalankan kekuasan yudikatif, jangan seperti benalu diatas pohon, kepentingan anda tidak dapat dicampur adukan dengan pekerjaan anda. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">Sekarang kita mencari keadilan yang sebenarnya. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan pertanyaan ini muncul bagai hantu mimpi malam “adakah kemerdekaan dihati kita?” <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">disela-sela dedaunan yang dibasahi embun aku melihat kau bagi aku memukuli diri ini, angan terbang dilangit yang biru, matahari diatas kepala, senjapun bermula. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">“adakah kemerekaan dihati kita?” <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">kami sangat merindukan pemimpin-pemimpin bijak diantara rakyat jelata, menari bagai rumput disiang hari tertiup angin, lalu aku pergi bersama mu. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">“adakah kemerdekaan dihati kita?” <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">kasih tangalkan baju mu biar kau cari kemerdekaan. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">kemerdekaan bukan hanya sebuah perjuangan oleh pahlawan. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">lempar pekerjaan mu agar kau mencium bau kemerdekaan. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">berlarilah meraih kemerdekaan. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">waktupun butuh kemerdekaan. <br /><br />Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">kemerdekaan ini bukan milik siapa-siapa. <br /><br />Kekasih : </span></div><div><span style="font-family: arial;">lalu kemerdekaan macam apa yang kita inginkan? <br /><br /> Lelaki : </span></div><div><span style="font-family: arial;">memang kita telah merdeka pada tanggal 17 agustus 1945 tetapi apakah selama ini kita mencium bau kemerdekaan sesungguhnya diantara ekonomi yang menghimpit, politik busuk para partai dan korupsi para pemimpin dan kita akan bertanya lagi “apakah ada kemerdekaan dihati kita?” <br /><br /><i>Lampu pangung perlahan meredup dan akhirnya gelap. </i><br /><br /><br /><b>Pamflet Merdeka</b><br />Sebuah karya kecil dibuat dengan kepolosan pemikiran akibat tekanan jaman<br />Bermula dari sebauh pertanyaan<br />“ masih adakah kemerdekaan dihati kita?”<br />Sebuah pertanyaan yang akan terjawab diantara kebebasan dan kebenaran <br /><br />Bersumber :<br />Pencarian sebuah kemerdekaan<br />Karya : bima /bimus/ciko/pak lurah/mbah<br />Adaptasi :Drama Tanda Cinta<br />Terimakasih untuk :<br />Teater Smaraghanesa<br />Papi (aufa)<br />Ws. Rendra<br />Putu Wijaya<br />Teater Koma</span><br /></div>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-53498523454004558312023-01-25T11:27:00.003-08:002023-01-25T12:08:52.832-08:00ORDE TABUNG - Heru Kesawa Murti<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiiFpcriYdgnklzeEpgKMC1yET1Jt3DXc3j8L0LpBKKCmbeV2hEh8fxFhlOy3HQxun8K49oKC9M6aixV2XA_sPPNKlknLHtnY0gLG4Ewt2qfMeGeXw6wIQm69ZTR_C9J7wK41p1g3eWu5UEo9oRbRAx0S9DmOvg3C1EQW3MiJfg6VhkTOHDYxHryrm6/s9055/ORDE.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiiFpcriYdgnklzeEpgKMC1yET1Jt3DXc3j8L0LpBKKCmbeV2hEh8fxFhlOy3HQxun8K49oKC9M6aixV2XA_sPPNKlknLHtnY0gLG4Ewt2qfMeGeXw6wIQm69ZTR_C9J7wK41p1g3eWu5UEo9oRbRAx0S9DmOvg3C1EQW3MiJfg6VhkTOHDYxHryrm6/w400-h261/ORDE.jpg" width="400" /></a></div><br /> <span style="font-family: arial;"><br /><b><i>Tokoh</i></b><br />Sekretaris Pembina Kota Pejabat kota yang ingin dominan dan menentukan.<br />Pembina Kota Pemimpin kota yang lemah dan kurang berwibawa.<br />Isteri Pembina Kota Isteri yang tegas dan bertanggung jawab.<br />Gerong Warga kota yang dijompokan.<br />Suwuk Warga kota yang dijompokan.<br />Seseg Warga kota yang dijompokan.<br />Suwelo Kepala Dinas Pariwisata Kota.<br />Isteri Suwelo Isteri yang selalu gelisah.<br />Kepala Dinas Keamanan Perwira yang humanis dan bertanggung jawab.<br />Doctor Astowasis Kepala Dinas Pembiakan Kelahiran Tabung<br />Journalist 1<br />Journalist 2<br />Journalist 3<br />Journalist 4<br />Television Reporter <br /><br />PROLOG<br />Sebuah kawasan kumuh, di sebuah bagian di kota itu.<br />Di tengah kegelapan malam tiga orang jompo, seudaknya dijompokan ; Gerong, Suwuk dan Seseg tengah berjalan menyelinap-nyelinap, mengendap-endap. Tegang. Sambil membawa karung berisi barang bawaan dengan ketakutan, menghindari cahaya. Apapun cahanyanya. Berkelit dari tembakan, siapapun yang menembakinya. Mereka sedang dikejar pasukan Jaman Baru untuk ditangkap.<br />Tiba-tiba datang beberapa helikopter, dengan sorot cahaya lampu menyorot ke bawah mencari orang-orang jompo yang lepas dari kamp penampungan-kamp penampungan jompo. Gerong, Suwuk dan Seseg berlarian ketakutan menyelinap, berlindung dan bersembunyi dari cahaya lampu sorot helikopter yang terus memburunya itu. Tembakan-tembakan menyalak dari helikopter. Beberapa helikopter itu lalu terbang menjauh, lenyap dengan meninggalkan Gerong, Suwuk dan Seseg yang tak terkena lampur sorot mereka. Di persembunyiannya, ketiga orang yang dijompokan itu mencermati langit yang kini sepi. <br /><br /><br />SATU</span><div><span style="font-family: arial;"><br />Kantor Pembina Kota, pada suatu hari, Desember 2095<br />Sekretaris Pembina Kota keluar dari ruang dalam ruang kerjanya. Ia baru sajamengikuti sidang istimewa bersama Pembina Kota dan pejabat tinggi Kota Raya lainnya. Tiba di serambi depan langsung disambut para wartawan, termasuk wartawan televisi, uang mencegatnya dengan riuh. Mereka, dengan peralatan profesinya, segera menyambut Sekretaris Pembina Kota, mewawancarai dan memotretnya. Sekretaris Pembina Kota tampak gelagapan, tapi wawancara mendesaknya. <br /><br />WARTAWAN 1<br />Bagaimana, bapak Sekretaris Pembina Kota ? Apakah ada perubahan-perubahan kebijaksanaan ? <br /><br />WARTAWAN 2<br />Apa betul ada perubahan-perubahan kebijaksanaan itu, pak ? <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Tidak ada perubahan-perubahan. Pertemuan tadi, pada dasarnya, merupaken penegasan-penegasan daripada kebijaksanaan kota sebelumnya. Yaitu bahwa warga kota kelahiran tabung tetap merupakan warga masyarakat kota yang syah, dan berhak mengisi serta menjalankan segala aspek kegiatan kehihupan kota. Jadi hanya orang-orang tabung saja yang boleh berada di dalam struktur kebijaksanaan kota. Orang-orang konvernsional yang lahir dari rahim ibunya, tidak boleh lagi berada di dalam struktur. Tidak boleh. Sekarang ini mereka kita anggap jompo. Dijompokan. Yang jelas mereka tidak boleh ikut-ikut , sekalipun mereka sudah mempunyai Surat Keterangan Bebas Kelahiran Rahim. Tadi di dalam sidang juga disinggung mengenai penetapan pengembang biakan manusia di jaman tabung ini. <br /><br />WARTAWAN 3<br />Bagaimana itu, pak ? Mohon penjelasannya. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Pengembang biakan ini lain dengan model yang dulu. Nah saya akan menjelaskannya. Sebab ada perbedaan-perbedaan yang mendasar dibanding yang disebut bayi tabung di tahun1991, satu abad yang lalu. Berbeda toal. <br /><br />WARTAWAN 1<br />Perbedaan-perbedaan itu yang bagaimana, bapak Sekretaris ? <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Begini. Dulu yang dimaksud bayi tabung itu adalah hasil pertemuan daripada sperma dan sel telur dalam satu piring, yang disebut sebagai piring Patrick, lalu dititipkan dalam rahim para ibu. Itu dulu. Sekarang, yang seperti itu sudah tidak musim. Tidak model lagi. Sekarang langsung, sperma dan sel telur langsung dimasukkan ke dalam tabung inkubator. Perlu diketahui, tabung ini kelualitasnya sama persis dengan rahim, suhunya sama, stabilitas manajemen hormonalnya sama, suplai makanannya juga sama. <br /><br />WARTAWAN 3<br />(Memotong) Daya cengkeramnya, pak ? <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Juga sama. Daya mengkeretnya [1] juga sama. Kalau dijelaskan dalam bahasa sederhana , sel telur dan sperma itu langsung dimasukkan ke dalam kaleng, kaleng ini dikocok-kocok, lalukeluarlah bayi tabung itu, ini artinya, saudara-saudara sebagai wartawan tabung itu sesungguhnya ya cuma hasil dari kocok-kocokan itu. Makan tatanan di jaman baru ini menyebutkan, para orang tua di jaman tabung tidak boleh lagi mengaku-aku punya anak. <br /><br />WARTAWAN 2<br />Dengan demikian anak-anak jadi tanpa orang tua ya pak ? <br /><br />SEKREATRIS PEMBINA KOTA<br />Betul. Sebab sekarang ini, anak-anak adalah milik jaman. <br /><br />WARTAWAN 4<br />Lalu bagaimana dengan nasib orang-orang konvensional ? Dibagaimanakan mereka itu <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Tadi anggota Dewan juga menyinggung-nyinggung soal itu. Ada dua alternatif mengatasinya. Pertama mereka itu kita himbau untuk mengundurkan diri sebagai manusia, kalau tidak mau, jalan tengahnya ya dipaksa. Dipaksa mundur. <br /><br />WARTAWAN 1<br />Pak, pak,..... itu tidak demokratis. <br /><br />WARTAWAN 2<br />Ya, pak. Tidak demokratis, pak. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />(Tegas dan menahan kesal) Ini demokratisasi Orde Tabung ! Artinya, sekalipun warga minoritas itu setengahnya dipaksa, tapi kita tetap memberikan tempat dan penghargaan yang layak untuk mereka. Orang-orang yang dijompokan itu kita himpun menjadi satu, berada di suatu tempat. Nah, di sinilah mereka sekaligus kita fungsikan sebagai obyek wisata. Hasilnya, menurut para pakar dan pengamat ekonomi, kelak merupakan devisa terbesar sebagai pengganti devisa minyak dan gas yang sekarang sudah hampir habis itu. <br /><br />WARTAWAN 2<br />Maaf, bapak Sekretaris. Apakah itu tidak berarti menyiksa mereka ? Atau paling tidak, membatasi gerak-gerik mereka dalam ikut berpartisipasi dalam membangun kota ini. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Mereka justru sangat berpartisipasi dengan menyediakan diri menghuni di dalam kompeks perkampungan jompo. Sebab kesediaannya ini menyedot uang untuk modal pembangunan Jaman Tabung. Sekaligus mencerminkan kebesaran sejarah mereka di masa lalu dan menjadi unsur dalam museum hidup itu. <br /><br />WARTAWAN TELEVISI<br />(Sambil memanggul kameranya) Lalu bagaimana dengan anak-anak mereka yang seabad lalu disiapkan menjadi pemimpin dengan disekolahkan di SMA Bibit Unggul ? <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Tumben ini. Wartawan televisi kok pertanyaannya agak berani. Tapi bagus,..... nagus pertanyaannya itu. Tentang mereka...... ya, kita diamkan saja. Lama-lama kan malah menjadi bibit yang tumpul. Bukankah berulang kali sudah saya kataken, bahwa Jaman Tabung ini masih dalam masa transisi, masih banyak kemungkinan-kemungkinan perubahannya. Paham ? <br /><br />WARTAWAN 3<br />Lalu bagaimana cara mendeteksi orang konvensional itu, pak ? <br /><br />WARTAWAN 1<br />Bagaimana jika di antara mereka ada yang kawin dengan warga tabung ? Apa sanksinya, pak ? <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Soal itu, tadi dalam sidang telah diperoleh ketetapan-ketetapan barunya. Saya mohon kepada adik-adik wartawan ini untuk memberikan penegasan-penegasan khusus dalam pemberitaannya nanti. Ini penting. Saya akan membacakan hasil keputusan itu. Pertama, siapa yangv diketahui menikah, dinikahi, atau saling menikah dengan orang konvensional, hukumnya dibuang ke kompleks rumah jompo. Kedua, hubungan kontak seksual sebadan yang konon memang enak itu, dilarang ! Maka bagi siapapun yang ketahuan begituan secara langsung dan bahkan menghasilkan keturunan hukumnya dicoret sebagai warga kota yang syah. Dan langsung dianggap jompo ! <br /><br />WARTAWAN 1<br />Dengan demikian orang jompomenjadi lain artinya ? <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Benar. Kata “jompo” sekarang ini telah mengalami distorsi makna, tidak lagi identik dengan orang pikun, rambut ubanan, atau identitas fisik orang-orang yang sudah berumur itu. Tidak. Melainkan siapa saja, baik umurnya 12 tahun, 23. 37. atau 45 tahun, sejauh mereka kedapatan melakukan pelanggaran seperti itu...... jompo ! <br /><br />WARTAWAN TELEVISI<br />Wuah, kalau begitu thung klik [2]........ jompo ! <br /><br />WARTAWAN 1<br />Ini pertanyaan penting, bapak Sekretaris. Bagaimana bila ada warga tabung yang sembunyi-sembunyi melakukan pelanggaran. Bagaimana sangsinya ? <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Maksudnya, mereka yang ndableg [3] pada tata tertiba itu ? Mereka yang tidak patuh ? Gampang. Kita jebloskan mereka ke rumah Jompo atau mereka terpaksa menerima tindakan tegas yang lain. <br /><br />PARA WARTAWAN<br />(Serentak bersama-sama) Lho, itu................. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Hayo ! Kalian cuma ingin bilang bahwa kebijaksanaan seperti itu tidak ada dasar hukumnya kan ? Tidak demokratis ? (Tertawa lalu bicara lagi) Saudara-saudara ini ternyata tidak mengerti. Saya bilangi alasannya, tapi mohon off the record [4]. Coba matikan tape recorder-nya. Matikan, matikan, matikan semuanya. <br /><br /><i>Para wartawan mematikan tape recorder-nya dan kameranya. </i><br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Sebenarnya, sebagaimana sejarahnya, yang namanya hukum dan demokrasi itu kan bisa ditekuk-tekuk, bisa dipermainkan, luwes, untuk pembangunan Jaman Tabung ini kan ? Sesungguhnya ini hanya melanjutkan tradisi abad-abad sebelumnya. <br /><br />WARTAWAN 2<br />Itu namanya ada diskriminasi, pak. <br /><br />WARTAWAN 3<br />Ada jurang pemisah. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Diskriminasi bagaimana ? Orang-orang jompo itu tetap kita beri hak hidup untuk menyaksikan kegemilangan jaman baru di sisa-sisa usia mereka. (Mulai emosional) Apakah ini namanya diskriminasi ? <br /><br />WARTAWAN 4<br />Ini tape recordernya boleh di-on kan, pak ? <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Tidak ! Marah kok di-on ! Mereka itu tetap bisa menyaksikan jaman baru. Jelaslah, ini bukan diskriminasi. Edan ! Gila ! <br /><br />WARTAWAN 1<br />Soal kawin, pak. Apa bedanya amtara yang langsung dengan tidak langsung itu ? <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Jorok ! Porno ! Tapi berhubung kecenderungan porno, sekarang tape-nya itu boleh di-on-kan. Soal langsung dan tidak langsung, ya...... jelas beda. Rasa ! Rasanya lain. Tapi pertanyaan saudara itu sama sekali tidak mencerminkan cara pikir jaman tabung. Daya juang membangun di jaman tabung ini tidak hanya terletak pada kenikmatan pas begituan saja. Tapi juga harus mempertimbangkan bagaimana kita ini merancang generasi-generasi baru yang brilian untuk menyongsong masa depannya. Terima kasih. <br /><br />WARTAWAN 2<br />Bagaimana pendapat bapak mengenai orang jenius yang lahir bukan dari tabung, seperti misalnya Albert Einstein dan dokter Patrick Staptoe, penemu bayi tabung pertama kali di abad yang lalu ? <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />(Mulai lunak kembali) Betul. Ya, betul. Nama yang saudara sebut itu memang jenius pada masanya. Tapi mesti diingat bahwa itu hanya sekelompok kecil daripada masyarakat dunia abad lalu. Yang kita rancang di jaman tabung ini adalah pemerataan kejeniusan, sehingga nantinya semua orang menjadi jenius. Termasuk wartawan-wartawan seperti saudara ini, juga jenius. Tidak hanya pinter ngutip amplop saja. <br /><br />WARTAWAN 1<br />Ini pertanyaan yang mendasar, pak. Jika hubungna kontak seksual sebadan dilarang, bukankah itu berarti melawan kodrat ? Soal itu tidak mungkin bisa dilarang, pak. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Saudara-saudara wartawan tabung, saudara telah memnbuktikan kualitas prima daripada kejeniusan itu. Pertanyaan saudara ini kecenderungannya ya membela orang-orang konvensional. Apakah sauadara ingin merusak citra saudara sendiri ? Ataukah di antara saudara saudara-saudara ini ada yang lahir dari rahim ibunya ? Dus termasuk orang keonvensional, sehingga perlu dijompokan ? Iya ? (Lalu berjalan pergi hendak meninggalkan tempat itu) <br /><br />PARA WARTAWAN<br />(Serentak riuh sambil mengejar Sekretaris Pembina Kota) Tapi saya mau tanya sedikit lagi, pak................ Pak, bagaimana komentar bapak mengenai merusak citra sendiri ? Iya, pak, mohon penjelasannnya......... <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />(Sambil berjalan pergi) No ! No comment [5] ! <br /><br />PARA WARTAWAN<br />(Serentak riuh sambil mengejar Sekretaris Pembina Kota) Tanya sedikit lagi, pak....... Ya, sedikit lagi pak....... Komentarnya soal; tadi bagaimana pak ?....... Iya pak, sedikit saja, pak....... <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />(Sambil berjalan pergi) No ! No comment ! Sudah, sudah...... <br /><br /><i>Sekretaris Pembina Kota berlalu pergi, diikuti oleh para wartawan yang terus mengejarnya, menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan riuh.</i><br /> <br /><br />DUA <br /><br />Di sebuah bagian kota yang kumuh dan kotor, jauh dari pusat kota.<br />Dari balik bangunan usang dan tidak terawat sama sekali itu muncul tiga orang yang dijompokan ; Gerong, Suwuk dan Seseg, keluar dari persembunyiannya, mengendap-endap, menyelinap-nyelinap ketakutan. Cemas. Was-was. <br /><br />GERONG<br />(Berteriak) Hei !....... Orang jompo nomer 42 ! <br /><br />SUWUK<br />(Berteriak) Hoeiiii !.............. Saya di sini !....... <br /><br />GERONG<br />(Berteriak) Di manaaaa !............. <br /><br />SUWUK<br />(Mnejawab biasa mengesankan dekat sekali) Di sini. <br /><br />GERONG<br />(Merayap mendekati Suwuk) Eh, orang jompo nomer 42, kita sudah hampir dua hari di sini. Apakah kita baka terus-terusan di tempat ini ? <br /><br />SUWUK<br />Ssshhhtttt...... pelan-pelan. <br /><br />GERONG<br />(Lirih) Aku kena asma, tidak bisa bicara pelan. <br /><br />SUWUK<br />(Lirih) Kalau begitu tidak usah bicara. <br /><br />GERONG<br />Kalau tidak boleh bicara, ya bubar saja sandiwara ini. <br /><br /><i>Mereka lalu diam sejenak, untuk kemudian bicara lagi. </i><br /><br />GERONG<br />Eh, orang jompo nomer 42, isterimu di mana ? <br /><br />SUWUK<br />Jantung isteri saya kumat waktu kami sama-sama sembunyi di bawah jembatan. Dia minta saya tinggalkan. Saya ngotot tidak mau pergi tanpa dia. Isteri saya juga keras kepala. Dia sudah pasrah untuk ditangkap di kembalikan ke kompleks rumah jompo. Sekarang saya sedih, kenapa dia saya tinggalkan. <br /><br />GERONG<br /> Saya juga ikut sedih. <br /><br />SUWUK<br />Terima kasih atas partisipasi kesedihanmu. <br /><br />GERONG<br />Tapi, eh, orang jompo nomer 42, siapa namamu ? <br /><br />SUWUK<br />(Lirih dan takut-takut) Ssshhhttt..... pelan-pelan. Jaman sekarang menyebut nama haram hukumnya. Ini bukan jaman kita lagi. Orang konvenisonal seperti kita tidak boleh menjelaskan identitas kita, tidak boleh tanya soal nama. (Diam sesaat, lalu bicara lagi) Orang Jompo nomer 78, siapa namamu ? <br /><br />SUWUK<br />Namaku Suwuk. <br /><br /><i>Mereka kemudian hangat, akrab setelah menterus terangi nama mereka. </i><br /><br />GERONG<br />Suwuk...... Suwuk...... Suwuk, eh maksud saya orang jimpo nomer 42, aku merasa jaman ini makin lama makin edan. Sekarang bukan cuma nama saja yang dihilangkan, tapi kita sendiripun sudah dianggap dianggap hilang. Dianggap tidak ada. <br /><br />SUWUK<br />Oallah, ketahuilah orang jompo nomer 78, yang namanya jaman itu seperti tanah liat. Mau dibikin apa saja bisa. Dibuat keramik, dibikin ayam jago tiruan, dibikin pot bunga atau dibiarkan tetap menjadi tanah, itu terserah bagaimana orang-orang pandai bakal mengganggapnya begitu. Kita ini Cuma butir-butir bagian dari tanah liat itu. <br /><br />GERONG<br />Tapi sekarang ini kita hanya dianggap ampas. Cuma sisa-sisa. <br /><br />SUWUK<br />Ya maklum saja. Kita sudah tua, kita sudah lemah. Yang namanya tanah liatpun kalau sudah terlalu lama, sudah terlalu tua juga gampang pecah. Sangat lemah. <br /><br />GERONG<br />Eh, nanti dulu. Kita memang tidak boleh tahu anak-anak kita. Yang kita tahu, kita dan isteri kita dibuang ke rumah jompo, lalu ditonton turis-turis. Mungkin di antara mereka itu ada anak-anak kita sendir. Ya anak-anak kita pasti masih hidup, meskipun sejak mereka umur 10 tahun, kita tidak boleh lagi melihat pertumbuhannya. Sekarang mereka pasti sudah jadi orang [6]. Aku merasa, sekarang ini aku punya anak, malah siapa tahu aku sudah punya cucu. <br /><br />SUWUK<br />Ya wajar itu. Anak-anak kita tumbuh sendiri tanpa mesti kita menunggui setiap hari. Mungkin sekarang ini jamannya anak-anak kita. <br /><br />GERONG<br />Tapi mereka itu lahir dari rahim isteri kita. Mereka itu tidak bisa hadir di dunia ini tanpa kita. Kok sekarang mereka justru berniat menghapus sejarah kita. Ini namanya sudah mempermainkan sejarah, menghilangkan sejarah. <br /><br />SUWUK<br />Aduh, aduh, aduh, kamu ini ngomong apa ? Jangan bicara dakik-dakik [7]. Mereka juga tahu sejarah meskipun hanya membaca dari buku-buku teks atau menonton orang-orang jompo seperti kita sekarang ini. Mereka juga kenal sejarah. <br /><br />GERONG<br />Tidak ! Akummerasa sebagai orang yang pernahmelahirkan anak-anakku, tidak bisa kalau cuma dibaca di buku sejarah atau ditonton di rumah jompo. Aku berhak mencari dan bertemu anak-anakku. <br /><br />SUWUK<br />Tapi di mana kita mencari dan menemui anak-anak kita itu ? Kitatidak tahu, sudah jadi apa anak-anak kita itu. <br /><i><br />Tiba-tiba terdengar suara derap langkah para petugas keamanan yang sedang memburu orang-orang jompo. Gerong, Suwuk dan Seseg langsung ketakutan dan bersembunyi. Suara derap langkah petugas itu semakin lama terdengar semakin mendekat, untuk kemudian muncul berbaris melintas di depan persembunyian orang-orang jompo itu dan berlalu. Lalu sepi. Gerong, Suwuk dan Seseg muncul dari persembunyiannya. <br /></i><br />GERONG<br />(Smbil celingukan) Betul juga kamu bilang. Jangan-jangan salah seorang dari dari para petugas itu, anakku. Aku takut. Kalau begitu, aku kembali saja ke rumah jompo. <br /><br />SUWUK<br />Kita ini Cuma tinggal punya kematian. Dan kita Cuma sekali mati. Ya, aku kepingin menemui anakku. Ah, seumpama aku bisa mati dua atau tiga kali...... <br /><br />GERONG<br />Kita kembali saja ke rumah jompo sekarang. Percuma ! <br /><br />SUWUK<br />(Sambil beranjak pergi) Kita sudah tidak bisa lagi kembali ke rumah jompo. Kita sudah basah. Kita sudah terlanjur. <br /><br />GERONG<br />Jangan ! Jangan pergi ! Kita kembali saja. Kita ini cma mati sekali. <br /><br />SUWUK<br />(Berjalan pergi dari tempat itu) Kalau begitu aku pergi sendiri. <br /><br />GERONG<br />Jangan ! <br /><i><br />Suara derap petugas keamanan kembali terdengar dari kejauhan dan semakin mendekat. Gerong bimbang. Suwuk memastikanndiri pergi. Suiara derap langkah itu makin mendekat. </i><br /><br />GERONG<br />He ! Tunggu dulu ! Tunggu ! Aku ikut ! <br /><br /><i>Gerong, Suwuk dan Seseg segera pergi meninggalkan te,at itu. <br /></i><br /><br />TIGA <br /><br />Rumah Suwelo di sebuah bagian di pusat kota.<br />Suwelo pengelola Urusan Pariwisata Kota, salah seorang yang paling berjasa dalam pengembangan kota tengah mondar-mondir tegang dan gelisah. Isteri Suwelo yang sama gelisahnya sedang berada di dekat suaminya. Mereka suntuk mendengar siaran radio, bahkan kegelisah makin meningkat. <br /><br />SUARA SIARAN RADIO<br />Inilah Radio Suara Kemegahan Jaman Baru yang dipancarkan melalui gelombang 34. Hari ini, hari Rabu, 24 Desember 2097. Berita utama yang kami sampaikan meliputi perkembangan yang melanda kota selama empat hari ini terakhir ini, sehubungan dengan lepasnya orang-orang jompo yang sebagian besar belum tertangkap sejak kerusuhan meledak di hari Minggu pagi.<br />Berita selengkapnya. Diduga sebanyak 192 orang jompo pelarian itu masih berkeliaran di dalam kota dan sekitarnya. Kepala Rumah Jompo wilayah 246 menegaskan bahwa para pelarian itu masih mengenakan seragam panti jompo, identitas mereka yang sangat mudah untuk dikenali. Dikhawatirkan bahwa orang-orang jompo yang lepas itu akan menyebarkan virus tradisi masa silam mereka kepada warega tabung sehingga bisa menyebabkan hilangnya kesadaran pribadi para warga tabung....... <br /><br /><i>Suara siaran radio itu perlahan-lahan lenyap dan kemudian lenyap. </i><br /><br />ISTERI SUWELO<br />Kamu dengar itu. Kamu dengar tidak ? <br /><br />SUWELO<br />Ya. Saya masih bisa mendengarkan. Tapi aku tidak percaya orang-orang jompo bisa lolos. Mana mungkin mereka bisa lepas ? <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Berita radio itu tadi. Masak kamu tidak dengar. Terus tembang-tembang orang jompo itu, lalu mereka itu, suara ketakutan mereka itu, apa kamu tidak dengar ? <br /><br />SUWELO<br />Berita di radio itu baru dugaan, baru perkiraan. Belum pasti kebenarannya. Rumah jompo yang aku kelola untuk obyek wisata itu, paling besar Penghasilan Asli Daerahnya. Masak aku sampai tidak berpikir pengamanannya. Bahkan terhadap kemungkinan-kemungkinan paling jelek sekalipun. Jauh-jauh hari aku sudah memikirkan soal itu. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />(Duduk gelisah) Tapi apa kamu tidak berpikir, kemungkinan paling jelek pun bisa terjadi. <br /><br />SUWELO<br />Betul ! Seandainya rumah jompo itu diututup misalnya, apa itu juga mendatangkan keuntungan ? Apa yang mau kita lakukan, kalau rumah jompo itu betul-betul akan ditutup. Harapanku bisa lenyap. Habis. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Harapanku juga lenyap kalau memang orang-orang jompo itu ada yang lepas. <br /><br />SUWELO<br />Aku sudah bilang, tidak ada orang jompo yang lepas. Kenapa kamu kok malah ribut sendiri ? <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Dengar, mas. Aku dilahirkan bukan seperti kamu, tidak seperti sebagaian besar warga tabung kota ini. Aku dilahirkan dari rahim ibuku. Aku merasa masih punya orang tua. Sedang kamu, juga sebagian besar warga kota ini dilahirkan dari proses tabung. Kamu terhormat. Aku dianggap sampah. Apa pantas ? <br /><br />SUWELO<br />Tapi saya kan juga tidak pernah mempersoalkan asal-usulmu. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Bukan kamu yang mempersoalkan. Tapi tatanan, peraturan yang selama ini kita anut. Apa kamu sudah lupa warga kota yang dianggap syah adalah mereka yang lahir dari tabung. <br /><br />SUWELO<br />Iya. Itu aku sudah tahu. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />(Dengan ketakutan) Aku tidak ! Aku tidak ! Aku punya orang tua, meskipun sejak umur 10 tahun aku tidak pernah melihatnya lagi. Aku merasa, sekarang ini mereka masih hidup. Mereka tinggal di rumah jompo. Mereka pasti ikut lolos. Mereka sedang mencari aku. <br /><br />SUWELO<br />Tidak mungkin ! kalau mereka waras [8], mesti bakal menyadari, anak-anak yang hidup di dunia selama ini sudah bukan lagi milik orang-orang tua mereka sejak dilahirkan. Tapi milik jaman. Jadi tidak benar, orang-orang tua mencari mencari anak-anak mereka dan mengaku punya anak, atau anak-anak mencari orang tua mereka atau mengaku punya orang tua. Kalau itu yang terjadi, astaga, kamu tahu akibatnya kan ? Aid ! Aib, isteriku. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Kalau mereka masih hidup dan ikut lepas, sekarang ini mereka pasti sedang mencarinya. <br /><i><br />Tiba-tiba terdengar suara sirene melintas di jalan raya di luar rumah itu, melengking. </i><br /><br />ISTERI SUWELO<br />Aku takut kalau warga kota tahu, aku bukan berasal dari kelahiran tabung. Aku mesti bagaimana, suamiku ? <br /><br />SUWELO<br />Kamu ini cuma memikirkan dirimu sendiri. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Kamu tahu akibatnya, kalau aku bertemu orang tuaku ? Orang di sekeliling pasti bakal menyangka aku bikin skandal. Aku malu. <br /><br />SUWELO<br />Ingat ! Soal itu belum jelas betul ! <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Tapi bagaimana kalau orang-orang tahu semuanya, ternyata kamu kawin dengan perempuan bukan kelahiran tabung, kamu kawin dengan perempuan yang tidak terhormat. Perempuan kaum konvensional, perempuan yang semestinya dijauhi, dihina. Bagaimana ? <br /><br />SUWELO<br />Cukup ! Aku ini bakal kena celaka kalau smapai rumah jompo itu ditutup. Lha kok kamu malah berpikir tidak jelas. Aku ini perlu bantuanmu. Yang bingung itu bukan cuma kamu saja. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Ingat suamiku. Soal ditutupnya rumah jompo itu juga belum jelas betul. <br /><br />SUWELO<br />Lho, berita di radio itu. Masak kamu tidak dengar. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Berita di radio itu baru dugaan ! Belum pasti kebenarannya. <br /><br />SUWELO<br />Apa kamu tidak lihat, rumah jompomitu sekarang dijaga satuan petugas keamanan ? Apa itunjugatidak berarti bahwa kelak rumah jompo bisa ditutup ? Apa kamu tidak mikir kemungkinan jelek pun bisa terjadi. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Saya sudah ngomong soal rumah jompo itu belum jelas betul mau ditutup, kok kami malah ribut sendiri. <br /><br />SUWELO<br />Tapi itu bisa benar-benar terjadi. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Orang jompo yangb lepas dari rumah jompo itu juga bisa benar-benar terjadi lho. <br /><br />SUWELO<br />Tapi ketakutanmu itu sudah keterlaluan. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Ketakutanmu itu juga sudah keterlaluan. <br /><br /><i>Tiba-tiba tedengar suara sirene petugas keamanan melintas di jalan raua di luar rumah itu, disertai dengan suara teriakan-teriakan petugas keamanan, yang sedang memburu orang-orang jompo. Suwelo mendekati isterinya dengan merentangkan tangannya pasrah. Isteri Suwelo juga mendekati suaminya sambil merentangkan tangannya, sama pasrahnya. Keduanya makin cemas. </i><br /><br />SUWELO<br />Aku cuma khawatir......... <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Aku juga cemas...... <br /><br />SUWELO<br />Sepertinya aku cuma butuh kejelasan <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Mungkin aku juga begitu..... <br /><br />SUWELO<br />(Berpikir sejenak lalu yakin) Besok aku ingin menghadap bapak Pembina Kota <br /><br />ISTERI SUWELO<br />(Berpikir sejenak lalu yakin) Besok aku juga ingin menghadap bapak Pembina Kota. <br /><br /><i>Suwelo hendak beranjak masuk ke dalam. Isteri Suwelo mengikutinya. Tapi Suwelo lalu berhenti, isterinya juga berhenti. Keduanya berpandangan dengan kegelisahan luar biasa. <br /></i><br />ISTERI SUWELO<br />Aku ingin orang-orang jompo itu dibunuh saja ! (Beranjak masuk ke dalam) <br /><br />SUWELO<br />(Terhenyak kaget) Apa ?! <br /><br /><br />EMPAT <br /><br />Di Bangsal Kantor Pembina Kota.<br />Di tempat itu telah hadir kepala Dinas Keamanan dan dokter Astowasis, arsitek kelahiran tabung dan salah satu tokoh yang membidani lahir jaman Tabung. Mereka sedang menunggu kedatangan bapk pembina Kota, yang akan menyampaikan pidatonya. Sambil menunggu, keduanya membelanjakan waktunya dengan main catur. <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />(Sambil bermain catir) Bapak kepala dinas Keamanan, saya punya kemampuan untuk mengalahkan bapak sebagaimana saya menciptakan bayi tabung dan menggusur orang-orang konvensional pergi dari kota ini. Ini jaman baru, bapak Kepala Dinas Keamanan. Lihat bayi-bayi tabung yang dilahirkan dari tabung, tumbuh sebagai anak sehat dan siap menjadi manusia unggul.<br />Bapak Kepala Dinas Keamanan, saya yang dipercaya merancang dan membidadni kelahiran tabung juga lahir dari tabung. Orang-orang jompo itu manusia lama. Manusia konvensional. Itu sebabnya mereka kita beri tempat supaya kita bisa menyaksikan sejarah maa lalu tanpa harus membukukan sejarah. Kita tahu selama ini penyakit yang tidak bisa disembuhkan adalah penyakita Kejangkitan Masa Lalu. Dokter-dokter kita belum menemukan obatnya, apalagi serum atau vaksin. Pengaruh orang jompo itu adalah sel kuman yang membahayakan, menyerang dan merusak jaringan pikiran dan emosi kita. Akibatnya kekebalan itu lenyap dan perlahan-lahan kita bisa mati, karena terserang kelainan jiwa yang kronis. Istilahnya sabut yang lalu kenthir [9]. Dan yang pasti, penyakit menular. Itu sebabnya kenapa kita punya kekhawtiran untuk takut. <br /><i><br />Suwelo dan isteri Suwelo datang. Dokter Astowasis dan Kepala Dinas Keamanan langsung menyambut mereka dengan hangat dan ramah. </i><br /><br />SUWELO<br />Selamat siang, dokter. <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />O, bapak Suwelo. Wah, serimbit [10]. Pacarnya ya ? (Dengan lirih berbisik) Dengan isteri yang keberapa ini, bapak Suwelo ? <br /><br />SUWELO<br />Jaman sekarang punya satu isteri saja besar resikonya. Kalau iman tidak kuat..... jompo. <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />Bapak Kepala Dinas Keamanan, bapak Suwelo, pengelola pariwisata kita inipun juga lahir dari tabung.Em, bapak Suwelo, mariu silahkan duduk. Sekarang bapak bisa menyasikan bagaimana saya bermain catur dengan bapak Kepala Dinas Keamanan. <br /><br />SUWELO<br />Dokter memang selalu suntuk bermain catur. Itu saya akui. Tapi perlu dokter ingat, bahwa dalam permainan ini, dokter masih masih begitu banyak memakan korban dan biaya. Lain dengan saya, sedikit pembiayaan tapi memberikan pemasukan besar untuk kota ini. <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />Sayang sekali. Saya bertahun-tahun menjadi dokter tidak cuma untuk main catur. <br /><br />SUWELO<br />Betul, dokter. Tapi tidak ada jeleknya dokter memikirkan bagaimana caranya untuk tidak memakan banyak korban. (Mendekati dokter Astowasia) Dokter, saya dengar rumah jompo mau ditutup, apa benar ? <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />Saya tidak diprogram untuk memecahkan persoalan itu. Atau justru malah persoalan itu wewenang bapak Kepala Dinas Keamanan. <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Anggota satuan pengamanan dari dinas saya sekarang berjaga di rumah jompo. Dan lainnya berjaga-jaga di seluruh kota, dibadi dalam 14 sektor. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Bapak Kepala Dinas Keamanan, saya mendengar isyu, banyak orang yang lepas. Apa benar begitu ? <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Satuan keamanan ini dipimpin seorang komandan yang mengkoordinasikan setiap sektor. Komunikasi antar sektor dan komandan dijalin dengan direct selular communication [11] dilengkapi dengan human remote control [12]. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Maksud saya, apakah kemungkinan mereka lepas itu ada ? <br /><br />SUWELO<br />Bapak Kepala Dinas Keamanan, Pelindung Ahli Waris Jaman Baru, mungkin tahu rumah jompo itu ditutup, akibatnya pasti akan fatal, Income terbesar kita selama ini langsung akan merosot tajam, atau malah tidak akan ada pendapatan sama sekali ? <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Laporan terakhir menunjukkan, belum ditemukan tanda-tanda dan tempat persembunyian orang jompo yang lepas. Laporan semalam yang baru saya terima setelah keempat belas sektor selesai membuat laporan. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Kita semua tahu akibatnya, kalau orang jompo memang ada yang lepas. <br /><br />SUWELO<br />Kita mesti memikirkan cara terbaik untuk tetap tidak menutup kompleks rumah jompo, bapak Kepala Dinas Keamanan. <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />(Jengkel kepada Suwelo) Saya tidak diprogram untuk soal itu. Saya mau ngomong apa lagi ? <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Lalu bagaimana ? Apakah dokter Pemelihara Manusia Unggul bisa memberikan jalana tengah ? <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />Saya tidak diprogram untuk memberikan jalan tengah. Mungkin bapak Kepala Dinas Keamanan bisa membantu memecahkan persoalan ? <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Baik kalau begitu. Mari kita sekarang menghadap bapak Pembina Kota. <br /><i><br />Sekretaris Pembina Kota muncul muncul dari dalam, dengan Pembina Kota dan isterinya mengukti di belakangnya, masuk ke tempat itu. Kepala Dinas Keamanan, dokter Astiwasis, Suwelo dan isteri Suwelo segera memberikan hormat mereka kepada Pembina Kota. Sambil mengapit map berisi teks pidato, Sekretaris Pembina Kota membuka pertemuan itu. </i><br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Bapak Pembina Kota, semua pejabat kota dan staf telah hadir. Pelru bapak ketahui, waktu untuk beramah tamah saat ini cuma tersedia 20 menit. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Wuaaaaaahhhh........ komplit semuanya ! Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara yang saya cintai. Meskipun kalian sudah menjadi pejabat kota, ternyata masih sempat berperilaku disiplin. Bagus, bagus, bagus. Sebagai rasa terima kasih saya, nanti kalau ada proyek lagi, bapak-bapak dan ibu-ibu pasti kebagian. <br /><br /><i>Semua bertepuk tangan dan tertawa ramah menanggapi Pembina Kota. </i><br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />(Tertawa terbahak-bahak panjang) <br /><br />PEMBINA KOTA<br />(Mendekati Kepala Dinas Keamanan) Ini rak [13] bapak Kepala Dinas Keamanan ta ya [14] ? Wuah jasamu dalam mengamankan kota kita tercinta ini sungguh terpuji. Sangat mengagumkan. Bapak Kepala Dinas Keamanan, akub sangat berterima kasih atas pengabdianmu mengamankan keluargaku dan mengamankan semua kekayaanku. Terima kasih. </span></div><div><span style="font-family: arial;">(Berbalik bernajak tapi berhenti saat melihat dokter Astowasis) </span></div><div><span style="font-family: arial;">E-e, ini, ini kan, ini kan...... Saya kok lupa-lupa ingat ta ya. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Bapak dokter Astowasis, paduka. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Lha rak tenan ta [15]. Saya tadi sudah tahu, sudah mau nyebut lha kok didahului bapak Sekretaris. </span></div><div><span style="font-family: arial;">(Kepada Sekretaris Pembina Kota) </span></div><div><span style="font-family: arial;">Bapak Sekretaris, lain kali jangan mendahului ya. Kalau misalnya mau mendahului, tunggu aba-aba dari saya ya. Tapi......... bagus, bagus.<br />(Kepada dokter Astowasis) </span></div><div><span style="font-family: arial;">Mmm, dokter, dokter, saya cuma mau tanya, berapa rumah sakit yang sekarang berhasil kamu kelola ? <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />Ada sekitar seribu, bapak. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Lalu soal tabung ajaib, tabung inkubator itu, bagaimana ? <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />Sekarang sudah tersebar di mana-mana. Bahkan sudah sampai di Puskesmas-Puskesmas [16] dan Pos Yandu-Pos Yandu [17]. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Bagus, bagus, bagus. Teruskan perjuanganmu, dokter. Cuma saya ingatkan, bapak dokter jangan sampai lupa sangkan paraning rejeki [18] dan sangkan paraning kursi [19].<br />(Berbalik, tapi melihat Suwelo dan isterinya) </span></div><div><span style="font-family: arial;">Lho, siapa dia itu bapak Sekretaris ? <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Beliau itu kan bapak Suwelo, pengelola pariwisata. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />O-o, bapak Suwelo. Ha-ah, iya, iya. Pengelola pariwisata yang sangat dikenal sebagai pemasok terbesar penghasilan kota ini. Ya, ya. Bapak Suwelo, kalau diijinken boleh saya tahu, berapa simpananmu di Bank ? <br /><br />SUWELO<br />(Sambil melihat catatannya di map yang dibawanya) Sepuluh kali lipat dari pendapatan paduka <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Apa ? Menghina saya ya ?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />O, tidak. Saya tahu persis, bapak Pembina Kota. Maksudnya bapak Suwelo itu, kekayaannya itu sepuluh kali lipat lebih rendah daripada kekayaan paduka. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />(Lega dan puas) Wuah, wuah, Suwelo, Suwelo, Kamu betul-betul orang berbintang Libra.<br />(Memandang isteri Suwelo) </span></div><div><span style="font-family: arial;">Lho, ini siapa ? Isterinya pak Suwelo ya ?<br />(Memanggil isterinya sendiri) </span></div><div><span style="font-family: arial;">Bini ! Bini ! Bini ! Ayo kesini. Ini ibu Suwelo. <br /><br /><i>Isteri Pembina Kota mendekati isteri Suwelo, kemudian mulai bercengkerama hangat</i>. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />(Kepada Sekretaris Pembina Kota) Bapak Sekretaris, lihatlah. Dua isteri pejabat kota saling bercengkerama. Aku kok jadi ingat Darma Wanita [20], meskipun aku tahu Cuma dari membaca buku sejarah masa lalu.<br />(Kepada semua yang hadir) </span></div><div><span style="font-family: arial;">Mmm, bapak-bapak dan ibu-ibu masri menempatkan diri sebaik-baiknya. Saya ucapkan selamat datang dalam pertemuan agung ini. Mari, silahkan duduk yang nikmat. Sekarang saya ingin memberikan kabar gembira. Kemarin saya baru saja menerima teleks dari pusat. Teleks itu menyebutkan, bahwa sebentar lagi kota kita ini menerima anugerah penghargaan. Penghargaan itu diberikan tas keberhasilan menata dan mengembangkan proyek kelahiran tabung yang ternyata beritanya sudah sampai di mana-mana.<br />Adapun nama penghargaan itu ialah Parasmya Tata Nugraha Utama [21]. Nah saya sebagai pembina kota, secara pribadi dan secara resmi, mengucapkan terima kasih kepada bapak dokter Astowasis. Sebab berkat beliau itulah, penghargaan besar kita terima. Sekali lagi terima kasih bapak dokter Astowasis yang....... <br /><i><br />Para hadirin serentak bertepuk tangan penuh semangat dan riuh. <br /></i><br />DOKTER ASTOWASIS<br />(Tersenyum-senyum narsistik) Saya juga mengucapkan terima kasih atas penghargaan paduka dan para hadirin sekalian. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Bapak dokter Astowasis, Saya Sekretaris Pembina Kota diprogram untuk meluruskan bangkok. Asumsi dokter ini ternyata bengkok. Yang dimaksudkan menerima penghargaan itu adalah kota kita ini. Bukan dokter. <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />Bukan ! Karena proyek saya kota ini mendapatkan penghargaan. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Bukan ! Meskipun itu proyeknya dokter, tapi kota ini dipimpin oleh beliaunya bapak pasuka Pembina Kota. Dus, penghargaan, keberhasilan dan kemenangan itu untuk beliaunya bapak Pembina Kota. Bukan untuk dokter. Seenaknya. <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />Bukan ! Paduka sendiri sudah berterima kasih kepada saya. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Bukan ! Berterima kasih itu bukankah bisa diucapkan sambil lalu. <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />Bapak Sekretaris ! Jangan sembarangan ngomong. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Ingat dokter ! Secara struktural dokter tidak bisa marah kepada saya. <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />(Melerau dokter Astowasis dan Sekretaris Pembina Kota) Saya bertanggung jawab di bidang keamanan. Dan tanggung jawab saya itu tidak terbatas. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />(Mendekati Pembina Kota) Bapak Pembina Kota, bapak Pembina Kota, sebaiknya acara ramah tamah ini sekarang kita akhiri saja sampai di sini. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Lho kenapa ? Bapak-bapak dan ibu-ibu, ada apa ini ? Mari kita mulai pertemuan ini dengan penuh kehangatan dan kemesraan. Kalian semua pejabat kota harus bisa menjadi cermin keteladanan, harus bisa menunjukkan bagaimana berbuat baik. Nah, marilah sekarang kita berbuat baik. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />(Tiba-tiba langsung bersemangat) Betul, betul, betul ! Kita memang harus selalu berbuat baik. Nah, saudara-saudara marilah berbuat baik demi kota kita tercinta ini. Ayo, berbuat baik. Hidup berbuat baik. Hidup berbuat baik. (Memaksa para hadirin bertepuk tangan) Hidup berbuat baik ! Nah, bapak Pembina Kota, lihatlah, semua pejabat kota tiba-tiba ingin selalu berbuat baik. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Bapak-bapak dan ibu-ibu. Sekarang tinjauan kita pada masalah keamanan. Ini harus diperhatikan. Keadaan di sekitar kita aman dan tenteram, tidak ada gangguan. Stabilitas keamanan terjamin. Semua ini dirancang oleh bapak Kepala Dinas Keamanan. Lihat saja, sekarang ini aksi demonstrasi tidak ada. Pamflet-pamflet provokasi tidak ada. Mimbar-mimbar bebas di kampus tidak ada. Sehingga dengan demikian kita bisa hidup tenteram,a man, santai, nikmat, seperti di sorga. Bukankah begitu, Bini ? <br /><br />ISTERI PEMBINA KOTA<br />(Kepada para hadirin) Betul, saudara-saudara. Kita mesti merasa nyaman. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Benar, bapak Pembina Kota. Kita semua ini memang tidak pernah terganggu oleh apapun. Baoak Kepala Dinas Keamanan, apakah ada tanggapan atas puja-puji singkat ini tadi ? <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />(Gugup) Anu..... apa itu,..... anu, eh..... emh...... anu <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Ada tidak ? Jangan Cuma ona-anu. Ada tidak ? <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Tidak adaaaaaa !........................ <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Bagus. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Bapak Sekretaris, semestinya bapak Kepala Dinas Keamanan itu harus berkomentar menanggapi saya meskipun hanya satu dua kata. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Wah, bapak Pembina Kota ini sudah lupa ya. Bukankah beliau bapak Kepala Dinas Keamanan ini sudah saya didik untuk tidak pernah berinisiatif. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Bapak Pembina Kota yang saya hormati, apakah saya diperkenankan untuk menyampaikan sesuatu yang ada di dalam pikiran saya ? <br /><br />PEMBINA KOTA<br />O, boleh, boleh. Sebagai pendamping pejabat kota, saudari ini punya hak untuk bertanya. Bertanyalah, akan saya terima dengan lapang dada. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Betul sekali, Nyonya Suwelo. Memang begitulah sebaiknya. Sebagai isteri pejabat kota, harus bernai usul, berani bertanya, kaya gagasan. Tapi ingat jangan sampai mengganggu kesehatan paduka. Bikin pertanyaan-pertanyaan yang netral. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Bapak Pembina Kota yang saya hormati, kita semua tahu, kota sedang kacau. Geger [22]. Belum ada yang bisa menyelesaikannya. Mengenai orang-orang jompo yang lepas melarikan diri itu belum ada yang bisa menangkapnya. Sementara kita belum bisa menemukan cara untuk mendapatkan mereka kembali. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Itu, begini....... <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Ingat, Paduka. Paduka sekarang harus menghadiri arisan. Dan setelah itu paduka harus menyampaikan pidato radio. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Paduka ! Bukankah kuta yang hadir di sini masing-masing mempunyai hak untuk bertanya dan menyampaikan pendapat. Apakah dengan cara seperti ini akan menyelesaikan persoalan ? <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Benar sekali, nyonya. Memang kita semua mempunyai hak untuk bebas berpendapat. Tapi yang perlu diingat, bahwa di dalam kebebasan berpendapat itu, pendapat kita harus tetap sependapat dengan kebijaksanaan kota. <br /><br />ISTERI PEMBINA KOTA<br />(Kepada isteri Suwelo) Demi kemajuan para wanita di Jaman Tabung ini, saya punya gagasan menyelenggarakan musyawarah Nasional Wanita. Nah, pengelola utamanya bagaimana kalau dipercayakan kepada nyonya Suwelo. Bagaimana nyonya ? Setuju ? <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Paduka, lima menit itu sangat mahal kalau sampai paduka terserang HKPE, Hilangnya Kekebalan Pikiran dan Emosi. Bahaya. Mendingan paduka terserang AIDs atau sipilis yang sudah ada obatnya itu. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Paduka ! Paduka ! <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Wuah, kesuweeeeennnnn [23].</span></div><div><span style="font-family: arial;">(Lantang kepada para hadirin) </span></div><div><span style="font-family: arial;">Saudara-saudara warga tabung yang terhormat. Sekarang sudah tiba saatnya kepada bapak Pembina Kota, penyambung aspirasi Jaman Baru yang bijak, untuk menyampaikan pidato radio yang secara langsung akan disiarkan secara sentral untuk seluruh warga kota. Kepada bapak Pembina Kota kami persilahkan.(Menyerahkan teks kepada Pembina Kota) <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Saudara-saudara sesama warga tabung yang saya cintai, salam...... salam....... rahayu [24]. Pada hari ini, 17 Desember 2097, sungguh merasa bangga jati kita dan perlu pula kita bersyukur karena sebentar lagi kota ini menerima anugerah penghargaan. Penghargaan ini diberikan karena keberhasilan kita di dalam menata dan mengembangkan masyarakat kelahiran tabung yang akan menjadi manusia alternatif berkualitas unggul. Saudata-saudara sesama warga kota yang saya hormati. Wondene [25] pada hari ini pula, setelah kita semua berkumpul patut kita merasa prihatin, prihatin,.........(Memperjelas membaca teks pudatonya) Keprihatinan ini didasari kenyataan adanya berita-berita di luar mengenai lepasnya orang-orang jompo non kelahiran tabung, sehingga menyebabkan keresahan. Oleh karena itu, sebagai Pembina Kota, saya mengajak semua warga kota untuk tetap merasa,...... merasa,.... pri.... hatin.....(Marah) Lho, Priye ki [26] ? Bapak Sekretaris ! Kenapa penyelesaian pidatiku ini kok cuma prihatin-prihatin melulu ? Kota kacau kok isi pidatonya cuma begini ini. Thithik-thithik [27] prihatin, thithik-thithik prihatin. Bagaimana ini ? Daripada prihatin melulu, sekarang aku memutuskan tutup rumah jompo. Cari orang-orang jompo yang lepas itu. Kalau perlu bunuh mereka. Bunuh ! Kalau bapak Sekretaris tadi sebentar-sebentar prihatin, sekarang saya nyataken, sebentar-sebentar bunuh ! <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Paduka, tadi pidato itu saya buat berdasarkan fakta dan kenyataan. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Bah ! Sekretaris gombal ! Bini ! (Mengajak isterinya pergi dari tempat itu) <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />(Menghadapi para hadirin dengan ditenang-tenangkan) Saudara-saudara pejabat kota yang saya hormati, berhubung ada kesalahan teknis, saya akan melanjutkan pidato paduka Pembina Kota. <br />(Mencoba membaca teks pidato) </span></div><div><span style="font-family: arial;">Jadi dalam mengatasi lepas dari larinya orang-orang jompo itu, kita harus.................. <br /><br />ISTERI SUWELO, SUWELO, DOKTER ASTOWASIS, KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Turun ! Turun ! Turun ! Turun, bapak Sekretaris ! Turun bapak Sekretaris ! <br /><br />SUWELO<br />Apa-apaan ini ! Rumah Kompo mau ditutup ?! <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Aku disuruh membunuh orang-orang jompo ?! <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Dugaanku benar, kalau orang-orang jompo itu ada yang lepas. Benar ! Benar ! <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />Bapak Sekretaris mau ngomong lagi soal prihatin ? Orang-orang jompo itu memang pantas dilenyapkan. <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Eh, dokter ! Kenapa harus dibunuh ? Bukankah mereka punya hak untuk hidup ? <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />Tapi mereka tidak punya hati nurani untuk menggerogoti mayorutas masyarakat kelahiran tabung. Bapak Kepala Dinas Keamanan, mereka itu masyarakat membawa peradaban satu abad lalu, yaitu berhubungan kontak seksual sebadan untuk menghasilkan keturunan yang di Jaman Tabung ini sudah tidak diperbolehkan lagi. Bagaimana kalau sekarang mereka mencari anak-anaknya, kemudian ketemu anak-anak tabung dan menularkan peradaban itu kepada anak-anak tabung ? Bapak Kepala Dinas Keamanan, mereka ini membawa penyakit yang sangat berbahaya, lebih berbahaya daripada kanker yang sudah ada obatnya sekarang ini. <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Dokter, bukankah peraturan dan sistem kita sekarang ini merupakan cara terbaik untuk melenyapkan kaum minoritas. Jadi kenapa mereka itu harus dibunuh ? Kenapa ? <br /><br />SUWELO<br />Ya, kenapa harus dengan dibunuh, bapak dokter ? Kenapa harus ada pembunuhan ? <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />Yang kita bunuh adalah sumber datangnya penyakit. Orang-orang jompo itu sumbernya <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Dokter ! Lebih baik saya pensiun daripada harus membunuh ! <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Lebih baik orang-orang jompo itu dibunuh ! <br /><br />SUWELO<br />Tidak !Saya tidak setuju ! Sebab orang-orang jompo itu ladangku. Rejekiku selama ini. Dokter ! Atau dokter menghendaki supaya proyeknya dokter itu berhenti di tengah jalan ? Atau dokter menghendaki tunjangan fungsionalnya dokter dicabut ? Ingat dokter, orang-orang jompo itu modal usaha kota ini. Kalau mereka itu kita habisi dari mana penghasilan kota ini. Dari mana, dokter ? <br /><br />DOKTER ASROWASIS<br />Bajigur [28] ! Kalau orang jompo itu menularkan penyakit kita semua ini bisa lenyap ! <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Saya setuju pendapat dokter Astowasis, bahwa orang-orang jompo itu dibunuh saja. <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Saya menolal pembunuhan ! <br /><br />SUWELO<br />Saya tidak setuju ! <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />Harus ada pembunuhan ! <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Stoooopppp !.............. Stop ! Saudara-saudara ini aneh. Perkara orang jompo yang lepas itu memang perkara yang gawat, tapi tidak akan selesai kalau saudara-saudara cuma bertengkar melulu. Saudara-saudara sekalian ini memang merasa orisinal kelahiran tabung, merasa sehat, sempurna, tidak punya kaitan langsung dengan orang-orang kompo yang melarikan diri, merasa bersih dirim bersih lingkungan, bukankah semestinya saudara-saudara ini bisa menghimbau para pelarian itu, menggiring mereka supaya kembali ke kompleks rumah jompo yang sudah disediakan pemerintah kota ? Bisa kan ? Tapi kalau saudara-saudara ini takut, lari, menghindar, menjauh bahkan berniat membunuh mereka, saya malah jadi curiga. Jangan-jangan saudara-saudara ini punya kaitan langsung dengan orang-orang jompo itu. Dengan demikian yang saudara takutkan bukan sekedar penyakit daripada orang-orang jompo yang konon bisa menular itu. Tapi yang saudara takutkan adalah hukum dan peraturan yang celakanya, justru saudara sendiri yang membuat. Edyan ! Saya kok curiga pada salah seorang dari saudara-saudara ini. <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />Bapak Sekretaris, jadi bapak menuduh saya ini bukan kelahiran tabung. Jadi saya ini anakdari orang jompo yang lepas itu ? <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Lho merasa ta ? Tapi bisa jadi lho itu. Sebab siapa tahu, niat saudara yang berapi-api untuk membasmi mereka itu, bukan disebabkan saudara takut ketularan penyakit, tapi semata-mata saudara ketakutan bahwa saudara ini tidak orisinal kelahiran tabung, betapapun bentuk suadara sudah bulat seperti tabung. <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />O, Sekretaris goblog ! Ngawur. Saya ini kelahiran tabung. Saya punya akte kelahiran tabung, punya karti identitas sebagai warga tabung. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Sabar dokter. Tidak perlu main bukti. Sekarang ini akte kelahiran banyak yang palsu. Orang-orang non tabung bisa memesan akte, supaya bisa diakui syah sebagai warga kota. Apalagi saudara ini seorang dokter, gampang memanipulasi data. <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />Diancuk [29] ! Saya bisa membuktikan bahwa saya ini asli kelahiran tabung. Tapi kalau bapak Sekretaris ingin tahu siapa kira-kira bukan kelahiran tabung, saya bisa menunjukannya. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Siapa ? <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />Ada. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Siapa ? <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />Orang yang bukan kelahiran tabung adalah orang yang menolak perintah paduka. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Maksudnya mereka yang tidak mau membunuh ? Njuk [30] siapa ? <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />Ada. Sebab siapa tahu salah seorang jompo yang lepas itu adalah orang tuanya sendiri. Bagaimana ? Mau bukti ? (Lalu menunjuk kepada Kepala Dinas Keamanan dari belakangnya) <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Keparat, dokter ! Jaga mulutmu ! <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />Lho kalau tidak lalu apa ? Atau bapak Kepala Dinas Keamanan ingin menggunakan orang jompo itu untuk menggulingkan kedudukan paduka Pembina Kota ? <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Sekalipun saya ini punya pasukan satuan tugas keamanan, tapi saya tidak punya niat sekotor itu. Akan saya buktikan. Sekarang juga saya akan menemui paduka Pembina Kota, saya mau berhenti dari Dinas Keamanan. (Langsung beranjak pergi dari tempat itu) <br /><br />SUWELO<br />Dokter, ternyata kamu main tuduh itu cuma untuk menutupi kelicikan dokter sendiri ? <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />O, edan ! Bapak Suwelo berlagak seperti itu, sebenarnya juga mau menutupi kebrengsekan bapak sendiri kan ? <br /><br />SUWELO<br />Apa ? <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />Ternyata isteri bapak Suwelo itu bukan kelahiran tabung ! <br /><br />ISTERI SUWELO<br />(Kepada dokter Astowasis) O...... kadal ! <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />Lho kalau memang kadal, apa urusan saya dengan nyonya ? <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Dokter, akui sendiri dulu sebelum menuduh orang lain. <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />Bapak Sekretaris, jangan sembarang omong. Kamu bikin teks pidato, yang dibacakan bapak Pembina Kota, karena kamu juga ingin menutupi kebrengsekanmu sendiri. Bahwa sebenarnya kamu juga bukan asli kelahiran tabung. Dan kamu diam-diam juga ingin menjatuhkan kedudukan paduka Pembina Kota. Benar apa benar ? <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />nDobleh [31] ! Saya orisinil kelahiran tabung. Saya bisa membuktikan. Sekarang saya akan menghadap paduka Pembina Kota. Tapi sebelumnya dokter juga harus membuktikan, apakah dokter ini termasuk manusia konvensional atau orisinil kelahiran tabung ?! (Langsung beranjak pergi bergegas meninggalkan tempat itu) <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Dokter ! Sebaiknya kamu juga minta berhenti ! <br /><br />DOKTER ASTOWASIS<br />Baik ! Saya juga akan menghadap bapak Pembina Kota ! (Langsung beranjak pergi) <br /><br /><i>Suwelo dan isterinya juga pergi meninggalkan tempat itu dengan bergegas menuju ke arah lain. Tegang. </i><br /><br /><br />LIMA <br /><br />Jembatan di dekat Balai Kota.<br />Suwuk, Gerong dan Seseg muncul, berlarian mendekati mendekati kolong bawah jembatan itu dengan ketakutan. Mereka bersumbunyi dengan memanggul karung bawaan mereka yang besar. Gelap di sekeliling tempat itu membantu banyak mereka bersembunyi.<br />Di teras dan halaman Balai Kota, Suwelo dan isterinya melintas bergegas melintas sambil bertengkar dengan sama-sama marahnya, sama-sama keras kepala, sekalipun sudah berusaha menahan marah. <br /><br />SUWELO<br />Sebaiknya kamu juga minta berhenti sebagai isteriku. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Apa kamu bilang ? <br /><br />SUWELO<br />Semua ini gara-gara kamu. Keberanianmu berbuat tidak sopan di pertemuan bersama paduka Pembina Kota tadi membuat kedudukanku terancam. Sekarang ditambah rumah jompo ditutup. Kamu tega membuat suamimu sendiri celaka. Isteri mana setega itu kepada suaminya kalau bukan kamu. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Kita hidup berumah tangga selama bertahun-tahun. Jatuh bangun kita lalui, kita rasakan bersama, kenapa kamu menuduhku membuat kamu celaka ? <br /><br />SUWELO<br />Sebab kamu terlalu mendesak paduka dengan pertanyaan soal orang jompo yang lepas itu. Paduka menjadi terpengaruh. Padahal paduka seharusnya memberi keputusan berdasarkan pada apa yang dibacanya di dalam teks pidato. Kenyataannya paduka justru mengeluarkan perintahnya sendiri, menutup rumah jompo dan membunuh orang-orang jompo yang lepas itu. Ini gara-gara kamu. Kurang ajar ! Aku tidak menyangka kamu punya pikiran soal pembunuhan. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Aku cuma ingin menunjukkkan sebagai isteri yang baik dari suami manusia unggul. Lain tidak. <br /><br />SUWELO<br />Tapi kalau orang jompo itu lenyap, akibatnya hidupku juga lenyap. Habis. Aku mesti hidup dari mana ? Aku mau makan apa ? Kamu itu memang pembunuh suamimu sendiri. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />(Berpikir sejenak lalu bicara kembali) Sebenarnya aku tidak menghendaki pembunuhan. <br /><br />SUWELO<br />Kamu tidak berniat membunuh ? Lalu kamu tadi bicara apa ? Gila ! Mulutmu itu memang sulit dipercaya. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Aku takut. Aku sebenarnya sedang hamil. Aku tidak ingin orang-orang tahu dan membuangmu ke rumah jompo. Aku tidak ingin mereka menghukummu sebagai pengkhianat. <br /><br />SUWELO<br />Dengar ! Kita melakukan hubungan seksual langsung, karena aku cuma ingin memenuhi keinginanmu sebagai manusia konvensional. Kamu minta, saya beri. Jadi apa salahku ? Kalau pikiranmu masih sehat kenapa tidak kamu lenyapkan saja kandunganmu itu ketimbang kamu berniat membunuh orang jompo. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Melenyapkan kandungan atau tidak sama saja. Orang tetap akan tahu. Percuma ! Lihat suamiku, aku wanita. Kodratku menjadi ibu dari anak-anakku. <br /><br />SUWELO<br />O. Subversif ! <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Selama ini kamu memang beristeri wanita subsversif. Aku bukan kelahiran tabung, aku hamil, aku bersedia dibuang di rumah jompo. Tapi kamu ? Aku tidak rela kamu dibuang, dihukum, dicincang sebagai pengkhianat Jaman Baru. <br /><br />SUWELO<br />Tidak ! Aku tidak akan ke rumah jompo. Kalau kamu dibuang itu karena kamu bukan kelahiran tabung dan sengaja melawan Undang-Undang Kota. Dan itu bukan kesalahanku. Tidak ! Tempatku bukan di rumah jompo ! Tidak ! (Pergi dari tempat itu meninggalkan isterinya) <br /><i><br />Isteri Suwelo tergolek sendirian. Ia menyuarakan suara hatinya. </i><br /><br />ISTERI SUWELO<br /><i>(Menyanyikan suara hatinya)</i><br />Anak jaman merancang harapan<br />Tapi jiwa retak di abad depan<br />Hilang masa silam<br />Kerna bapak peradaban menggulung kenangan <br /><br />Adakah sisa nurani<br />Membela harga diri ?<br />Anak jaman biarkan gelombang berlagu<br />Agar membantu hasrat pribadi<br />Agar langkah simpang berhenti <br /><i><br />Dari kolong jembatan.<br />Orang-orang jompo : Gerong, Suwuk dan Seseg muncul keluar dari kolong jembatan, melihatr sekelilingnya dengan hati-hati. Tapi Gerong terhenyak kaget. </i><br /><br />GERONG<br />Suwuk ! Bagaimana ini ? Kok kita kembali ke tempat semula ? <br /><br />SUWUK<br />Memang. Ke mana saja kita pergi akhirnya sampai di sini juga, Gerongt. Maklumlah, soalnya panggungnya ya cuma ini. <br /><br />GERONG<br />Beban hidupku semakin berat. Pikiranku tambah kalut. Rasanya aku kepingin mati. Tapi aku rindu pada anakku. Aku ingin ketemu anakku. Inilah beban hidupku. Bagaimana Suwuk, apa kamu bisa menolongku ? Membentuku melepaskan beban hidupku ini ? <br /><br />SUWUK<br />Saya pikir, untuk melepaskan beban hidup kita tidak perlu menunggu sampai kita ketemu anak-anak kita. Saat inipun kita bisa melepaskan beban hidup kita itu. <br /><br />GERONG<br />Benar Suwuk ? Jangan menipu aku. Jangan membuat aku tambah gelisah. <br /><br />SUWUK<br />Untuk melepaskan beban hidup itu kan ? Gampang. Diletakkan saja.(Lalu meletakkan karung yang digendongnya ke tanah dengan ringan. Gerong juga meletakkan karungnya, diikuti Seseg) <br /><i><br />Gerong, Suwuk dan Seseg lalu duduk di atas karung mereka masing-masing. </i><br /><br />GERONG<br />(Sambil tertawa) Iya ya ? Ternyata jadi ringan. Terima kasih Suwuk. Terima kasih. Tapi kenapa beban ini masih terbawa juga ? <br /><br />SUWUK<br />Iya memang. Tapi tidak di punggung. Jadi bebab hidup tidak berat. <br /><i><br />Dengan duduk di atas karung-karung itu, ketiga orang Jompo itu bicara sambil seolah-olah mendayung kapal menggunakan tongkat mereka. </i><br /><br />GERONG<br />Suwuk, aku mulai ragu-ragu, di mana aku mesti mencari anakku ? Sebab semua tempat, semua rumah yang kita lihat tampaknya sama. Semua serba seragam. <br /><br />SUWUK<br />Tidak, Gerong. Tidak sama. Cuma mata kita yang melihatnya seolah-olah sama. Sebab mata kita sudah tua. Sudah terlalu tua. <br /><br />GERONG<br />Kalau begitu mata kita sudah tidak berguna lagi ? <br /><br />SUWUK<br />Bukan begitu. Mata kita ini masih bisa kita pakai untuk melihat perbedaan hati nurani. Ebab hati nurani itu tidak gampang berubah, seperti bangunan yang berubah bentuknya setiap jaman. <br /><br />GERONG<br />Kalau begitu, apakah hati nurani anak-anak kita juga tidak gampang berubah ? <br /><br />SUWUK<br />Kalau mereka masih merasa pernah kita lahirkan, kita masih bisa mengenal hati nurani anak-anak kita. Tapi tidak tahulah, kita belum ketemu anak-anak kita. Aku takut pikiranku soal hati nurani keliru. <br /><br />GERONG<br />Aku juga takut anak-anak kita akan keliru melihatku. <br /><br />SUWUK<br />Kok kamu takut sama anak-anakmu sendiri ? <br /><br />GERONG<br />Ya, sebab kalau nanti aku bisa ketemu anakku, mereka pasti akan memanggilku……. “Hei, orang jompo nomer 78”. Aku tidak suka itu ! Aku bosan ! Jengkel aku. Aku muak pada nomer. (Melepas atribut jomponya, dibantingnya dan membuangnya dengan marah) <br /><br />SUWUK<br />Lumayan itu. Seburuk-buruknya anak kita, sekejam-kejamnya mereka. Masih untung mereka memanggil kita dengan sebutan itu, “hei orang jompo nomer 78”. Coba bagaimana kalau yang memanggil anak yang….. prok, prok, prok, prok ! Kemudian….. dor….. dor…. dor…. dor !........ <br /><br /><i>Tiba-tiba isteri Suwelo kembali menyuarakan isi hatinya yang takut, gelisah dan panik. </i><br /><br />ISTERI SUWELO<br /><i>(Menyanyikan suara hatinya)</i><br />Anak jaman merancang harapan<br />Tapi jiwa retak di abad depan<br />Hilang masa silam<br />Kerna bapak peradaban menggulung kenangan <br /><br />Adakah sisa nurani<br />Membela harga diri ?<br />Anak jaman biarkan gelombang berlagu<br />Agar membantu hasrat pribadi<br />Agar langkah simpang berhenti <br /><br /><i>Gerong, Suwuk dan Seseg langsung terhenyak dan terpana mendengar suara nyanyian isteri Suwelo, Mereka lalu mencari sumber suara datangnya nyayian itu. </i><br /><br />GERONG<br />Suwuk, aku mendengar suara. Aku naik ke atas bukit itu, selamat tinggal, Suwuk. <br /><br />SUWUK<br />Selamat jalan, Gerong. <br /><br /><i>Gerong mendaki bukit itu dan setibanya di atas bukit, ia melihat isteru Suwelo di bawah, di halaman Balai Kota. Gerong rindu pada suara itu, ia merasa bertemu dengan anaknya. </i><br /><br />GERONG<br />Oh my God ! It’s wonderful. Great [32] ! Hei, Suwuk ! Aku sudah bertemu anakku. Tuhan Maha Adil, mempertemukan aku dengan anakku. <br /><i><br />Suwuk beranjak dan menaiki bukit itu, mendekati Gerong, bersama-sama memandang isteri Suwelo di bawah mereka. Seseg menunggu di bawah. <br /></i><br />GERONG<br />Lihatlah, Suwuk, di bawah sana itu, di dekat kolam itu, di halaman samping kantor itu, ada wanita yang lagi duduk. Itu pasti anakku. <br /><br />SUWUK<br />Kamu yakin dia itu pasti anakmu ? <br /><br />GERONG<br />Yakin. Yakin sekali. <br /><br /><i>Isteri Suwelo menyahut dalam lengkingan kegelisahan. </i><br /><br />ISTERI SUWELO<br />Aku bukan anakmu ! <br /><br />SUWUK<br />Mampus kamu ! Kamu itu selalu nekad kok. GR. Gegedhen Rumangsa [33]. Siapa saja kamu anggap anakmu. Setiap orang yang kamu temui kamu anggap anakmu, petugas keamanan anakmu, pilot helikopter anakmu. Berapa ta anakmu itu ? Kamu ini sudah terlalu lama di rumah jompo. <br /><br />GERONG<br />Tidak. Aku yakin, wanita itu anakku. <br />(Turun dari bukit dan mendekati isteri Suwelo, perlahan-lahan dan hati-hati, tapi penuh kerinduan)<br />Hei, kamu yang duduk di situ. Kamu anakku. Mendekatlah ke sini, biar aku kenali kembali darah dagingku. Ke mari. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />(Mundur ketakutan) Aku tidak mengenalmu. Aku bukan anakmu. Aku kelahiran tabung <br /><br />GERONG<br />Tidak ! Kamu pasti anakku. Aku tidak lupa suaramu. Aku tidak lupa baumu. Suaramu bukan suara anak kelahiran tabung. Kenapa kamu menghindar dari bapakmu sendiri ? Lihat ke mari ! Kamu tentu kenal tanganku yang sudah keriput ini, tapi dulu tanganku kuat, dulu tanganku kukuh untuk mendekap tubuhmu yang mungil. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Aku tidak kenal tanganmu. Aku tidak tahu siapa kamu. Kamu bukan bapakku. Bukan ! <br /><br />GERONG<br />Kamu Cuma pangling [34], nak. Bertahun-tahun kita tidak pernah jumpa. Wajar kalau kamu kaget melihat bapakmu. Tapi diam-diam kamu mengenalku. <br /><br />SUWUK<br />Hei, Gerong ! Sudahlah, waktu kita sangat pendek. Ayo, cepat pergi ! <br /><br />GERONG<br />Tidak ada artinya, Suwuk. Pertemuanku dengan anakku ini lebih berharga ketimbang nyawaku. <br /><br /><i>Sayup-sayup dari jauh terdengar bsuara derap langkah para petugas keamanan yang berbaris menuju ke tempat itu. Tapi Gerong tidak mempedulikannya dan terus mendesak isteri Suwelo. <br /></i><br />GERONG<br />(Kepada isteri Suwelo) Lihatlah, nak. Aku tidak takut mati untuk bisa ketemu kami. Sebab kalau aku mati, aku benar, bahwa aku punya anak. Mendekatlah ke sini. Sebab bagaimanapun akhirnya aku bakal mati. <br /><br />SUWUK<br />Gerong ! Ini bahaya ! Gawat ! Petugas keamanan itu mendekat ke sini. Gerong ! Ayo, lari ! Gerong ! <br /><br /><i>Suara derap langkah para petugas keamanan makin dekat. Isteri Suwelo pun mulai panik, makin takut pada Gerong. Tapi Gerong tidak mempedulikannya. </i><br /><br />ISTERI SUWELO<br />Oh, Tuhan ! Kesalahan apa yang kutanggung ini. Kesalahan apa yang kutanggung ? <br /><br />GERONG<br />(Makin mendekati isteri Suwelo) O, kamu sudah mengenalku, nak. Kamu sudah mengenalku, bahwa aku bapakmu. Kamu tidak salah. Tidak ada yang salah untuk anak-anakku. Ke sini, anakku. <br /><br />SUWUK<br />Gila kamu Gerong ! Mereka sudah dekat. <br /><br />GERONG<br />(Makin mendekati isteri Suwelo) Pandanglah aku, nak. Pandanglah. Aku ini orang yang pernah dekat denganmu. Aku ini bapakmu. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />(Memandang Gerong dengan ragu-ragu) Apa saya tidak salah ? <br /><br />GERONG<br />O, tidak. Jelas tidak. Kenapa salah ? Hukum mana yang melarang anak bertemu bapaknya ? Hukum mana itu ? <br /><br /><i>Gerong perlahan hendak memeluk isteri Suwelo, tapi isteri Suwelo masih ragu-reagu dan agak menghindar. Suara derap langkah para Petugas Keamanan itu makin mendekat. </i><br /><br />GERONG<br />Lho kenapa takut, nak ? Aku saja tidak takut selama bertahun-tahun untuk bisa ketemu kamu. Ayolah, nak. Hati kecilmu sebenarnya tidak takut. Kamu cuma belum mau menunjukkannya kepadaku. Sekarang tunjukkan, nak. Tunjukkan. <br /><i><br />Isteri Suwelo meledak menangis. Suara derap langkah para Petugas Keamanan semakin dekat sekali. </i><br /><br />SUWUK<br />Gerong, lihat mereka ! Lihat mereka ! Para Petugas Keamanan sudah tampak. Ayo berlindung. Gerong ! Ayo cepat bersembunyi ! Gerong ! <br /><br />GERONG<br />Tunjukkan, nak. Yakinkan bahwa kamu bukan anakku yang cengeng. Tunjukkan, nak ! <br /><br /><i>Isteri Suwelo lalu lari dengan berteriak menangis histeris ketakutan. </i><br /><br />ISTERI SUWELO<br />Tidak ! Tidak ! Jangan ! Jangan ! (Berlalu dari tempat itu) <br /><br />Kepala Dinas Keamanan muncul dan langsung mendodongkan pistolnya kepada Gerong <i>yang berusaha mengejar isteri Suwelo. </i><br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Berhenti ! Berhenti ! Tangan di atas ! <br /><i><br />Gerong berhenti, mengangkat kedua tangannya dengan ketakutan sekali. Pada saat itu muncul Sekretaris Pembina Kota. </i><br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Tembak di tempat, bapak Kepala Dinas Keamanan. <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Saya tidak bisa menembak orang yang sudah menyerah, bapak Sekretaris. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Ini perintah ! <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Saya mau menggiringnya ke Pusat Rehabilitasi Jompo, atau ke rumah jompo. Bukan membunuhnya. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Apa bapak Kepala Dinas Keamanan mau melawan perintah ? <br /><br />KEPALA DINAS KEMANANAN<br />Saya akan melaksanakan perintah membunuh kalau orang jompo ini melawan saya. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Saudara tahu apa yang bakal terjadi bagi para pembakang ? <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Saya tahu kuajiban saya. Saya masih bertanggung jawab pada keamanan kota. Lagi pula, apakah saya melakukan pembangkangan ? Melakukan desersi ? <br /><br /><i>Sekretaris Pembina Kota mengeluarkan pistolnya lalu menodongkan tepat ke arah jidat Kepala Dinas Keamanan. Tapi Kepala Dinas Keamanan justru memandang Sekretaris Pembina Kota dengan tenang namun tajam. </i><br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Bunuh orang jompo itu ! Atau jidat saudara akan berantakan oleh peluru ini ! <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Tembak saja ! Setidaknya saya akan mati bukan sebagai pembunuh. <br /><i><br />Sekretaris Pembina Kota menarik picu pistolnya tapi tidak menembakkannya ke jidat Kepala Dinas Keamanan, melainkan tiba-tiba berubah arah, mengarahkan pistolnya ke tubuh Gerong. Terdengar ketusan pistol dua kali. Gerong langsung roboh tanpa bergerak lagi. Gerong tewas. </i><br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Bapak membunuhnya ? <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />(Dingin) Ya. Seperti yang saudara lihat sendiri. Kota ini mesti bersih dari orang jompo yang lepas. <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Tapi bapak tidak menganjurkan pembunuhan untuk mengatasi maslaah orang jompo yang lepas itu. Bapak justru menganjurkan keprihatinan serentak bagi warga bagi masalah itu. Paling tidak bapak menuliskan sikap bapak itu dalam teks pidato yang dibacarakan paduka Pembina Kota. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Ya, memang. Tapi yang dibutuhkan kota ini seorang pembina kota yang tegas, dengan akal sehat yang sempurna, dengan kekuatan murni kelahiran tabung. Bukan seorang pembina kota yang cuma bisa beramat tamah dengan penuh basa-basi. <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Saya sudah mgira sejak awal. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Kota ini mesti bersih, dan saya cukup bersih untuk membina sejauh Jaman Baru menghendaki saya. <br /><i><br />Sekretaris Pembina Kota lalu pergi dari tempat itu, meninggalkan Gerong Kepala Dinas Keamanan, yangmemandang kepergiannya dengan ternganga, tak bisa mengerti. <br /><br />Dari kegelapan muncul isteri Suwelo. </i><br /><br />ISTERI SUWELO<br />Dia sudah membunuh orang jompo itu. Kenapa bapak Kepala Dinas Keamanan ? <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Jangan bertanya saya, nyonya. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Tapi kenapa mesti dibunuh ? <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Bukankah nyonya setuju pembunuhan ? <br /><br />ISTERI SUWELO<br />(Sambil menunjuk mayat Gerong) Orang jompo ini bapakku. <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Di Jaman Baru ini tidak ada bapak, tidak ada anak, nyonya. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Tapi bukankah bapak Kepala Dinas Keamanan tidak setuju pembunuhan ? <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Suara saya kalah oleh peluru, nyonya. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Suara saya juga kalah oleh suara hati nurani saya. <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Sesudah terjadi pembunuhan, kok kata-kata nyonya jadi aneh ? <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Saya bukan kelahiran tabung. <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Tidak ada bedanya, nyonya. Sebab di Jaman Baru ini kita sama-sama berani membunuh,tapi juga sama-sama takut mati. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Saya setuju pembunuhan demi suami saya, supaya dia tidak dibuang. Tidak dianggap pengkhianat Jaman Baru. <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Kalau kita taat pada peraturan yang kita ciptakan sendiri, seharusnya kita juga takut pada apa yang bakal terjadi, kalau semua kelahiran manusia ditabungkan. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Apakah bapak juga kelahiran tabung ? <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Ya. <br /><br />ISTERI SUWELO<br />Kalau begitu, tangkaplah saya. Buanglah saya ke rumah jompo.Saya sudah siap. <br /><br /><i>Tiba-tiba terdengar suara teriakan Sekretaris Pembina Kota dari kejauhan. </i><br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Ayo kita kejar terus orang-orang jompo itu ! Ayo ! <br /><i><br />Kepala Dinas Keamanan lalu pergi, bergegas meninggalkan tempat itu, memenuhi panggilan Sekretaris Pembina Kota. Isteri Suwelo panik dan ketakutan mendengar suara itu, segera kemudian beranjak pergi. Mayat Gerong tetap tergeletak di tempat itu. Sesaat kemudian Suwuk muncul dari kegelapan. </i><br /><br />SUWUK<br />Gerooooong !......... Gerooooong !........ Di mana kamu, Gerooooong !........(Terhenyak saat dilihatnya mayat Gerong di dekatnya) Nah betul kan ? Mati ta kamu. Apa yang saya bilang tadi ? (Jongkok di samping mayat Gerong, mengambil nomer identitasnya dan memeriksa mayat itu) Oallaaahhhh...... ini jaman apa ? Orang-orangnya serba aneh. Bikin peraturannya juga aneh. Orang tua mau ketemu anaknya kok mesti harus mati dulu. Hubungan kontak seksual sebadan dilarang. Apa ya kuat ? Baiklah, Gerong, aku akan mengikuti jejakmu. Aku akan mencari dan menemui anakku.Aku rindu sekali, sekalipun aku harusmati seperti kamu. <br /><br /><i>Berdiri sambil pergi meninggalkan mayat Gerong. Ia berjalan sambil menyuarakan suara hatinya. </i><br /><br />SUWUK<br />(Menyuarakan suara hatinya)<br />Duh simak, duh si ramak, anakku ana ngendi ?.....[35]<br />Duh simak, duh si ramak, anakku ana ngendi ?.....<br />Duh simak, duh si ramak, anakku ana ngendi ?..... <br /><i><br />Suwuk terus berjalan sambil memanggul karung di punggungnya dan menyuarakan suara hatinya di sepanjang perjalanan itu. </i><br /><br /><br />ENAM <br /><br />Ruang depan tempat tempat tinggal Pembina Kota.<br />Paduka Pembina Kota sedang bersitegang dengan isterinya. Keduanya sama-sama ngotot, saling merasa benar sendiri dan mendesak-desak, tampa mempedulikan sekitarnya lagi. Pembina Kota mondar-mandir gelisah. Isteri Pembian Kota semakin emosional dan marah. <br /><br />ISTERI PEMBINA KOTA<br />Tidak ! Ada pembunuhan atau tidak ada, semuanya tidak akan merubah kegagalan hidup kita. Tidak ! <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Cukup ! Aku sudah tahu. Tidak perlu diteruskan lagi. <br /><br />ISTERI PEMBINA KOTA<br />Tidak bisa. Kamu kira kalau kamu sudah tahu lalu masalahnya selesai ? Aku ini hamil. Kamu anggap masalahku ini gampang diselesaikan ? <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Dokter bisa menghilangkan kehamilanmu itu. Selesai. Apalagi ? Atau kamu ingin membuat persoalan ini panjang ? Sehingga akan kelihatan seperti masalah nasional yang serius ? <br /><br />ISTERI PEMBINA KOTA<br />Tapi bagaimana ? Dokter itu akan mencium ketidak beresan kita, Dokter itu akan tahu bahwa aku ini ternyata berhubungan kontak seksual sebadan dengan kamu. Bahwa aku ini, isteri pimpinan kota, ternyata sama seperti orang jompo. Dengar, menggugurkan kandungan atau tidak sama saja. Akhirnya semua orang bakal tahu. Tidak Cuma dokter itu. Masalah hukum di jaman baru yang selama ini kita langgar. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Tapi hukum macam apa yang selama ini sudah menghilangkan hubungan kontak seksual sebadan secara langsung sebagai dasar keberlangsungan hidup manusia secara azasi untuk menghasilkan keturunan ? <br /><br />ISTERI PEMBINA KOTA<br />Jangan mencari pembenaran dengan membuat model seperti itu hanya ingin menutupi kesalahan yang sudah kita lakukan. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Bersenggama dan menyebabkan hamil itu sangat manusiawi. <br /><br />ISTERI PEMBINA KOTA<br />Kamui ingin kesalahan kita ini jadi sah ? <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Tapi nyatanya kita bisa menghindar dari kebutuhan naluri dasar itu. Buktinya kita sendiri. Juga mungkin orang lain yang tinggal di kota ini. <br /><br />ISTERI PEMBINA KOTA<br />Tapi juga termasuk yang membuat hukum dan peraturan di jaman baru ini. Sekarang kita melanggarnya. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Jangan bikin persoalan baru ! <br /><br />ISTERI PEMBINA KOTA<br />Ini bukan persoalan baru ! Kita sudah melakukan skandal besar. Hukumnya dibuang ke rumah jompo. Kamu tahu, di hadapan hukum di jaman baru ini, tidak ada pengecualian. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Tapi ada hakim dan pengacara yang bisa menolong kita. <br /><br />ISTERI PEMBINA KOTA<br />Kita bisa membuat peraturan dan hukum, kenapa kita takut pada hukum dan peraturan yang kita ciptakan sendiri ? <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Diam ! <br /><br />ISTERI PEMBINA KOTA<br />Kita bisa diam. Tapi hukum tidak bisa diam. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Sekarang maumu apa ? <br /><br />ISTERI PEMBINA KOTA<br />Kita sekarang ke rumah jompo, sebelum orang-orang tahu dan mengarak kita ke rumah jompo. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Tidak ! Aku tidak akan ke rumah jompo. Tidak ! <br /><br />ISTERI PEMBINA KOTA<br />Kita sudah gagal. Lebih tersiksa di rumah jompo ketimbang diarak keliling kota seperti maling tertangkap. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Tidak ! Rumahku tidak di rumah jompo ! <br /><br /><i>Isteri Pembina Kota langsung beranjak pergi dengan meledak marah dan kecewa. Pembina Kota memandang kepergian isterinya dengan frustrasi. Saat itu Suwuk muncul, berjalan tertatih sambil memanggul karungnya, masuk ke ruang itu, mendekati Pembina Kota dan merasa sebagai anaknya. Pembina Kota makin ketakutan dan panik. </i><br /><br />SUWUK<br /><i>(Menyuarakan suara hatinya)</i><br />Duh simak, duh si ramak, anakku ana ngendi ?.....<br />Duh simak, duh si ramak, anakku ana ngendi ?.....<br />Duh simak, duh si ramak, anakku ana ngendi ?.....<br />Tahu, di mana anakku ? <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Hus ! Pergi, pergi, pergi kamu ! Kamu pasti orang jompo yang lepas itu. Jangan mendekat. Anakmu tidak ada di sini. <br /><br />SUWUK<br />Saya orang jompo nomer 42. Selama berhari-hari saya menyusuri kota ini, bersembunyi menyelinap-nyelinap, saya bahkan kehilangan teman baik saya. Gerong namanya. Sekarang aku mencari anakku. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />(Mundur dengan makin ketakutan) Jangan mendekat ! Anakmu tidak ada di sini. Sekarang pergi, pergi kamu ! <br /><br />SUWUK<br />(Tertawa menakutkan) Saya tidak akan pergi kisanak. Saya sudah menemuka anakku. Aku kenal suaramu. Aku sudah mengenal kembali suaramu. Sejak kamu masih kecil, sejak kita berpisah, aju sudah mengenal suaramu. Dan ini tadi suaramu. Oh, Tuhan iru maha adil, mempertemukan aku dengan anakku. Ke mari, nak. Aku rindu. Aku sudah rindu sekali. Ke mari, biar aku pegang wajahmu, biar kuraba rambutmu. Ke mari anakku. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />(Menjauh dengan ketakutan) Pergi ! Pergi ! Aku bukan anakmu. Jangan mendekat. Pergi ! Pergi yang jauh ! <br /><br />SUWUK<br />Oh ! Aku sudah rindu. Sudah lama aku ingin memelukmu, menyentuhmu. Ke sini, nak. Ke sini, nak. <br /><br /><i>Pembina Kota berhenti karena mentok di dinding, terpepet tidak bisa apa-apa lagi. Suwuk terus berjalan mendekatinya. Pembina kota pasrah, tapi kini berusaha mengendalikan diri. </i><br /><br />SUWUK<br />Dulu kamu selalu bangga dengan bapakmu ini. Kamu bilang tubuhku kuat. Tembangku bagus. Oh, mendekatlah ke sini, nak. Aku rindu, nak. <br /><i><br />Pembina Kota tersenyum memandang Suwuk di depannya. Suwuk terus mendekatinya sambil merentangkan kedua tangannya seperti hendak memeluk Pembina Kota. Tapi sebelum benar-benar Suwuk memeluknya, Pembina Kota diam-diam mencabut pistolnya, cepat sekali dan mengarahkan ke tubuh orang jompo itu.<br />Pembina Kota segera menembakkan pistolnya dan tepat menghantam badan Suwuk. Suwuk terpental dan roboh ke lantai. Tewas. Dari balik pintu muncul isteri Pembina Kota dan Kepala Dinas Keamanan. </i><br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />(Kaget melihat Suwuk tewas dan memandang Pembina Kota) Paduka ? Paduka membunuhnya ? <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Kenapa kamu ke mari ? Ada sesuatu yang penting, bapak Kepala Dinas Keamanan ? <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Saya ingin mengundurkan diri dari jabatan dan pekerjaan saya. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Mengundurkan diri ?Saudara ini masih saya butuhkan. Apa saudara tidak menyadari ? <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Terima kasih paduka. Tapi saya merasa sudah tidak mampu lagi memenuhi perintah paduka Pembina Kota. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Tapi karir saudara meningkat terus. Apa saudara tidak menyadari, bahwa saudara iuni dicintai dan dibutuhkan warga kota ? Kenapa sekarang dengan gampang saudara mengakhiri semuanya itu ? <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Saya ini prajurit. Saya tahu bagaimana mesti bertanggung jawab, ketika sudah tidak bisa lagi melaksanakan perintah atasan. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />(Marah, dingin) Saudara pikir, saya akan mengubah perintah saya ? <br /><br />KEPALA DINAS KEMANAN<br />Sebagai prajurit di jaman baru ini ada dua pilihan ; melaksanakan tugas dan berhasil lalu naik pangkat, atau mengundurkan diri jika tidak bisa melaksanakan tugas. Dan saya memilih yang terakhir. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Saya sedang mengusahakan anda untuk naik pangkat. <br /><br />KEPALA DINAS KEMANAN<br />Saya ingin mengundurkan, paduka. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Tapi apakah saudara tidak tahu, kita sedang mengalami krisis. Kenapa saudara justru memanfaatkan kesempatan untuk cuci tangan ? <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Saya sudah tidak sanggup melaksanakan tugas. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Saudara tidak bertanggung jawab. <br /><br />ISTERI PEMBINA KOTA<br />Dia bertanggung jawab. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Ini urusanku. Diam kamu ! <br /><br />ISTERI PEMBINA KOTA<br />Biarkan dia pergi. Semua sudah gagal. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Tidak ! <br /><br />ISTERI PEMBINA KOTA<br />Seorang jompo sudah kamu bunuh. Kita sudah melakukan skandal besar. Aku hamil. Kita harus ke rumah jompo. <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Ha ? Nyonya ? Paduka....... <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Tidak benar itu ! Aku tidak akan ke rumah jompo ! <br /><br />ISTERI PEMBINA KOTA<br />Lihat ! Orang jompo ini sudah kamu bunuh, hanya karena kamu takut ketahuan, bahwa sebenarnya kamu bukan kelahiran tabung. <br /><br />KEPALA DINAS KEAMANAN<br />Paduka ? <br /><br />ISTERI PEMBINA KOTA<br />Kita segera ke rumah jompo. Tidak ada gunanya. Bapak Kepala Dinas Keamanan sudah tahu siapa kita sesungguhnya. <br /><br />PEMBINA KOTA<br />Tidak ! Aku tidak akan ke rumah jompo ! Tidak ! <br /><i><br />Pembina Kota masuk ke dalam dengan tangannya masih menggegam pistol. Tempat itu mendadak hening. Sepi. Isteri Pembina Kota dan Kepala Dinas Keamanan saling pandang. Tiba-tiba terdengar suara letusan pistol, menggema, disusul suara tubuh Pembina Kota roboh ke lantai. Pistol terlempar keluar, masuk ke ruangan itu. Isteri Pembina menjerit melihat pistol suaminya. Kepala Dinas Keamanan terperangah. </i><br /><br /><br />EPILOG <br /><br />Bangsal di balai kota yang bersih dan anggun.<br />Sekretaris Pembina Kota masuh ke tempat itu. Wajahnya tampak benar-benar serius. Para wartawan, termasuk wartawan televisi, yang sudah menunggunya, segera mengejar, mengerumuninya dan mendesaknya dalam wawancara. <br /><br />WARTAWAN 2<br />Bapak Sekretaris, apakah meninggalnya paduka Pembina Kota yang mendadak itu disebabkan oleh krisis yang melanda kota ini ? <br /><br />WARTAWAN 1<br />Apakah ada hubungannya dengan peristiwa lolosnya orang jompo ? <br /><br />WARTAWAN 4<br />Apakah paduka meninggal dunia dalam kaitannya dengan pengunduran diri bapak Kepala Dinas Keamanan ? <br /><br />WARTAWAN 3<br />Saya dengar paduka meninggal dunia karena bunuh diri ? <br /><br />WARTAWAN 5<br />Iya pak. Mohon dijelaskan, kenapa bunuh diri ? <br /><br />WARTAWAN TELEVISI<br />Kami butuh informasi yang seimbang, pak. <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Saudara-saudara sekalian, memang terjadi kesalah pahaman informasi. Saya harap kalian sebagai wartawan yang baik di Jaman Baru yang unggul ini jangan mudah terpancing oleh isyu yang tidak benar dan kabar yang belum jelas sumbernya. Saudara-saudara, saya telah menyusun pengumuman resmi berkaitan dengan peristiwa yang tidak terduga itu. Paduka Pembina Kota telah meninggal dunia secara mendadak karena serangan penyakit jantung yang dideritanya sekembalinya dari meresmikan Gedung Perjuangan Pemuda Jaman Baru di jalan Kemenangan Raya. Paduka sudah cukup lama mengidap penyakit jantung. Jenasah almarhum Paduka Pembina Kota disemayamkan di Bangsal Balai Kota dan akan dimakamkan pada hari ini, 29 Januari 2095, pukul 14.00, di kuburan. Sudah cukup jelas (Bersiap pergi dari tempat itu) <br /><br />WARTAWAN 1<br />Bapak Sekretaris, bukankah Gedung Perjuangan Pemuda itu sudah diresmikan setengah tahun yang lalu oleh bapak Sekretaris ? <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />Ini diresmikan lagi. (Sambil pergi dari tempat itu. Para wartawan mengejarnya) <br /><br />WARTAWAN 4<br />Kami tidak tahu sejak kapan paduka mengidap penyakit jantung. Bukankah paduka bekas atlet ? <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />(sambil berjalan pergi) Tidak ada komentar ! No comment ! No comment ! <br /><br />WARTAWAN 2<br />Lalu siapa yang akan menggantikan paduka ? <br /><br />WARTAWAN 5<br />Ya, siapa Pembina Kota yang baru ? <br /><br />SEKRETARIS PEMBINA KOTA<br />No comment ! No comment……. <br /><br />PARA WARTAWAN<br />(Serentak bersama-sama, riuh) Siapa Pembina Kota yang baru…… Siapa Pembina Kota yang baru……. Siapa Pembina Kota yang baru……. <br /><br /><i>Sekretaris Pembina Kota berlalu meninggalkan tempat itu. Para wartawan masih terus mengejarnya, mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan riuh. Sesudah itu sepi. <br /></i><br /><b><i><br />Selesai </i></b></span></div><div><br /></div><div><span style="font-family: arial;">Untuk mementaskan naskah ini silakan menghubungi penulis melalui email/facebook: herukm@yahoo.com <br /><br />[1] Menyusutnya.<br />[2] Bahasa idiomatik, juga bahasa slank, dalam budaya Jawa yang artinya hubungan seksual.<br />[3] Tidak menurut, semaunya sendiri, cuek, acuh tak acuh.<br />[4] Tidak direkam, atau tidak ditulis sebagai berita atau tidak dibuat informasi bagi publik.<br />[5] Tidak ada komentar.<br />[6] Bahasa idiomatik dalam budaya Jawa yang artinya menjadi sosok yang sukses.<br />[7] Bicara yang tinggi-tinggi.<br />[8] Sehat.<br />[9] Gendheng, gila.<br />[10] Berduaan. Biasanya sebutan itu digunakan untuk menyebut suami isteri.<br />[11] Komunikasi selular langsung<br />[12] Pengendali manusia jarak jauh<br />[13] Aksen dalam bahasa Jawa yang berarti “bukankah”<br />[14] Aksen dalam bahasa Jawa yang berarti ”iya kan”<br />[15] Nah betul kan.<br />[16] Pusat Kesehatan Masyarakat.<br />[17] Pos Pelayan Terpadu.<br />[18] Asal muasal datangnya rejeki.<br />[19] Asal muasal datangnya kursi (jabatan)<br />[20] Semacam ikatan organisasi para isteri pejabat dan pegawai negeri di masa Orde Baru.<br />[21] Penghargaan untuk tata kehidupan utama.<br />[22] Kacau, chaos, dalam situasi yang tidak menentu. Penuh dengan kekacauan.<br />[23] Terlalu lama.<br />[24] Selamat, selalu dalam lindungan keselamatan.<br />[25] Adapun.<br />[26] Bagaimana ini ?<br />[27] Sedikit-sedikit.<br />[28] Sejenis umpatan dalam budaya Jawa yang sudah menjadi bahasa idiom. Arti yang sesungguhnya adalah jenis minuman khas dan terkenal dari Yogyakarta atau Jawa Tengah. Dibuat dari air panas yang diberi gula merah, santan kelapa, jahe, susu, iris-irisan kelapa muda dan roti tawar. Gurik, segar, nikmat sekali.<br />[29] Jenis umpatan, berasal dari daerah kultural Jawa Timur.<br />[30] Lalu, kemudian.<br />[31] Jenis umpatan dalam idiom budaya Jawa. Arti sesungguhnya adalah bentuk bibir bawah yang terlalu tebal atau terlalu panjang sehingga menjuntai ke bawah.<br />[32] Oh Tuhan ! Indah sekali. Hebat.<br />[33] Percaya dirinya terlampau besar. Terlalu yakin pada diri sendiri. Over confident.<br />[34] Antara mengenali dan tidak mengenali, karena jarang atau tidak pernah ketemu lagi.<br />[35] Aduh ibu, aduh bapak, anakku ada di mana ? <br /></span><br /> <p></p><div style="mso-element: footnote-list;"><div id="ftn35" style="mso-element: footnote;">
</div>
</div></div>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-66221912064215987622023-01-25T11:11:00.003-08:002023-01-25T11:25:10.152-08:00NINA BOBO - Roy Agustinus<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFSh3s_uBeq0xXFdbyZy67Kx3LQgTuDqOYgJdx_8ZiCC7Z5l372eV6ttdQJV0gqqE025rWiFhxmqZBoI78XSuRKtLBPqd_BFkAJ-TSRawgdpqIuJJ1BA0cPC6Dv_lmwMvozetNu05Fwy-tKpzcVgZ5jYTlUpDG46wnzITOX-BEDdpnxhV7rAXcfDU0/s9055/NINA%20BOBO.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFSh3s_uBeq0xXFdbyZy67Kx3LQgTuDqOYgJdx_8ZiCC7Z5l372eV6ttdQJV0gqqE025rWiFhxmqZBoI78XSuRKtLBPqd_BFkAJ-TSRawgdpqIuJJ1BA0cPC6Dv_lmwMvozetNu05Fwy-tKpzcVgZ5jYTlUpDG46wnzITOX-BEDdpnxhV7rAXcfDU0/w400-h261/NINA%20BOBO.jpg" width="400" /></a></div><span style="font-family: arial;"><br /><br /></span><div><span style="font-family: arial;">SEBUAH TAMAN DENGAN LAMPU BULAT DIMANA ADA BEBERAPA BANGKU YANG NAMPAK KOSONG. BULAN BULAT BERSINAR. NINA MEMASUKI PANGGUNG.<br /><br />NINA<br />(MENANGIS) Kejam! Benar-benar kejam! Huhuhu… Katanya cinta tapi ternyata selama ini dia juga pacarin cewek lain. Kalau dulu dia pasti selalu ngerayu, honey, honey, I love you. Honey, honey, cintaku. Honey, honey, ku sun dulu. Merah bibirmu semerah geloraku padamu. Huhuhu… dasar playboy! Buaya! Sekali Buaya, tetap Buaya! Buaya yang pandai merayu, tapi setelah itu, semuanya bullshit! bullshit shit shit! Pembohong! Pembual! Aku dicelein, aku ditipu. Aku tertipuuuu! Huhuhu….<br /><br />(BAYU DENGAN STYLE ANAK BAND MEMASUKI PANGGUNG. MARAH-MARAH. MENENDANG SEBUAH KALENG MINUMAN)<br /><br />BAYU<br />Dikira sekolahan aja yang penting?? Musik itu nggak penting?? Dikira cuma nilai raport yang penting? Ngeband itu gak penting?? Semuanya nggak adil! Cuma untuk raport, angka, kelakuan baik, kerapihan? Dan musik harus dinomor duakan? Nge band harus dikesampingkan?? Tapi nyatanya mereka sibuk! Mamah papah sibuk. sibuk buk buk! Nggak adil! (BAYU MENENDANG SEBUAH KALENG. NINA MENDELIK KARENA MERASA TERGANGGU)<br /><br />NINA<br />Berisik! Apa kira di situ yang punya taman?<br /><br />(BAYU MENENGOK KEARAH NINA SEBENTAR. SEBUAH KALENG DITENDANGNYA LAGI.)<br /><br />BAYU<br />Masa bodo! Kalau semuanya masa bodo, aku pun bisa masa bodo! Masa bodo!<br /><br />NINA<br />Hei, Berisik! Nggak dengar ya??<br /><br />BAYU<br />Cewek, apa pedulimu?<br /><br />NINA<br />Ngomong cewek lagi?? Hei, aku bisa perduli karena kamu menendang kaleng itu dan kaleng itu menimbulkan bunyi bising yang membuat risih telingaku!! Ngerti??<br /><br />BAYU<br />Nggak. <br /><br />NINA<br />Busyet!<br />(PAUSE)<br />Hei dengar ya? Aku sebenarnya tidak pernah perduli denganmu. Tapi aku bisa perduli kalau kau mengganggu ketenanganku dengan menendang-nendang kaleng seperti itu! <br /><br />BAYU<br />Itu musik. Aku hanya ingin musik. Aku mencari segala sesuatu yang mengandung musik termasuk suara kaleng yang kutendang ini. Begini ini (MENENDANG SATU KALENG LAGI HINGGA MENIMBULKAN SUARA BISING. NINA MENUTUP TELINGA)<br /><br />NINA<br />(MENJERIT) Berisiiiiik!! <br /><br />BAYU<br />Sudah tau!!<br /><br />NINA<br />Kalau sudah tahu kenapa ditendang?? Kamu lebih baik pergi sana. Jangan disini. Disini taman, tempat yang nyaman. Bukan berisik-berisik begitu! Sakit di kepala, tau gak?<br /><br />BAYU<br />Terserah, mau sakit dikepala kek, dikuping kek. Yang penting ada irama. <br /><br /> NINA<br />Irama, irama…! Suara kaleng gerompangan gitu nggak ada iramanya tau?? Nggak ada musiknya! Yang ada Musak!<br /><br />BAYU<br />Musak?? Apa itu musak?<br /><br />NINA<br />(tersenyum menyindir) Hmmhh! Musak, musik rusak!<br /><br />BAYU<br />Jadi kalau musak musik rusak dan kalau musik musik berisik, begitu?<br /><br />NINA<br />Baru seucret-ucret mengenal musik, sudah seperti komposer aja lagaknya. Sok tau…<br /><br /> BAYU<br />Siapa yang sok tau. Kamu yang sok tau. Segalanya memang selalu berkomposisi. Termasuk musik, cinta, dan gaya hidup.<br /><br />NINA<br />Alahhhhhh, nggak usah berfilosof deh. Tadi kamu bilang cinta, apa pengetahuanmu tentang cinta?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br />BAYU<br />Segudang.<br /><br />NINA<br />Hebat. Sebutkan salah satunya.<br /><br />BAYU<br />Waktu aku ditinggal pacar.<br /><br />NINA<br />Trus…?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br />BAYU<br />(MENUNJUK NINA) Hehehe… berarti menarik kan?? <br /><br />NINA<br />Sudah jangan banyak mulut. Ayo teruskan…<br /><br />BAYU<br />Yaa, waktu itu aku ditinggal pacar, dan aku begitu menderita.<br /><br />NINA<br />Nangis?<br /><br />BAYU<br />Yaa, nggak! Memangnya aku perempuan??<br /><br />NINA<br />Ohh, jadi kalau cowok nggak bisa nangis dan kalau perempuan pasti bisa nangis, begitu?<br /><br />BAYU<br />Nggak seperti itu. Siapa yang punya mata pasti bisa menangis. Mengeluarkan air mata. Seperti Kelinci yang akan dipotong. Dia menangis. <br /><br />NINA<br />Dan rasanya seperti dipotong-potong, maksudmu?<br /><br />BAYU<br />Begitulah…<br /><br />NINA<br />Siapa yang lebih dulu mencari masalah, kamu atau pacarmu?<br /><br />BAYU<br />Tidak ada yang bermasalah. Semuanya berjalan normal-normal saja.<br /><br />NINA<br />Maksudmu?<br /><br />BAYU<br />Semuanya berjalan normal seperti kami saling mencintai dan ketika datang orang ketiga yang memang layak dicintai. Dan kami berpisah. Tidak ada yang salah. <br /><br />NINA<br />Aneh, ketika ada orang ketiga yang datang katamu tadi, dan orang ketiga itu layak untuk dicintai? Dan setelah itu kalian berpisah…?<br />(PAUSE)<br />Berarti ada diantara kalian yang berselingkuh?<br /><br />BAYU<br />Bukan berselingkuh, terlalu kasar itu. Mendapatkan cinta yang baru. Cinta yang lebih perfect.<br /><br />NINA<br />Memang ada cinta yang perfect? Manusia aja tidak ada yang perfect kok?<br /><br />BAYU<br />Betul itu. Manusia tidak ada yang perfect. Makanya ada orang ketiga.<br />(PAUSE)<br />Siapa namamu?<br /><br />NINA<br />Untuk apa tanya-tanya nama.<br /><br />BAYU<br />Pelit amat sih. Mau tahu nama aja nggak boleh. Namaku Bayu. (MENYODORKAN TANGAN) Namamu… <br /><br />NINA<br />(MENGIBAS TANGAN) Sudahlah, ngak perlu kenalan. Lagipula apa sih arti sebuah nama?<br /><br />BAYU<br />Wahhh, nama itu penting.makanya ada sejarah. His-tories!<br /><br />NINA<br />Tapi saat ini kamu bukan histories, jadi nggak perlu kita tahu nama.<br /><br />BAYU<br />Oke, sekarang aku memanggilmu Kebo. Karena saat ini pula aku memberimu nama Kebo. Setuju?<br /><br />NINA<br />Ehhhh, kurang ajar. Memangnya aku binatang apa?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br />BAYU<br />Makanya nama itu kuanggap penting, dan sekarang sebutkan namamu (MENYODORKAN TANGAN) Aku Bayu, dan kamu…<br /><br />NINA<br />Bodo!<br /><br />BAYU<br />Ohhh, namamu bodo. Biar ku tambah H, jadinya bodoh… setuju?<br /><br />NINA<br />Sekali lagi kau panggil aku dengan sebutan itu, kaleng-kaleng yang berserakan itu akan berbicara kepadamu…<br /><br />BAYU<br />(MELONCAT GIRANG) Yeahh, aku suka itu. Kaleng-kaleng akan berbicara! Mereka akan mengeluarkan bunyi, dan bunyi itu mempunyai irama. Fan-tas-tic. Musik terdengar. Nada-nada terangkai dan terbentuk harmoni.<br /><br />NINA<br />Kerompyang, kerompyang, kerompyang, hahahaha…. <br /><br />BAYU<br />Jangan tertawa! Aku serius.<br /><br />NINA<br />(BANGKIT BERDIRI LALU MENENDANG-NENDANG KALENG SATU PERSATU. TERDENGAR SUAR BISING. NINA TERTAWA-TAWA. LAMA KELAMAAN NINA MENARI. DIA MENENDANG-NENDANG KALENG ATAU MEMBENTUR-BENTURKAN KALENG KE LANTAI HINGGA MENIMBULKAN SUARA BISING) Hahahaha….. Hahahaha…. Hahahahaha…<br /><br />BAYU<br />(BERGAYA DAN BERNYANYI ALA ROCKER)<br />Disaat ini kita satukan rasa<br />Membentuk lingkaran berpegang tangan<br />Jangan lepaskan aku<br />Jangan ikat diriku<br />Bawa jiwaku<br />Ke alam bebasmu</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br />Yeahhhhhh!!!<br /><br />Kuatkan rasa<br />Demi cintaaaa!<br />Beri kebebasan<br />Untuk dirikuuu!<br />Cintai aku<br />Hargai aku<br />Lihatlah aku<br />Peluk diriku<br />Yeahhhhhh!!!<br /><br />(NINA DAN BAYU TERTAWA-TAWA. MEREKA LALU BERPELUKAN. MEREKA SEPERTI MENDAPATKAN KEBEBASAN DIHATI YANG BISING)<br />(PANGGUNG GELAP)<br /><br />(DIPANGGUNG TERLIHAT IBU NINA MENONTON TV. NINA DAN BAYU MASUK)<br /><br />MAMA NINA<br />(MEMBENTAK) Dari mana kamu malam begini baru pulang?? (PAUSE) Kamu siapa?<br /><br />NINA<br />Ini teman Nina, Mam.<br /><br />MAMA NINA<br />Mamah tanya dia bukan kamu. Kamu siapa?<br /><br />BAYU<br />(GUGUP) Saya Bayu, tante. Nama saya Bayu.<br /><br />MAMA NINA<br />Malam-malam begini anak saya bersama kamu…?<br /><br />NINA<br />Tad, tadi, Nina…<br /><br />MAMA NINA<br />Mamah tanya dia bukan kamu. Malam-malam begini anak saya bersama kamu…?<br /><br />BAYU<br />Betul Tante. Malam-malam begini anak tante bersama saya.<br /><br />MAMA NINA<br />Nina naik masuk kamar.<br /><br />NINA<br />Mam…<br /><br />MAMA NINA<br />Masuk kamar!<br /><br />(NINA KELUAR PANGGUNG. SEBELUMNYA DIA MELAYANGKAN KISS BYE JARAK JAUH KEPADA BAYU. BAYU MEMBALAS. MAMA NINA MEMANDANG SINIS)<br /><br />MAMA NINA<br />Tolong dengar, saya memang pengagum sinetron. Tapi saya tidak ingin berteriak-teriak, memaki-maki kamu jika kamu datang lagi ke rumah ini. Paham? Selamat malam… <br /><br />BAYU<br />Paham, Tante. Selamat malam…<br /><br />(PANGGUNG GELAP)<br /><br />(PANGGUNG ADALAH TAMAN DENGAN LAMPU BULAT DIMANA ADA BEBERAPA BANGKU YANG NAMPAK KOSONG. BULAN BULAT BERSINAR. NINA MEMASUKI PANGGUNG. MENEKAN HP DAN MENDEKATKAN KE TELINGA. TERDENGAR SUARA MAILBOX)<br /><br />SUARA MAILBOX<br />Nomor yang anda tuju segaja tidak aktif. Silahkan menghubungi beberapa saat lagi…<br /><br />NINA<br />Bayu kok mailbox sih… <br /><br />(BERJALAN DIPINGGIR TAMAN. MEMANDANG SEKITAR DAN KADANG MEMANDANG BULAN YANG BERSINAR BULAT)<br /><br />(NINA MEMENCET HP. MENGIRIM SMS. TAK LAMA TERDENGAR SUARA BIP SMS 3 KALI. NINA MENGECEK LAPORAN)<br /><br />NINA<br />Masih nggak aktip. Kemana sih dia…<br /><br />(NINA DUDUK TERPEKUR SAMBIL MENOPANG TANGAN DI DAGU. BEBERAPA ORANG BERPACARAN LEWAT. MEREKA DUDUK DEKAT NINA. NINA TERLIHAT RISIH. DIA BERDIRI DAN PERGI)<br /><br />(DIPANGGUNG AYAH DAN IBU BAYU TERLIHAT BERTENGKAR)<br /><br />PAPAH BAYU<br />Kamu yang seharusnya mikir. Aku yang cari uang kamu diam dirumah! Dari zaman dulu hal itu sudah wajar. Bapak ke kantor dan ibu memasak. Dan itu sudah masuk kurikulum anak SD! Tidak bisa lagi diutak-atik!<br /><br />MAMAH BAYU<br />Enak aja. Memangnya kamu aja yang pantas cari uang. (MENEPUK DADA) Nih, aku juga mampu. Aku punya izasah, aku punya kenalan, aku punya otak, aku bisa cari kerja. Bahkan aku yakin bisa cari kerja dengan gaji yang lebih besar dari gajimu sekarang!<br /><br />PAPAH BAYU<br />Itulah egoismu, kamu ikut-ikutan cari uang samapi-sampai urusan rumah terbengkalai. Lihat si Koko sekarang dia masuk panti rehabilitasi. Lihat si Lilo, baru semester 4 sudah hamili anak orang. Dan aku yakin hal yang buruk juga akan terjadi dengan Bayu, anak bungsu kita. Dan semua itu gara-gara kamu. Karena kamu sok jadi wanita karier!!<br /><br />MAMAH BAYU<br />Eh, eh, malah bawa anak-anak segala?? Apa selama ini kamu selalu perhatikan anak-anak? Berangkat pagi pulang malam, berangkat pagi pulang malam. Meeting dikantor, di hotel anu sampai-sampai kamu meeting sama sekrestrismu yang bahenol itu? Kamu telantarkan aku dan anak-anak, ingat itu? Ingat??<br /><br />PAPAH BAYU<br />Waktu itu aku terlalu stress dengan segala masalah. Belum lagi kerjaan kantor, masalah anak-anak, saudara-saudaramu yang selalu merongrong minta ini minta anu. Dan kamu tidak pernah memperhatikan itu. Kamu selalu menganggap aku kuat, aku bisa, aku mampu!!<br /><br />(BAYU DATANG)<br /><br />BAYU<br />Ada apa pap, mam? Teriak-teriak sampai kedengeran ke kamar Bayu. Berantem lagi?<br /><br />MAMAH BAYU<br />Hushhh! Diam kamu. Sana masuk ke kamar!<br /><br />BAYU<br />Kenyataannya kan begitu Mam, Pap? Bayu dengar kok semuanya.<br /><br /> MAMAH BAYU<br />Hehh, mamah bilang diam, malah nyambung terus. Ini bukan urusan anak-anak. Ayo sana masuk kamar. Belajar!!<br /><br />BAYU<br />Belajar? Bayu sudah bosan belajar, mam. <br /><br />MAMAH BAYU<br />Ya ampunnn, malah disambungin terus. Ini bukan urusan anak-anak. Ayo sana masuk kamar!! Justru karena bukan urusan anak-anak Bayu bertanya, Mam. Betul kan Pap?<br /><br />MAMAH DAN PAPAH BAYU<br />Diam kamu!!<br /><br />BAYU<br />Berarti betul kan kalau Bayu bukan anak-anak. Buktinya Bayu ngomong disuruh diam.<br /><br />PAPAH BAYU<br />Itu, itu hasil didikan kamu!<br /><br />MAMAH BAYU<br />Sembarangan nuduh! Karena kenapa anak bisa begitu, ya karena kamu nggak pernah kasih perhatian.<br /><br />PAPAH BAYU<br />Hebat sekali kamu bicara. Perhatian, perhatian… kamu seharusnya memberikan perhatian yang lebih besar. Itu karena kamu perempuan. Seorang ibu!!<br /><br />MAMAH BAYU<br />Lah, jadi sebagai ayah, apa tugasmu lepas dari perhatian? Jangan lari dari tanggung jawab kamu!<br /><br />BAYU<br />(BERTERIAK SAMBIL MENGANGKAT KEDUA TANGAN SEPERTI PAK POLISI) Stop! Stop! Semuanya stop berbicara. </span></div><div><span style="font-family: arial;">(PAUSE)<br />Saya sangat kecewa. Saya sangat kecewa. Sungguh-sungguh saya kecewa. Dan kekecewaan itu, tidak bisa saya lukiskan dengan kata-kata…Papahku Mamahku… aku tidak bisa bicara…<br /><br />(BAYU KELUAR)<br /><br />(PANGGUNG GELAP. TAPI MASIH TERDENGAR SUARA PERTENGKARAN PAPAH DAN MAMAH BAYU)<br /><br />(PANGGUNG TERANG. DIKIRI BAYU SEDANG DUDUK SANTAI DI SOFA. DISEBELAH KANAN NINA SEDANG TENGKURAP DI RANJANG. KEDUANYA BERBICARA MELALAUI TELEPON)<br /><br />BAYU<br />Maafkan aku. Aku tidak bisa jam tujuh tadi ke taman. Kamu pasti marah…<br /><br />NINA<br />Jelas marah dong! Memangnya kenapa kamu nggak datang?<br /><br />BAYU<br />Mau tau?<br /><br />NINA<br />Pasti dong.<br /><br />BAYU<br />Dengar baik-baik<br />(SUARA MAMAH DAN PAPAH BAYU TERDENGAR LAGI)<br />Sudah jelaskan…? Itu alasannya.<br /><br />NINA<br />Mereka berkelahi lagi? Seberapa sering mereka berkelahi?<br /><br />BAYU<br />Tergantung keinginan. Bisa pagi, bisa malam, bisa subuh, nggak pernah tentu…<br /><br />NINA<br />Bising…?<br /><br />BAYU<br />Jelas bising. Aku mau ketenangan seperti ketenangan yang aku rasakan di taman.<br /><br />NINA<br />Kita pergi ke taman sekarang, mau?<br /><br />BAYU<br />Tapi sudah malam. Dan penggemar sinetron pasti akan berteriak-teriak memaki-maki namaku karena anaknya pergi malam-malam denganku.<br /><br />NINA<br />Bukan cuma penggemar sinetron, mungkin berbakat menjadi pemain film. Mau dengar?<br /><br />(TERDENGAR SUARA-SUARA ORANG TERTAWA)<br /><br />BAYU<br />Sudah kudengar.<br /><br />NINA<br />Mereka sedang bermain kartu. Yang laki-laki dan perempuan. Kadang jumlah mereka tidak tentu. Yang perempuan bisa berjumlah 2 sampai 4 orang dan yang laki-laki juga demikian. Dan setelah itu mereka akan tidur bersama seperti orang gila. <br /><br />BAYU<br />Kenapa mamahmu tidak menikah saja?<br /><br />NINA<br />Mamah bilang sulit mencari pengganti seperti papahku. Papahku laki-laki yang gagah dan lemah lembut. Meski sekarang tak pernah kunjung pulang. <br /><br />BAYU<br />Kamu rindu…?<br /><br />NINA<br />Rinduuu sekali. Sampai-sampai kubawa ke alam mimpi. Waktu aku bertemu aku sudah melambai-kan tangan, tapi sayang, papahku tidak mendengar. Dia sepert pergi bersama kabut putih dan menghilang.<br />(PAUSE)<br />Mau pergi ke taman sekarang…?<br /><br />BAYU<br />Jangan sekarang. besok malam saja. Sekarang lebih baik kita tidur…<br /><br />NINA<br />Nyanyikan aku satu lagu dulu. Plz…<br /><br />BAYU<br />Oke.<br />(BERNYANYI)<br />Nina bobo<br />O, Nina bobo<br />Kalau kamu bobo<br />Papahmu datang<br /><br />Bobo sayang<br />Lupakan yang hitam<br />Biarkan hatimu<br />Ditemani malam<br /><br />(DIPANGGUNG KEDUANYA MENUTUP TELEPON. MENATAP LANGIT-LANGIT HINGGA LAMA-KELAMAAN LAMPU PANGGUNG PUN PADAM)<br /><br />(SEBUAH TAMAN DENGAN LAMPU BULAT DIMANA ADA BEBERAPA BANGKU YANG NAMPAK KOSONG. BULAN BULAT BERSINAR. PAPAH BAYU DAN MAMAH NINA DUDUK BERDUA)<br /><br />MAMAH NINA<br />Jadi sekarang bagaimana? Yang jelas anakku dan anakmu berpacaran. Aku sudah pernah melarang, tapi kelihatannya mereka memang sudah benar-benar saling cinta.<br /><br />PAPAH BAYU<br />Aku juga bingung. Ingin sebenarnya aku menikahimu, tapi, ahhh…<br /><br />MAMAH NINA<br />Karena istrimu itu? Itu yang membuat kamu berat untuk menikahiku?<br /><br />PAPAH BAYU<br />Termasuk hubungan Bayu dan Nina.<br /><br />MAMAH NINA<br />Kalau mereka tahu kita akan menikah, toh mereka akan mengerti sendiri. Tapi yang jelas aku minta kejelasan darimu, apakah kamu benar-benar mau menikahiku atau tidak?<br /><br />PAPAH BAYU<br />Tentu, aku akan menikahimu. Tapi tidak semudah itu. Semuanya harus dengan penyelesaian yang baik.<br /><br />MAMAH NINA<br />Sudah hampir 10 tahun aku hidup menjanda. Kau tahu kan bagaimana rasanya? Aku kesepian, Mas. Kesepian…<br /><br />PAPAH BAYU<br /> Aku juga kesepian. Kesepian terus hidup begini. Hidup penuh dosa. Dimana setiap hari aku terpaksa berbohong kepada istri dan anak-anakku.<br /><br />MAMAH NINA<br />Aku memang perempuan kotor, Mas. Tapi cintaku padamu cinta yang suci.<br /><br />PAPAH BAYU<br />Jangan lihat status kita, sayang. Tapi lihat cinta kita. Cinta kita ini cinta yang tulus dan suci. Dan dalam kamus cintaku, kau adalah wanita terhormat yang pernah aku temui.<br /><br />MAMAH NINA<br />Dimuka bumi ini, Mas?<br /><br />PAPAH BAYU<br />Sampai ke akhirat!<br /><br />MAMAH NINA<br />Tapi seandainya anak kita lebih duluan bagaimana, Mas?<br /><br />PAPAH BAYU<br />Maksudmu?<br /><br />MAMAH NINA<br />Permisalkan saja anakku hamil karena perbuatan anakmu.<br /><br />PAPAH BAYU<br />Itu yang bahaya!<br /><br />MAMAH NINA<br />Musti dicegah itu, Mas.<br /><br />PAPAH BAYU<br />Dicegah? Kamu kira demam berdarah??<br /><br />MAMAH NINA<br />Ya terang dicegah dong? Kalau pada suatu saat nanti kamu sudah cerai dengan istrimu dan kita langsung merencanakan pernikahan, tapi tiba-tiba saja kita mendengar kalau anakku hamil karena perbuatan anakmu, kan itu kacau, Mas?<br /><br />PAPAH BAYU<br /> Bener juga kamu. Semakin hari kamu semakin pintar dan juga cantik, sayangku…<br /><br />MAMAH NINA<br />Ahh, mas bisa aja…<br /><br />PAPAH BAYU<br />Bener! Tanya aja penonton hehehe…<br /><br />(CAHAYA PADA PAPAH BAYU DAN MAMAH NINA GELAP. LAMPU MENYOROT KEARAH NINA DAN BAYU YANG NAMPAK MEMPERHATIKAN KEDUA ORANG TUANYA. NINA DAN BAYU KEMUDIAN PERGI)<br /><br />(PANGGUNG GELAP)<br /><br />(DIPANGGUNG NAMPAK SEBUAH RANJANG. NINA DAN BAYU MASUK)<br /><br />NINA<br />Kamu yang menentukan sekarang.<br /><br />BAYU<br />Disini?<br /><br />NINA<br />Iya, dimana lagi? (NINA LANGSUNG NAIK KE ATAS RANJANG. HENDAK MEMBUKA BAJU)<br /><br />BAYU<br />Stop! Stop!<br /><br />NINA<br />(TIDAK JADI MEMBUKA BAJU) Kenapa?<br /><br />(BAYU MENGHAMPIRI NINA)<br /><br />BAYU<br />Terlalu cepat. Kita terlalu cepat mengambil keputusan. Seandainya rencana mereka tidak terwujud, toh kita akhirnya tetap jodoh. Aku rasa kita terlalu cepat mengambil keputusan seperti ini. Diranjang ini.<br /><br />NINA<br />(TERISAK) Dan itu berarti kamu akan meninggalkan aku?<br /><br />BAYU<br />Belum tentu. Kita lihat nanti apa yang terjadi. <br /><br />(NINA TENGKURAP DIATAS RANJANG. MENANGIS. BAYU MENDEKAT DAN MEMBUJUK)<br /><br />BAYU<br />Sudahlah, beban hidup memang terkadang terasa berat untuk kita tanggung. Tapi aku merasa, semakin hari aku semakin bertambah tua. Mungkin bukan karena umur, tapi karena persoalan. Maafkan aku, aku tidak bisa menjanjikan hubungan kita untuk sekarang…<br /><br />NINA<br />Tapi kamu masih mencintaiku kan…?<br /><br />BAYU<br />Setulus hati…<br /><br />NINA<br />Betul?<br /><br />BAYU<br />Betul.<br /><br />NINA<br />Tapi aku mau tahu pendapatmu, mana yang kamu pilih, orang tua kita yang jodoh atau kita yang jodoh?<br /><br />BAYU<br />Sulit untuk ku jawab sekarang ini. Tapi asal kau tahu, aku sangat mencintaimu.<br /><br />NINA<br />Aku begitu lemah sekarang.<br /><br />BAYU<br />Tidurlah…<br /><br />NINA<br />Nyanyikan aku satu lagu dulu. Plz…<br /><br />BAYU<br />Oke.</span></div><div><span style="font-family: arial;">(BERNYANYI)<br />Nina bobo<br />O, Nina bobo<br />Kalau tidak bobo digigit nyamuk<br />Bobo sayang<br />Adikku yang manis<br />Kalau tidak bobo digigit nyamuk<br /><br /><br />TAMAT<br />JUARA Harapan 2</span><br /> </div>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-17457538721956537692023-01-23T00:08:00.008-08:002023-01-23T09:04:58.613-08:001 3 P A G I - Cucuk Espe<div style="text-align: center;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiw9Z9dX7u7bWmKVX7WYtkRLJ5W8oHB9XZSlmcSOZMjvxw3FBInqpzbr6vmDS9ll6og_IG8BfJw1Frt4BYRn8A0z-59CfVxzXLlpeddO89yvBFKManVTa_H8IhSLKaKy7CbWcCmTFPS2N4qR3Mt5VhtylymBRvwSP4jEPB5EL0sA_uf7ia2w1yOd8PM/s9055/fr4w3t.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiw9Z9dX7u7bWmKVX7WYtkRLJ5W8oHB9XZSlmcSOZMjvxw3FBInqpzbr6vmDS9ll6og_IG8BfJw1Frt4BYRn8A0z-59CfVxzXLlpeddO89yvBFKManVTa_H8IhSLKaKy7CbWcCmTFPS2N4qR3Mt5VhtylymBRvwSP4jEPB5EL0sA_uf7ia2w1yOd8PM/w400-h261/fr4w3t.jpg" width="400" /></a></div></div><span style="font-family: arial; font-size: medium;"><b><div><span style="font-family: arial; font-size: medium;"><b><br /></b></span></div><div><b>Satu</b></div></b><i><br />Siang dan malam semakin tak ada bedanya. Waktu berjalan terlalu cepat membakar mimpi di siang penat. Gelap cahaya lampu, pekat dan menyumbat akal sehat. Barman termenung di ambang kesadaran, menatap gulita tanpa dendam. Ini awal sebuah cerita dan akhir secuil kenangan. Barman terkapar dalam ketidakberdayaan tapi bukan tanpa keinginan. Dan hidup sebentar lagi dimulai. </i><br /><br /> <br />01. Barman <br />Cerita ini baru mulai. Dan siapa saja yang ada di sini adalah tokoh utama. Bukan aku tak percaya pada orang lain. Egois atau narsis, bukan…! Tetapi sejak aku tidak dikehendaki melakukan apa-apa lagi, semuanya aku anggap penting. Bahkan seekor kucing pun yang lewat di depanku, menoleh dan menggelendot di pangkuanku, aku anggap penting. Kucing itu telah memberiku arti sebagai manusia. Kalau tidak, mungkin kucing itu akan mencakar dan mencabik kaki dan pahaku. Berdarah, tetanus, bengkak, dan rabies. <i>(tertawa) </i><br /> Aku punya cerita tentang kucing. Kucing yang ini, badannya besar, kumisnya tebal –maaf bagi yang punya kumis—dan ada belang di kaki. Belang bukan tato! Kucing itu milik banci yang rumahnya di ujung gang. Tiap aku lewat depan rumah banci itu –aku lupa namanya—dia selalu duduk di depan pintu sambil menyisir bulu kucingnya. Aku yakin, itu kucing laki-laki. Instingku saja…! Terlalu berbahaya jika soal itu ditanyakan.<br /> Aku lewat, menoleh dan banci itu tersenyum. Tapi pagi itu lain, dia tersenyum lantas berjalan mendekatiku sambil tangannya masih menyisir bulu kucingnya. “Mau kucing, Barman?” katanya dengan genit. Itu pengalaman pertamaku bicara dengan banci. “Kucingnya bagus,” katanya agak gugup. “Terima kasih, saya tak biasa memelihara kucing. Maaf,” Tapi dia tetap tak membiarkanku lolos.<br /> Justru aku semakin didekati dan dia berjalan mengelilingiku. Untung saja masih pagi! “Barman, dia kucing yang baik. Kalau mencakar sangat pelan dan penuh perasaan. Penurut dan tidak suka meloncat. Pokoknya, kucing ini sangat tahu untuk apa dia diciptakan,” Banci itu semakin menyudutkanku. Hingga aku nyaris terjengkang. “Maaf, aku harus segera pergi,” kataku ingin segera lepas dari cengkeraman banci agresif itu. “Mampirlah sebentar. Aku punya koleksi kucing yang mungkin kau minati. Aku ingin berbagi kucing denganmu, Barman…,” kata banci itu mulai melenguh.<br /> Banci kampung bertingkah liar. Sejak aku tinggal di gang itu, baru pagi itu melihat keberingasan tetangga jauhku itu. Banci dan kucingnya yang siap menerkamku. “Cukup! Terima kasih. Lain waktu saja. Simpan baik-baik kucingmu, siapa tahu ketemu teman –sesama kucing—yang lidahnya lebih panjang atau yang ekornya pendek hingga terlihat jelas….! Hei..banci itu mengejarku.<i> (Barman berlarian)</i> Beberapa orang mulai bangun, membuka pintu dan melihatku berlari hingga nyaris jatuh ke selokan.<br /> Banci kurang ajar! Sempat kulihat seseorang yang baru saja membuka jendela, tertawa melihatku berlarian. Mungkin dipikirnya, aku bercanda dengan banci itu sejak semalam. Sial! Kalau saja ada yang orisinil, kenapa milih banci!<br /> Sejak itu, aku benci kucing. Melihat kucing, selalu lenguhan banci memenuhi otakku. Tapi aneh, semakin aku benci kucing, justru aku tak bisa melupakan binatang beringas itu. Tak jelas apa alasannya, tiap ada kucing, kupanggil dan kuberi makanan. Kuelus…karena aku sadar, mungkin kucing ini sebentar lagi bernasib sama dengan kucing dalam pelukan banci itu. Karena sejak peristiwa pagi itu, aku tahu ternyata banci itu pekerjaanya memburu kucing. Jadi, selagi ada kesempatan, aku ingin membahagiakan kucing-kucing itu sebelum masa depannya hancur.<br /><i> (Berlagak seperti orasi)</i> Bersatulah kucing-kucingku! Kuatkan batinmu, liarkan hidupmu. Panjangkan kuku-taringmu. Kibaskan ekor mungilmu! Kau kucing nakal, bukan kucing dalam karung. Kau kucing yang siap bertarung…! <i>(mendadak orasi Barman terhenti, sebuah teriakan membuat semuanya jadi lunglai). <br /></i><br />02. Sinta<br /><i>(Berteriak dari dalam) </i>Masih pagi…jangan berteriak seperti itu. Kau mulai cerita yang aneh-aneh. <br /><br />03. Barman<br />Aku cuma melatih ingatanku, Sinta! <br /><br />04. Sinta<br />Tapi tidak dengan cara seperti itu. Nanti tenggorokan sakit. Ke dokter lagi, duit lagi… <br /><br />05. Barman<br />Itulah perempuan. Semuanya diukur dengan duit. Bahkan tidak boleh sakit pun, alasannya karena duit. <br /><br />06. Sinta<br /><i>(keluar sambil membawa handuk kecil)</i>. Jangan sampai kambuh lagi.<i> (mengusap kening Barman)</i> Bukan saatnya berteriak seperti itu. Kayak anak kecil! <br /><br />07. Barman<br />Cuma sekedar untuk mengusir bosan dan agar kelihatan variatif. Lebih dinamis! <br /><br />08. Sinta<br />Bosan? <br /><br />09. Barman<br />Bukan begitu <i>(gugup). </i>Orang seusiaku, sangat penting melatih leher. Karena semuanya dimulai dari leher…<i>(agak ngawur). </i><br /><br />10. Sinta<br />Alasan saja. Kenapa mesti ditutup-tutupi? <br /><br />11. Barman<br />Sinta, aku tadi cuma melatih ingatan tentang kejadian yang aku benci. <br /><br />12. Sinta<br />Benci…bosan, apa bedanya? <br /><br />13. Barman<br /><i>(mulai kesal) </i>Memang aku benci dan bosan. Nah, kau punya saran agar aku tidak selalu berteriak yang menurutmu membosankan itu? <br /><br />14. Sinta<br /><i>(diam beberapa saat) </i>Sejak kau pensiun, selalu bertingkah aneh. Kadang diam, sendiri, berteriak, cerita sesuatu yang tidak masuk akal…. <br /><br />15. Barman<br /><i>(tertawa) </i>Justru akalku makin sehat. Sempurna. Hidupku semakin sempurna! Aku bebas berteriak tanpa takut hukuman apalagi hujatan. Inilah diriku sekarang. Barman yang pensiunan pejabat penting di kota ini, berdiam diri di rumah tapi pikirannya tetap berlarian kesana-kemari seperti anak kecil mengejar layang-layang. <br /><br />16. Sinta<br />Tingkah yang tidak masuk akal! <br /><br />17. Barman<br />Kau mulai berani melarangku, Sinta! <br /><br />18. Sinta<br />Bukan begitu. <br /><br />19. Barman<br />(marah) Kau mulai berani! <br /><br />20. Sinta<br />Karena semakin sulit dimengerti. <br /><br />21. Barman<br /><i>(tertawa) </i>Situasi aneh justru muncul di saat semuanya sulit dimengerti. Dan selamanya kita ditakdirkan tidak mampu mengerti. Spesies paling bodoh dalam sejarah penciptaan adalah kita. <br /><br />22. Sinta<br />Berapa lama kita bersama? <br /><br />23. Barman<br /><i>(terkejut)</i> Apa yang terjadi? <br /><br />24. Sinta<br />Sulit dimengerti karena kita spesies bodoh. <br /><br />25. Barman<br />Betul! Sinta…<i>(bangga)</i> kau mulai mengerti. Bahwa itu pertanyaan paling bodoh! <br /><br />26. Sinta<br />Mungkin benar. Tetapi tidak selamanya begitu. Kau ini terlalu pintar untuk mempermainkan hidup. Berputar-putar, berlari-lari mengejar tujuan yang semakin jauh. Kini tujuan itu semakin tidak kelihatan seiring usia menjelang habis. Hidup ini terlalu rumit…! Apalagi yang bisa dilakukan setelah kerumitan itu selesai? Hidupmu kosong! <br /><br />27. Barman<br />Hidupku kosong? <br /><br />28. Sinta<br />Pensiun…! <br /><br />29. Barman<br />Tapi semuanya kunikmati. Tuhan telah benar-benar menata hidupku dengan sangat baik. Bahkan terlalu baik. <br /><br />30. Sinta<br />Karena terlalu baik, banyak yang kau lupakan. <br /><br />31. Barman<br />Pikiranku masih komplit, Sinta. Bahkan untuk mengingat kejadian atau benda paling kecil sekalipun. Otakku sangat terlatih. <br /><br />32. Sinta<br /><i>(tertawa)</i> Dimana kau letakkan jaketmu tadi pagi? <br /><br />33. Barman<br />Dekat jendela. <br /><br />34. Sinta<br />Sepatu? <br /><br />35. Barman<br />Belakang pintu. Di samping lemari. <br /><br />36. Sinta<br />Balsem kesayanganmu itu? <br /><br />37. Barman<br />Di atas lemari. Karena sering kupakai, jarang kumasukkan kotak obat. <br /><br />38. Sinta<br />Majalah porno yang kau baca semalem? <br /><br />39. Barman<br />Aku lempar begitu saja karena tidak tahan lagi. <i>(tertawa)</i> Selanjutnya…kau yang paling ingat Sinta. Waktu berjalan sangat luar biasa! <br /><br />40. Sinta<br /><i>(dengan nada cepat)</i> Usiamu berapa? Kenapa pensiun lebih cepat? Dan pekerjaan besar apa yang belum kita lakukan? <br /><br />41. Barman<br /><i>(Diam. Sinta mengulangi pertanyaannya, tepat dekat telinga Barman)</i> Kubuang jauh ingatanku tentang hal itu. <br /><br />42. Sinta<br />Dibuang? Lupa? Justru pertanyaan sepele, kau tidak bisa menjawab. <i>(Sinta mengulangi pertanyaannya). </i><br /><br />43. Barman<br />Seolah kau ingin menyingkirkanku. Dan mengatakan; aku sudah tidak berguna lagi! <br /><br />44. Sinta<br />Aku punya cerita<i> (seperti mendongeng).</i> Suatu hari, orang tua bertanya kepada anaknya. Masih kecil. Permainan apa yang paling disukai? Anak itu menjawab petak umpet. Tidak ada mainan yang lain? Tanya si orang tua. Banyak! Tapi kurang menantang. Sebab petak umpet melatih keberanian, daya ingat, dan tanggung jawab untuk menemukan lawan mainnya.<br /> Orang tua itu bertanya lagi; berapa usiamu? Si anak menjawab 13. Ya! 13…terlalu tua untuk main petak umpet. Tapi anak itu ngotot. Banyak yang usianya lebih tua justru menjadikan petak umpet sebagai pekerjaan. Memetak-metak lalu ngumpet. Metak-metak lagi…ngumpet lagi. Petak satunya hancur, ngumpet…dan susah dicari. Buron! <br /><br />45. Barman<br />Siapa anak kecil itu? <br /><br />46. Sinta<br />Kau mulai tertarik? <br /><br />47. Barman<br />Dia pasti anak yang kreatif. Atau paling tidak bapaknya; seniman atau guru seni! <br /><br />48. Sinta<br /><i>(melanjutkan dongeng) </i>Ketika purnama penuh, mereka bermain di tanah lapang yang penuh lubang dan dikelilingi belukar. Memang cocok untuk ngumpet tapi terlalu bahaya untuk anak kecil. Maksudku anak usia 13 tahun!<br /> Permainan pun dimulai. Sialnya, anak itu kalah dan harus mencari lima temannya yang sembunyi. Entah dimana! Tiga temannya berhasil ditemukan dengan cepat karena badannya gendut hingga susah bersembunyi. Sedangkan dua teman lainnya, hingga satu jam…belum ditemukan. Nyaris saja, mereka meninggalkan dua temannya yang terlalu pintar bersembunyi. Tapi anak itu tak mau meninggalkan tanggung jawab. Dia cari dua temannya hingga nyaris tengah malam. Hingga kelelahan dan duduk di pinggir lapangan. <br /><br />49. Barman<br />Dua temannya itu? <br /><br />50. Sinta<br />Sudah tidak penting lagi. <br /><br />51. Barman<br />Terus kenapa kau bercerita? Apa karena drama ini biar panjang?! <br /><br />52. Sinta<br />Ada yang lebih penting. Drama panjang kejujuran. <br /><br />53. Barman<br />Maksudmu? <br /><br />54. Sinta<br />Bisa saja mereka meninggalkan lapangan tanpa beban. Pura-pura lupa atau sengaja menganggap temannya itu tak penting lagi. <br /><br />55. Barman<br />Jangan menyindir! Aku bukan anak 13 tahun dalam ceritamu itu. <br /><br />56. Sinta<br />Tapi masih sering pura-pura. <br /><br />57. Barman<br />Menurutmu saja. Sinta, kenapa baru sekarang kau menanyakannya?</span><div><span style="font-family: arial; font-size: medium;"><br />58. Sinta<br />Itu bagian penting dari hidupmu. Hidup kita! <br /><br />59. Barman<br />(terkekeh) Ada hal yang lebih penting daripada bertanya tentang usia atau kenapa aku pensiun lebih cepat. <br /><br />60. Sinta<br />Apa? <br /><br />61. Barman<br />Kamu! <br /><br />62. Sinta<br />Jangan membalik kenyataan. <br /><br />63. Barman<br />Lelaki paling peka terhadap perubahan yang dilakukan istrinya. Sekecil apapun! <br /><br />64. Sinta<br />Usiamu saja lupa. Bagaimana bisa tahu perubahan yang kulakukan? <br /><br />65. Barman<br />Tak ada hubungannya dengan usia karena tidak penting lagi. Coba perhatikan; kau selalu terlambat membuat kopi. Tidur terlalu malam. Dan sering melarangku melakukan sesuatu, termasuk berteriak! <br /><br />66. Sinta<br />Kopi hanya membuat kau tak bisa tidur. Dan aku terus menjaga agar kau tidak bertingkah aneh. Hal itu sering terjadi. <br /><br />67. Barman<br />Dan kau senang jika aku bisa melupakan semuanya? Masa laluku? Pekerjaanku? Teman-temanku? Juga banci ujung gang yang selalu menyodorkan kucingnya? <br /><br />68. Sinta<br />Pikiranmu mulai lagi. Lebih baik kau istirahat. Mungkin sambil istirahat, kau bisa mengingat semua kenangan yang kau inginkan. Ayolah…<i>(mengajak) </i>selonjorkan kakimu. Letakkan kepalamu dan atur napas. <i>(Barman mulai terbaring. Kaku).</i><br /> Aku awali cerita ini dari sini. Kisah yang dibenci semua orang tapi masih sering terjadi. Malampun gelap. Angin bertiup cukup kencang. Jalanan sepi sehabis hujan. Semuanya gelap… <br /><br /> <b><br />Dua </b><br /><br /><i>Cercah cahaya menyeruak, membuka kegelapan. Perlahan Barman melayang, terbawa derasnya ingatan yang belum sempurna. Syarafnya kaku, persendiannya tegang. Tapi Barman sadar, ada persoalan besar yang harus diselesaikan. Hingga istirahatnya tersendat dan tergeragap. </i><br /><br />69. Barman<br />Apa sudah kelihatan terlalu tua? Apa semua keriput bisa jadi ukuran? Apa kelambanan tubuhku ini bisa jadi gambaran; bahwa Barman memang tidak mampu berbuat apa-apa lagi. <br /><br />70. Edos<br />Aku kemari tidak untuk membicarakan hal itu. Maaf, jika waktunya kurang tepat. <br /><br />71. Barman<br />Justru sangat tepat! Aku membutuhkan nasehat. Pertanyaan yang selalu mengganggu hampir setiap hari. Kau bersedia? <br /><br />72. Edos<br />Kelihatannya sakit sekali? <br /><br />73. Barman<br />Lebih dari sakit. Kadang tubuhku terasa lemas. Dingin. Seperti kematian telah mendekatiku. Kadang sebaliknya, api itu membakar seluruh sarafku. Otakku hangus! Tetapi jemariku keriput, kulitnya mengelupas. Jika kutiup, terasa perih. Perih sekali… <br /><br />74. Edos<br />Pernah ke dokter? <br /><br />75. Barman<br />Sejak aku serumah dengan Sinta, sulit percaya kepada dokter. Jarum suntiknya itu, ternyata menipu. Dan stetoskos yang selalu tercantol ditelinga, bohong besar! Dengan alat yang sulit dimengerti, dia bebas mengatakan apa saja.<br /> Suatu pagi, aku pernah ke dokter. Setelah aksi pegang-pegang kepala, dada, dan perut, dia langsung ambil keputusan; aku menderita radang lambung. Aku bantah! Dia tetap ngotot! Lalu masuk ruangannya dan mengambil buku sangat tebal. Aku pun diperlihatkan gambar isi perut manusia yang membuatku mual. Katanya; karena lambung terlalu penuh dengan makanan yang buruk maka dindingnya infeksi dan luka. Meradang!<br /> Aku batah! Dia tambah ngotot. Malah bilang itulah buku panduan para dokter di seluruh jagad. Dan ribuan dokter seolah mengatakan terlalu banyak hal buruk yang kumakan. Jelas aku marah. Itu sama saja dengan menghina Sinta. Dia paling jago masak.<br /> Satu lagi, dokter yang prakteknya dekat warung sate itu, tanpa ragu memberiku resep obat raja singa. Itu sudah keterlaluan! Tubuhku memang panas-dingin, tetapi bukan akibat penyakit kotor. Edos, kau tahu kan…seleraku <i>(terkekeh)</i> Terang saja, aku bentak dokter itu. Hingga beberapa pasien melongok lewat korden.<br /> Dokter! Penyakit itu hanya cocok untuk orang ceroboh. Dan lagi, kau ingat Edos, (lirih) aku pernah selingkuh dengan dokter juga meski masih kuliah. Suatu malam, mahasiswi kedokteran itu mengatakan; cuci tangan sebelum tidur…! Pasti aman. Itu artinya ini bukan raja singa! Mungkin dokter itu asal bicara agar ingin dibayar mahal.<br /> Sejak itu, aku tak percaya dokter. <br /><br />76. Edos<br />Sejak kapan kau merasakan tubuhmu tidak beres, Barman? <br /><br />77. Barman<br />Sejak Sinta sering melarangku berteriak. <br /><br />78. Edos<br /><i>(tertawa) </i>Justru Sinta paling mengerti daripada dokter yang membuatmu marah. Mungkin saja, Sinta telah menemukan obatnya. Pernah hal itu kau tanyakan? <br /><br />79. Barman<br />Maksudmu? <br /><br />80. Edos<br />Kau hanya perlu istirahat cukup, Barman. <br /><br />81. Barman<br />Tak ada bedanya dengan Sinta. <br /><br />82. Edos<br />Dia selalu mengatakan begitu? <br /><br />83. Barman<br />Hampir tiap malam. Sebelum aku mencuci tangan. <br /><br />84. Edos<br />Sinta memang cerdas! <br /><br />85. Barman<br />Kau puji istriku? <br /><br />86. Edos<br />Tersinggung? <br /><br />87. Barman<br />Sedikit. Tapi jangan dilanjutkan. <br /><br />88. Edos<br />(tertawa genit) Itulah akar segala sakit, Barman. Kelihatannya sepele tetapi akan menggerogoti pikiran hingga tubuhmu lemas. Otakmu terbakar hingga jantungmu meleleh. Lalu syarafmu bergerak, meloncat-loncat mempermainkan lambungmu. Menyendat napasmu. Menggerakkan tangan-kakimu. Mematikan nafsu! Kabar buruk bagi Sinta. <br /><br />89. Barman<br />Kau terlalu banyak tahu. <br /><br />90. Edos<br />Aku mengenalmu, jauh sebelum Sinta. Dan tak ingin melihatmu menderita setelah hal besar itu kau putuskan. Menikmati masa tua, tidak harus dengan pensiun. Terlalu beresiko. Dulu, kau pernah mengatakan; hanya orang tidak kreatif-lah yang memilih pensiun. Otak menjadi diam. Kaku. Dan monoton. <br /><br />91. Barman<br />Jangan menyindir. <br /><br />92. Edos<br />Itu pertanda kau terlalu lelah. <br /><br />93. Barman<br />Kau kemari hanya ingin mengatakan itu? <br /><br />94. Edos<br />Maaf kalau terlalu jujur. Kau butuh hiburan, Barman. <br /><br />95. Barman<br />Lebih tidak masuk akal!<i> (Melonjak. Tertawa) </i>Seluruh hidupku kuhabiskan untuk berhibur. Apa itu kurang? Bahkan dalam 24 jam waktuku, 8 jam bekerja, 14 jam mencari hiburan, dan 2 jam lainnya tak seorang pun kuberitahu. Apa belum cukup? <br /><br />96. Edos<br />Belum! <br /><br />97. Barman<br />Kau punya cara lain? <br /><br />98. Edos<br />Habiskan 24 jam untuk berhibur. Habiskan seluruh waktumu untuk melonggarkan syarat yang mulai liar. <br /><br />99. Barman<br />Bagaimana dengan Sinta? <br /><br />100. Edos <br />Dia terlalu cerdas untuk mengikuti permainan ini. <br /><br />101. Barman<br /><i>(mulai tertarik)</i> Kau tahu caranya? <br /><br />102. Edos<br />Bukankah aku terlalu banyak tahu. <br /><br />103. Barman<br />Kalau begitu, kau datang tepat pada waktunya, Edos. Boleh nanti aku berteriak? <br /><br />104. Edos<br />Sangat boleh. <br /><br />105. Barman<br />Meloncat-loncat? <br /><br />106. Edos<br />Sangat bagus untuk persendian. <br /><br />107. Barman<br />Menghujat? <br /><br />108. Edos<br />Itu melonggarkan pikiran! <br /><br />109. Barman<br />Saranmu sungguh hebat, Edos! Bantu aku bisa melakukan semuanya. <br /><br />110. Edos<br />Ingat! Ini bukan soal benar-salah. Tapi bagaimana menjalani hidup dengan tepat. <br /><br />111. Barman <br />Cara yang paling liar. <br /><br />112. Edos<br />Lebih liar dari yang kau bayangkan. Coba lihat dirimu sendiri, Barman. Alismu, hidungmu, lehermu, tangan, perut, dan kakimu. Ajaklah semua bicara. Ajaklah untuk menuruti keinginanmu. Berlari menuju puncak ketenangan. <i>(Barman mulai berputar. Berlari. Hingga naik ke puncak tertinggi)</i><br /> Leher itu bicara; aku lelah berteriak. Tangan itu pun bicara; jariku terasa kaku. Kakimu mengumpat kenapa terus saja berjalan. Kau mulai liar Barman! Semakin liar, kau semakin tenang. Damai. <br /><br />113. Barman<br />Caramu menguras tenaga, Edos!<i> (Barman semakin liar) </i><br /><br />114. Edos<br />Hanya sementara! Teruslah beringas hingga tenagamu habis. Lanjutkan, Barman! Lebih cepat lebih baik! <br /><br />115. Barman<br />Terlalu politis!<i> (bertambah beringas) </i><br /><br />116. Edos<br />Rasakan perubahan di seluruh persendianmu! <br /><br />117. Barman<br />Jiancuk! Kakiku keseleo! Napasku hampir habis! <br /><br />118. Edos<br />Tinggal selangkah lagi! Ketenangan telah menyambutmu. Naiklah, dan bicaralah kepada dunia. Cari kalimat yang sulit dimengerti! <br /><br />119. Barman<br /><i>(nyerocos kalimat ngawur) </i>Aku berdiri di samping dengan dua kaki menggenggam ikan asin dan seekor kucing tapi siapa tahu ada polisi kencing sambil mancing berputar berkeliling seperti tai anjing tak terlalu penting sebab dia bunting bukan karena petting hanya dilakukan maling yang siap mencari guling-guling kambing semua sinting karena melihat pertunjukan tidak penting…..Seperti itu? <br /><br />120. Edos<br />Terlalu jorok dan puitis! Cari kalimat lain! <br /><br />121. Barman<br /><i>(bingung dan mulai lagi) </i>Senin 13 pagi semuanya dimulai. Dan hidupku baru dimulai. Pikiranku terasa kosong karena aku tahu Sinta mulai bohong. Malam itu aku keluar dan berjalan membunuh rasa kecewa…<i>(tiba-tiba Edos memotong) </i><br /><br />122. Edos<br />Jangan curhat Barman! Banyak wartawan! Istrimu dengar. Bahaya…! <br /><br />123. Barman<br />Ini bagian paling susah! <br /><br />124. Edos<br />Lipat dan sembunyikan pikiranmu! <br /><br />125. Barman<br />Aku mulai dengan Sinta. Perempuan itu telah kuberi seribu satu nasib sial. Nasib yang jarang dimiliki oleh perempuan lainnya di muka bumi. Tapi anehnya, justru Sinta semakin menikmati takdirnya. Perempuan yang aneh. Perempuan yang misterius. Perempuan yang sulit dimengerti. Bahkan hingga kini aku dan Sinta belum saling mengerti. Sinta terlalu cantik. Terlalu baik. Terlalu penurut. <br />Tak ada tantangan membuatku sakit. Tanganku tak berguna. Tubuhku tak berfungsi lagi. Otakku tak cukup kuat mengingat kesenangan Sinta. Kesadaranku tak membuat bahagia. Aku mati. Lunglai. Dan tak bisa apa-apa.<br />Sementara Sinta terlihat semakin bahagia. Dia tersenyum. Bergerak dengan gesit. Tak ada secuil beban di kepalanya. Bahkan setiap aku panggil; Sintaaa….sebelum menghampiriku, dia tersenyum. Seolah mengerti apa permintaanku. Sebaliknya, nasib tak masuk akal menyerangku. Sinta tetap bahagia. Tertawa. Menertawakan sakit yang terus menggerogoti pikiranku. Seperti seribu tusukan bersarang di kepala ini. Aku tak bsa berbuat apa-apa ketika Sinta semakin tersenyum.<br />Perempuan itu mengejekku. Dimana aku harus sembunyi dari wajah bahagianya. Sinta terus menyerangku. Siang. Malam. Pagi. Setiap waktu, Sinta terus menghajarku. Hingga aku hancur. <i>(Barman terkapar)</i></span></div><div><span style="font-family: arial; font-size: medium;"><i><br />Cahaya redup. Malam makin larut. Ketika Barman terkapar, Sinta mendekat dan berjalan bagai bidadari. Semakin dekat tapi tak menyentuhnya. Desau angin malam menyeret batin Sinta hingga menjauh dari batin Barman. Lelaki itu telah tenang, tidak mati. Hanya diam kelelahan. Tapi otaknya, jelas melihat Sinta datang membawa seuntai senyum di samping Edos. </i><br /><br /> <b><br />Tiga </b><br /><br /><i>Malam membuka segala kemungkinan. Tak perlu benar dalam hal kesenangan. Barman tenang dalam tidur yang tidak terlalu panjang. Hilang dibalik jantung kelam. Tinggal Sinta mencoba menjalani cerita yang salah tetapi sangat manusiawi. Cerita yang seharusnya terjadi tetapi sulit dipahami. Dan Edos, bagai pangeran yang menyandang berjuta perangkap. Menangkap kesenangan liar dalam belukar dendam. </i><br /><br />126. Sinta<br />Dia sudah tidur. <br /><br />127. Edos<br />Belum. Lihat matanya. <br /><br />128. Sinta<br /><i>(agak mendekat) </i>Pulas sekali. <br /><br />129. Edos<br />Dengarkan denyut jantungnya. <br /><br />130. Sinta<br />Sangat kacau. Mungkin sedang bermimpi. <br /><br />131. Edos<br />Napasnya? <br /><br />132. Sinta<br />Tidak teratur. <br /><br />133. Edos<br /><i>(nada tinggi)</i> Mungkin sedang mengintip kita. <br /><br />134. Sinta<br />Sst…Jangan terlalu kasar. Itu posisi tidur paling aneh yang pernah kulihat. Dia paling tidak suka telentang. <br /><br />135. Edos<br />Tidak bergerak. <br /><br />136. Sinta<br />Tidurnya mungkin akan panjang. Dia kelelahan dibantai dirinya sendiri. <br /><br />137. Edos<br />Seharusnya kau tak membiarkan dia sakit. <br /><br />138. Sinta<br />Justru rasa sakit itu dinikmatinya. Dia takut kehilangan. <br /><br />139. Edos<br /><i>(diam beberapa saat. Memastikan kondisi Barman)</i> Sudah kau beritahu? <br /><br />140. Sinta<br /><i>(menggeleng pelan) </i><br /><br />141. Edos<br />Kapan? <br /><br />142. Sinta<br />Dia sulit diajak bicara. Setiap hari sibuk dengan pikirannya yang kacau. <br /><br />143. Edos<br />Kau istrinya. <br /><br />144. Sinta<br />Tapi aku tak mau terlibat. <br /><br />145. Edos<br />Istri yang pintar. <i>(tersenyum) </i>Dimana kau simpan? <br /><br />146. Sinta<br />Di belakang lemari. Dekat meja makan. <br /><br />147. Edos<br />Dia sering ke ruangan itu? <br /><br />148. Sinta<br />Sejak dia pensiun, selera makannya turun. Dia lebih suka merokok sambil membawa gelas kopi kemana-mana. Kadang di ruang tamu, dapur, teras, bahkan duduk di kursi kecil depan pintu WC. <br /><br />149. Edos<br />Untuk apa? <br /><br />150. Sinta<br />Itu kebiasaan barunya. Cukup lama meja makan tak berfungsi. Aku letakkan gelas, piring, makanan hangat, tidak disentuh hingga basi. <br /><br />151. Edos<br />Kau punya rencana lain? <br /><br />152. Sinta<br />Di hari kelahirannya. <br /><br />153. Edos<br />Kapan itu? <br /><br />154. Sinta<br />Dia sendiri lupa. <br /><br />155. Edos<br /><i>(menerawang kepada Barman)</i> Kau punya ingatan yang buruk, sobat. Bawa ke sini kardus yang kuberikan itu. <br /><br />156. Sinta<br />Terlalu berbahaya. <br /><br />157. Edos<br />Tidurnya, terlalu panjang. Masih banyak waktu. <br /><br />158. Sinta<br /><i>(dengan langkah ragu, sesekali melongok Barman, masuk dan mengambil kardus di belakang lemari dekat meja makan) </i><br /><br />159. Edos<br />Ini bagian paling penting. Aku harap kau bisa mengapresiasi cerita ini dengan bagus, Barman. Tidak terlalu panjang. Dan tidak terlalu sulit dimengerti. Kisah yang menghibur. Konyol. Lucu. Dan melonggarkan pikiran. <i>(terkekeh) </i>Itu kan yang kau cari, Barman?<br /> Hampir tiga belas tahun, kita bekerja. Tiga belas ribu orang, kau penggal nasibnya. Dan mungkin tiga belas juta umpatan kau sembunyikan di balik saku jaketmu. Sebenarnya, aku kasihan Barman. Tapi otakku masih waras, nafsuku masih sehat hingga lolos dari perangkapmu.<br /> Kardus itu, hanya tanda mata. Bukti kalau aku simpati terhadap sikap tegasmu, meski terkesan arogan. Saat terakhir, kau melepaskan jabatanmu, mungkin hanya aku yang punya niat baik. Barman, seandainya sejak dulu kardus itu kau buka, semuanya tak akan terjadi. Hidupmu tenang dalam cerita yang sangat mengharukan.<br /> Tapi istrimu, punya rencana lain. Tidurlah Barman. Rencana itu kini bersambung degan rencanaku. <i>(belum selesai, mendadak….) </i><br /><br />160. Sinta<br /><i>(Tergopoh. Panik)</i> Tidak ada. Hilang! <br /><br />161. Edos<br /><i>(Juga panik) </i>Cari lagi, Mungkin telah kau pindah. Kapan terakhir kau melihatnya? <br /><br />162. Sinta<br />Aku simpan dan tak pernah kuperiksa. <br /><br />163. Edos<br />Ini kesalahan besar. Cerita bisa berubah. Coba cari di ruangan lain. <br /><br />164. Sinta<br />Aku yakin di situ. Belakang lemari dekat meja makan. <br /><br />165. Edos<br />Punya berapa meja makan. Ayo cepat! Semua rencana bisa hancur dan Barman tidur terlalu pendek. Cepat Sinta!<i> (kembali masuk dan mencari) </i><br /><br />166. Sinta<br /><i>(dari dalam) </i>Ada tiga kardus tetapi terlalu kecil! <br /><br />167. Edos<br /><i>(bingung) </i>Sebuah rahasia akan terbongkar. Perlahan tapi pasti. Mimpi buruk Barman akan menjadi kenyataan. Padahal mimpi itu kubungkus rapi dalam kardus, kuikat sangat kuat dan dibuka saat yang tepat. <br /><br />168. Sinta<br /><i>(keluar) </i>Tidak ada. <br /><br />169. Edos<br />Tidak ada jalan lain. <br /><br />170. Sinta<br />Jalan lain? <br /><br />171. Edos<br />Karena setelah membuka kardus itu, Barman tidak akan menemukan siapa-siapa lagi. Hanya dirinya sendiri. Jika dibuka tepat waktu. Kenapa mesti kau simpan dulu? <br /><br />172. Sinta<br />Edos, kita harus segera pergi. <br /><br />173. Edos<br />Dia suamimu! <br /><br />174. Sinta<br />Sebelum kardus itu hilang. Sekarang, semuanya bisa terjadi. <i>(takut) </i><br /><br />175. Edos<br />Sudahlah. Kita ikuti saja cerita ini. Kau bilang, Barman terlalu lelah untuk mengingat. Itulah jalan lain yang kumaksud. <br /><br />176. Sinta<br />Akan berakhir baik?<i> (mendekat Edos) </i><br /><br />177. Edos<br />Jika kau tenang. Semuanya pasti berjalan cukup baik.<i> (meyakinkan) <br /></i><br /><i>Sinta tenggelam dalam ketakutan. Kardus itu adalah mimpi Barman yang tak boleh dibiarkan liar terbuka. Edos telah membungkusnya. Tetapi, Sang Waktu berkehendak lain. Mimpi Barman bergerak makin liar, seliar Edos dan Sinta yang berpeluk dalam ketakutan. </i><br /><br /> <b><br />Empat </b><br /><br /><i>Hangatnya cahaya menghantam pikiran Barman. Cahaya itu pula membangkitkan gairah Barman. Gairah baru yang penuh kelonggaran. Tidur panjang membuat pikirannya segar, tangannya ringan, kakinya gesit. Sorot mata penuh semangat. Barman seolah lahir kembali. Dan menemukan cerita yang sangat menghibur. Cerita Edos dan Sinta. <br /></i><br />178. Barman<br /><i>(melihat dengan detail. Edos dan Sinta duduk sangat dekat).</i> Aku paling suka bagian ini. Tidur sebentar membuatku segar dan bisa melihat sekeliling dengan berbeda. Caramu memang manjur Edos. Kenapa tidak kau katakan sejak dulu. Buang jauh-jauh egomu, berbagilah denganku. Barangkali aku tidak akan seperti ini.<br /><i> (Sementara Edos dan Sinta masih belum memahami keadaan)</i> Ini cerita yang kau janjikan itu kan? Hiburan yang membuat pikiranku ringan. Seringan kapas yang terbang terbawa angin. Bertiup kencang dan terus terbang.<i> (berputar mengelilingi Edos dan Sinta) </i>Terbang hingga jauh, sejauh aku bisa membuang sakit dalam kepalaku.<br /> Ada sedikit gerakan yang kurang aku suka. Kakimu terlihat rapuh. Cari posisi yang gagah. Juga tanganmu, seharusnya tidak disitu. Kau aktor, terlalu banyak pekerjaan lain hingga lupa akting yang bagus?<i> (Terkekeh).</i> Satu lagi, harusnya diletakkan sesuatu diantara kalian, cari yang enteng tapi penuh makna. Bunga kecil misalnya, tapi…itu terlalu romantis. Atau kertas? Bukan! Kardus lebih baik. <i>(Sinta dan Edos terkejut) <br /></i><br />179. Edos<br /><i>(Nyaris berdiri) <br /></i><br />180. Barman<br />Hai! Tetap di situ. Jangan kacaukan pikiranku yang mulai tenang. Hidupku baru saja dimulai. Duduk, Edos. Aku sangat menikmati cerita ini. Dan aku telah menuruti semua saranmu. Mengikuti cerita yang telah kau mainkan. Tenggelam dalam alur yang berputar-putar, hingga tertidur. Disitulah nikmatnya menonton permainan sambil tidur? Kita bisa menebak sesuka hati, sesuai selera. Itu menyenangkan!<br /><i> (Barman bersemangat).</i> Dulu, aku juga pernah duduk di situ. Berperan seperti kamu. Tetapi aku mainkan peranku itu dengan sangat lincah. Tipis batas antara kebenaran dan keburukan. Kuakali takdir Tuhan. Sementara Dia terus mencatat setiap napas yang kuhirup. Hingga jantung, paru-paru, dan perutku, penuh dengan penuh muslihat di luar akal sehat.<br /> Jangan kelihatan gugup Edos. Bisa merusak konsentrasi! Pernah baca Tragedi Romeo-Juliet? Atau Rama-Sinta?<i> (terkekeh) </i>Maaf, kau kurang suka membaca. Sewaktu kita masih bekerja dulu, lebih tertarik gambar. Tapi kau berhasil menciptakan tragedi menyenangkan! Tragedi yang sempurna dan sangat menghibur.<br /> Sekedar tahu, aku memang lupa berapa tepatnya usiaku. Tetapi aku cukup tahu, semakin banyak orang yang menginginkan kematianku. Jabatanku membuat negeri ini tak bisa tidur nyenyak. Jika aku bergerak, mereka tergeragap. Diam. Tapi mengumpat dalam hati. Tuhan memberiku posisi seperti malaikat pencabut nasib baik.<br /> Suatu pagi, pernah ada yang menaruh racun dalam gelas minuman di mejaku. Untung saja, minuman itu tumpah tersenggol tangan kananku yang ngilu. Semalaman posisi tidurku ngawur! Soal itu, tanyakan pada Sinta. Dua bulan kemudian, seorang penembak jitu mengintip dari balik jendela. Mengincar kepala dan ingin mengeluarkan otakku yang terlalu cerdas. Moncong senjatanya terus bergerak mengikuti kemana arah kepalaku menoleh. Untunglah, ketika pelatuk ditarik, dor! Dengan cepat aku menunduk karena ada berkas terjatuh. Selamatlah aku. Sempat kudengar suara peluru berdesing seperti nyamuk lewat dekat telinga.<br /> Cukup banyak yang menginginkan kematianku. Walikota, bupati, hakim, bahkan para polisi dan presiden, mengincarku layaknya teroris. Padahal justru merekalah teroris yang sebenarnya. Jabatannya digunakan untuk meneror rakyat. Menggusur, mem-PHK, memeras, melecehkan dan mencabuli ketulusan rakyat. Itu adalah teror yang membahayakan.<br /> Anehnya, mereka aktor luar biasa! Pandai membuat sandiwara hingga semua orang mengangguk tanpa banyak tanya. Jika bertanya, penjara sanksinya! Dan aku? Protagonis dalam hidup mereka. Secepatnya orang sepertiku harus dibasmi. Dikeluarkan dari alur cerita, di buang ke pulau paling jauh. Aku sadari itu. Dan aku sangat tahu, siapa saja yang mengancamku. Mereka orang paling dekat. <br /><br />181. Edos<br /><i>(memotong) </i>Kau masih terlalu lelah, Barman! <br /><br />182. Barman<br /><i>(mendadak liar) </i>Jangan berpura-pura. <br /><br />183. Edos<br />Masih perlu menyaksikan lanjutan cerita ini? <br /><br />184. Barman<br /><i>(tertawa sinis) </i>Dengan menggunakan sedikit kecerdasanku, hiburan ini tidak ada artinya lagi. <br /><br />185. Edos<br />Kau tahu apa, Barman?<i> (gugup) </i><br /><br />186. Barman<br />Sikap tanganmu, gerakan kakimu, bahkan sorot mata dan dengus napasmu adalah lanjutan cerita yang sebenarnya. <br /><br />187. Sinta<br />Apa yang ada dalam pikiranmu? <br /><br />188. Edos<br />Bagaimana cerita sebenarnya? <br /><br />189. Barman<br />Permainan yang sempurna. Terlalu sempurna untuk kawanku yang kuanggap selalu berkomplot dengan kebaikan. <br /><br />190. Edos<br />Bicara yang jujur, Barman. <br /><br />191. Barman<br />Kejujuran telah mati. Jauh sebelum cerita ini dimulai. Masih ingat, bagaimana lincahnya jemarimu mengantarkan minuman sebagai tanda persahabatan? Pesta bersama setelah berhasil mengirim seorang hakim ke dalam penjara. Di tengah pesta, telunjukmu menarik pelatuk dengan tenang. <i>(tertawa mengejek)</i> Untunglah, aku biasa menemukan solusi sebelum masalah dimulai. Terakhir, kau selipkan keinginanmu di balik kecantikan Sinta. <br /><br />192. Sinta<br />Apa yang kau ketahui, Barman? <br /><br />193. Barman<br />Lebih dari yang ada dalam pikiranmu. Kardus itu aku amankan. Sinta terlalu ceroboh, kurang bisa menyimpan rahasia. <br /><br />194. Edos<br />Kardus? <br /><br />195. Sinta<br />Itu tidak mungkin! <br /><br />196. Barman<br />Perempuan dimana saja, sama! Kurang pintar menyimpan rahasia. Lain kali, perhatikan kelemahan lawan. <br /><br />197. Edos<br />Jika telah tahu semuanya, apa yang akan kau lakukan? <br /><br />198. Barman<br />Aku ingin melupakan semuanya. Pekerjaanku, jabatanku, bahkan usia dan segala kesenanganku. Dengan harapan akan menemukan hidup baru bersama Sinta. Tetapi cerita berubah, begitu kau masuk terlalu dalam dalam kehidupanku.</span></div><div><span style="font-family: arial; font-size: medium;"> Barman, mantan pejabat paling ditakuti, tidak boleh kalah dengan strategi sahabatnya sendiri. Aku mengerti semuanya! Dan Tuhan memberiku dendam. <br /><br />199. Edos<br />Maksudmu? <br /><br />200. Barman<br />Kita akhiri cerita ini. Sinta, jangan khawatir. Kuambil sekarang!<i> (bergegas tapi dihadang Sinta) </i><br /><br />201. Sinta<br />Kardus? <br /><br />202. Barman<br /><i>(sinis) </i>Kita buka sama-sama agar semua mengerti bagaimana rencana licikmu! <br /><br />203. Edos<br /><i>(ikut menghadang Barman)</i> Cukup Barman! Semuanya telah mengerti! <br /><br />204. Barman<br />Kenapa jadi penakut? Edos adalah teman yang kukenal memiliki keberanian. Pantang menyerah dan memiliki kecerdasan bagus. Tiba-tiba menjadi pengecut! Setelah kardus itu kita buka, pergilah bersama Sinta! <br /><br />205. Sinta<br />Aku tak akan pergi! <br /><br />206. Barman<br />Itu telah kau rencanakan! Lepaskan aku agar secepatnya kuambil kardus itu! <br /><br />207. Edos<br />Ada cara lain! <br /><i><br />Ketika Edos lengah, Barman berhasil lolos dan berlari berputar menghindari Sinta dan Edos yang terus mengejar. Langkah Barman semakin cepat. Beringas. Liar. Naik. Merangkak. Berguling. Edos tetap mengejarnya. </i><br /><br />208. Barman<br />Bukan penyelesaian. Hanya menunda saja! Cepat atau lambat pasti terjadi. Aku akan buka dan kubeberkan semuanya. Kau telah merencanakan sehari sebelum aku pensiun. Dan berunding dengan Sinta setahun sebelumnya. Itu rencana yang sistematis. Langkahku lebih sistematis dari rencana kalian! <br /><br /><i>Edos terus mengejar. </i><br /><br />209. Edos<br />Cara yang lebih manusiawi! <br /><br />210. Barman<br />Hanya binatang yang mempunyai rencana busuk! Jadi kubantu kalian agar tidak dianggap binatang! <br /><br /><i>Barman berlarian semakin kencang. Edos mengejar. Suasana kacau. Hingga satu titik, tepat di depan Sinta, sebuah tusukan belati menembus lambung Barman. Tangan Edos gemetar. Cerita terlalu cepat berakhir diluar rencananya. Barman terkapar. <br /></i><br />211. Sinta<br />Barman!<i> (menyentuh luka Barman) </i><br /><br />212. Barman<br />Kardus itu telah kubuka. Lebih cepat dari rencanaku.<i> (terbata-bata menahan perih)</i> Jika aku pura-pura lupa, hanya bagian dari keinginanku. 13 pagi, semuanya baru mulai. Mimpi itu menjadi kenangan. Kali ini, tidurku akan sangat panjang. Itu yang kau inginkan.<br /> Katakan pada semua yang kemari, baru separo cerita yang kujalani. Belum punya arti apa-apa. <i>(Melihat Edos) </i>Edos…? Rencanamu lebih sempurna. <br /><i><br />Belum selesai Barman bicara, terdengar suara bising di luar. Puluhan orang menyerbu rumah Barman. Mereka adalah orang-orang yang pernah disakiti Barman. Mereka menuntut balas kepada Barman. Suara itu semakin dekat. Seolah ingin merobohkan rumah Barman dan mengeroyoknya. </i><br /><br />213. Edos<br />Tak ada waktu lagi. Mereka semakin dekat.<i> (Sinta ragu dan bingung. Seribu keinginan menjejal tanpa dimengerti) </i>Jumlahnya terlalu banyak! Aku kenal mereka. Orang-orang yang disakiti Barman. Cepat Sinta! <br /><br />214. Sinta<br />Dia sendirian! <br /><br />215. Edos<br />Itu pilihan hidupnya. Perjalananmu masih panjang. Lewat sini. Cepat!<i> (Sinta dan Edos menerobos kegelapan. Dan hilang) <br /></i><br /> <br /><b>Lima </b><br /><i><br />Suara-suara itu semakin liar. Seakan menginjak harga diri Barman yang terkapar, meregang takdir. Disaksikan ratusan orang yang mengelilinginya, Barman berdiri dan memaksa bibirnya tersenyum. Tangannya gemetar. Tapi suaranya menggelegar. Di atas titik cahaya putih, Barman melanjutkan sisa cerita. </i><br /><br />216. Barman<br /><i>(terkekeh sambil menahan sakit). </i>Tepat 13 pagi, kutitipkan kardus itu di rumah banci di ujung gang. <i>(tertawa lagi)</i> Banci yang selalu duduk di depan pintu sambil mengelus kucing. Dia sebenarnya tidak banci. Jika ingin melihat kenyataan dengan jujur, harus berani keluar dari kenyataan itu sendiri. Itu pilihan hidupnya.<br /><i> (tertawa hingga nyaris tersedak) </i>Semuanya, sepulang dari sini, ambil kardusku di rumah banci di ujung gang itu. Semuanya selesai. <br /><br /><i>Barman meregang mimpi. Hingga gelap. Diam. Hitam.*** </i><br /><br /><br />Jombang, 2009<br /><br />Biodata Penulis<br /> Nama : Cucuk Suparno, S.Pd<br /> Lahir : Jombang, 19 Maret 1974<br /> Alamat : Morosunggingan, Kec. Peterongan, Kab. Jombang, Jatim. (0321- <br /><br /> 6983069)<br /> Pendidikan : Alumnus Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM).<br /> <br /> Kegiatan : - menulis esai dan cerpen serta puisi di sejumlah media masa <br /> lokal dan nasional.<br /> - Aktif menulis dan mementaskan lakon teater di Malang.<br /> - Aktor teater terbaik nasional Peksiminal III TIM Jakarta (1995)<br /> - Koordinator Forum Penulis Jombang (KPJ).<br /> - Sejak Januari 2007 menjadi Direktur Lembaga Pengkajian Hak <br /><br /> Asasi Manusia (eLPeHAM) Surabaya. <br /> - Sejak Desember 2008 menjadi Humas Lembaga Baca-Tulis <br /><br /> Indonesia di Jombang, Jatim dan Pegiat ‘Sekolah Kultural <br /><br /> Indonesia’ <br /><br />● Terpilih Cerpenis Terbaik 2 International FolkFEST II 2010 di Bangkok, Thailand, Desember 2010. <br /><br />● Memimpin dan menyutradarai Teater Kopi Hitam Indonesia.</span><br /> </div>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-81404179945467276292023-01-23T00:06:00.008-08:002023-01-23T09:05:03.852-08:00SEBELUM BEBAS - Agustina Kusuma Dewi<div style="text-align: center;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYQZIbXhHsBbb-lT3jWK01UndSwHzQhEufyENWdlTqQigcwVNr6z84wGlkicsXORK42S8CuSMIVe44pCE_UPp50xbLaxBETD7UXKKtp3ac725OMF8sjlWt9Pz1CmRxrKypuLDUMyA2JscHcxzfBgxUXrBihBoTtvqOsmZ5C8VrxhJ2hFP5lXIqqUcz/s9055/SEBELUM.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYQZIbXhHsBbb-lT3jWK01UndSwHzQhEufyENWdlTqQigcwVNr6z84wGlkicsXORK42S8CuSMIVe44pCE_UPp50xbLaxBETD7UXKKtp3ac725OMF8sjlWt9Pz1CmRxrKypuLDUMyA2JscHcxzfBgxUXrBihBoTtvqOsmZ5C8VrxhJ2hFP5lXIqqUcz/w400-h261/SEBELUM.jpg" width="400" /></a></div><br /></div></div><span style="font-family: arial;"><div><span style="font-family: arial;"><br /></span></div><b><i>KOOR</i></b><br />Malam sembunyikan bulan dan sinarnya<br />Manusia mencari jawaban<br />Jawaban dari Tuhan yang kini mulai kehilangan arti<br />Sendiri manusia jalani hidupnya<br />Dan malam sembunyikan bulan dan sinarnya<br />Dan kelam tetap menjamah terang<br />Dan impian itu tetap menjamah tenang<br />Dan impian itu kini mulai hilang semua usang dalam doa<br />Terbuang dalam kenangan yang tak ingin diendapkan <br /><b><i><br />PANGGUNG</i></b><br /><i> Panggung sel malam hari. Berkas sinar bulan menyusup lewat jendela berterali. Suara detik jam. Entah dari mana. Dua lelaki bersandar di dalamnya. Duduk bersandar pada sisi dinding yang berbeda. Lingga dan Hendra. <br /></i><b><br />Lingga </b></span><div><span style="font-family: arial;">Besok, ya ? <br /><b><br />Hendra </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kenapa ? <br /><br /><b>Lingga </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hanya besok. <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kenapa dengan besok ? <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hanya besok. <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi ada apa dengan besok ? <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku hanya bilang besok. Itu saja. <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi kenapa besok ? Kenapa bukan hari ini, lusa, minggu depan ... <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Karena besok adalah kebebasanku. <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kebebasan kita, kawan !!! <br /><br /><i> KEDUANYA TERTAWA <br /></i><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudah dua tahun ... <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan aku satu setengah ... <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lama sekali waktu kembali berpihak padaku ... <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pada kita ... <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pada kita. <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku hampir yakin kalau Tuhan sudah melupakanku. Setiap hari kupupuk doa dan kesabaran, dan Tuhan malah menciptakan besok untuk memperpanjang penantianku<i>. ( JEDA ) </i>Aku menanti keajaiban membuktikan kebenaran dan menyucikannya dari dusta ... <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hanya satu setengah tahun dan kau masih tetap percaya pada Tuhan. Sungguh menyenangkan masih bisa mempercayai sesuatu saat kita berada di tempat seperti ini. Terbuang. Disingkirkan. Seakan – akan semua yang pernah berada di sini telah kehilangan martabatnya sebagai manusia. <i>( JEDA ) </i>Aku hampir tidak percaya pada doa. Tuhan tidak pernah mendengar doaku, kawan. Mungkin Ia sama saja seperti manusia ciptaan – Nya ... <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">... kau tidak bisa menyamakan – Nya serendah itu ... <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">... yang hanya melihat tampak luar ... <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">... Tuhan lebih menghargai hati manusia, kawan ... <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">... dan karena Ia melihat diriku sebagai buruh kasar tidak berduit, tidak berpangkat, dan bukan siapa – siapa, maka Ia tidak mau mendengarku ... <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sombong. <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>( MELOTOT ) </i>Sombong ? <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Manusia sombong dan tidak tahu diri, itulah dirimu. <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku sombong ? Aku ? Kau bilang aku sombong dan tidak tahu diri ? Kau pikir siapa dirimu ? Lebih hebat dari diriku ? Lebih suci dariku ? Lalu, mengapa kau bisa berada di tempat ini ? Cuma karena kesalahan teknis, begitu ? Berkaca, Bung ! Kita berdua sama – sama tidak punya hak untuk saling mengata – ngatai ! ( MEMUKUL DINDING ) Kita berdua sama – sama seekor anjing ! Anjing ! <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mengapa kita berdua tidak punya hak untuk saling mengata – ngatai ? <i>( HENING ) </i>Apa karena kita dianggap tidak lagi memiliki martabat sebagai manusia ? <i>( HENING ) </i>Apa karena kita pernah berada di tempat ini, sebuah tempat dimana semua dianggap terperangkap karena dosa yang mereka lakukan, sekalipun sebenarnya mereka tidak melakukan apa – apa ?<i> ( HENING ) </i>Apa karena kita ... <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Karena kita tidak lebih baik daripada yang lain, itu masalahnya. Aku tidak lebih baik darimu, kau tidak lebih baik dariku, kita sama – sama memiliki kehidupan yang tidak beruntung. <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak beruntung. <i>( TERTAWA ) </i>Kau benar, kawanku yang baik. Kita sama sekali tidak memiliki kehidupan yang beruntung. <i>( JEDA )</i> Kau tahu aku ? <i>( TERTAWA ) </i>Sering kali aku berpikir bahwa aku ...<i> ( TERTAWA HISTERIS SEAKAN – AKAN TERINGAT SESUATU YANG SANGAT MENGGELIKAN, LALU TIBA – TIBA DIAM ) </i>Seringkali aku berpikir bahwa aku ... <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku juga, aku juga, kawan. <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kau ? juga ? Bagaimana bisa ? <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tentu saja bisa karena sebenarnya aku tidak jauh berbeda denganmu. <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak jauh berbeda ? <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya. <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi bagaimana mungkin kau bisa tidak jauuuh berbeda denganku, sementara kau belum tahu apa yang ingin kukatakan ? <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku tahu. <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sungguh ? <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku tahu karena sesekali aku juga memikirkannya. <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oh, ya ? <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya. <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Begitu. <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya. Sesekali. Kalau aku sedang ingin sekali. <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ingin sekali ? <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya, ingiiiiiin sekali. <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ingin apa ? <br /><br />Hendra</span></div><div><span style="font-family: arial;">Bercinta !<i> ( TERTAWA )</i> Istrimu, kan, yang sejak tadi kau maksudkan ? <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Istriku ? <i>( PADA PENONTON )</i> Kawanku yang baik. <i>( TERTAWA ) </i>Padahal aku ingin berbicara tentang hidup padanya, tapi ia malah bicara soal perempuan. Gairah tinggi. <i>( PADA HENDRA ) </i>Memang kenapa dengan istrimu, Kawan ? <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Istriku ? Istriku adalah wanita paling cantik yang pernah kutemui. Kau tidak pernah melihatnya kalau ia datang ? <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ia sering mengunjungimu ? <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hanya sekali, sudah itu tidak. <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oh. <br /><br />Hendra</span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi aku tidak pernah membencinya, kawan ! Sumpah ! Aku bersumpah padamu, pada Tuhan, kalau aku masih mencintainya, bahkan selalu menyayanginya ! Ia boleh membenciku, ia boleh menceraikanku mengata – ngataiku buruk rupa, si miskin atau yang lainnya lagi, bahkan ia boleh meninggalkanku, tapi aku akan selalu mencintainya. <i>( MEMBENTUR – BENTURKAN KEPALA KE DINDING )</i> Cinta, cinta, cinta, cinta anjing ! Anjing ! Bangsat semuanya ! Istriku bangsat terbesar, lalu hidupku, jangan ... jangan lupa pada tuan tanah itu ...</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tuan tanah ? <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">... ia juga keluarga bangsat !<i> ( MEGAP – MEGAP SESAAT ) </i>Kau tahu ? <i>( SEPERTI BICARA PADA DIRINYA SENDIRI ) </i>Dalam hidupku, aku hanya merasakan betapa beruntungnya diriku saat wanita itu menerima lamaranku. Padahal ia lebih berkecukupan dariku, lebih pandai, lebih cantik, seakan – akan Tuhan menciptakannya untuk menjadi seorang dewi bagi lelaki seperti aku. Aku bodoh, tidak kaya, tidak tampan, tapi aku sungguh – sungguh jatuh cinta padanya. Setelah menikah kami menyewa rumah kecil, sangat kecil di pinggiran kota. Aku melamar kerja ke sana kemari, ditendang bahkan diludahi, sampai akhirnya tuan tanah itu menerimaku menjadi buruh besar di perkebunannya. <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tuan tanah yang “ itu “. <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya, tuan tanah yang “ itu “<i>. ( HENING ) </i>Saat itu aku sungguh – sungguh menganggapnya sebagai dewa penyelamat. Aku pulang ke rumah, kukatakan pada istriku, “ Aku diterima kerja, Sayang ! “, dan ia tersenyum memandangku seakan – akan aku adalah seorang pahlawan besar. Istri yang luar biasa. Malam itu kami bercinta, juga besok malamnya, juga malam – malam berikutnya, dan kemudian hari – hari menyenangkan itu mulai berubah ... <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Berubah ? <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>( SEPERTI BERADA DI ALAM LAIN ) T</i>uan tanah itu mulai bersikap semena – mena pada buruh – buruhnya. Ia memotong uang makan para buruh dari 3000 rupiah menjadi 2000, 1500, akhirnya ia hanya memberi 1000 setiap hari. Jam kerja kami ditambah tidak lagi dari pagi sampai sore, bahkan sampai lepas maghrib. Tiap kali kami menuntut perbaikan, alasannya selalu, selalu dan selaluuu saja, “ Krismon, krismon, krismon ! Masa kalian tidak mau mengerti ? “. Tai dia. Dia potong uang makan kami sementara tiap hari kami cium bau goreng daging dari rumahnya. Kami tidak tahan lagi. Kami memang hanya buruh kecil, orang kecil, tapi kami juga menusia yang ingin dihargai. Kami mulai melakukan aksi unjuk rasa, dan ada salah seorang dari kami, Udin, ia dengan berani bicara pada tuan tanah, menuntut kenaikan upah, bicara soal hak buruh dan korupsi, lalu keesokan harinya kami mendengar ia ditemukan mati dibunuh perampok yang menjarah rumahnya. <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mati ? <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Rekayasa, sandiwara, atau apa pun juga namanya yang jelas semua itu bohong ! Bohong besar ! Kami tahu kalau tidak pernah ada perampok dan Udin mati karena dia terlalu banyak bicara. Dan tuan tanah itu, ia menawarkan banyak uang pada kami agar kami tutup mulut dan tidak menjadi Udin – Udin yang lain. <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan kau mau ? <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ia datang ke rumahku. Bisa kau bayangkan, tuan tanah yang sombong itu datang ke rumahku ! Ia tawarkan seratus, dua ratus, lalu lima ratus, tujuh ratus dan akhirnya satu setengah juta agar aku mau menutup mulut ... <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan kau mau ? <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">... dan kulihat saat itu istriku menggelengkan kepalanya. Ia memegang tanganku dan berkata, “ Jangan, Pak. Asal kita jujur sudah cukup kita hidup seperti ini ... “, lalu kutolak tumpukan uang itu, dan kukatakan, “ Terima kasih, tapi tidak. Saya tidak akan menjual harga diri saya hanya untuk memperoleh uang ... “ <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>( BERTEPUK TANGAN ) </i>Kau hebat, kawan !!! <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">... dan kulihat warna wajahnya mulai berubah. Setelah itu aku mengerti arti perubahan warna pada wajahnya, karena seminggu kemudian polisi datang dengan surat perintah untuk menagkapku dengan tuduhan penggelapan uang dan penyerangan. Tuan tanah sialan ! Hukum sialan ! Keadilan tai ! Aku berteriak – teriak membela diriku, kuceritakan tentang Udin dan uang sogokan itu, tapi polisi – polisi itu malah memukuliku. Mereka pentung aku, mereka ludahi aku seakan – akan yang kukatakan semuanya adalah dusta ! Sungguh menyakitkan, kawan. Sungguh menyakitkan saat melihat istriku menangis. Lalu saat aku berteriak agar ia mempercayaiku, ia pun berlari memelukku, dan saat itu aku merasa akan memiliki tempat untuk kembali. Tapi aku salah. Salah besar<i>. ( TERTAWA ) </i>Cinta. Enam bulan aku berada di penjara, istriku datang berkunjung untuk pertama kalinya. “ Aku kangen sama kamu, Neng “, begitu yang kubilang. Kulihat matanya, ada rasa bersalah tergambar di sana. “ Maaf, Pak “, begitu dia bilang. “ Aku tidak kuat lagi. Aku tahu Bapak tidak bersalah, tapi aku capai. Semua orang memandangku seakan – akan aku penyakit menular. Aku tahu Bapak orang jujur. Aku percaya kalau Bapak tidak bersalah. Tapi ... “, dan ia mulai menangis. “ Semuanya jadi serba sulit karena krisis moneter ini, Pak. Harga – harga naiknya gila – gilaan, kontrak rumah juga belum dibayar, aku ... “, ia menangis makin keras. “ Tuan tanah itu membantuku ... “. “ Apa ? “, aku bilang. “ Lalu ia memintaku untuk jadi istrinya ... “. “ Dan kamu menolak, kan, Neng ? kamu tidak mau, kan, Neng ? Kamu istriku kan, Neng ? Tuan tanah itu sudah punya istri. Apa kamu mau jadi gundiknya dan kehilangan harga diri ? Kamu bilang tidak kan, Neng ? Iya kan, Neng ? “ <i>( MENANGIS ) </i>Istriku hanya menangis sambil terus ngomong maaf. Aku tahu aku juga menangis. Saat itu semua mimpiku hilang begitu saja, bahkan semangatku untuk hidup. Ternyata manusia begitu mudah menjual prinsip hidupnya hanya untuk memperoleh uang. Ternyata keadilan hanya berlaku untuk orang – orang yang mampu, tapi bukan untukku. Kuhabiskan hidupku sambil berusaha melupakan tiap kenangan yang kumiliki. Dua tahun. Sudah dua tahun ... <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi kini semuanya sudah berubah, kan, kawan ? <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Berubah. Begitu kata tabloid – tabloid itu. Dan radio, dan televisi, juga gosip – gosip murahan itu. Tapi kita belum tahu apa memang kenyataan menjadi lebih baik. Apa keadilan sudah mulai ada ? Apa mereka yang besar sudah bisa menghargai yang kecil ? Apa mereka sudah belajar untuk menghargai orang lain ? <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa mereka sudah berani menyatakan mana yang benar dan mana yang salah dan mau bertindak untuk itu. <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pahit. <i>( MEMBERSIHKAN HIDUNG ) </i><br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Istriku sudah mati. <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa ? <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Istriku sudah mati. <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kau bohong. Bohong kan ? <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku seorang penulis lepas. Wartawan magang. Dulu. Biasanya aku lebih banyak menulis tentang pertandingan olahraga atau cerita – cerita pendek. Aku dan istriku ... Kami berpacaran sejak SMA dan menikah setelah selesai kuliah. Masih ku ingat bagaimana malam pertama kami. Di balik baju tidurnya ia kelihatan begitu seksi, dan desahannya setiap kali kami bercinta, lekuk payudaranya, dan harum tubuhnya ...<i> ( MENERAWANG )</i> ... bagiku ia wanita yang paling sempurna. Tapi semuanya berubah saat mahasiswa – mahasiswa itu mulai berani bicara turun ke jalan. Seperti pembela kebenaran, mereka menggerakkan rakyat, orang – orang seperti kita, untuk memperbaiki keadaan pemerintahan yang kacau. Aku tidak membenci mereka karena mereka melakukan apa yang seharusnya dilakukan sejak dulu. Tapi aku membenci orang – orang yang berpura – pura paham dan ikut – ikutan, tapi akhirnya malah mengacaukan keadaan.<i> ( JEDA ) </i>Istriku ... Dia bukan warga Indonesia asli. Ia warga keturunan. Teman – teman kami dulu sering memanggilnya Amoy. Saat muncul berita – berita tentang pemerkosaan dan diskriminasi warga keturunan. Istriku mendadak takut keluar rumah. Ia tidak lagi seceria dulu, ia lebih suka mengurung diri. Dan malam itu ... <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Malam itu ? <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Empat orang perampok bertopeng menjarah rumahku ... <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lalu ? <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">... dan bilang, “ Ambil saja semua yang kalian inginkan tapi tolong jangan sakiti kami “. Mereka malah tertawa. Mereka meludahi lantai sebelum meludahi wajahku. Dan saat melihat istriku tiba – tiba saja mereka menjadi lebih ganas. “ Amoy, hei ? Mau apa Amoy masih ada disini ? Sekarang bukan masanya lagi untuk nonpribumi berjaya. Amboi ... Cantik sekali Amoy kita yang satu ini ! “ Begitu teriak mereka. Mereka mulai meraba – raba tubuh istriku, mereka sentuh payudaranya, mereka robek bajunya, dan aku tidak bisa berbuat apa – apa selain merasa takut dengan ancaman golok yang mereka bawa ! Padahal aku suaminya, aku laki – laki, tapi aku bahkan tidak bisa melindungi istriku sendiri ! Kau tahu bagaimana sakitnya hatiku ? Kau tahu ?<i> ( MENANGIS )</i> Di depan mataku sendiri, kulihat bagaimana mereka seorang demi seorang memperkosa istriku. Berkali – kali, berkali – kali, dan terus berulang kali sampai aku tidak bisa lagi membedakan mana jeritanku dan mana jeritan istriku. “ Ayah, tolong ... “, istriku merintih. Istriku memohon. Padahal salah apa dia ? Apakah dia minta Tuhan untuk dilahirkan menjadi seorang nonpribumi ? Apa itu pribumi dan nonpribumi ? Apa Tuhan menciptakan manusia untuk dibeda – bedakan seperti itu ? Apa reformasi yang sedang berjalan membuat manusia yang satu tidak lagi menghargai manusia yang lain dan bebas mempermainkan nyawa dan martabatnya ? Bangsat ! Setan ! Anjing ! Aku tidak bisa berbuat apa – apa saat mereka membunuh istriku dan meninggalkannya menjadi mayat telanjang bulat ! Aku berteriak – teriak memohon pada Tuhan untuk menghidupkan kembali istriku, ku mohon agar ia bangkit, memelukku, menciumku, atau apa pun juga tapi istriku tetap saja diam dan terbaring di lantai itu dengan berlumuran darah ! Anjing !!! <i>( MENANGIS ) </i>Aku berusaha memperoleh keadilan. Kuajukan kasusku ke pengadilan, tapi mereka seakan – akan menutup mata dan malah berkata “ Bukan hanya Bapak saja yang mengalaminya. Masih banyak yang lain, tapi mereka tidak menuntut apa – apa, `kan ? “. “ Itu karena mereka takut, Pak ! “, kataku. “ Mereka bersyukur karena masih bisa hidup. Harusnya Bapak melakukan sesuatu, `kan ? Kenapa harus ada pembedaan antara pribumi dan nonpribumi ? Istri saya memang warga keturunan, tapi ia seorang manusia, dan ia mati karena diperkosa dan dibunuh secara sewenang – wenang ! Apa Bapak masih juga tidak peduli ? Apa Bapak masih bisa menutup mata pada kebenaran yang saya katakan ? Lalu kemana lagi saya harus mencari keadilan untuk istri saya ? “ Aku sampai berlutut. Memohon. Tapi aku malah dianggap subversif, menghina pengadilan, melakukan penghasutan, dan mereka begitu saja memasukkanku ke penjara. Saat itulah pengacara gratis yang dikirim oleh lembaga bantuan hukum mulai bicara tentang besok. Mereka membuat kata besok menjadi penantian yang semakin panjang dan tidak berujung. <i>( JEDA ) </i>Kebebasan bull – shit. Omong kosong. Nyatanya kita masih belum benar – benar bebas sekalipun mereka melakukan reformasi. Krisis moneter tai. Harusnya mereka sadar kalau moral mereka yang krisis. Semuanya bull – shit. Bahkan kini manusia lebih menyamakan Tuhan dengan uang dan kekuasaan. Belum berubah. Belum. Kita masih hanya memiliki harapan. <br /><br /><i>( TIBA – TIBA TERDENGAR TERIAKAN – TERIAKAN DARI BELAKANG PANGGUNG. MUNCUL SIPIR PENJARA MENARIK SEORANG LAKI – LAKI. LAKI – LAKI ITU BERNAMA JARWO ) <br /></i><br /><b>Jarwo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kunyuk ! Sontoloyo ! Mbok ya sampeyan hormat dikit sama saya. Sombong ! Mentang – mentang sampeyan pakai seragam, jadi sampeyan kira bisa macem – mecem sama saya ? Iya ? <br /><b><br />Sipir Penjara</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">“ Masuk ! “. <br /><b><br />Jarwo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Iya ! Iya ! Saya juga ngerti ! Sampeyan pikir saya blo`on ? Huh ... !!! Sembarangan ! <br /><br /><i>( PINTU SEL KEMBALI DI TUTUP ) </i><br /><br /><b>Jarwo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hei Sontoloyo ! Hei !!! Bilang sama Bapak Hakim, perempuan yang tadi itu bukan wanita bener ! Istri saya itu pelacur, lonte, kalong wewe, makanya mau saya bunuh ! Tetangga saya juga bukan orang bener ! Dia itu tukang gosip murahan ! Sampeyan denger ? <br /><br /><i>( SIPIR SUDAH PERGI ) <br /></i><br /><b>Jarwo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hoooooooooooiiiiiiiiiiii !!!!!!!! <i>( HENING ) </i>Dasar Sontoloyo ! Wong edan ! Capai – capai orang ngomong malah dolan seenaknya. Piye, toh ! <i>( BERBALIK ) </i>Lo, piye iki ? Kenapa Kangmas – Kangmas ini ndelik kabeh sama saya ? Memang saya ini tontonan apa ? <br /><br /><i>( LINGGA DAN HENDRA SALING BERPANDANGAN ) </i><br /><br /><b>Jarwo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kenapa ? Kaget denger saya mau bunuh istri saya sendiri ? Aaah, itu sudah biasa. Sudah nggak aneh ! Sekarang keadaan makin nggak bener, makin panas, Kangmas ! Reformasi, ya, reformasi ... Lapar, ya, tetap lapar. Mana waktu kampanye kemarin, pusiiiing ! Pusing kowe kalau lihat. Semuanya jadi nggak ada beres – beresnya. Yang kampanye, ya, kampanye, joget – joget di jalan, yang dagang, ya, tetap dagang. Saya juga ikut, sih. Padahal ya Kangmas, saya bilang, daripada mikir soal perut ! Makan, itu lo yang penting ! Padahal kata gosip, katanya kalau nilai tukar rupiah sudah kuat, harga bisa murah lagi. Eh, bukan !!! Jadi stabil !!! Tapi ya namanya juga gosip, jadi yaaaa ... sama saja. Lapar, ya lapar, bunuh – bunuhan juga makin kenceng. Tapi istri saya itu ya Kangmas, semua dia ajak melacur. Tukang becak, tukang sate, eeeh, waktu hamil malah balik sama saya. Kok ya saya mau terima. Saya cuma ngerasain sekali, kok malah bilang itu anak saya. Kalau saya, sih, daripada ngurus perempuan sialan itu, lebih baik saya urus diri sendiri. Saya, kan, bukan orang kaya. Saya cuma kuli, kadang – kadang tukang got, dagang, atau apa saja, pokoknya uang. Dasar pelacur. Saya belum cekik dia sampai mati, tapi tetangga saya sudah keburu lapor polisi. Sontoloyo. Wong edan. Tukang gosip murahan. Mbok ya, tapi ... Nggak apa – apa, he he he ... Yang penting saya jauh dari pelacur itu. Bisa makan, bisa tidur enak, di sini bisa makan gratis, `kan ? Yo beres semuanya. <br /><br /><i>(JARWO NAIK KE ATAS RANJANG. TIDUR. TIDAK PEDULI PADA LINGGA MAUPUN HENDRA ) <br /><br />( LINGGA DAN HENDRA SALING BERPANDANGAN, TERTAWA ) </i><br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>( MENJAUH DARI RANJANG )</i> Orang edan. <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>( MENJAUH DARI RANJANG )</i> Dia senang masuk penjara karena bisa makan gratis. <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dia pikir dengan begitu saja semuanya sudah beres. <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Padahal bagaimana pun juga hidup sebagai orang bebas masih lebih baik daripada orang tahanan. <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi kita memang selalu bebas, kawan. Kita, kan, tidak bersalah. Kita masih bisa membedakan mana yang hak dan yang batil. <br /><i><br />( JEDA ) <br /></i><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Besok, ya ? <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Besok. <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kebebasanku. <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kebebasanku juga. <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Rasanya sudah begitu lama aku tidak mengenang istriku seperti tadi. <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kenapa tidak ? Simpanlah terus di dalam hatimu, kawan. Seseorang tidak akan menjadi lemah hanya karena mengenang masa lalu. <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan kau ? <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku ? Kenapa ? <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Setelah bebas, apa kau akan kembali menulis ? <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku ... Entahlah. Mungkin ya. Mungkin juga ... tidak. <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mungkin kita juga masih bisa bertemu. <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan kau ? Apa yang akan kau lakukan setelah bebas nanti ? <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Entahlah. Mungkin aku akan ... ya, kau tahu ... mungkin ... <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Memulai hidup ? <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">... dan meneruskannya. <br /><br /><i>( KEDUANYA TERTAWA ) </i><br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya. <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa ? <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mungkin aku akan kembali menulis. <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bagus. Mau menulis tentang aku ? <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tentang kita ... ya. <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa judulnya ? <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mungkin ... Apa, ya ? Bagaimana kalau Sebelum Bebas ? <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sebelum Bebas, Sebelu Bebas ... Ya kawan ! <i>( TERTAWA )</i> Aku suka judul itu. Sebelum Bebas dan segala harapan kita tentang kebebasan. <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Juga keadilan. <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan hidup yang lebih baik. <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Juga hak – hak kita yang lebih dihargai ... <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan makan. <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan tidur. <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan menulis. <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan cinta. <i>( JEDA ) </i>Apa kau bisa jatuh cinta lagi ? <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku ? <i>( TERTAWA )</i> Entahlah. Aku masih bergairah untuk itu. <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa kau pernah berpikir untuk menikah lagi ? <br /><b><br />Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau kau ? <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mungkin, ya, kalau aku masih bisa menemukan wanita dengan payudara sebesar payudara istriku dulu.<i> ( TERTAWA )</i> Tapi mungkin juga tidak, kawan. Entahlah. Aku benar – benar tidak tahu. Aku belum tahu karena kita masih belum benar – benar bebas. <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya. Baru besok. <br /><br /><b>Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Besok. <br /><br /><b>Hendra</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kebebasanku ... <br /><b><br />Lingga</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kebebasan kita juga. <br /><i><br />( KEDUANYA MULAI TERTAWA SEPERTI ORANG GILA ) <br /><br />( TIBA – TIBA JARWO MENGGERUTU ) </i><br /><br /><b>Jarwo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kangmas – Kangmas ini sudah edan, ya ? Wong edan ! Piye, toh ! Mbok, ya, sampeyan hormat sedikit sama saya. Mentang – mentang kowe lebih senior di sini kowe pikir bisa seenaknya ketawa ... <br /><br /><i>( LAMPU PADAM ) <br /><br />( SESAAT MASIH TERDENGAR GERUTUAN ASEP ) <br /><br />( KOOR ) <br /><br />( LALU HENING ) </i><br /></span><br /> </div>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-37126943252504120092023-01-23T00:04:00.009-08:002023-01-25T07:42:51.529-08:00RUMAH TANGGA - H. Adjim Arijadi<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8fR2Gwb9Dzs_LIBt56PL0_xWJETmY6jxauSgx9Q8mzpZMbRQaMi85wb7b2JKyiEf1pab0OShA5l1gpqrms0FFD9i3AynWenLikHe6PHqqCfKHjI6Dw_Cn-onY30sGcILfu2NCRtaz-wr87vR1WMn8FQc1LHtd-uqH8KiAR1EKPsJ-hSvH5Cx7xTBy/s9055/RUMAH%20TANGGA.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8fR2Gwb9Dzs_LIBt56PL0_xWJETmY6jxauSgx9Q8mzpZMbRQaMi85wb7b2JKyiEf1pab0OShA5l1gpqrms0FFD9i3AynWenLikHe6PHqqCfKHjI6Dw_Cn-onY30sGcILfu2NCRtaz-wr87vR1WMn8FQc1LHtd-uqH8KiAR1EKPsJ-hSvH5Cx7xTBy/w400-h261/RUMAH%20TANGGA.jpg" width="400" /></a></div><br /><br /></div><span style="font-family: arial;"><i>Ruang tamu sebuah rumah dari keluarga berada. <br /><br />Ada seperangkat korsi tamu, meja telepon terletak disudut ruang agak belakang. Muncul seorang ibu dengan tampang seorang pengusaha dengan menjinjing tas kerja. Ketika ia berada dimuara pintu depan ia terhenti, kemudian menoleh pada sebuah photo 8R yang terletak di meja telepon. Diamblnya photo itu, kemudian dilapnya kaca dan bingkai yang berdebu tersebut. Kemudian ia taruh kembali setelah dipandangnya dengan penuh perasaan. Photo itu ialah photo suaminya. Kemudian dia panggil pembantunya yang mungkin sedang kerja didapur. </i><br /><br /><b>Ibu </b> :</span><div><span style="font-family: arial;">Sum! Suuum! Sumi! <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Di dalam)</i>Ya, nyonya…<i>.(muncul) </i>ada apa nyonya? <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kamu sedang apa? <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya, biasa nyonya <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan ini <i>(setelah mengambil uang lalu menyerahkannya kepada sumi)</i> untuk berbelanja. Coba kau sebutkan menu hari ini <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hari ini, hari…WADUH . hari ini hari bermacam selera <br /><b><br />Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa saja. Apa cukup uang itu? <br /><b><br />Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>Sebentar. Untuk Halidah yang sekarang masih sibuk dikampus, memilih menu…..(SEBUT SENDIRI)</i> Si Rawiyah yang sedang belajar di kelas SMA, menuntut menu….<i>(Sebut Sendiri)</i> Dan bapak lebih berselera makannya, bila dimasakkan lauk….<i>(Sebut Sendiri) </i>buat ibu sendiri. <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku tidak usah kau pikirkan, aku akan makan diluar <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sedang buat saya? <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Beli saja tahu, tempe, petei dan kangkung <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kenapa petei Nya? <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kan baik untuk orang yang sulit tidur <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">lantas kalau bapak datang, dan menunggu ibu mau makan bersama, bagaimana Nya? <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Makanya kuminta agar bapak meneleponku, bila bapak pulang dari kantornya. <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan bila bapak tidak pulang? <br /><b><br />Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa yang kamu pusingkan? Apakah bapak pulang atau tidak, yang penting harus kamu siapkan makan buat bapak. <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau bapak tidak pulang. Berarti dua orang yang tidak akan makan di rumah. Dan uang belanja hari ini, biar saya gunakan untuk beli ayam Kentucky. <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kok ayam kentucky? Buat siapa? <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya, buat saya, Nya. <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tak suka tahu dan tempe? Tak mau makan dengan sayur petei dan kangkung? <br /><b><br />Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bukan tak mau Nya. Tapi, untuk peningkatan mutu <br /><b><br />Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tahu dengan mutu segala. Tahu, tempe, petei dan kangkung jauh lebih bermutu dibandingkan dengan ayam goreng Kentucky. Sudah, sana pergi ke pasar <br /><b><br />Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mana mungkin pergi sekarang Nya. Lantai dapur belum disikat, ruang tamu belum ditata rapi, cuci piring, cuci pakaian dan setrika, juga belum dibereskan. Belum lagi kamar tidur , kompor harus diservice, potong rumput, itu ini…… wadduh. Mana mungkin Nya. Kalau begini keadaannya, saya mohon berhenti Nya. <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">eeee…tidak keliru nih? Kamu ngomong apa? <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mohon berhenti Nya <br /><b><br />Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa? Berhenti? <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya, Nyonya <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kenapa bisa-bisa jadi begini sum. Semestinya kamu pakai tata cara yang benar. Majukan permohonan, paling tidak satu bulan sebelumnya. Jangan mendadak seperti ini. Kamu kan tahu, aku selalu sibuk. Dan kesibukanku justeru untuk membantu bapak dan mensejahterakan anak-anak, juga termasuk kamu. Kamu tiba-tiba mau berhenti. Kan menyusahkan ibu? Apakah karena gajihmu kurang memuaskan? Baik akan kuberi tambahan uang ekstra Rp. 15.000,- sebulan. Artinya gajihmu menjadi seratus lima ribu rupiah <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Terimakasih Nynya. Tapi bukan itu yang menjadi sebab saya mau berhenti <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">lantas soal apa? <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Soal kesempatan. <br /><br /><b>Ibu </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"> Kesempatan? Kesempatan apa? <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Menghibur diri. Nonton dibioskop misalnya . <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Cuma itu? Boleh saja. Dan dengan tambahan uang lima belas ribu itu, kamu bisa menghiur diri entah mau nonton, entah piknik <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bukan itu saja Nya. <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kok, macam-macam. Apalagi? <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ikut arisan dan yasinan Nyonya <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wah, itu sangat bagus sekali. Ibu sangat setuju. Dan tolong juga, kau wakili ibu dalam kegiatan-kegiatan dikampung. <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oh, nyonya benar-benar baik <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apalagi? <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ada satu lagi, Nyonya….mengenai penampilan saya. Misalnya, baju, kerudung, kain, dan..perhiasan. <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">(MENARIK NAFAS PANJANG) sum, sum… penampilan segala… baiklah kalau memang itu maumu. Ibu akan berikan semua itu. Dan kamu boleh pilih pakaianku yang ada di lemari. Kamu boleh pilih, sesuai selera kamu <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nyonya benar-benar majikan yang menyenangkan <br /><b><br />Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudah cukup? <br /><b><br />Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">lalu mengenai salon? <br /><b><br />Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Buat apa? <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Buat potong rambut dan cuci muka <i>( TAMPAK GENIT) </i><br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MENGGELENGKAN KEPALA LALU TERSENYUM)</i> ada apa sebenarnya Sum? <br /><br /><b>Halidah :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MUCUL DAN SEBELUMNYA MEMBERI SALAM) </i>Assalammualaikum? <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(BERSAMA SUMI)</i> Wa’alikum salam. Batal kuliahnya? <br /><br /><b>Halidah :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Cuma periksa hasil ujian Negara <br /><b><br />Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lulus? <br /><b><br />Halidah :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Baru sebahagian yang diumumkan. Alhamdulillah nilainya semua B. <br /><b><br />Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">kalau kamu dapat menghabiskannya tahun ini, ibu akan beri hadiah yang mengejutkan. Nah, kebetulan Halidah sudah ada dirumah. Halidah bantu Sumi memilih pakaianku yang ada di almari. Dan ini uang, nanti kamu belikan perhiasan. <br /><b><br />Halidah :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ada angin baik rupanya. Sum, kamu mimpi apa tadi malam <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya pikir Nya, perhiasan itu tak usah dibeli. Lebih baik memakai yang punya ibu saja <br /><br /><b>Halidah :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bagaimana kamu itu sum. Perhiasan ibu kan mahal-mahal. Tak ada emasnya yang sedikit. Permatanya kan semua berlian. <br /><b><br />Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">itu lebih bagus Nya. <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudah-sudah. Halidah kamu ambilkan saja gelang, liontin, dan cincin itu, buat Sumi. <br /><br /><b>Halidah :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku tidak mengerti, kenapa ibu begitu memanjakan Sumi? <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ini bukan memanjakanku. Tapi untuk sekedar meyakinkan masyarakat, bahwa Nyonya Dermawan, ibu nona sendiri yang dikenal sebagai pengusha sukses, sekalipun orang pada tahu, bahwa tuan Dermawan ayah nona, cuma seorang pegawai biasa, telah berhasil meningkatkan kuwalitet seorang wanita dari kalangan babu semacam saya. <br /><br /><b> Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ibu pikir, tidak ada yang diperlukan lagi kan? <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Masih ada satu lagi Nyonya. <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau memang ada, lain kali kita bicarakan. Aku sudah terlambat. <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi ini demi kepentingan ibu sendiri kok. <br /><br /><b>Halidah :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sumi, ingat. Kamu sendiri punya tugas pokok. Dan ibuku punya tugas penting yang harus dikerjakan. <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Betul. Apa yang dikatakan Halidah memang betul. Kamu harus disiplin. Nah, aku pergi. <br /><b><br />Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sebentar, Nya <br /><b><br />Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aduh. Ada apa pembantuku yang baik? <br /><br /><b>Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ibu sih terlalu lunak. <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Baik akan ku dengarkan. Demi aspirasi seorang pembantu rumah tangga. Ada apa lagi Sumiku sayang? <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Begini Nyonya. Agar urusan rumah tangga bisa licin dan tampak berbobot……maka saya usulkan agar nyonya menambah tenaga pembantu di rumah ini. <br /><b><br />Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(KEMBALI MENARIK NAFAS PANJANG DAN AGAK JENGKEL). </i>Baik-baik. Kau atur saja berapa orang maumu. <br /><b><br />Halidah :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudahlah sum. Soal pembantu tidak usah dipikirkan. Aku kan sudah banyak waktu lowong. Tentunya aku bisa membantumu. <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mana mungkin, nona akan menjadi pembantu saya. Memangnya saya ini boss Nona? Dan agak lucu, bila saya pada suatu saat memerintah nona. Itu melanggar kode etik. <br /><b><br />Halidah :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kamu kurang mengerti Sum. Masalahnya apabila kita menambah tenaga pembantu, ini kan menjadi beban berat bagi ayahku. Berapa sih gajih ayahku. <br /><b><br />Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Halidah. Soal gajih ayahmu jangan bikin kepalamu pusing. Sudah biarkan saja usulnya si Sumi kita terima. Kepadamu Sum, kupercayakan untuk menambah, berapa maumu, terserah. Nah, ibu harus pergi sekarang<i>.(DENGAN BERGEGAS IBU PERGI). </i><br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ibu nona betul-betul seorang yang hebat. Bisa membangun rumah gedung. Punya mobil. Dan sebentar lagi akan punya banyak pembantu. Ini mengagumkan sekali. <br /><br /><b>Halidah :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Iya ya . kalau dipikir-pikir, kita ini sudah menjadi keluarga yang hebat. <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Betul nona. Dan nanti, saya usulkan juga, agar ibu membuat gardu penjagaan, kemudian mengajih beberapa polisi untuk tugas piket. Dan, saya akan mengatur jam tamu. Tidak semua orang boleh menamu kerumah ini. <br /><br /><b>Halidah :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan aku sebentar lagi akan menjadi seorang sarjana. <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan mas kawin buat nona akan bisa lebih mahal lagi.kalau boleh saya sarankan, agar nona memilih suami yang pedagang saja. Jangan seperti bapak, gajihnya sedikit. <br /><b><br />Halidah :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sssst. Jangan menghina ayahku. Biar gajih ayahku sedikit, tapi isa dimaklumi oleh ibu. <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan kalau ibu tidak berwiraswasta, saya berani bertaruh, bapak akan menjadi seorang kouptor. <br /><br /><b>Halidah :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Menghina ayahku lagi, ya. Hei, </span><span style="font-family: arial;">Sum sudah jam berapa?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Astagfirullah. Sudah siang. Bagaimana kalau nona Halidah yang pergi kepasar? <br /><br /><b>Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Memerintah ya! <br /><br /><b>Rawiyah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MASUK DENGAN MUKA MASAM)</i> hei Sum; sudah kau masak lauk paukku untuk hari ini. Kamu tidak lupa bukan dengan cap cai dan ayam Kentucky?<i> (TERUS KEDALAM) </i><br /><br /><b>Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bagaimana saya harus menjawabnya non Halidah? <br /><b><br />Rawiyah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MUNCUL LAGI DENGAN BERKIPAS DAN DUDUK DI KORSI) </i>panasnya bukan main dan lapar lagi! <br /><br /><b>Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Non….Nona Rawiyah…E…Lapar Ya? <br /><br /><b>Rawiyah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tak usah tanya! <br /><br /><b>Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(AGAK GUGUP DAN TAKUT)</i> Non…Nona Rawiyah, sudah pulang ya. <br /><br /><b>Rawiyah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa kamu buta ha! Ini siapa! Apa kau anggap aku ini sapi? Ini aku. Aku sudah datang! Ko masih tanya, apa sudah pulang segala! Apa maksudmu dengan pertanyaan seperti itu! <br /><b><br />Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">(TERGAGAP-GAGAP) Maksud saya…e..e…maksud saya…maksud Sumi, kenapa engkau bisa cepat pulang. Apa sakit, apa memang membolos sekolah?! <br /><br /><b>Rawiyah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(BANGKIT DAN MARAH PADA SUMI)</i> jadi kamu menuduh aku bolos sekolah?! <br /><b><br />Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak. Biar disambar petir, saya tidak bilang begitu. <br /><b><br />Rawiyah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pembantu apa kamu itu. Semakin hari, semakin goblok! Sana, kedapur. Siapkan makananku! <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Rawiyah, sabar sedikit. Ibu baru saja pergi dan baru berikan uang. Sekarang Sumi baru akan ke pasar. <br /><b><br />Rawiyah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa? Baru akan kepasar? Mau apa sudah siang begini. Mana uang itu….mari, serahkan padaku! <br /><br /><b>Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ini non…..<i>(MENYERAHKANNYA) </i>dan hendaklah nona Rawiyah ketahui, bahwa saya mau berhenti. Tapi ibu nona melarangnya. Saya benar-bernar tak sanggup bekerja di rumah ini. <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudahlah. Ibukan sudah setuju, kalau lita harus menambah tenaga pembantu, di rumah ini. Berapa orang diperlukan, Sumi sendiri yang tahu. Sumi bebas mencarinya berapa orang maunya. <br /><b><br />Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nah, begitu maksudnya. Jadi saya mau cari tambahan tenaga pembantu. <br /><br /><b>Rawiyah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Carikan satu orang. khusus buat saya. Dan uang ini akan kupakai sendiri. Hari ini tak usah belanja. Tak usah memasak. Buat apa? Ayah dan ibu sendiri jarang mau makan di rumah. Dan aku sendiri akan makan direstoran.<i> (PERGI) </i><br /><br /><i>TELEPON BERDERING: </i><br /><br /><b>Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MENGAMBIL GAGANG TELEPON DAN MEMASANG KETELINGANYA) </i>hallo…ya, betul…disana siapa?...Ha! siapa! Oooo, tuan…betul disini saya. Ya , saya….iya saya!....Ha…! oh, maaf….maksud saya, ya saya Sumi….Bagaimana?...<i>(KEPADA HALIDAH) </i>sssssst….Non ini dari ayah non.<i>(MENYERAHKAN GAGANG TELEPON KEPADA HALIDAH) </i><br /><br /><b>Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hallo…Saya, Halidah…ya..Apa?...ayah tidak sempat pulang…lebih baik ayah sendiri yang telepon kekantor ibu…apa?...ibu tidak ada ditempat?....baik-baik.<i>(MELETAKKAN GAGANG TELEPON) </i><br /><br /><b>Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ayah non tidak akan makan dirumahkan?....saya sudah menduganya. <br /><br /><b>Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Artinya Cuma kita berdua yang berfikir untuk makan siang. Hei, Sum, kan barusan dikasih ibu uang. Bagaimana kalau sama-sama ibu pergi ka restoran? <br /><br /><b>Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aduhh. Cocok sekali. Dan saya akan pilih pakaian ibu yang terbaik. Mari non, tolong ambilkan. <br /><i><br />BELL PINTU </i><br /><br /><b>Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sumi, ada tamu. Bukakan pintu dan persilakan tamu itu masuk. <br /><b><br />Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan tolong persiapkan pakaian untuk saya non. <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya<i> (MASUK KE KAMAR) </i><br /><br /><b>Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MENUJU PINTU DEPAN)</i> O…, Nyonya…mari, silahkan masuk. <br /><br /><b>Wanita 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MASUK DENGAN SENYUM SINIS) </i>Ini rumahnya tuan Dermawan bukan? <br /><b><br />Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Betul nyonya, dan nyonya siapa? <br /><b><br />Wanita 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Siapa? Saya? …apa perlu kau tahu? Kau kan pembantu rumah tangga ini? <br /><b><br />Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Itu betul. Tapi sudah naik jabatan menjadi kepala biro. <br /><br /><b>Wanita 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kepala Biro?....Kepala biro apa?! <br /><b><br />Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kabirmahtang. <br /><b><br />Wanita 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kabirmahtang? Apa itu? <br /><br /><b>Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oh, saya kira nyonya seorang terpelajar. Tahu tahu. <br /><br /><b>Wanita 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tahu tahu apa?... <br /><br /><b>Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oh tidak apa-apa. Jangan marah nyonya. <br /><b><br />Wanita 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kamu bilang saya buta huruf, Ha?!<i> (MENGANCAM) </i><br /><b><br />Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(KETAKUTAN SAMBIL BERLARI DAN MEMANGGL HALIDAH)</i> Non Halidah<i> (TERIAK) </i><br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MUNCUL DENGAN PAKAIAN BUAT SUMI. DISERAHKANNYA PAKAIAN ITU PADA SUMI)</i> Ada apa Sumi…Ini cepat dandan ke dalam <i>(SUMI MASUK KE DALAM)</i> selamat siang….ibu mencari siapa? <br /><b><br />Wanita 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ini rumahnya tuan Dermawan kan? <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Betul <br /><b><br />Wanita 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan kamu siapa? <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya anaknya yang sulung. <br /><b><br />Wanita 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">O…Jadi ibumu sudah punya anak gadis yang sudah dewasa. Sudah kawin? <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Belum. Barusan selesai ujian Negara. <br /><br /><b>Wanita 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pantas sekali. Perawan tua. Belum laku kawin, ya? <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa sih hubungannya urusan ibu dengan pertanyaan itu? <br /><b><br />Wanita 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hubungannya erat sekali. Bagiku wanita yang sudah melampaui umur 15 tahun dan belum juga kawin, itu berarti perempun itu tidak laku kawin. Saya sendiri mejadi pengantin, ketika saya berumur 12 tahun. <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau adat dikampung yang masih buta pengetahuan, memang betul. Tapi kita sekarang ini di kota, dimana Undang-Undang perkawinan menurut persyaratan umur bagi seorang wanita, bila wanita itu mau menikah. Saya kira umur saya dua puluh empat tahun ini, masih belum terlambat untuk kawin. <br /><br /><b>Wanita 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lalu mengenai ibumu yang kukira sudah mencapai umur empat puluh tahun itu, kok masih hilir mudik cari suami. <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa yang ibu maksudkan menyinggung-nyinggung ibu saya? <br /><b><br />Wanita 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Makanya saya mau bertemu dengan ibumu yang kurang ajar itu! <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hei, dengarkan. Kalau ibu ingin menjadi seorang tamu yang terhormat, bicaralah dengan agak sopan. <br /><b><br />Wanita 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">saya datang cukup sopan. Kalau saya mau kurang ajar, rumah ini sudah kuobrak-abrik. <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lancang sekali! Tampaknya saja umur ibu sudah tua . tapi nyatanya seorang ibu yang tidak bermutu. Lebih baik ibu tinggalkan rumahku ini, sebelum saya bertindak lebih jauh. <br /><b><br />Wanita 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Begitukah sikap seorang calon sarjana terhadap seorag tamu yang datang dengan tanpa kekerasan? Jaga dong prestasi seorang wanita. Lebih-lebih bagi seorang terpelajar seperti kamu. <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Yang buruk perangai itu siapa? Kalau boleh aku tahu? <br /><b><br />Wanita 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Baik saya akan menjawabnya. Seorang wanita yang buruk perangai itu, ialah yang menggunakan sebagian kekayaannya untuk memikat suami orang. Dan orng yang buruk perangai itu, ialah wanita yang bernama SITI ROHANI, yakni ibumu sendiri <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kurang ajar?! <br /><br /><i>BELL PINTU BERBUNYI LAGI </i><br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Masuk ! pintu tidak dikunci! <br /><b><br />Wanita II : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MUNCUL DENGAN BERGEGAS) </i>Hei Halidah. Memalukan! Aku juga ikut malu! <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ada apa tante Mul. Dan bicaralah dengan tenang. <br /><b><br />Wanita II : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sekali ini bukanlah lagi kabar bohong. Tapi mataku sediri melihatnya. Ibumu. Astagfirulloh. <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Katakan terus terang, ada apa dengan ibuku. <br /><b><br />Wanita II : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Si Bandot tua itu. Semua orang tahu, namanya Jeki Herman <br /><b><br />Wanita I : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ada apa dengan Jeki Herman. Dia suamiku. <br /><b><br />Wanita II : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa, sibandot tua itu suami nyonya? <br /><b><br />Wanita I : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya, dia suamiku. Kenapa. Ada apa dengan dia. Bermesraan? Masuk hotel, atau…. <br /><b><br />Wanita II : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Yah, suamimu main gila dengan kakakku Siti Rohani! <br /><b><br />Wanita I : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ingat! Bukan suamiku yang bermain gila. Tapi Siti Rohani! <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Cukup! Kalian tidak berhak membicarakan ibuku di rumahku ini. <br /><br /><b>Wanita lain : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(DIPINTU LUAR)</i> Assalammu’alaikum? <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wa’alaikumussalam. Mari silahkan masuk <br /><b><br />Wanita lain : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya disuruh non Rawiyah kerumah ini. Katanya ibu rumah ini mencari pembanturumah tangga. <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Maaf, datang saja besok. Saya lagi pusing <br /><b><br />Wanita Lain : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Berat… gubug saya jauh. Dan saya tak punya duit. <br /><b><br />Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MUNCUL DEGAN DANDANAN YANG APIK DAN MEMUKAU) </i><br /><b><br />Semua : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(JADI TERCENGANG. WANTA I MENGIRA SI SUMI ADALAH YANG PUNYA RUMAH). </i><br /><br /><b>Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Halidah, siapa wanita yang tampak sakitan ini. <br /><br /><b>Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Rawiyah meyuruhnya, untuk jadi pembantu. <br /><br /><b>Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MEMPERHATIKAN DENGAN LAGAK IBU PEJABAT) </i>mau jadi pembantu, ya? <br /><br /><b>Wanita lain : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">betul ndoro. <br /><b><br />Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Punya KTP <br /><br /><b>Wanita lain : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya orang baru dikota ini ndoro. Pergi meninggalkan kampung, Karena kampong kami rusak oleh banjir. <br /><b><br />Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Punya ijazah SMA?... maksud saya, surat tamat. <br /><b><br />Wanita lain : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Belum <br /><br /><b>Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Surat tamat SMP? <br /><b><br />Wanita lain : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Juga belum. <br /><b><br />Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudah tamat sekolah dasar…SD maksud saya. <br /><b><br />Wanita lain : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya tidak pernah masuk SD. Dulu sempat masuk SR tapi baru sampai kelas tiga, saya dipaksa kawin oleh ibu saya. Lalu saya lari kekampung lain dan ikut keluarga saya. Terus saya di sekolahkan di Darussalam sampai kelas tiga Tsanawiyah. <br /><b><br />Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">O, Jadi pinter baca Al Qur’an? <br /><b><br />Wanita lain : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudah empat kali tamat mengaji Al Qur’an <br /><b><br />Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bagus, kamu punya prestasi yang baik. Coba kau ambilkan disitu….sepatu beledru yang berornamen air guci dan yang pakai hak. Itu disana…ya..ya..bawa kemari. <br /><b><br />Wanita lain : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MENGAMBIL DENGAN GUGUP DAN MEMBAWANYA KETEMPAT SUMI DUDUK) </i><br /><b><br />Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"> Terimakasih. Non Halidah…berikan kepada dianang buat beli sabun. Itu ambil uang, belikan sabun, kemudian kau cepat kembali. Jangan lupa sabun mandi. Nanti kau kekamar mandi lalu bersihkan seluruh badanmu. Sana. <br /><b><br />Wanita lain : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(PERGI DENGAN AGAK KIKUK) <br /></i><b><br />Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hei, kalau sudah beli sabun mandi, cepat kembali dan masuk saja lewat pintu belakang….Nah, satu persoalan sudah bisa diselesaikan. Persoalan yang beerkaitan dengan usaha kita meningkatkan mutu seorang wanita, sambil melatih diri wanita itu untuk menegakkan disiplin dalam rangka ia akan memasuki kehidupan yang baru, yang kelak juga akan menjadi ibu rumah tangga. Berikut, soal kedua. Apa Itu Halidah. <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku tidak ingin buka mulut dengan perempuan gila itu! <br /><b><br />Wanita I : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya tidak terima….! <br /><b><br />Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ssssst….sabar. jangan emosi. Boleh bicara dengan dada panas, tapi kepala tetap dingin. Tante Mul…ada keperluan apa? <br /><br /><b>Wanita II : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Begini, suami perempuan itu, bukan lagi mata keranjang. Tapi keranjangnya. <br /><b><br />Wanita I :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa! <br /><br /><b>Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Diam! Ingat. Dari mula sudah saya katakan, bahwa rumah ini, saya yang berkuasa. <br /><b><br />Wanita I : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jadi…Jadi, memang kau orangnya. Kamu yang bernama Siti Rohani itu? <br /><b><br />Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">O.., sekarang sudah jelas persoalannya. Mau kenal dengan orang yang bernama Siti Rohani? Bagus. <br /><b><br />Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(DEGAN SECARA MENGAGETKAN MUNCULDARI PINTU DALAM) </i>saya lah orang yang Bernama Siti Rohani itu. Siapa orangnya yang ingin tahu saya. <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ibu <br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tak usah kaget Halidah. Ibumu keluar rumah, hanya berpura-pura. Mobilku pergi hanya diisi oleh seorang supir. Sedang aku langsung masuk lewat taman belakang, kemudian bekerja di kamarku sendiri. Ibu mendengar semua persoalan yang terjadi diruangan ini. Jadi kamu isterinya Tuan Jeki Herman? Dan kau Mul juga ikut-ikutan menybarkan isu tentang saudaramu. Sayang sekali, suamimu yang begitu baik, kau ada-ada secara membabi buta, sehingga nama suamimu jadi hancur. Mul, kamu barusan melihat aku dengan jeki Herman suami ibu ini? <br /><b><br />Wanita II : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya melihat, Tuan Jeki Herman di dalam mobilmu dan disampingnya seorang wanita. Tentu saja wanita itu kukira kamu. <br /><b><br />Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">aku tidak mendustakan, kalau tuan Jeki Herman di dalam mobilku. Tapi wanita yang disampingnya itu, bukan aku. Jadi kuminta agar ibu jangan meniup-niupkan gossip yang berudara racun itu. Hati-hati sedikit <br /><br /><i>BELL TELEPHONE </i><br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MENERIMA TELEPHONE, KEUDIAN MENYERAHKAN PADA IBU) </i><br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hallo… Ya.. Saya Ibu Dermawan …Apa? .... Namanya? .... Ya.. Ya… Sudah dibawa kerumah sakit. <i>(DENGAN LEMAS IBU MELETAKKAN GAGANG TELEPHONE) </i><br /><br /><b>Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ada apa Bu? <br /><b><br />Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ada apa Nyoya? <br /><b><br />Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak apa-apa. Cuma terserempet. Bu <i>(KEPADA WANITA I) l</i>ebih baik kita kerumah sakit sekarang. Suami ibu sedikit cidera. <br /><b><br />Wanita I : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"> Kenapa suamiku <br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ada kabar dari kepolisian, mobil saya yang ditumpanginya bersama anak saya Rawiyah terserempet. Tapi tak apa-apa. Cuma lecet. <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bersama Rawiyah? Kenapa bersama Rawiyah. <br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dari kamar ibu, tuan Jeki Herman telah kutelepon, agar membantu Rawiyah menjemput lima orang pembantu yang ada di Desa Mekar. <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"> Darimana ibu tahu tempatnya Rawiyah. <br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ibu tahu, dimana saja tempat ngelayapnya anak-anak ibu. Bukankah Rawiyah pergi makan siang kerestoran?.... Ibu tahu, di restoran mana ia makan. Kan gampang dijemput sopir. <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"> Dan kenapa mesti dengan tuan Jeki Herman? <br /><b><br />Wanita 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"> Yah, kenapa mesti dengan suami saya? <br /><b><br />Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pertanyaan yang bagus. Bertanya itu jauh lebih bagus dibanding menduga yang bukan-bukan. Kenapa mesti dengan tuan Jeki Herman? Kenapa mesti dengan suami Ibu? Untuk Ibu wajar untuk menuduh saya dengan suami ibu, karena suami Ibu didalam mobil saya. Dan lebih latah lagi adik saya Muliyani ikut menyebar fitnah, bahwa saya Siti Rohani dengan mobilnya membawa laki-laki lain. Perhatikanlah Halidah. Ibu tidak akan pernah berbuat yang macam-macam melanggar etika dan larangan agama. Jadi jangan buru-buru menuduh seseorang hanya karma mobil pribadi orang itu. <br /><br /><b>Wanita 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">sudahlah bu Rohani jangan lagi diperpanjang persoalan ini. Saya terlalu gegabah dan cepat percaya dengan kabar dan pembicaraan orang lain. <br /><br /><b>Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan tante Mul jangan cepat menyebar fitnah. <br /><br /><b>Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Makanya kalau mau jadi wanita yang berprestasi, jangan suka anjur antar pembicaraan orang. Banganga dahulu hanyar baucap. Tabarusuk batis kawa dicabut, tapi tabarusuk pander jadi kalahi. <br /><br /><b>Wanita 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">saya minta maaf baik kepada ibu maupun kepada anak ibu. <br /><br /><b>Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lihatlah saya. Dengan penampilan saya yang keren ini, orang-orang akan yakin bahwa sayalah yang wanita panutan. <br /><br /><b>Wanita 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sumi, sumi, watak dan kepribadian jangan dinilai dari kerennya busana. Biar kamu pakai perhiasan emas dan berlian derajat kamu tetap saja seorang babu. <br /><br /><b>Sumi : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi tante Mul. <br /><br /><i> ( Terdengar ketukan dipintu. Tiba-tiba muncul Rawiyah digandeng wanita lain yang membawa kantung plastik yang berisi barang belanjaan. Semua kaget ) <br /></i><b><br />Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"> Rawiyah ! </span><span style="font-family: arial;"><i>( Merangkuhnya )</i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><b>Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">dik Rawiyah. <br /><br /><b>Ibu : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mana om Jeki Herman. <br /><br /><b>Rawiyah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Om Jeki Herman dirumah sakit. Sopir dan om Jeki Herman harus di opnama. <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mobil ibu? <br /><br /><b>Rawiyah :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Karena ingin cepat kedesa Mekar jemput pembantu. Di perempatan sopir melanggar rambu-rambu lampu merah. Tentu saja mobilnya rusak parah. <br /><b><br />Halidah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Orang yang menabrak ibu harus mengganti. <br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Biarkan mobil rusak. Gampang beli yang baru. <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya, biarkan mobil. Yang penting kita segera kerumah sakit. <br /><br /><b>Wanita 1 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Betul. <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mari.<i> (Buru-buru menuju pintu disusul wanita 1) </i><br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ibu. Saya dengan dandanan seperti ini tidak pantas kerumah sakit. Sumi harus stand by dirumah. <br /><br /><b>Ibu :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Terserahmulah. Mari. <i>(Pergilah ibu dengan wanita 1) </i><br /><b><br />Rawiyah :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Menuju kursi digandeng orang lain) </i><br /><br /><b>Sumi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Alhamdulillah, Rawiyah sudah punya pembantu sendiri. Tinggal pembantu untuk saya. <br /><b><br />_________________________SELESAI_____________________ </b><br /><br />Banjarmasin, 3Desember 1989<br /> Revisi, 21 april 2010<br /> Yayasan sanggar Budaya<br /> Kalimantan selatan</span><br /> </div>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-45902308396895601222023-01-23T00:03:00.006-08:002023-01-25T08:33:25.698-08:00KLINIK JIWA - Rudolf Puspa<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbN3E6pK6CKCyJ3Ivy2T28cNyO5WnUs1mISKTKfFtE5Ni4T4dorGVXzNLkik7I-AR43EbeKporLwF11jda5yrBduD2mj1kPkq8tJTi7fIjUtWXGihYCXFZseQBTRQsoKI9N5ihfnjTg0tYxX83EpXbvyFPF3bjmRl69zJCM2fziP6V-ZHAVKqmYb0h/s9055/klinik%20jiwa.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbN3E6pK6CKCyJ3Ivy2T28cNyO5WnUs1mISKTKfFtE5Ni4T4dorGVXzNLkik7I-AR43EbeKporLwF11jda5yrBduD2mj1kPkq8tJTi7fIjUtWXGihYCXFZseQBTRQsoKI9N5ihfnjTg0tYxX83EpXbvyFPF3bjmRl69zJCM2fziP6V-ZHAVKqmYb0h/w400-h261/klinik%20jiwa.jpg" width="400" /></a></div><br /></div><div class="separator" style="text-align: center;"><br /></div><div><span style="font-family: arial;"><b>CATATAN PENULIS:<br /></b><i>Suasana Pengap Rumah Sakit Jiwa. Merintih. Shock. Menangis, tersenyum, marah-marah. Lucu aneh-aneh merupakan bentuk aktifitas para pasien jiwa. Ada perawat yang mengawasi serta sesekali menolong mereka jika aktifitas mulai membahayakan dirinya atau sesama pasien. Jumlah pasien tidak terbatas, tergantung penggarapan sutradara dan yang penting dapat menampilkan garapan yang semua ada maknanya, walaupun barangkali tak pernah bicara. Di sini para pasien justru sangat nikmat mendapat suntikan, hilang kesadaran, fly justru terus dicari, maka sangat cerah setiap asisten dokter yang bertugas menyuntik datang ke mereka. Unik aneh namun jadi satu ide yang menarik.</i><br /><i>Pementasan ini mengambil, ruang atau bangsal. Sebuah Rumah Sakit Jiwa dimana para pasien berkumpul. Jika ada kursi dan meja tentu merupakan set prop yang ada kesan tidak membahayakan aktifitas pasien. Barang-barang yang unik serta bentuk warnanya akan memberi aksentuasi keadaan jiwa-jiwa yang sedang terguncang.</i><br /><i>Dimulai dengan bunyi-bunyian yang memberi tekanan jiwa-jiwa yang ganjil. Pagi hari, para pasien berdatangan dari kamar mereka dengan gaya atau tingkah polah yang merupakan gambaran dari keadaan jiwanya. </i><br /><br /><b>Pasien 1 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(wajah serius, matanya memandang jauh tanpa apa yang dilihat. Selalu lurus pandangannya. Ia membawa tongkat komando dari bulu ayam pembersih meja yang masih terbungkus separo. Kurang lebih 20 kacamata aneka bentuk dan warna dipajang dibajunya. Dandanannya sangat menor. Berjalan ditegap-tegapkan. Dia suka sekali pidato. Ke kursi atau tempat yang tinggi dan pidato. Tak jelas bicaranya. Anak muda yang gagal, jadi pemimpin organisasi dan selalu di demo untuk dipecat. Selalu ketakutan dilihat orang banyak. Cepat sembunyi berdandan sebagai pemimpin resmi).</i><br /> Pidato,<i> (merubah suaranya) </i>Pidato. <i>(mempercepat bicaranya)</i> pidato, pidato, pidato dan bla...bla...bla..., <i>(berpikir dan tiba-tiba keras tak beraturan nadanya)</i> Bla bla bla bla bla blaaaaa................ ciluuup......blaaaaaa <i>(diam tegak bagai patung). </i><br /><br /><b>Pasien 2 : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(selalu berjalan lurus dan kalau belok seperti celeng yakni loncat. Anak muda yang ingin jadi ahli hitung namun nilainya selalu jatuh. Stres berkepanjangan akhirnya suka ambil jalan pintas minum obat terlarang berlebihan hingga kehilangan kesadarannya. Kemana-mana bawa sempoa. Berhitung saja kerjanya. Ada keinginan dirinya untuk bisa merdeka, bebas dari tekanan kegagalan dandanannya norak).</i> 25 kali 45... yaa betul sekali. 25 kali 45 sama dengan 45 kali 25. (menghitung lagi) 17 kali 8 kan 45... (keras sekali) merdeka!!!!!!!!! 17 kali 8 kali 45 ialah ....merdeka. merdeka. (menari-nari aneh sebab serba lurus-lurus kekiri kanan. Sempoa jadi alat musiknya. Lalu asik hitung dengan sempoa). <br /><br /><b>Pasien 3 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(selalu cari teman. Takut sendirian. Suka nyanyi. Bawa boneka yang dianggapnya adalah anaknya. Gayanya manja sekali. Ia merasa tak pernah diperhatikan. Merasa selalu dibenci siapapun. Ia selalu mencari ayahnya. Ia tau punya ayah tapi jarang sekali ketemu. Ibunya sibuk sebagai wanita pedagang besar. Ia sendirian dirumah hanya ditemani pembantu-pembantunya. Disekolah merasa tersingkir. Ia suka melamun. Ketewa sendiri. Nyanyi-nyanyi sendiri. Lagunya takpernah selesai. Lagu kanak-kanak yang muncul. Dan lagunya hanya “bintang kecil” irama rock, anak,seriosa dsb.) </i>bintang kecil........ bintangkecil........<i> (melihat</i> sekeliling) papa...papa...be, be babe.... <i>(mencari tempat duduk dan mengelus asik bonekanya. Dandanannya remaja yang serba pakaian terkini dan jadi aneh karena komposisi warna dan model campur tak cocok. Topi, kaos kaki, sepatu, baju, kaos, rok, makeup yang cantik berlebihan dan jika laki-laki yang main jadi kebencongan). </i><br /><br /><b>Pasien 4 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(lagaknya bagai seniman. Lalu berkata-kata yang sepertinya puitis. Suka berhayal hingga hilang kesadarannya. Dari kecil tak kenal orang tuanya dan ia ikut neneknya yang kemudian meninggal dan dia sangat sedih dan akhirnya tak kuat menahan kesepian dan rasa kehilangan itu. Berpakaian yang serba robek celananya. Asesoris memenuhi tubuhnya. Bajunya yang digantungi saputangan warna warni. Kaki satu pakai sepatu dan yang satu pakai sandal. Wajahnya dihiasi coretan bunga atau gambar wanita, serba romantis).</i><br /> Sepi. Sepi. Sepi. Sepi. Ing gawe rame pamrihnya. <i>(tertawa terpingkal-pingkal). </i>Awas hati-hati. Kecepatan maksimum 5 km per jam. <i>(kuat sekali tawanya) </i>awas. Awas. Ada anjing galak. Keluar masuk kendaraan berat. Kacamata hitam harap dibuka. Senyum, ketawa tiga jariiiii <i>(tertawa sendiri sambil mencari tempat). </i><br /><br /><b>Pasien 5 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(anak muda yang gagal masuk sekolah militer. Ia merasa dirinya pahlawan. Jago perang. Badannya kuat. Bawa senjata tapi mainan. Jika mungkin ada pistol, senapan, belati namu mainan semua. Pakaiannya mirip tentara namun aneh. Warnanya pun bisa warna bukan tentara. Sebentar-sebentar bersiap seperti tentara menerima dan memberi perintah yang dilakukan sendiri).</i><br /> Nenek moyangkuu...........orang pelaut...........<i>.(diulang saja) </i>siaaaap, lencang ataaas, maju mundur selangkah grak. Berhitung. Satu dua satu dua satu dua satu dua.......tembaaaakan membabi butaaaa grak.tet tet tet tet tet tet tet teeeeeeeeeet. Siaaaaaap. Hormat senjataaa grak.<i> (senjata ditaruh di depannya dan dia hormati dengan gaya aneh).</i> Istirahat di terminal bayangan.<i> (cari tempat dan membersihkan senjata-senjatanya). </i><br /><br /><b>Narasi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Inilah suasana ruang berkumpul pasien rumah sakit jiwa. Jiwa-jiwa yang goncang, sakit, depresi mental yang tek tertahankan. Tak kuat menghadapi kehidupan pribadi yang berat. Kehilangan kasih sayang, jabatan, cita-cita yang gagal, tekanan ekonomi, politik dan sebagainya. Mereka menjadi aneh, menakutkan atau menggelikan. Namun mereka tak tahu apa yang mereka buat. <br /><br /><b>Semua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(dengan cara pengucapan yang bergaya masing-masing)</i> tauuuuu. Dia pikiiiir, kita gila. Kita pikiiir dia waras.<i> (bersama mengucapkan masing-masing kata miliknya).</i><br /> “pidato”, “bintang kecil”, “sepi, sepi?”, “merdek”, “ tembaaak”. <br /><br /><b>Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(gayanya juga termasuk aneh.tapi tampak sangat penuh perhatian pada pasien. Di baju seragam perawat, bisa putih atau warna cerah lain, tergantung peluit lebih dari satu dan berbeda warna dan kalau mungkin bunyinya juga. Tiap suara merupakan perintah yang diturut pasien. Ia meniup peluit). </i><br /><br /><b>All pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(melafalkan A-I-U-E-O dengan bentuk mulut yang benar namun aneh). </i><br /><br /><b>Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(memeinkan peluit, cepat lalu lambat, putus-putus dsb) </i><br /><br /><b>All pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(mengucapkan A-I-U-E-O mengikuti irama peluit) </i><br /><br /><b>Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(ambil peluit yang lain dan meniup memberi aba-aba) </i><br /><br /><b>All pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(berjalan dengan irama peluit itu dan duduk) </i><br /><br /><b>Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(ambil peluit lain dan meniup panjang) </i><br /><br /><b>All pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(menutup mulut sampai monyong hingga aneh sekali dan memberi tanda-tanda yang berarti diam) </i><br /><br /><b>Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(mencari tempat duduk dan baaca buku-buku komok) </i><br /><br /><b>Narasi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Perawat dan begitu juga dokter yang sehari-hari bergaul dengan pasien ini akhirnya seperti sulit dibedakan. Bagai saudara kembar atau pinang dibelah dua. <br /><br /><b>All pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(menuding kearah narasi) </i>bohong bohong bohong bohong. <br /><br /><b>Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(membaca ban agak berdiri karena sepertinya ceritanya serta matnya melotot.)</i> hiiiii ngeri. <i>(ambil peluit meniup cepat) </i><br /><b><br />All pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(segera duduk diam lagi) </i><br /><br /><b>Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(kembali meneruskan baca) </i><br /><br /><b>Narasi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nah, apakah kalau saya terlalu lama disini juga akan........ <br /><br /><b>Pasien 2 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Merdeka..... jangan.... jangan.....merdeka. <br /><br /><b>Narasi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(ketekutan gemetaran sekujur tubuh yang semakin kuat) </i><br /><br /><b>Pasien 5 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tembakan meriam salvo penghormatan terakhir..... <br /><b><br />Narasi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(sangat gemetar dan lari terbirit birit) </i>ma ma ma...... maamaaa.........maaaaaa..... <br /><b><br />Pasien 3 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(sambil mengangkat bonekanya)</i> papa...papa... be be babeeee..... <br /><br /><b>Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">(ada kejadian lucu yang ia baca dan ia tertawa kuat tapi mencoba menahan. Jadi tubuhnya bergoyang seperti menari saja <br /><br /><b>Pasien 4 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Awas hati hati pasar sepi. Minyak sepi. Harga naik. Awas rabies. Lapar busung. Flu nyamuk. demam burung berdarah. Flu babinian. Malarindu tropikangen. Tbc . diare. Ayo cepat. Yang terlambat masuk akherat. Sepi. Sepi. Sepi hatiku. <br /><b><br />Pasien 2 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">17 tambah 8 kurang 45 sama dengan....merdeka.... <br /><br /><b>Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(keras)</i> Nah rasakan kamu. <i>(memukul buku)</i> akhirnya dokter sang pahlawan kemanusiaan datang bersama asistennya. Rakyat bersorak menyambut : dekter datang dokter datang. <i>(ia bersorak kegirangan) <br /></i><b><br />Pasien 1 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dokter datang, pidato. Bla bla bla bla blaaa balaaa cilub blaaa <br /><b><br />Pasien 3 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kami belum siap segalanya <i>(menyanyi seriosa aneh. Lalu lari menyongsong dokter) </i><br /><br /><b>All pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dokter datang, dokter datang. <i>(menari-nari di tempat dengan gaya masing-masing) </i><br /><b><br />Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(membunykan peluit untuk diam)</i><br /><br /><b>All pasien : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(diam dan kaku) </i><br /><br /><b>Dokter :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(dokter diiringi asisten dikejar pasien 3. dokter dan asisten ketakkutan laripun dengan gaya mation. Sampai tengah panggung terengah-engah mengalah.lalu sisakit meneepuk dokter dan berkata) </i><br /><br /><b>Pasien 3 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nah sekarang dokter yang ganti jaga. Kejar saya. <i>(lari sembunyi) </i><br /><br /><b>Dokter :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Suster, mana buku status. <br /><b><br />Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(membawa buku status) </i><br /><b><br />Dokter :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(membaca dengan banyak berkerut dahinya dan kesulitan membaca)</i> buruk sekali tulisan ini. Sukar membacanya. Apa dokter harus selalu buruk tulisannya ? <br /><br /><b>Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi itu tulisan dokter sendiri? <br /><b><br />Dokter :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ooooooooo ya?<i> (menutup buku dan serahkan keperawat) </i>aaa lupa aku. <br /><b><br />Pasien 5 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lapor. Dokter lupa tulisannya sendiri. Laporan selesai. <br /><br /><b>Pasien 2 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dokter tambah lupa sama dengan........ Merdeka........ <br /><b><br />Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(meniup peluit untuk diam) </i><br /><b><br />Dokter :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">asisisten, periksa mereka. <br /><br /><b>Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(sangat aneh dan unik gaya bicara dan tingkah lakunya. Periksa mata, ketok dengkul, tiup leher, ajak omong, tapi bahasanya hanya bunyi saja, macam-macam dilakukan dan untuk tiap pasien berbeda) </i><br /><br /><b>All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(yang diperiksa memberikan respons yang khas dan unik sambil menunjukkan bagian tubuh minta disuntik dan kecewa karena asisten tidak menyuntik. Bahkan ada yang marah batal di suntik). <br /></i><br /><b>Dokter :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Melihat situasi) </i>Asisten.....mereka masih manusia kan? <br /><b><br />Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jelas dok. Bentuk dan susunan tubuh belum berubah. Yang kurang ya yang di dalam-dalam <i>(memberi tanda jiwa). </i><br /><b><br />All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(ketawa dibuat-buat serius)</i> ha ha hi hi hi....sok tau. <i>(Teriak) </i>Sisten. <br /><b><br />Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(meniup peluit diam) </i><br /><br /><b>Dokter :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sehat jasmani, rohani sakit rohani. Perlu penanganan dan penenangan. Sisten!! <br /><br /><b>All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Suntik mereka!!!<i> (menunjuk diriny masing-masing) </i><br /><br /><b>Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(melihat pasien yang siapkan diri. Ragu-ragu. Mengeluarkan jarum suntik dan kemudian...)</i> Jangan royal dengan obat dok. Tadi pagi kan sudah. Obat ini terlalu mahal untuk mereka. Lebih baik untuk mengobati anjing tuan Boby Bontang yang kaya raya. Kita akan banyak dapat cring cring cring. <br /><br /><b>Dokter :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi mereka... <br /><b><br />Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tinggalkan saja. Habis perkara. <br /><b><br />Dokter :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau ada apa-apa, kamu mau tanggung jawab? <br /><b><br />Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aaah beres itu<i>. (berbisik ke telinga dokter) </i>Soal pat galipat serahkan saya dok. Semua saya yang megatur. Kewajiban atasan adalah tutup mata dan telinga. Yang dulu-dulu juga begitu. Ini sudah turun temurun dok. Perlu dilestarikan. Oke? <br /><b><br />Dokter :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(mau bicara tapi asisten memberi isyarat tutup mulut)</i> lewat mana? <br /><b><br />Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Balik kanan grak. Maju menurut kata hati... grak. <i>(exit) </i><br /><b><br />All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pang ketipang ketipung ada dokter makan pat gulipat. <br /><b><br />Pasien 5 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tembak jitu pemakan obat.<i> (menembak dokter dan asisten yang lari menghindar) </i><br /><b><br />Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(meniup peluit agar tenang tapi salah ambil. Peluit yang untuk A-I-U-E-O) </i><br /><b><br />All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(langsung bunyi A-I-U-E-O) dengan cepat sekali) </i><br /><b><br />Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(ketawa sendiri. Ambil peluit lain dan memeriksa bahwa sudah tidak salah baru meniup karena sangat semangat justru tidak bunyi. Malah ke peluitnya dan meniup lubang membersihkan) </i><br /><b><br />Pasien 4 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sepi. Salah peluit jadi sepi. Sepi peluit.<i> (ambil peluit dan meniupnya) </i><br /><br /><b>All Pasien & Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">A-I-U-E-O<i> (berulang-ulang) </i><br /><b><br />Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(sadar dan kesal sendiri) </i>eh, kenapa aku ikut? <i>(ambil peluit untuk diam) </i><br /><b><br />All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(diam dan tenang) </i><br /><br /><b>Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(kembali mau membaca tapi bukunya hilang. Ia mencari bukunya). </i><br /><b><br />Pasien 1 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(membaca buku komik) </i>Nn..en..en... eee.. en.. kek.. enenek...oma. be abaaa pe apaaa..ek pak....papa<i> (tertawa geli sendiri) </i><br /><b><br />Pasien 3 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(langsung sambung) </i>Papa..papa... <i>(melambaikan bonekanya dan menangis)..</i>.siang minum cucu...cucu...oma... kalau malam ngedot asi... <i>(kaget sendiri dan melotot) </i>...what? what?...si what gito looooh.....asi sisisiapa tuuuu??? <br /><b><br />Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(riuh sekali)</i> Naaaa...ini dia....kembalikan. <br /><br /><b>Pasien 1 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(lari menghindar dan terjadilah kejar-kejaran dengan perawat) </i><br /><br /><b>Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(kelelahan dan ingat peluit) </i>aduh, bodoh aku ini. <i>(ambil peluit untuk diam dan meniup) </i><br /><br /><b>Pasien 1 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(langsung diam tenang di tempat) </i><br /><b><br />Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(menuju pasien 1 dan ambil buku dari tangannya. Kembali duduk di tempatnya dan baca) </i><br /><br /><b>All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(satu persatu mendekati perawat. Semua mau dekat buku. Perawat lalu memainkannya. Buku ke atas kebawah dan sebagainya. Perawat jalan ke sana kemari dan semua ikut saja. Semua dengan action mau mengikuti perawat) </i><br /><br /><b>Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(karena kesal diikuti lalu dibunyikan peluit agar duduk diam dan memberi isyarat tidur. Semua dengan bahasa peluit. Lalu ia meninggalkan tempat). <br /></i><br /><b>Narasi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ketika perawat bersama mereka maka suasana aman dan tenang. Tetapi, ketika perawat meninggalkan mereka maka yang namanya stress.<i> (pasien bangun dan stress)</i> histeris, <i>(pasien yang terik histeris) </i>bicara sendiri-sendiri, <i>(semua bicara sesuai isi hati yang goncang, pidato yang berapi-api dan sebagainya).</i> Hooo menyeramkan tapi juga menggelikan. <br /><br /><i> (para penderita histyeris mengarah ke narator dan narator ketakutan teriak minta tolong sambil lari ketakutan karena terkepung dimana-mana). </i><br /><br /><b>Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Perawat datang sibuk dengan peluitnya hingga pasien tenang kembali. Narator dituntun perawat keluar dari kepungan pasien dan segera meninggalkan tempat dengan takut). </i><br /><b><br />All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(melihat narasi pergi langsung semua girang. Teriak senang. Menari senang) </i><br /><b><br />Pasien 3 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(menyanyi bintang kecil dan semua ikut menyambut) </i><br /><br /><b>Pasien 5 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(menyanyi bagai tentara maju perang) </i>Nenek moyangku orang pelaut... <i>(semua ikut nyanyi) </i><br /><b><br />Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(ikut nyanyi dan lalu dengan peluitnya membuat mereka kembali tidur) </i><br /><b><br />All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(rupanya mereka sedang kuat sekali. Dan mulailah ngaco omongannya. Sesuai dengan peran masing-masing. Ribut sekali) <br /></i><br /><b>Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(bingung)</i> Aneh. Wah ini kumat namanya. Peluit tidak mempan lagi. Apa mau dikata, mau tidak mau ya...<i>. (teriak) </i>dokter dokter dokter dokter..........<i>.(sambil mengamankan pasie yang mau keluar dari ruang itu) </i><br /><b><br />Pasien 1 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dokter datang. Pidato...bla bli blu bla bla bla blaaa ciluuuuub blaaaa.... <br /><b><br />Dokter :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Masuk bersama asisten dan para pasien menyerbu asisten minta suntik) </i><br /><b><br />Pasien 5 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lapor. Peluit suster macet....tiaraaaap...tembaaak.... <br /><b><br />Dokter :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sisten. Jangan tanya lagi. <br /><b><br />All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Suntik mereka<i> (menunjuk diri masing-masing lalu siapkan bagian yang ingin disuntik. Dan nantinya asisten menyuntik bukan di bagian yang diminta pasien namun pasien fly mulai dari bagian yang dia minta) <br /></i><b><br />Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dok rencana dengan tuan beby Bon... <br /><br /><b>Dokter :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">(tegas) Suuunnn...... <br /><br /><b>All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tiiiikk!!!! Horeeee <i>(mereka membuka lengan baju, ada yang di paha, ada minta di ubun-ubun dan seterusnya aneh-aneh) <br /></i><br /><b>Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Keliling menyuntik dibantu perawat agar cepat. Setiap yang disuntik aneh-aneh responnya. Yang pasti menikmati terbang tinggi, tenang, fly he, setengah strip saja dosisnya. Kalau perlu kurangi lagi. Hemat pangkal kaya tau?! <br /><br /><b>Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pelit. Mau dagang atau mengobati?<i> (ngegrundel sendiri) </i>kalau moral korup bagaimana masyarakat akan sehat?....hiiii....tau ah gelap. Yang penting aku tak mau ikut gelap-gelapan. <br /><b><br />Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(selesai tugas dan melihat botol. Obatnya dalam tas)</i> Ya, masih cukup persediaan untuk...he he he..... Beres dok. <br /><b><br />Dokter :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Suntikan telah membuat mereka jauh bermimpi. Lihat, oke kan? <br /><b><br />Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya ya ya bagus dan terima kasih doker telah membebaskan aku dari keroyokan mereka. <br /><b><br />Dokter :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mereka tak punya tenaga, bagaimana mau mengeroyok? <br /><br /><b>All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(bangkit dan memandang tajam ke arah dokter mereka berjalan menuju dokter. Perawat gemetaran tapi bersikap tenang. Mereka memandangi doker bahkan ada yang dekat sekali kewajah dokter. Mereka berjalan mengitari dokter. Dokter takut tapi waspada walau gemetar juga). </i><br /><br /><b>Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tenang dok. Tenang saja. Mereka orang-orang yang dalam ketenangan yang luar biasa mereka aman di tangan kita. Jangan panik. Jangan menimbulkan hal-hal yang mencurigakan agar tidak terjadi hal-hal di luar dugaan dan di luar tanggung jawab kita. <i>(asisten nyayian lagu rakyat yang menimbulkan minat menari)</i> tak tontong kelamai jagung.......dst. <br /><b><br />All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(nyayian dan nari bersama asisten) </i><br /><b><br />Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(telpon genggamnya bunyi dan ia segera menerima namun tetap sambil menari terus) </i>ya halo ada di sini <i>(terkejut dan bicara kuat) </i>apa? <br /><b><br />All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(langsung juga bertanya namun terus menari bersama asisten) </i>apa?! <br /><b><br />Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(terus saja beri komando) </i>tak tontong .......ya ya..ya disini juga gawat tau kerahkan keamanan panggil polisi kalau perlu. Cepaaaat. <i>(tutup telpon dan langsung nyanyi kuat sekali dan nari cepat sekali)</i> ter, ter, peluit.... <br /><b><br />Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ok bos<i> (meniup untuk tenang) </i><br /><b><br />All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(langsung diam dan duduk istirahat sesuai bunyi perintah lewat peluit) </i><br /><b><br />Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(terengah-engah kedokter) </i>dokter ,pasien oaling parah mengamuk dan meronta dan kini lari dari kejalanan. <br /><b><br />Dokter :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jangan buang waktu kejar dan tangkap. Perawat, jaga mereka baik-baik. <br /><b><br />Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hadap kanan grak.... <br /><b><br />Pasien 5 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kejar pasien lari .....ayo lari.....heeee larilah kudaku .....heeee kudaku gagah berani aku pun jadi senang .....la la la la la....<i>.(dokter dan asisten bagai kuda lari) </i><br /><b><br />Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dasar gila ya tetap saja gila. Berangkat graaak. <i>(lari bersama dokter ) </i><br /><b><br />Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oke, waktunya minuuum.<i> (meniup peluit tanda minum dan membagikan dot bagi bayi atau sejenisnya) </i><br /><b><br />Narasi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mereka kembali kemasa kanak-kanaknya. Perawat pun tenang istirahat diruang perawat sambil membaca komik kesayangannya. Nah kisah selanjutnya. Pada jam kunjung pasien datanglah sepasang suami isteri /menjenguk tetangga yang adalah sahabat dekatnya /sang isteri merasa takut berada diruang kumpul pasien sang suami melihat-lihat mencari orang yang akan dikunjungi. Mereka terhenti dan........<i>(melihat ada pasien bangun ia takut dan segera exit) </i><br /><b><br />Pasien 3 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(melihat suami dan teriak) </i>Papa......papa...be be babeeee.... <br /><br /><b>Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">(buru-buru) Pak, pak jadi ada ....<i>(menuding pasien3) <br /></i><br /><b>Pasien 3 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aaaaah ada papa ngompol ........uuuh kamu nakal ya bon, jangan ya bon..boneka sayang. <br /><br /><b>Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bukan dia Dia bukan <i>(berbisik ke isteri) </i>dia salah satu pasien di sini. Pingin punya anak sampai gila. <br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dari mana tahu bahwa bapak pengin punya anak? Naaaaa.....ayo ngaku saja...jangan sembunyi-sembunyi...akan ketahuan juga. <br /><b><br />Pasien 3 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Taukan kamu bon sekarang.....lihat......<i>. (ke suami) </i>papa...papa...sayang..... <br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hus sama-sama. Dan kita tak perlu peduli pada mereka..kita tanya suster itu.ayo jam berkunjung sudah mau habis. <i>(karena sibuk dan buru-buru ia gandeng pasien 3 yang jadi senang) </i><br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">(teriak) Paaaaak.<i> (ketika suami melihat ke arah isteri baru sadar salah gandeng. lalu kembali kepada isteri dan membawanya pergi) <br /></i><b><br />Pasien 5 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tiaraaaaaap....tembak. <br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ayo cepaat bu <i>(suaranya gemetaran dan melangkah lebar lebar diikuti isteri yang melangkah lari-lari kecil..) <br /></i><b><br />Pasien 2 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kapan selesainya merdeka.? Kapan? <br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jangan membelenggu kami. Lepaskan. Beri kami kemerdekaan. <br /><b><br />Pasien 2 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya bukan penjajah. Saya ditambah saya sama dengan...merdeka. <br /><b><br />Pasien 4 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sepi tambah sepi kali sepi kurang sepi jadi........ kuburan... sepi sekali.. (tertawa sendiri) <br /><b><br />Pasien 1 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(bangun menguap panjang sekali dengan irama aneh) </i>pidato bla bla bla bla blaaaaaa cilup blaaaaa. <br /><b><br />Pasien 3 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Papa papa. <i>(kepada isteri) </i>Naaa... ini oma bon....oma lucu ya? Oma...oma...papa...papa... <br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pak. Kamu ada udang dibalik klinik? <br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bu, bu, bu nyebut bu....masa suamimu yang handsome begini ada main udang dibalik klinik. Di pasar ada udang terbuka siap di santrap. Ini bukan klinik hewan otak udang. Selingkuh mahal ongkosnya bu. Salah-salah dihajar masa runyam bu. Ini jman orang mudah marah. <br /><b><br />Pasien 4 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ssstttt jangan ribut. Ini bukan parlemen pertengkaran mulut. Dilarang mengganggu orang gila istirahat. <br /><b><br />Pasien 5 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tiarap. Tembaaak. Tret tet tet tet tet tut tut blam blam. <br /><b><br />All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Blam blam blam. <i>(mengepung suami Isteri) </i>blam blam blam. <br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(ketakutan)</i> tolong tolong tolong. Help me please. Plis plis plis gito loooh. <br /><b><br />Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(membunyikan peluit untuk tenang dan kembali ke tempatnya) </i>Anda siapa? Mau berobat? Apa keluhannya? Sudah lama atau baru? Bagian mana yang terasa sakit? <br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(teriak)</i> Saya mau mengunjungi pasien....!!!!!! <br /><br /><b>Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(teriak juga) </i>Siapa namanyaa...!!! <br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(teriak juga) </i>Jangan teriak bu, nanti mereka maraahhh..!! <br /><br /><b>Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau bisa marah artinya sehat pak.<i> (ke perawat) </i>Ter, saya mau lihat teman saya. Di mana kamar kelas I paviliun cempaka no.4 e? <br /><b><br />Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(memberi gerakan tubuh menggambarkan jalannya)</i> Lurus saja ke depan. Mentok terus belok kanan terus kanan lagi lalu kiri dan di situ ada ruang jaga dan tanya di situ. Kalau kurang jelas kemari lagi biar saya antar. <br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Rasanya tidak jelas. Jadi antar saja sekarang. <br /><b><br />Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak bisa. Sedang tugas. <br /><b><br />Pasien 3 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jangan, jangan. <br /><b><br />Pasien 4 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ruang kan sepi tanpa suster. Suster adalah pangkal keramaian. Oh sus, jangan tinggalkan saya. Aku kan merindu dikau hingga liang kubur. Ku tunggu di pintu sorga. <br /><b><br />Pasien 2 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Rindu kali kubur sama dengan...merdeka. Dia adalah zus merdeka. Ditanggung tidak luntur dan halal serta empuk manis. <br /><b><br />Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lekas jalan. Terlalu lama di sini memancing kerusuhan. <br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jalan pak. Betah amat di sini <i>(sambil menarik bapak) </i><br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya bu ya bu, sabar-sabar, pelan-pelan. Ingat waktu acara pernikahan? Pelan-pelan jadi juga. <br /><b><br />Pasien 5 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tembaakk... <br /><b><br />Suami & Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tembak eh tembak ya tembak tembaakk....<i> (lari) </i><br /><b><br />Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ah agak oho ditambah bakat... <br /><b><br />Pasien 2 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sama dengan........ merdeka........ <br /><b><br />Pasien 5 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(kepada suster)</i> Lapor. Tembakan selesai. Peluru habis. Gencatan senjata mulai. Mau belanja peluru. Nanti perang disambung lagi. Laporan selesai. <br /><b><br />Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kembali ke singgasana masing-masing ya sayang! <br /><br /><b>Pasien 3 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oke sayang, I Love You...<i> (mau romantis ke perawatnya)</i> love love.. I know i love you.. You You.... Yeah..suntik dong. <i>(perawat menuntun ke tempatnya) </i><br /><b><br />Pasien 4 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bila sampai waktuku....<i> (teriak sekencang-kencangnya)</i> ku mau tak seorangpun kan merayu... Tidak juga kau.....<i>(menunjuk ke perawat) </i><br /><br /><b>Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">He he.. ke sana saja sayang?<i> (pasien itu justru menari aneh dan sang perawat ikut saja sambil membawa pergi) </i><br /><b><br />Pasien 1 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pidato bla bli blu bla... Pidato..... <i>(melangkah ke arah lain)</i> Pidato.... <i>(pindah tempat) </i>pidato... bla bla blaaa cilub...blaaa....... Zus cantik ah..... <br /><b><br />Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lebih mudah menggembala kerbau sekandang. Ayo ayo sudah. Bagaimana caranya bicara sama mereka? Seperti waras tapi dalamnya? Ayo mundur.. mundur.. gundul gundul pacul cul..... Diam di tempat grak..... <i>(bingung) </i>dasar gila... (lalu mengucapkan aba-aba dengan peluitnya baru mereka menurut) nah awas jangan bergerak kecuali di tempat. <i>(sambil exit)</i> lapor... ada orang... laporan... selesai. <br /><br /><b>Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(agak buru-buru karena takut melewati tempat pasien berada) </i>Kasihan sahabat kita. Sudah jatuh ketiban palu godam juga. Kena PHK. Kena tuduhan penggelapan dana subsidi orang miskin. Mark up pembelian truck sampah. Akhirnya tidak kuat menahan malu, takut, penuh sesal dan.... <br /><b><br />All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(berdiri dan melangkah aneh-aneh dan pelan serta matanya tajam menuju satu titik yang sama. Diam dan melongo) </i><br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mereka sedang melihat apa? <br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa mereka masih bisa melihat? Apa yang dilihat? Kita lihat bu. <br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ke sana? Hiii ngeri. Kamu saja sendiri. Saya takut. <br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Penakut. Ya sudah tunggu saja di sini. Tapi jangan jauh-jauh dariku. Saya kan juga.... nggak ah. Siapa bilang saya penakut. Suami teladan<i> (mendekati takut-takut. Setiap ada gerakan pada pasien ia menghindar seolah-olah siap diserang. Sampai di depan mereka ia mencoba menggerakkan tangan di depan mata mereka yang tetap tak berkedip)</i> bu bu bu...bu... <br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(dari jauh) </i>Ya apa.... ada apa? Ada yang nggak beres? Berbahaya? Perlu bantuan? Tapi jangan saya yang disuruh ke sana. Saya takut... serem. Bilang kalau ada yang menakuti kamu. Biar saya ambil langkah seribu. <br /><b><br />Pasien 1 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jangan berisik. Di dalam sidang VIP tertutup. Dilarang dipublikasikan. Harap tenang. Dilarang mengganggu sidang gila. Itu gila namanya. Orang waras tidak gila tidak waras. <br /><b><br />Pasien 3 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Horeee.... papa..... tidak waras dan tidak gila. <br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dokter, dokter, perawat, asisten... <br /><b><br />Pasien 4 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bila sampai waktuku... <br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mampus saja sendiri. Dokter..... <br /><b><br />Pasien 2 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tanggal tambah bulan tambah tahun..... merdeka. <br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kamu sebagai suami jangan diam melongo begitu. Nanti sandal masuk ke mulutmu. Bantu aku. Kamu sudah tidak cinta aku ya? <br /><b><br />Pasien 3 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">You ypu i love you... I know i love you <br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Isteriku, kucinta kau..<i>. (gemetaran dikerumuni pasien) </i><br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Makanya jangan kau meremehkan saya lagi... <br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(melepaskan diri dari kerumunan)</i> O tidak sayang... kau cantik, manis, aduhai, dan.... pokoknya siiiiip deh, lahir batin siang dan malan tak ingin berpisah sejengkal pun. Tanpa kau hilang gairah hidupku. Ikal rambutmu, gelombang detak jantungmu, dengus semampai nafasmu, sorot sinar matamu, tutur kata hatimu ooooo membuatku menggeliat terbang berenang dalam kerinduan ingin memeluk mendekapmu. <br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Idiih kalau dekat-dekat begini penuh sanjungan... kalau di luar saya.... begitu melihat bunga merayu menebar senyum memikat syahwat maka lupa yang di rumah. Lelaki banyak manis kata. <br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Itu lelaki pada umumnya. Aku lain. Aku khusus. Aku lelaki tidak umum. Aku bersumpah demi bintang.... <br /><br /><b>Pasien 3 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bintang kecil....... <br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya betul<i> (nyanyi dan menari dengan pasien 3) </i><br /><b><br />Pasien 4 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">(mendekati isteri) Suamimu sakit ya...? <br /><br /><b>Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak. Enak saja<i> (mau merebut suaminya. Pasien 3 menarik juga akhirnya tarik-tarikan) </i><br /><br /><b>Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(kesakitan ditarik kiri kanan dan meronta melepaskan diri) </i>stoop! Saya masih waras bu? Masih ya bu?<i> (aneh)</i> Saya jadi betah di sini. Hawanya segar. Hidup enak tak perlu mikir. Dirawat. Tak ingat apa-apa. Happy happy terus. Bu, pindah ke sini saja ya bu<i> (makin aneh). </i><br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dokter dokter dokter <br /><br /><b>Pasien 2 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(suara berdengus besar) </i>Merdeka..... <br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sumpah aku tak mau lagi kemari. Biar dibilang sombong, tidak toleran teman sakit dan sebagainya dan seterusnya. Kapok aku. Oooo, dokter dokter .... dokter dimana kau..? aku tidak mau ketularan.... <br /><b><br />Pasien 1 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pidato... bla bli blu bla. Ciluuub bla.... orang waras tak ingin gila. <br /><b><br />Dokter :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(datang buru-buru diikuti asisten) </i>Ada apa ini? Kenapa teriak-teriak panggil dokter? Ibu ada sehat-sehat? Sisten. Bawa ke kamar periksa.<i> (exit) </i><br /><b><br />Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mari bu. <br /><br /><b>Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya tidak sakit. Saya sehat. Bodoh kamu. Dokter dokter tolong... <br /><b><br />Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kita periksa saja dulu bu. Dokter lebih tau. Ayo <i>(memaksa sehingga isteri meronta-ronta di bawa keluar) </i><br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dibawa kemana istriku? Hai...<i> (susah keluar karena dicegat pasien-pasien. Menghentakan dirinya dan memukul lantai)</i> Tidaaaak!!!! <br /><b><br />All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Gila gila gila gila gila.... <br /><b><br />Narasi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(muncul sangat anggun dan tenang) </i><br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(melihat narasi marahnya dia lampiaskan) </i>Siapa kau? <br /><b><br />Narasi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Seperti yang kau lihat. Wanita <br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Sinis sekali dan mencibir meremehkan).</i> Aku tidak mengundangmu. <br /><b><br />Narasi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku juga datang bukan untuk menemuimu. <br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(berdiri penuh nafsu) </i>Apa kau datang untuk menghiburku sayang? <br /><b><br />Narasi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(meledak amarahnya) </i>Itulah kalian para lelaki selalu menganggap wanita hanya sebagai hiburan belaka. Hanya dijadikan pelengkap tempat tidur. Kami protes keras. Kami juga punya hak menjadi subjek. Bukan objek sejak lahir. Betul kawan-kawan? <br /><b><br />All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Waaaoooo...mmmmmuuah. ah <br /><b><br />Narasi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mereka saja mengerti, kenapa kalian yang wara tidak? Hentikan sikap mau menang sendiri. <i>(jantan dan perkasa)</i> Kami bangkit karena kami ada. Kalian ada karena kami ada.<i> (feminim)</i> Hai.. camkan di hatimu. <i>(berjalan exit bak peragawati dan kemudian berubah wanita karier yang serba tegas dan sigap) </i><br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(lari mengejar tapi dithan pasien) </i>Andai bukan perempuan... kuremas-remas kau. Kutendang. Kuludahi. Ku ku ku rang ajar. <br /><b><br />All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Cuh cuh cuih <i>(tertawa)</i> gilaaaa... <br /><br /><b>Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Brengsek kalian <i>(mengamuk dengan gaya serba aneh) </i><br /><b><br />Pasien 1 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pidato. Ada orang waras mengamuk <i>(minggir dan menonton melongo aneh) </i><br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku masih waras<i> (menghempaskan dirinya ke lantai) </i><br /><br /><b>Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(masuk buru-buru) </i>Edan, edan. Ditinggal sebentar saja sudah berantakan. Ayo ingat. Ayo aku setrum kalian semua.<i> (membawa pentungan yang ada aliran listrik kecil. Setiap yang dikenai lalu kaget dan seperti terkejang saja jadinya. Aneh dan makin gila suasananya. Ada yang malahan minta tambah) </i>nah malah keenakan. Dunia sudah terbalik-balik kini. Mana yang edan sebenarnya? Bapak kenapa tidak pulang dari tadi? Betah di sini? <br /><br /><b>Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(nyanyi bintang kecil) </i><br /><b><br />Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aduh mati aku. <i>(tiba-tiba kesal dan nyanyi lagu rock keras yang lagi hits saat ini. Kedengaran memang kesal dan aneh sekali. Lama-lama kehabisan tenaga dan loyo tertunduk lemas) </i><br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(bertanya ke pasien)</i> Dia pasien? <br /><b><br />Pasien 3 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Papa gila. Tanya Pasien ke pasien <i>(semua tertawa tanpa arah dan masih ketawa saja asal ketawa aneh) </i><br /><b><br />Dokter :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(bersama asisten dan geleng-geleng saja melihat situasi yang kacau. Kaget melihat penghuni baru)</i> sisten, bapak itu pasien baru? <br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bintang kecil... <br /><br /><b>Dokter :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Suntik <br /><b><br />Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(menyuntik dan suami lemas tenang) </i><br /><b><br />Dokter :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Berapa persen kemungkinan sembuh? <br /><b><br />Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Seperti pepatah bilang “hidup segan matipun tak mau”. Ada orang hidup tapi tak waras ada yang waras tapi tidak hidup. Orang sehat yang dinyatakan sakit dan ada orang sakit dinyatakan sehat. Ah aneh aneh tapi nyata nyata. <br /><b><br />All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa gunanya? <br /><b><br />Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hus <br /><b><br />Isteri :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(muncul dengan gaya aneh) </i>Saya masih waras. Saya masih waras... tidak. Dokter, ampun ampun...<i> (berputar-putar di tempat saja) </i><br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dok, dia istriku... <br /><b><br />Pasien 3 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bintang kecil... <br /><b><br />Suami :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(nyambung)</i> Bintang kecil... tapi dia istriku... bintang kecil... peluklah aku dinda. <br /><b><br />Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Suster, kamu digaji bukan untuk tidur. Atur anak buahmu. <i>(sambil ke istri menyuntik)</i> Aaah suntik saja. Biaya urusan belakangan. <br /><b><br />Narasi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jangan biarkan anak-anak muda terlepas dari kasih sayang. Hindarkan dari penyakit mengerikan ini. Ini adalah bencana.... bencana nasional.... internasional.... <i>(jerit penyanyi rock yang memberontak) </i>bencana bencana bencana..... <i>(menangis dan tertawa) </i><br /><b><br />Dokter :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sisten<i> (suaranya lemas melengking hampir tak bersuara) <br /></i><b><br />All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">(parau) Suntiiik. <br /><b><br />Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(sama paraunya)</i> Siap.<i> (menyuntik narasi yang kemudian lemas keasyikan) </i><br /><br /><b>Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lelah. Daya tahan menipis. Akal waras tumbuh kelainan. Kenapa mereka sangat nikmat dan menyenangi obat ini? Bimbang. Ragu. Aku bukan orang kuat. Aku bukan malaikat. Sekelilingku setan-setan..... dan dan ...<i> (mau menyuntik) </i>ah tidak... tidak... harus ada yang waras walau Cuma satu... <i>(menangis) </i><br /><b><br />All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lho..lho..lho..... orang waras menangis <br /><b><br />Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau tiap hari yang seperti ini bertambah terus<i>. (lantang sekali)..</i>. lalu mau jadi apa bangsaku<i>. (menangis bagai anak kecil) </i><br /><b><br />Pasien 3 :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(lari menyumpal mulut asisten denan dot bayi) </i>bintang kecil...<i> (dengan semangat aneh) </i><br /><br /><b>All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Suami, dan Isteri : Bintang Kecil....<i> (parau tinggi) </i><br /><b><br />Perawat :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(sudah seperti gaya pasiennya) </i>stoop<i>. (yang nyanyi statis) </i>Untuk mengenang dan menghormati para pasien yang terus berkembang jumlahnya marilah.... heningkan cipta... mulai..... <i>(bersama dokter duet lagu seriosa)</i> Bintang kecil.... <br /><b><br />All Pasien :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Stoopp<i> (nyanmyi kuat sekali) </i>Bintang ke.... <br /><b><br />Asisten :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(suara anak kecil)</i> Stooop. <i>(semua statis) </i>Bin... <br /><b><br />Semua :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Stooop... <i>(suara kaset rusak. Lalu senyum dan riang) </i><br />Ini dia si jali-jali...</span></div><div><span style="font-family: arial;">lagunya enak lagunya enak merdu sekali... </span></div><div><span style="font-family: arial;">enak sekali enak sekali enak sekaliiiiiiiiii..... <br /><b><br />Narasi :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sampai di sini. Salam kami. Pidato. Bintang Kecil. Sepi. Tembak. Merdeka.</span></div>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-90372596884775447742023-01-23T00:00:00.006-08:002023-01-25T08:49:24.745-08:00TOLOOONG! - Putu Wijaya<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3XOAuRjRYZEMJvB1wvzuAJ9bh87GzcjesjqEpsjYRNlnLWeQzrQ9KlNkWrEXJd5gEuv9CtjHVaMWjbLUBYsuF9K6O2q5mPdC6r5xNR-73GpGGj2qxujl10Ph0Y6URiBjtjxjJVRinid7WnZHCK0Zc_Sz2xQbajz2qwr1A7ZeI19y4NQyYnHWHCEt2/s9055/TOLONG.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3XOAuRjRYZEMJvB1wvzuAJ9bh87GzcjesjqEpsjYRNlnLWeQzrQ9KlNkWrEXJd5gEuv9CtjHVaMWjbLUBYsuF9K6O2q5mPdC6r5xNR-73GpGGj2qxujl10Ph0Y6URiBjtjxjJVRinid7WnZHCK0Zc_Sz2xQbajz2qwr1A7ZeI19y4NQyYnHWHCEt2/w400-h261/TOLONG.jpg" width="400" /></a></div><p></p><span style="font-family: arial;"><br /><i>Para pelaku </i></span><div><span style="font-family: arial;">- Isah <br />- Bima<br />- Bapak Isah<br />- Ibu Isah<br />- Keluarga<br />- Wanita (Keke)<br />- Anak Isah<br />- Seseorang <br /><br /> <br /><br /><b><i>Narrator :</i></b><br />SETELAH 3 HARI DIANGGAP MATI,ISAH MENDUSIN. SEMUA ORANG YANG MENUNGGUI JENAZAHNYA MULA-MULA TERPEKIK. KEMUDIAN SEMUA ORANG MELIHAT KAIN-KAIN YANG MEMBUNGKUS SEKUJUR TUBUHNYA BERGERAK.<br />LALU TANGANNYA MENGGAPAI. DAN TIBA-TIBA SAJA WAJAH ISAH TERSEMBUL SEPERTI SEEKOR KERBAU KELUAR DARI LUMPUR. SEMUA ORANG KAGET. TAPI ISAH TERSENYUM. MUKANYA YANG HAMPA, NAMUN MENGANDUNG CAHAYA KEHUDUPAN. MATANYA MENYAPU SEMUA ORANG DENGAN HERAN. <br /><br /><b>Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku belum mati, mengapa aku diperlakukan seperti ini. <br /><b><br />Narrator :</b><br />KATANYA SAMBIL MENEPISKAN KAIN-KAIN YANG MENYELIMUTI SELURUH TUBUHNYA . TAK SEORANGPUN MENJAWAB.BIMA MENATAP WAJAH ISTRINYA YANG MATANYA BENGKAK KARENA MENANGIS. <br /><br /><b>Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ka Bima, Aku tidak mati, aku masih hidup. <br /><b><br />Narrator :</b><br />KATANYA DENGAN GEMBIRA. TAPI ISTRINYA, MERTUANYA, ANAKNYA, REKAN-REKANNYA, AYAH, IBUNYA, SEMUA YANG ADA DISANA TAK ADA YANG MENJAWAB.<br />SELURUH MANUSIA YANG BERADA DIDEKAT BIMA MEMBUNGKAM. TAKUT, HERAN, BERDEBAR, TERPESONA, DAN TIDAK DAPAT BERSIKAP BAGAIMANA. MEREKA SUDAH MENANGIS 2 KALI 24 JAM DIBANTING-BANTING DUKA. SAAT INI MEREKA SEBENARNYA SUDAH MELEWATI KRISIS MEREKA SENDIRI DAN MENERIMA KEMATIAN BIMA DENGAN RELA. TIBA-TIBA SEMUA BERUBAH SEHINGGA MEREKA SANGAT BUTEK. <br /><br /><b>Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku tidak mati. Aku tidak mati. Aku masih diberikan kesempatan hidup. Kasih aku pakaian biasa….<i>.(pause) </i>Aku juga lapar sekarang. <br /><br /><b>Narrator :</b><br />KATA ISAH, KEMUDIAN SAMBIL MENGULURKAN TANGAN. <br /><br /><b>Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lihat…!!! Lihat tanganku gemetar karena lapar. Darahku sudah berjalan lagi. Kalian tidak percaya ? <br /><b><br />Narrator :</b><br />ISAH DUDUK DIBALAI. IA MENYELIMUTI BADANNYA DENGAN KAIN KAFAN. IA MENGERTI UNTUK MEMBUKTIKAN KEPADA ORANG-ORANG BAHWA TABIR YANG TADINYA SUDAH DIBUKA SEKARANG KEMBALI DIGULUNG. <br /><b><br />Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalian tidak bermimpi, aku memang diberikan kesempatan hidup lagi. Barangkali aku memang belum waktunya menghadap dia. Sekarang aku dikembalikan kepada kalian lagi. Ini sungguh-sungguh. Percayalah…!!! <br /><b><br />Narrator :</b><br />PERLAHAN-LAHAN ORANG-ORANG DISEKITAR ITU MULAI MENDAPAT KETENANGAN. ADA YANG MENGANGGUK-ANGGUK. ADA YANG MULAI MENDEKATI BIMA. <br /><b><br />Bapak Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jadi kamu tidak jadi mati Isah…? <br /><br /><b>Narrator :</b><br />TANYA BAPAK ISAH YANG SUDAH TUA ITU. ISAH MENGANGGUK. BAPAKNYA MENARIK NAPAS PANJANG LALU TIBA-TIBA SAJA ROBOH PINGSAN. BEBERAPA ORANG CEPAT MERAWATNYA. WAKTU ITU ISTERI BIMA MEMBERANIKAN DIRI BERTANYA, TAPI MENJAGA JARAK. <br /><br /><b>Bima : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jadi kamu tidak jadi mati, kamu hidup lagi? <br /><br /><b>Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya <br /><b><br />Bima : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kembali kepada kami untuk selama-lamanya? <br /><b><br />Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sampai waktu yang ditentukan oleh yang maha kuasa. <br /><b><br />Bima : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Betul? Buktinya? <br /><b><br />Narrator :</b><br />ISAH MENGULURKAN TANGANNYA. TAPI BIMA MASIH BELUM BERANI MENYAMBUT. BEBERAPA SAAT IA BARU BERANI ORANG-ORANG LAINPUN BARU BERANI MEMANDANG. MEREKA MASIH BELUM PERCAYA SEDANG MENGHADAPI ISAH. <br /><br /><b>Seseorang : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kita mungkin bukan menghadapi manusia Tapi bayangan roh yang sedang berusaha melepaskan diri dari jasadnya. <br /><br /><b>Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jangan takut! <br /><b><br />Narrator :</b><br />KATA ISAH SETELAH MENDENGAR BISIK ITU <br /><b><br />Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya Isah. Saya Waras. Saya ingat, 3 hari yang lalu saya masih sehat bugar. Saya bersama suami saya baru saja pulang dari gunung. Lalu ada orang yang marah-marah karena kena serempet. Dia memukul saya. Saya tidak terima. Kemudian dalam perjalanan pulang, ada anak kecil menyeberang jalan dengan tiba- t tiba sehingga saya kaget. Saya juga marah-marah. Ya, saya selalu marah-marah ketika ada persoalan. Sebagaimana saudara-saudara tahu, saya dan suami saya sudah merencanakan cerai. Tapi rupanya jiwa saya sangat kacau melihat nasib anak saya dikemudian hari. Jadi saya marah-marah. Waktu itulah jantung saya berhenti, karena saya mengidap sakit jantung. Dan Dokter telah menetapkan saya MATI. Tapi dokter tidak berkuasa dari yang berkuasa. Sekarang jantung saya berdetak lagi. Kembali kepada keluarga. Kembali kepada kalian semua. Terimalah saya, jangan dipandang saja. Saya bukan Roh, saya bukan hantu, saya Isah…!!! <br /><b><br />Narrator :</b><br />ISAH MASIH TETAP DUDUK, TAPI KATA-KATANYA MENGGAPAI HATI SEMUA ORANG. MUKA ISAH MULAI MENGERUH. KATA-KATANYA MULAI TERANTUK-ANTUK KARENA KHAWATIR. BARANGKALI JUGA KARENA LAPAR.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br />Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya mau makan <br /><br /><b>Narrator :</b><br />KATANYA KEMUDIAN. LALU ISAH MELIHAT HIDANGAN KUE SESAJEN. LALU DIA MAKAN DENGAN RAKUS HIDANGAN ITU. ORANG-ORANG YANG TADINYA BUNGKAM ITU MELIHAT DENGAN BINGUNG KELAKUAN ISAH YANG MAKAN SESAJEN ITU. LALU MEREKA MENDEKATI BIMA DENGAN BINGUNG. <br /><b><br />Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kenapa? Kenapa kalian??? <br /><b><br />Narrator :</b><br />TANYA ISAH DENGAN GERAM. BAPAK ISAH MAJU KEDEPAN MENATAP ISAH DENGAN MATA MERAH. <br /><b><br />Bapak Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Isah !!! <br /><b><br />Narrator : </b><br />KATANYA DENGAN KERAS. ISAH TERTEGUN. <br /><b><br />Bapak Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kamu jangan mengganggu keluargamu lagi. Kalau mau mati, mati sajalah. Kalau ada diantara kami yang bersalah, maafkanlah. Tapi pergilah dengan tenang. Biarkan kami tenang disini. Kami akan merawat apa yang kamu tinggalkan. <br /><b><br />Narrator :</b><br />IBU ISAH IKUT MAJU <br /><b><br />Ibu Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Isah… <br /><br /><b>Narrator :</b><br />ISAH MENOLEH KEPADA IBUNYA <br /><br /><b>Ibu Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Anakku… <br /><b><br />Narrator :</b><br />KATANYA, TAPI BARU SEPATAH KATA IA JATUH PINGSAN. SESEORANG KELUARGA MEMBERANIKAN DIRI BUKA MULUT. <br /><br /><b>Keluarga : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dik Isah, sudahlah…Biarkan kami melepaskanmu dengan tenang. Kami memang bersalah, selama ini tak menghiraukanmu. Tapi apa mau dikata lagi, takdir sudah memutuskan kita. <br /><b><br />Narrator :</b><br />SEMUA ORANG YANG ADA DISANA LANGSUNG BUKA MULUT UNTUK TIDAK MENGGANGGU MEREKA. ISAH TERTEGUN. MATANYA HAMPA. LALU ANAKNYA MENDEKATI ISAH. <br /><b><br />Anak Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ini bukan ibu, bukan,, ini bukan isah, ibu sudah mati!!! (Lepas kendali) <br /><b><br />Narrator :</b><br />DIA MELEMPARKAN KAIN KAFAN KEPADA ISAH. ORANG-ORANG BERUSAHA MENENANGKAN ANAK ISAH. ISAH TAMPAK KESAKITAN MENDENGAR SUARA ANAKNYA. TAPI SEBELUM IA SEMPAT MENGATAKAN APA-APA. BIMA IKUT BICARA. <br /><b><br />Bima : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudahlah Sah, kami relakan. </span><span style="font-family: arial;">Kita dulu sudah hampir bercerai </span><span style="font-family: arial;">Terlalu banyak perbedaan, apa yang dipikirkan lagi. </span><span style="font-family: arial;">Aku akan menjaga anak kita. Aku akan merawatnya.Pergilah dengan tenang Sah, jangan ingat kami.Teruskan perjalanan kamu baik-baik.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><b><br />Narrator :</b><br />WANITA ITU MASIH INGIN BICARA, TAPI RUPANYA DIA TAK TAHAN LAGI MENAHAN PERASAANNYA. BADANNYA GEMETAR DAN MATANYA KEMBALI BERKACA-KACA. WAKTU ITU MAJULAH SEORANG LELAKI. DAN DIA MENATAP BIMA. BIMA TERTEGUN MENATAP ORANG ITU. <br /><b><br />Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Keke… <br /><br />BISIK ISAH. WANITA ITU MENGANGGUK. <br /><b><br />Keke : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya mba, saya tak sempat meminta maaf kepada mba Isah. Sekarang saya minta maaf. Tapi saya bersumpah bahwa saya benar-benar mencintai Mas Bima,suami mba. Saya berjanji akan merawat anak mba. Percayalah. Dan saya akan mencintai Mas Bima untuk selama-lamanya mba. Percayalah… <br /><br /><b>Narrator :</b><br />ISAH TAMPAK MEMEJAMKAN MATANYA. KEKE SEPERTI MENDAPAT KEKUATAN. IA MAJU SELANGKAH DAN TERUS BICARA. <br /><b><br />Keke : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jadi jangan ragu-ragu lagi. Pergilah dengan tenang. Semanya akan baik-baik saja. Kami semua mengenang mba sebagai orang yang bijaksana, Yang berhati agung, Yang mengerti segalanya yang penuh dengan maaf. Saya kira tidak ada orang yang begitu mengerti,Yang begitu agung seperti mba sejauh yang saya kenal. Pergilah dengan baik-baik mba… <br /><b><br />Narrator :</b><br />ISAH MEMBUKA MATA <br /><b><br />Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">BAJINGAN…!!! <br /><b><br />Narrator :</b><br />ISAH MENERKAM KEKE SEPERTI ORANG KESETANAN <br /><b><br />Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku tidak ingin mempertahankan apa yang ingin kamu miliki, Aku hanya mempertahankan kehormatanku sebagai suami yang hina. Pergi Anjing… <br /><b><br />Keke : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak mba, saya lakukan semua dengan jujur. Percayalah, semuanya dengan kejujuran, bukan karena nafsu birahi. Mari kita saling memaafkan mba… <br /><b><br />Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mati kau anjing. Mati kau..!!! <br /><b><br />Narrator :</b><br />MELIHAT SUASANA YANG KACAU.BAPAK ISAH BICARA. <br /><br /><b>Bapak Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Isah…!!!! <br /><b><br />Narrator :</b><br />ISAH TERDIAM.SENTAK KEKE LANGSUNG MELEPASKAN DIRI DARI TERKAMAN ISAH <br /><b><br />Bapak Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudahlah, pergilah dengan baik-baik. Rumah peninggalanmu sudah kami jual untuk membiayai upacara penguburan ini. Mobilmu juga sudah kami jual, supaya kami tidak selalu ingat kau. Dan uang simpananmu di Bank sudah kami ambil karena anak dan suamimu merencanakan untuk pindah kota. Sedangkan barang-barang lain…. <br /><b><br />Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">DIAAAM…!!! <br /><b><br />Narrator :</b><br />TERIAK ISAH TIBA-TIBA.SURANYA BERGETAR PANJANG,MATANYA BERINGAS. TETAPI TERIAKAN ITU SUDAH TIDAK MENAKUTKAN ORANG LAGI. SEMUANYA SEAKAN-AKAN TIDAK MERASA MENGHADAPI KEKUATAN GAIB LAGI, MELAINKAN MANUSIA BIASA. <br /><br /><b>Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalian terlalu. Kalian sudah preteli aku sebelum aku betul-betul masuk kubur! Kalian tidak bisa sabar sedikit menunggu perasaan-perasaanku lenyap dari sini. Kalian rendah semua. <br /><b><br />Narrator :</b><br />SUARA ISAH BAGAI CAKAR KUCING. IA MENANTANG SEMUA ORANG. TAPI ORANG-ORANG TIDAK TAKUT LAGI. DENGAN CEPAT ORANG-ORANG MENGAMBIL BENDA-BENDA DISEKITAR UNTUK DIJADIKAN SENJATA, KECUALI IBU DAN AYAH ISAH. MEREKA MENGELILINGI ISAH. ISAH TERDESAK DIBALAI-BALAI. <br /><b><br />Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak, aku tidak terima. Aku mau rebut kembali semua itu! Suamiku, anakku, rumahku, tabunganku, hak-hakku semua. Mana !!! <br /><b><br />Narrator :</b><br />TIDAK ADA YANG PEDULI. MEREKA MAJU SELANGKAH DEMI SELANGKAN MENGELILINGI ISAH. BAMBU-BAMBU DAN KAYU YANG SEDIANYA DIPAKAI UNTUK UPACARA PENGUBURAN SENTAK MENJADI ALAT PUKUL. <br /><b><br />Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Minggir kamu…!!! <br /><b><br />Narrator :</b><br />ORANG-ORANG MAKIN MENDEKAT. DAN SESEORANG MENANGKAP ISAH. TAPI ISAH DAPAT MELEPASKAN DIRI. DAN MENDORONG ORANG ITU. ISAH LARI MENJAUH DARI KEPUNGAN ORANG-ORANG. ORANG-ORANG MAKIN GANAS INGIN MENANGKAP ISAH. <br /><b><br />Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tolooong…!!! <br /><b><br />Narrator :</b><br />TERIAK ISAH. TAPI TAK ADA YANG MENGHIRAUKAN. ISAH BERTERIAK MINTA TOLONG. DAN LARI KEJALAN RAYA DENGAN TUBUH TELANJANG. <br /><b><br />Isah : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tolooong, siapa saja tolong aku…!!! <br /><b><br />Narrator :</b><br />TAK ADA YANG MENGHIRAUKAN. ORANG-ORANG KEMBALI MENGEPUNGNYA. DAN MEREKA LANGSUNG MEMUKULI ISAH. ISAH HANYA BISA BERTERIAK MINTA TOLONG.. AKHIRNYA ISAH SETENGAH SADAR DENGAN TUBUH PENUH LUKA. BEBERAPA ORANG DENGAN SIGAP LANGSUNG MEMBERESKAN TEMPAT, MENYIAPKAN PEMANDIAN JENAZAH, MENYIAPKAN KAIN KAFAN, DAN DUA ORANG MENGANGKAT.TUBUH ISAH KETEMPAT PEMANDIAN JANAZAH. IBU ISAH SEBAGAI ORANG YANG MEMANDIKAN ISAH. SETELAH MEMANDIKAN ISAH, AYAH DAN BIMA DIBANTU KEKE MEMBUNGKUS ISAH DENGAN KAIN KAFAN. SETELAH BIMA TERBUNGKUS KAIN KAFAN, TUBUH BIMA DIANGKAT EMPAT ORANG DIIRINGI DENGAN DOA2. DIKUBURAN ISAH SUDAH SIAP 2 ORANG DIDALAM LUBANG KUBUR UNTUK MENYAMBUT JENAZAH ISAH. SEMUA ORANG DENGAN RAPI BERSUSUN DIDEPAN KUBUR ISAH. SALAH SEORANG MEMBACAKAN PENGUMUMAN KEMATIAN ISAH DENGAN SUARA LANTANG. SEMUA ORANG MENINGGALKAN TEMPAT PEMAKAMAN. <br /><br /><b><br />SELESAI </b><br /><br />Catatan : Bila Mementaskan ini, harus meminta izin kepada yang berwenang.<br />H. Adjim Arijadi : 08125125086<br />Sanggar Budaya Kalimantan Selatan : 0511 3302650<br />Sarat berupa : dokumentasi pementasan.<br />Email : sanggar_budaya@yahoo.com <br /><br />TOLOOONG!<br />Naskah Sastra<br />Karya : Putu Wijaya<br /> Adaptasi/Scenario/Naskah : H. Adjim Arijadi <br /></span><br /> </div>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-40020512318245432942023-01-22T23:38:00.007-08:002023-01-25T09:14:08.550-08:00SENJA DENGAN DUA KEMATIAN - Kirdjomuljo<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcDUi5mSlsyduWB7rXvGNAAZes1qlcc8mg-wiZLTwTEzVDHMvs8w0R8hharMYJPAVfF1aIVTogH5q4iqzTE14o_SGFEjKmH6U08VsPXoy6gY3z2KNSzjLeEEWj7gfW2nNZkXWSH7KgFTtR5ndzHf5H0sDA7hulRngoSgkZEVqwBEkjIvfXDYnonwMR/s9055/SENJA%20DENGAN%20DUA%20KEMATIAN.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcDUi5mSlsyduWB7rXvGNAAZes1qlcc8mg-wiZLTwTEzVDHMvs8w0R8hharMYJPAVfF1aIVTogH5q4iqzTE14o_SGFEjKmH6U08VsPXoy6gY3z2KNSzjLeEEWj7gfW2nNZkXWSH7KgFTtR5ndzHf5H0sDA7hulRngoSgkZEVqwBEkjIvfXDYnonwMR/w400-h261/SENJA%20DENGAN%20DUA%20KEMATIAN.jpg" width="400" /></a></div><p></p><span style="font-family: arial;"><br /><i><b>DRAMATIC PERSONAE:</b></i><br />WIJASTI<br />KARDIMAN<br />KARNOWO<br />SUMADIJO<br />SURTINI <br /><br /><br /><i>INTERIOR SEBUAH RUMAH TUA YANG TELAH USANG DAN TAK TERURUS. SEPERANGKAT MEJA KURSI MODEL LAMA, MENGESANKAN PERNAH AGAK BERHARGA, KINI TIDAK LAGI. SEBUAH RANJANG BESI TUA BERKELAMBU. KESAN SEBUAH JENDELA. KESAN SEBUAH KAMAR YANG MENCITRAKAN RUANG KEMATIAN. KESAN SEBUAH SEBUAH PINTU. SEBUAH POTRET TERGANTUNG DI DINDING KHAYALI. SEBUAH VAS BUNGA DENGAN TUMBUHANKERING DAN MATI. PEMBAGIAN RUANG DITATA SECARA TRANSPARAN, DI MANA TATA CAHAYA MENJADI SANGAT SIGNIFIKAN. SUNYI. </i><br /><b><br />ADEGAN I </b><br /><br />KARNOWO<br /><i>(MASUK MENGENDAP-NGENDAP)</i><br />Ha, ha, ha…Si Manis Bulat Panjang. Luar biasa “servis”-nya malam tadi. <br /><br />KARDIMAN<br />Ah, kamu! <br /><br />KARNOWO<br />Oooh…Dadanya yang menggunung nyaris tumpah menyumpal mulutku, ha, ha, ha… <br /><br />KARDIMAN<br />Dan kau menelannya bulat-bulat. Ha? <br /><br />KARNOWO<br />Ha, ha, ha…Jangan sewot Pak Kardi, tenang saja! Dia menantimu mala mini. Lagi pula sebetulnya aku sudah bosan. Dia bukan seleraku lagi. Tapi tentu Pak Kardi masih bersemangat untuk meremas-remasnya ‘kan? Ayo pergi ke sana, rugi kalau tidak! <br /><br />KARDIMAN<br />Mau sih mau. Tapi nafasku ini payah sekali. Jantungku seperti sudah bocor. Mau mampus barangkali. <br /><br />KARNOWO<br />Jadi tidak mau pergi nih? <br /><br />KARDIMAN<br />Lain kali sajalah! <br /><br />KARNOWO<br />Padahal saya sudah mengaturnya agar sepanjang malam ini dia bersama Pak Kardi, lho. <br /><br />KARDIMAN<br />Memang jantung sialan ini makin payah saja kalau terus-terusan berada di rumah. Tak tahan ikut merasakan sakit biniku yang tak sembuh-sembuh. Lagi Si Manis Bulat Panjang itu apa. Masa semalaman saya disuruh nunggu di luar, macam detektif menunggu penjahat saja, eh sampai subuh dia tidak mau ke luar. Dikiranya saya tidak bisa bayar apa. Dasar sundal! <br /><br />KARNOWO<br />Ha, ha, ha… <br /><br />KARDIMAN<br />He, jadi kamu rupanya yang bersama dia semalaman dan menyikasaku di luar kedinginan, ha? <br /><br />KARNOWO<br />Sudahlah Pak Kardi, saya betul-betul tidak tahu. Lagi bicaranya jangan keras-keras. Macam tidak ada orang sakit saja di rumah. <br /><br />KARDIMAN<br />Biniku sudah diangkut ke rumah sakit kemarin sore. Sore ini Wijasti sedang menjenguknya. Kalau dia ada di rumah, masa aku bisa bebas berteriak-teriak macam orang edan, ha, ha, ha… <br /><br />KARNOWO<br />Jam berapa Wijasti pulang? <br /><br />KARDIMAN<br />Paling-paling sebentar lagi. Kemarin, semalaman ia bersama ibunya. Mau jadi orang baik-baik, katanya. Eh, kau tahu apa yang selalu dkatakan biniku tentang rumah ini? Ya untuk mengejekku. Dia bilang, “sangkamu ini rumah apa kura-kura?”, ha, ha, ha…Ya begitu itu kalau perempuan tidak tahu seninya perasaan. <br /><br />KARNOWO<br />Ha, ha, ha… <br /><br />KARDIMAN<br />Terserah dia mau menyebutnya apa. Yang penting dalam hidup ini ‘kan uang, iya nggak? Rumah baguspun kalau tidak ada duitnya, ya puyeng! <br /><br />KARNOWO<br />Ha, ha, ha… <br /><br />KARDIMAN<br />Lho itu kenyataan! <br /><br />KARNOWO<br />Ha, ha, ha… <br /><br />KARDIMAN<br />Ya terus tertawalah. Edan kamu! <br /><br />KARNOWO<br />Ha, ha, ha…Kenyataan. Memang betul, itu kenyataan. Lantas? <br /><br />KARDIMAN<br />Pokoknya aku sangat perlu uang mala mini. <br /><br />KARNOWO<br />Gampang. Berapa Pak Kardi perlu? <br /><br />KARDIMAN<br />Lagakmu! Jangan sombong kamu, aku betul-betul perlu uang, tahu? Aku sudah bermimpi akan menang besar mala mini. Besok kulunasi semua utangku. Berapa sih memangnya? <br /><br />KARNOWO<br />Ha, ha, ha… <br /><br />KARDIMAN<br />He, jangan mengejekku! Apa kamu sudah gendeng? Sebutkan saja berapa, aku pasti bisa kembalikan. Percayalah, aku pasti menang kali ini. <br /><br />KARNOWO<br />Penjudi mana yang tidak yakin dirinyapasti menang, ha, ha, ha… <br /><br />KARDIMAN<br />Jangan berlagak kamu!!! <i>(MENGGEBRAK). </i>Rumah ini boleh kamu ambil sewktu-waktu. <br /><br />KARNOWO<br />Sangkamu berapa harga rumah ini? <br /><br />KARDIMAN<br />Aku tidak tahu. <br /><br />KARNOWO<br />Sudahlah Pak Kardi, siapa anggap itu utang. Biarkanlah itu tertimbun. Kita ‘kan kawan baik. <br /><br />KARDIMAN<br />Hmm… <br /><br />KARNOWO<br />Sahabat abadi. <br /><br />KARDIMAN<br />Hmm… <br /><br />KARNOWO<br />Dalam suka dan duka. <br /><br />KARDIMAN<br />Hmm…Di neraka!! <br /><br />KARNOWO<br />Ha, ha, ha… <br /><br />KARDIMAN<br />Pasti ada maksud di balik ketawamu. Apa itu? Ayo sebutkan saja apa yang kamu inginkan dariku! <br /><br />KARNOWO<br />Hmm…Anu! <br /><br />KARDIMAN<br />Anu apa? <br /><br />KARNOWO<br />Wijasti. <br /><br />KARDIMAN<br />Sudah kuduga. <br /><br />KARNOWO<br />Tolonglah Pak Kardi. Sudah lama aku menginginkannya. <br /><br />KARDIMAN<br />Menginginkannya untuk apa? <br /><br />KARNOWO<br />Untuk menjadi biniku! <br /><br />KARDIMAN<br />Bangsat! Sangkamu aku tidak tahu kalau kamu hanya ingin menari-nari di atas keperawanannya, ha! Jangan macam-macam kamu, kalau tidak ingin kupatahkan lehermu! <br /><br />KARNOWO<br />Sumpah, aku sungguh-sungguh! <br /><br />KARDIMAN<br />Bujuklah sendiri! <br /><br />KARNOWO<br />Tidak bisa, Wijasti membenciku. Aku mohon Pak Kardi membantuku. <br /><br />KARDIMAN<br />Memangnya gadis mana yang tidak akan membenci muka bangsat macam kamu. <br /><br />KARNOWO<br />Bantulah aku Pak Kardi! <br /><br />KARDIMAN<br />Apa jaminannya kalau kamu betul-betul tidak akan mempermainkannya? <br /><br />KARNOWO<br />Kehormatan Pak Kardi yang mesti aku jungjung tinggi. Memangnya siapa kita ini? Terus terang, kalau aku mau, aku sanggup merenggut “mahkota” Wijasti dengan caraku sendiri. Paksaan dan atau kekerasan. Tapi saya hormat sama Pak Kardi. Aku bisa menempuhnya dengan cara damai, ha, ha, ha…<br /><i>(MENGELUARKAN SEJUMLAH UANG).</i><br />Bersenang-senanglah Pak Kardi, mumpung hayat masih dikandung badan. Jangan anggap ini utang. Pakailah sesukamu! <br /><br />KARDIMAN<br />Cepat kamu pergi! Wijasti sudah datang. Lain kali kita bicarakan lagi soal ini. He, jam tujuh aku ke rumahmu mengambil uang itu. Jam delapan kamu boleh kemari menemui Wijasti. Edan, dia keburu masuk. Kamu sembunyilah dulu, nanti kukasih isyarat kapan kamu boleh hengkang. Jangan sampai dia tahu kita membicarakannya. Ayo cepat! <i>(WIJASTI MASUK. KARDIMAN MEMBERI ISYARAT. KARNOWO KE LUAR MENGENDAP-NGENDAP). </i><br /><br /><br /><b>ADEGAN II </b><br /><br />KARDIMAN<br />Bagaimana ibumu? <br /><br />WIJASTI<br />Sudah bisa tidur. Tidak perlu lagi mendengar ayah gaduh malam-malam. <br /><br />KARDIMAN<br />Siapa yang membuat gaduh malam-malam? <br /><br />WIJASTI<br />Bukankah ayah yang selalu mengganggu tidur ibu? <br /><br />KARDIMAN<br />Aku tidak akan gaduh kalau kau tidak cerewet. <br /><br />WIJASTI<br />Bukan. Ayah sengaja membuat gaduh untuk mengusik ketenangan ibu. Padahal akan lebih baik kalau ayah tidak perlu pulang malam-malam. <br /><br />KARDIMAN<br />Oh ya, agar kau bisa bebas bercengkerama melampiaskan nafsu birahimu bersama laki-laki itu. <br /><br />WIJASTI<br /><i>(MENAHAN AMARAH) </i><br /><br />KARDIMAN<br />He, bagaimana hubunganmu dengan laki-laki lembek itu? <br /><br />WIJASTI<br /><i>(DIAM) </i><br /><br />KARDIMAN<br />Ha, ha, ha…Sumadijo. Dia sama sekali tidak pantas untukmu. Lembek dan tidak bisa berkelahi. <br /><br />WIJASTI<br />Siapa pernah mengatakan aku cinta kepadanya? Kalau pun aku jatuh hati padanya, apa perduli ayah? <br /><br />KARDIMAN<br />Jelas aku tidak sudi kalian berdua berada di rumah ini. Dia tidak mungkin bisa mempunyai rumah dengan pekerjaannya sebagai juru tulis kecil. <br /><br />WIJASTI<br />Ayah sangka aku mengharapkan rumah ini? <br /><br />KARDIMAN<br />Dengar Wijasti! Tak ada apa pun yang bisa kau harapkan dari pemuda loyo macam dia! <br /><br />WIJASTI<br />Kalau ayah ingin pergi, pergilah! Hangatkan badanmu yang rapuh itu dalam dekapan perempuan-perempuan murahan! <br /><br />KARDIMAN<br />Memang aku akan pergi. Pergi untuk membuktikan kelaki-lakianku dihadapan perempuan-perempuan sehat! Buat apa menghanyutkan diri dalam nestafa wanita yang tak pernah perduli terhadapku. Sakit-sakitan lagi! <br /><br />WIJASTI<br />Memangnya pernah ayah memikirkan ibu yang selama ini terus menerus didera sakit? <br /><br />KARDIMAN<br />Memangnya kapan ibumu memikirkan aku? Kapan ibumu sadar kalau dirinya itu istriku? Selama ini ia hanya mencintai laki-laki yang bukan aku! Buat apa aku memikirkan seorang perempuan yang berlaku demikian terhadapku? Buat apa? <br /><br />WIJASTI<br />Ayah sangka aku percaya perkataan itu? <br /><br />KARDIMAN<br />Ah! Sejak dulu kau selalu memihak ibumu dalam menimbang sesuatu. Itu yang mengakibatkan kau membenci aku. <br /><br />WIJASTI<br />Tidak ada gunanya menuruti kemauan seseorang yang jiwanya kotor seperti ayah! <br /><br />KARDIMAN<br />Nanti kau akan tahu, akulah yang lebih berharga dari siapa pun, termasuk ibumu. Berapa harga ibumu untuk hidupku? Dua pertiga dari hidupnya tergeletak sakit memikirkan kekasihnya. Apa yang ia berikan untukku selama ini? Nol! <br /><br />WIJASTI<br />Ibu jatuh sakit karena memikirkan kehidupan ayah yang tak karu-karuan. <br /><br />KARDIMAN<br />Bukan! Kekacauan hidupku hanyalah kutukan atas dosa-dosa ibumu. Ibu pertiwimu yang kau muliakan itu.<br /><i> (PAUSE).</i><br /> Wijasti, kau tahu betapa aku ingin memperbaiki semua ini, tapi tak ada seorang pun yang bisa kuharapkan. Bahkan kau lebih suka berpaling kepada laki-laki lembek macam Sumadijo. Melihatnya saja aku sangat muak. Benci! <i>(PERGI). </i><br /><br /><br /><b>ADEGAN III </b><br /><br />SUMADIJO<br />Bagaimana keadaan ibu Wijasti? <br /><br />WIJASTI<br />Tambah buruk. Sudah kubawa ke rumah sakit. <br /><br />SUMADIJO<br />Ayahmu juga tidak ada di rumah? <br /><br />WIJASTI<br />Kau ‘kan tahu bagaimana kebiasaan ayah. Kenapa selalu kau tanyakan? <br /><br />SUMADIJO<br />Ya ibumu ‘kan sedang sakit keras. Mestinya ia turut memikirkannya. <br /><br />WIJASTI<br />Rumah tangga ini sudah porak poranda. Kalau aku tidak memikirkan ibu, aku sudah minggat dari rumah ini. <br /><br />SUMADIJO<br />Wijasti… <br /><br />WIJASTI<br />Ssudah sejak lama ayah seperti bukan suami ibuku. Itu yang membuat ibu sakit. Sebaliknya, sakitnya ibu membuat ayah semakin tidak betah di rumah. Hubungan saling sebab yang semakin lama mencetuskan luka menganga. Ketidak perdulian yang mengakar dalam kebencian. Acuh. Seolah-olah makhluk asing satu sama lainnya.<br /><i> (PAUSE).</i><br /> Ayah makin kerap main judi, main bohong, dan…entah main apalagi. Aku sudah segan memikirkannya. <br /><br />SUMADIJO<br />Lantas bagaimana kalian bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari? <br /><br />WIJASTI<br />Kecuali menjual diri, kami jual apa saja yang bisa kami jual. Kau bisa bayangkan akan bagaimana keadaan rumah ini dalam setengah tahun lagi. Habis. Aku sendiri sudah tidak bisa membayangkannya. <br /><br />SUMADIJO<br />Wijasti…Rasanya aku mau turut membantu. Katakan jika kau memerlukan sesuatu. <br /><br />WIJASTI<br />Turut membantu apa umpamanya? <br /><br />SUMADIJO<br />Ya…Seumpama kau memerlukan sesuatu untuk belanja. <br /><br />WIJASTI<br />Ibu memerlukan seorang suami, dan aku perlu seorang ayah. Kami perlu seorang laki-laki yang tahu betul bahwa dirinya seorang suami dan ayah. Lain tidak! <br /><br />SUMADIJO<br />Kalau begitu…Bagaimana kalau kita kawin saja, Wijasti! Mungkin ibumu akan girang hatinya. <br /><br />WIJASTI<br />Dengar Dijo! Kebencian ayah kepadamu sudah tak terukur. Dia begitu benci akan sikap-sikapmu yang terlalu berperasaan, tidak suka pertentangan, dan apalagi kau tidak mau main judi. Bagaimana bisa ibu akan gembira? Bahkan ayah akan semakin merendahkan kau, karena kau bukan seorang lelaki yang sanggup melawan seseorang. <br /><br />SUMADIJO<br />Ya…Aku memang tidak suka berkelahi. Aku tidak mau. <br /><br />WIJASTI<br />Kalau begitu kau akan senasib dengan ibuku. Perlahan-lahan mati dalam kelelahan. <br /><br />SUMADIJO<br />Tapi kita bisa pindah dari rumah ini, Wijasti. <br /><br />WIJASTI<br />Ibu tidak mau meninggalkan rumah ini. Dan aku tidak bisa meninggalkan ibu.<i> (MENAHAN PERASAAN).</i> Sudahlah, jangan kita bicarakan lagi soal itu. <br /><br />SUMADIJO<br />Tapi kau kawanku sejak kecil. Aku tidak sanggup melihatmu hancur. <br /><br />WIJASTI<br />Lantas? <br /><br />SUMADIJO<br />Mungkin…Akan lebih baik kalau kita meneruskannya dalam perkawinan. <br /><br />WIJASTI<br />Anak-anak kita kelak akan mengalami keadaan-keadaan mengerikan macam yang dialami ayah dan ibuku sekarang. Meskinya kau berpikir sejauh itu. <br /><br />SUMADIJO<br />Tapi antara kau dan aku bisa mengerti satu sama lain. <br /><br />WIJASTI<br />Mulanya mungkin bisa. Tapi kemudian ayah akan meracuni hidup kita. Dan kau bukan seorang yang sanggup melawan. Jadi bagaimana bisa? Nanti kau akan melampiaskan kekecewaan di luar rumah. Dan aku menjadi senasib dengan ibu, mati perlahan-lahan karena memikirkan kau. <i>(TAK DAPAT MENAHAN PERASAAN). (PAUSE).</i><br /> Luka keluarga ini sudah begitu parah. Apa yang bisa kau perbuat untuk mengobatinya selain membawa buah-buahan itu. Apa coba? Apa? Saat ini aku memerlukan seseorang yang sanggup mengalahkan ayahku. Seseorang yang bisa mempertemukan kembali ayah dan ibuku, dan sanggup meneguhkan kembali rumah tangga ini! Memang, sejak lama aku memikirkan kau. Tapi…<i>(TAK KUASA MENAHAN TANGIS).</i> Coba katakana apa yang bisa kau perbuat. Ayo katakan, jangan diam saja! <br /><br />SUMADIJO<br />Ya…Tapi ayahmu itu ‘kan orang tua, dan aku anak muda. Jadi bagaimana mungkin aku boleh bersikap keras kepadanya? <br /><br />WIJASTI<br />Maksudmu, itu melanggar kesopanan, ha?<i> (SINIS).</i> Baik, orang tua memang tidak boleh dilawan. Itu tidak sopan, tidak beradab<i>. (PAUSE).</i> Lihat ayahku datang. Tampang macam itu yang katamu teramat susila untuk dilawan. Lihatlah, kau sudah satu bulan tidak melihatnya ‘kan? Kau bisa melihatnya bagaimana sekarang ia menjadi lebih rusak, pucat dan kasar.<br /><i>(WIJASTI MASUK KE KAMAR. KARDIMAN DATANG). </i><br /><br /><br /><b>ADEGAN IV </b><br /><br />KARDIMAN<br />Sumadijo…ha, ha, ha, ha…<i>(MENGEJEK). </i><br /><br />SUMADIJO<br /><i>(MENAHAN PERASAAN) </i><br /><br />KARDIMAN<br />Sudah puas bercengkerama dengan Wijastimu? <br /><br />SUMADIJO<br /><i>(MENAHAN PERASAAN) </i><br /><br />KARDIMAN<br />Mukamu memperlihatkan Wijasti telah memakan hatimu, ya! <br /><br />SUMADIJO<br /><i>(MENAHAN PERASAAN) </i><br /><br />KARDIMAN<br />Orang perempuan memang suka makan hati. Tapi jangan khawatir, Wijastimu itu perawan alim dan berperasaan sangat halus, ha ha ha ha…Dia sangat cocok untuk membuat rumah tangga menjadi tenteram, tenang dan sunyi. Ia sangat membenci orang yang suka berjudi, apalagi melacur. Jadi, kamu tidak usah khawatir jadi melarat. Ha, ha, ha, ha… <br /><br />WIJASTI<br /><i>(DALAM KAMAR).</i>Kurang keras tertawanya! Ibu pasti sudah merindukan teriakan-teriakan ayah! <br /><br />KARDIMAN<br />Oh…Jadi kita harus berbicara halus dan penuh perasaan. Ha, ha, ha… Orang sakit memang harus banyak tidur. Tapi kalau tidur terus, itu memuakkan. Iya, kan, Wijasti? Hei, Dijo! Kamu tak menengok ibu mertuamu? Tengoklah kalau kamu ingin menjadi menantu orang. Ia pasti akan sangat suka sama perjaka macam kamu. Halus perasaan, pendiam, tidak suka melacur, tidak suka mabuk dan judi, dan ha, ha, ha, ha…kelihatan pengecut! Apa pekerjaanmu sekarang? Masih menjadi juru tulis di kantor kecil dekat comberan busuk itu? Berapa gajimu? <br /><br />SUMADIJO<br /><i>(DADANYA NAIK TURUN HAMPIR MELEDAK) </i><br /><br />KARDIMAN<br />Oh…Maaf. Maaf kalau perkataanku menyinggung perasaanmu. Biasa, kan, seorang calon mertua menanyakan sesuatu mengenai pekerjaan calon menantunya? Jangan sangka itu penghinaan. Masa seorang calon mertua menghina calon menantunya, enggak toch? Ha, ha, ha…Anggaplah itu kata-kata dari hati ke hati. <br /><br />SUMADIJO<br />(MARAH). Jadi betul semua yang dikatakan Wijasti! <br /><br />KARDIMAN<br />Apa yang betul, ha? <br /><br />SUMADIJO<br />Bapak tidak berperasaan sedikitpun. Saya tidak mungkin bisa hidup bersama keluarga macam begini!! <br /><br />KARDIMAN<br />Keluarga macam begini? Keluarga macam apa kamu bilang? <br /><br />SUMADIJO<br />Keluarga macam setan!!<br />(KE LUAR). <br /><br />KARDIMAN<br />Hei! Kau sendiri macam apa, ha? Pemuda, kok, macam perempuan. Loyo, lembek, penakut! Kau itu macam setan perempuan!! Pemuda tidak berharga sepeserpun! Jangan pernah kembali lagi kemari! Setan!!! <br /><br /><br /><b>ADEGAN V </b><br /><br />WIJASTI<br />Macam apa laki-laki berharga itu? <br /><br />KARDIMAN<br />Yang bersifat laki-laki! <br /><br />WIJASTI<br />Yang bersifat laki-laki itu macam apa? <br /><br />KARDIMAN<br />Ya, yang berani melawan seseorang yang menghinanya! <br /><br />WIJASTI<br />Apa lagi? <br /><br />KARDIMAN<br />Yang berani bersikap jantan! <br /><br />WIJASTI<br />Apa lagi? <br /><br />KARDIMAN<br />Ah…macam-macam lagi! <br /><br />WIJASTI<br />Berteriak-teriak selagi istrinya sakit keras, itu juga termasuk sifat laki-laki? <br /><br />KARDIMAN<br />Aku tidak berkata begitu. Aku hanya ingin meluapkan perasaan benciku terhadap pemuda lembek itu.<i> (PAUSE)</i>.<br />Wijasti, bukannya aku mau mengekang perasaanmu. Percayalah, Sumadijo itu tidak akan sanggup membahagiakanmu. Aku semakin sadar untuk belajar lebih banyak dari pengalaman-pengalamanku. Kau tahu, betapa ingin aku memperbaiki hidupku dan rumah tangga Ini. Aku memang tidak pernah memperhatikan ibumu. Tak ada usaku sedikitpun untuk membalas budi. Aku sadar itu perbuatan jahat. Aku menyesal, sungguh!!! <br /><br />WIJASTI<br />Sudah tiga kali ayah mengaku menyesal, dan tidak pernah ada buktinya. Dulu ayah menyesal hanya untuk membujuk perhiasanku. Kali ini untuk apa, kalau aku boleh tahu? <br /><br />KARDIMAN<br />Wijasti, sekali ini aku tak bermaksud apa pun. Aku hanya ingin menyembuhkan ibumu. Ya…Tapi kau bisa percaya bisa tidak. Akutelah berusaha mengatakannya dengan tulus. Tidak ada penderitaan seberat ini, Wijasti.<i> (BERLAGAK MENANGIS).</i><br /> Berdosa kepada istri dan anakku. Aku hampir tidak sanggup mengembalikan kebahagiaan rumah tangga ini. Aku memang laknat<i>! (PAUSE).</i><br /> Aku berjanji kepadamu, Wijasti. Pertama, aku tak akan pergi lagi malam-malam untuk mabuk, judi dan bermain perempuan. Kedua, aku tak akan lagi berbicara kasar. Dan ketiga…aku…aku harus menemukan seorang suami yang bisa membahagiakanmu dengan benar. Bisa mengangkat rumah tangga ini. <br /><br />WIJASTI<br />Dan itu bukan laki-laki lembek macam Sumadijo, begitu maksud ayah? <br /><br />KARDIMAN<br />Ya! Tidak macam Sumadijo, pemuda lemah lembut dan tidak mempunyai keberanian. <br /><br />WIJASTI<br />Lantas? <br /><br />KARDIMAN<br />Wijasti, jangan sangka aku akan memaksamu kawin dengan seseorang. Kau tergolong gadis cantik. Hanya kemiskinan memang telah membuatmu tampak tak terurus. Dan kau sama sekali tak sepadan dengan Sumadijo. Tapi kalau kau memang jatuh hati pada pemuda itu, aku pun tidak akan menghalangi. Besok pagi aku akan mencari pekerjaan. Kebetulan ada seorang kawan baik yang akan menerimaku bekerja. Ia seorang pemuda tampan dan suka menolong. <br /><br />WIJASTI<br />O ya? <br /><br />KARDIMAN<br />Tentu saja, Wijasti. <br /><br />WIJASTI<br />Ia sanggup membiayai ibu di rumah sakit? <br /><br />KARDIMAN<br />Tentu. Bahkan kau bisa dengan mudah berkenalan. Lagi pula, ia sering menanyakan kau juga. <br /><br />WIJASTI<br />Tentu ia menaruh perhatian kepadaku? <br /><br />KARDIMAN<br />Ya. <br /><br />WIJASTI<br />Ia laki-laki jantan macam yang ayah inginkan? <br /><br />KARDIMAN<br />Ya. <br /><br />WIJASTI<br />Berpendidikan baik? <br /><br />KARDIMAN<br />Tentu. Bahkan pergaulannya sangat luas. Suka berbuat sesuatu yang dibutuhkan orang lain. <br /><br />WIJASTI<br /><i>(TERTAWA GETIR).</i> Rupanya ayah memimpikan sesuatu yang mustahil terjadi. <br /><br />KARDIMAN<br />Wijasti! <br /><br />WIJASTI<br />Biaya untuk ibu mesti segera disiapkan! <br /><br />KARDIMAN<br />Tak jadi soal! <i>(TANPA DISADARI)</i>. Aku bisa meminjam lagi pada pemuda itu. <br /><br />WIJASTI<br />Apa? Meminjam? <br /><br />KARDIMAN<br /><i>(GUGUP).</i> Mm…ng…ya, meminjam lagi. <br /><br />WIJASTI<br />Memangnya ayah telah berhutang kepadanya? <br /><br />KARDIMAN<br />Ya…Ia telah banyak menolong aku. Menolong kita selama ini. Wijasti, aku banyak kalah judi. Dialah yang member tambahan belanja selama ini. <br /><br />WIJASTI<br />Berapa hutang itu? <br /><br />KARDIMAN<br />Jangan khawatir. Aku sanggup mengembalikannya setelah ada uang. Sudilah jau membantuku, Wijasti! <br /><br />WIJASTI<br /><i>(SINIS).</i> Oh, tentu. Tentu aku mau membantu. Ia mempunyai perusahaan? <br /><br />KARDIMAN<br />Ya, bahkan kau tidak perlu bekerja jika kau mau. <br /><br />WIJASTI<br />Lalu dengan cara apa aku bisa membantu? <br /><br />KARDIMAN<br /><i>(SALAH TINGKAH) </i><br /><br />WIJASTI<br />Bagaimana itu, ayah? Bagaimana itu? Katakanlah! <br /><br />KARDIMAN<br /><i>(GUGUP).</i> Kau…harus… <br /><br />WIJASTI<br />Dengan menjadi istri Karnowo maksud ayah? Karnowo si Bengal itu?<i> (GERAM). </i><br /><br />KARDIMAN<br /><i>(DIAM) </i><br /><br />WIJASTI<br />Artinya aku harus menjual diriku kepadanya, dan menjalani kehidupan bersama seorang lelaki yang paling kubenci selama ini. <br /><br />KARDIMAN<br />Bukan begitu, Wijasti. <br /><br />WIJASTI<br />Itu maksuda ayah! <br /><br />KARDIMAN<br />Wijasti, rasa cinta itu bisa tumbuh dalam pergaulan. Banyak contohnya. <br /><br />WIJASTI<br />Ayah sangka dengan begitu bisa menolong ibu dan rumah tangga ini? <br /><br />KARDIMAN<br />Wijasti, tolonglah… <br /><br />WIJASTI<br />Tidak ayah. Itu hanya sekali dalam hidup seorang wanita! Bagaimana mungkin ayah mau menghancurkannya! <i>(TAK KUASA MENAHAN TANGIS). </i><br /><br />KARDIMAN<br />Aku tidak bermaksud menjual harga dirimu, apalagi mau menghancurkanmu. Percayalah, semua ini kutempuh demi kebaikan ibumu. Demi kebaikan kita. Berapa sih harga kehormatan dan harga diri bila dibandingkan dengan tujuan mulia untuk menyembuhkan orang yang kita cintai dan untuk memperbaiki rumah tangga ini? Harga sebuah kehormatan bisa kita buat kalau dilandasi oleh alasan-alasan yang benar dan bertujuan mulia. Kenapa mesti kau risaukan? Dan apa salahnya kita mencoba sesuatu yang orang lain tidak mau mencoba? <br /><br />WIJASTI<br />Tidak! Aku tidak akan berbuat sekeji itu!!! <i>(MELEDAK). </i><br /><br />KARDIMAN<br />Hei Wijasti! Memangnya seberapa jauh perbedaan “perbuatan begitu” antara sebelum dan sesudah kawin? Itu sama sekali tidak akan merubah apa pun. Dan yang paling penting, tokh ia akan mengawinimu. Akan mempertanggung jawabkan perbuatannya, karena ia mencintaimu. Coba katakan padaku, apa perbedaanya! <br /><br />WIJASTI<br />Semua orang beradab sudah tahu! <br /><br />KARDIMAN<br />Tidak! Perbuatan macam yang kutawarkan itu adalah perbuatan baik, karena untuk sesuatu yang lebih suci, yakni kecintaan kepada seorang ibu, seorang istri. Apa bedanya bersuamikan Karnowo atau Karnowi? <br /><br />WIJASTI<br />Omong kosong! Tidak ada perbuatan suci yang begitu mudah mengobral kesucian. Aku pergi sekarang juga! <br /><br />KARDIMAN<br />Terserah apa maumu. <br /><br />WIJASTI<br />Pergi dan tak akan kembali lagi. Kalau ibu mati, itu bukan salahku. Aku tak mau menanggung kejahatan seseorang. <br /><br />KARDIMAN<br />Besok rumah ini sudah bukan kepunyaan kita lagi, kalau kau pergi! <br /><br />WIJASTI<br />Apa maksud ayah? <br /><br />KARDIMAN<br />Jangan pura-pura bego! Rumah ini atau kehormatanmu yang tak seberapa itu! <br /><br />WIJASTI<br />Berapa hutang ayah kepadanya? <br /><br />KARDIMAN<br />Wijasti, aku berjanji akan menjadi baik kalau kau mau menolongku sekali ini saja. <br /><br />WIJASTI<br />Berapa hutang ayah? <br /><br />KARDIMAN<br />Hanya sekali ini aku bisa berbuat baik kepada ibumu, tak ada kesempatan lain. Tolonglah sebelum terlambat, Wijasti! <br /><br />WIJASTI<br />Ayah belum menjawab pertanyaanku! <br /><br />KARDIMAN<br />Pertanyaan mana? <br /><br />WIJASTI<br />Berapa hutang ayah? <br /><br />KARDIMAN<br />(SETELAH DIAM). Dua kali harga rumah ini beserta isinya. Hanya kau yang bisa menolong. Ini kesempatan terakhir. <br /><br />WIJASTI<br />Aku pergi! Aku tak mau mengorbankan diriku untuk seseorang yang berwatak kejam macam ayah. <br /><br />KARDIMAN<br />Jadi kau mau ayah macam apa? <br /><br />WIJASTI<br />Ayah yang menyadari dirinya seorang ayah! <br /><br />KARDIMAN<br />Macam apa itu? <br /><br />WIJASTI<br /><i>(MEMBANTING SESUATU). </i>Aku tak mau mengakui ayah mulai sekarang! <br /><br />KARDIMAN<br />He, memangnya siapa pernah mengatakan aku ayahmu, ha? <br /><br />WIJASTI<br /><i>(TERSENTAK). </i>Kau…bukan…ayahku? <br /><br />KARDIMAN<br />Kau boleh pergi dari sini! <i>(MELEDAK). </i>Memangnya berapa hargamu yang sebenarnya, ha? Dengar, aku kawin dengan ibumu karena aku diminta melindungi ibumu dari aib yang telah dibuatnya. Kau telah dalam kandungan sebelum aku menjadi ayahmu. Ibumu kawin denganku, tapi tak pernah mencintaiku. Ia membeli kelaki-lakianku hanya untuk menutupi hasil perbuatan nistanya. Aku mau karena ibumu kaya waktu itu. Tapi bagaimana mungkin aku tidak mencari perempuan lain di luar rumah? Sekarang pergilah! Tapi semua orang akan tahu bahwa kau anak jadah yang tak pernah berbapak! Pergilah!!! Harga macam apa yang kau tuntut? Aku yang telah melindungimu selama ini. Sekarang aku hanya minta pertolonganmu untuk sekali ini saja> <br /><br />WIJASTI<br />Kau telah memeras kami berdua, tapi kau bilang telah melindungi! <br /><br />KARDIMAN<br />Kalau saja ibumu bisa melupakan laki-laki itu, ayahmu, yang tak pernah kau ketahui itu, barangkali tidak perlu terjadi macam begini. Mungkin aku tidak perlu menghabiskan waktuku untuk berjudi, melacur dan mabuk. Harga macam apa yang kau tuntut dari perkawinan macam begini, ha? <br /><br />WIJASTI<br />Ibu akan mati! <br /><br />KARDIMAN<br /><i>(SETELAH DIAM).</i> Telah lama aku menginginkannya! (PERGI). <br /><br /><br /><b>ADEGAN VI </b><br /><i><br />Tembang lirih Wijasti dalam kamar. Sunyi dan sendu. Sumadijo masuk. Lapat-lapat ia memanggil nama Wijasti beberapa kali, tak berjawab. Ia mendapatkan foto Kardiman di dinding, membantingnya berantakan. Tembang Wijasti terhenti seketika. <br /></i><br /><br /><b>ADEGAN VII </b><br /><br />SURTINI<br />Saya mencari saudara Kardi. Dia menipu saya beberapa kali! <br /><br />WIJASTI<br />Siapa anda? Duduklah! <br /><br />SURTINI<br />Saya Nyonya Surtini. <br /><br />WIJASTI<br />Duduklah! <br /><br />SURTINI<br />Sudah saya katakana, saya mau ketemu “Tuan” Kardi. Dia menipu saya. <br /><br />WIJASTI<br />Duduklah! <br /><br />SURTINI<br />Memangnya kamu apanya “Tuan” Kardi? Istri bontotnya ya? <br /><br />WIJASTI<br />Saya penunggu rumah ini. Duduklah! <br /><br />SURTINI<br />Kamu pasti anaknya. Lantas mana istri “Tuan” Kardi? <br /><br />WIJASTI<br /><i>(MELEDAK TIBA-TIBA, MEMBANTING FOTO KARDIMAN). </i>Duduklah atau enyah dari sini! Berlakulah sopan! Saya harap “Nyonya” tahu, “Tuan” Kardi tidak pernah pulang ke rumah ini, karena kami membencinya! <br /><br />SURTINI<br /><i>(DUDUK AGAK KETAKUTAN). </i>Tapi dia menipu saya. <br /><br />WIJASTI<br />Bagaimana dia menipu Nyonya? <br /><br />SURTINI<br />Ia menipu saya dengan mengatakan sudah tak beristri, mengaku punya perusahaan, lalu meminjam uang. Sampai sekarang hangus uang itu. Ia tiga kali menyanggupi akan mengawini saya, tapi tak pernah ada buktinya. Padahal… <br /><br />WIJASTI<br />Padahal apa? <br /><br />SURTINI<br />Dia sudah berkali-kali melakukannya, sampai saya malu jadi pergunjingan tetangga. <br /><br />WIJASTI<br />Melakukan apa? <br /><br />SURTINI<br />Meniduri saya! <br /><br />WIJASTI<br />Bodoh!!! <br /><br />SURTINI<br />Ya begitu itu perbuatan “Tuan” Kardi! <br /><br />WIJASTI<br />Dan perbuatan Nyonya juga! <br /><br />SURTINI<br />Tapi dia terlalu, terlalu sekali terhadap perempuan! Dia bahkan telah menipu dua orang saudaraku pula, dengan mengatakan baru kehilangan istrinya dan merasa kesepian. Akibatnya kami saling cemburu sesame saudara. Dasar buaya! Sudah bau tanah masih ngos-ngosan sama perempuan. Saya sanggup meracuni laki-laki macam begitu! <br /><br />WIJASTI<br />Saya juga sanggup Nyonya! <br /><br />SURTINI<br />Dia itu penyakit bagi kehidupan wanita! <br /><br />WIJASTI<br />Nyonya juga penyakit bagi kehidupan laki-laki! <br /><br />SURTINI<br />Ah sudah, sudah! Kamu sama saja dengan bapakmu! Berbelit-belit dan susah diajak ngomong baik-baik. <br /><br />WIJASTI<br />Terserah Nyonya! <br /><br />SURTINI<br />Pokoknya saya ingin bertemu dengan si Tua Belang itu! <br /><br />WIJASTI<br />Dia sudah dua malam tidak pulang. Tidak ada gunanya ditunggu. <br /><br />SURTINI<br />Saya tahu dia pulang tadi, ada orang yang melihatnya menuju kemari! <br /><br />WIJASTI<br />Ya tunggulah kalau mau! <br /><br />SURTINI<br />Hehm, pembohong juga rupanya kamu! <br /><br />WIJASTI<br />Saya hanya minta Nyonya pulang sekarang. Atau silahkan menunggu kalau mau. Saya tidak punya waktu meladeni Nyonya, karena saya tidak punya urusan dengan Nyonya. (MASUK KAMAR). <br /><br />SURTINI<br />Saya akan menunggu sampai dia pulang! <br /><br />WIJASTI<br />Tunggulah. <br /><br />SURTINI<br />Saya belum puas kalau belum meludahi mukanya yang jelek itu! <br /><br />WIJASTI<br />Puaskanlah! <br /><br />SURTINI<br />Saya akan menikamnya jika perlu! <br /><br />WIJASTI<br />Tikamlah! Bahkan kalau perlu telan saja mentah-mentah! <br /><br />SURTINI<br />Diam kamu! Saya lagi marah benar sama dia! Kamu jangan ikut-ikutan! <br /><br />WIJASTI<br /><i>(MELANTUNKAN TEMBANG LIRIH LAGI). </i><br /><br />SURTINI<br /><i>(TAK ENAK DIAM, HENDK PERGI, BERTABRAKAN DENGAN SUMADIJO DI PINTU).</i><br />Heh, di mana kamu simpan mata kamu? Di pantat ya? Main tubruk saja! Ooh, kamu anak Kardiman juga ya? Pantas mukamu tak sedap dipandang! Celingukan, pura-pura tak lihat orang segede ini, ha! <br /><br />SUMADIJO<br />Eh, kamu yang melihatku pakai pantat, bukannya pakai dengkul! Dan muka siapa yang kamu bilang tak sedap dipandang pantat, ha? <br /><br />SURTINI<br />Kubilang mata, bukan pantat! <br /><br />SUMADIJO<br />Mata dan pantat bagi orang cerewet macam kamu sama saja! Dan dari segi apa kamu menganggapku sebagai anak Kardiman, ha? <br /><br />SURTINI<br />Roman mukamu memper muka dia! <br /><br />WIJASTI<br /><i>(MENDORONG KASAR SURTINI DAN SUMADIKO KE LUAR). </i>Di sini tidak ada keturunan Kardiman, laki-laki jalang itu! Pergi kalian!!! <i>(BERDIRI LUNGLAI MENGHADAP JENDELA. KARNOWO MASUK DIAM-DIAM, DENGAN BIRAHI MENGGUMPAL). <br /></i><br /><br /><b>ADEGAN VIII </b><br /><br />KARNOWO<br />Wijasti… <br /><br />WIJASTI<br />Mau apa kau kemari! <br /><br />KARNOWO<br />Ayahmu sudah cerita tentang aku? <br /><br />WIJASTI<br />Sudah! <br /><br />KARNOWO<br />Apa yang dia ceritakan? <br /><br />WIJASTI<br />Kau seorang yang berbudi! <br /><br />KARNOWO<br />Betul ayahmu berkata begitu? <br /><br />WIJASTI<br />Tapi aku tidak percaya, karena aku tahu macam apa kau. <br /><br />KARNOWO<br />Ya beginilah aku. Syukurlah kalau kau sudah mengenalinya. <br /><br />WIJASTI<br />Aku sudah tahu semua rencanamu dan rencana ayahku terhadapku! <br /><br />KARNOWO<br />Bagus! Tapi kau jangan salah mengerti akan niatku. Masa aku tega berbuat yang kurang ajar terhadap perempuan? <br /><br />WIJASTI<br />Oh, jadi ada yang betul yang belum kau katakana? <br /><br />KARNOWO<br />Aku ingin menengok ibumu! <br /><br />WIJASTI<br />Oh ya? <br /><br />KARNOWO<br />Tentu ibumu akan senang kalau kau menemaniku ke sana. <br /><br />WIJASTI<br />Sangkamu ibuku akan senang kau menengok? Dia tidak menyukaimu sejak tahu banyak tentang kekurangajaranmu terhadap keluarga kami! <br /><br />KARNOWO<br />Maka itu aku perlu minta maaf. Aku menyesal, sungguh! <br /><br />WIJASTI<br />Ha, ha, nampak sekali kau tidak pernah membujuk seseorang. Kau memang sudah biasa merenggut sesuatu dengan membelinya. <br /><br />KARNOWO<br />Dulu aku memang sering membujuk seseorang, bahkan membelinya sekadar untuk menghempaskan kesunyian yang mengoyak-ngoyak. Tapi sekali ini tidak Wijasti. Aku sungguh-sungguh! Kini aku benar-benar membutuhkan seseorang yang bisa mengerti hidupku. <br /><br />WIJASTI<br />Aneh, kau bisa menerka bahwa aku mengerti kehidupanmu! <br /><br />KARNOWO<br />Siapa bilang kau yang kumaksud? <br /><br />WIJASTI<br />Dari caramu menatapku! <br /><br />KARNOWO<br />Pokoknya besok kita pergi berdua menengok ibumu! <br /><br />WIJASTI<br /><i>(TERSENYUM MENERKA).</i> Lantas kita pergi dari kampung halaman, dan menginap disuatu tempat nun jauh di sana dengan segala kemewahan dan kenyamanan? <br /><br />KARNOWO<br /><i>(TERSINDIR). </i>Ya kalau kau menghendaki? Itu mudah saja bagiku! <br /><br />WIJASTI<br />Dengan begitu kau leluasa mencapai keinginanmu terhadapku! <br /><br />KARNOWO<br /><i>(DIAM TERSENTAK) </i><br /><br />WIJASTI<br />Jawablah! Kenapa diam? <br /><br />KARNOWO<br />Tak sejauh itu pikiranku! <br /><br />WIJASTI<br />Jawablah dengan benar! <br /><br />KARNOWO<br />Itu perbuatan paling jahat dalam kehidupan laki-laki! <br /><br />WIJASTI<br />Kurasa tidak! <br /><br />KARNOWO<br />Jangan meremehkan aku! Kau menaruh prasangka terhadapku! <br /><br />WIJASTI<br />Bukan prasangka kalau nyatanya memang begitu! Aku sudah tahu semuanya. Memperdayaku, itu tujuanmu yang utama. Aku tidak tahu mengapa kau harus sebengis itu! Kukira bukan hanya luapan birahi yang meliputi hidupmu, mungkin ada desakan dendam yang menyelinap dalam perasaanmu karena sakit hatimu terhadapa orang lain dank au tak sanggup membalasnya! Atau mungkin karena cintamu tak dihargakan seorang perempuan, karena cintamu itu cinta rendahan! Tapi mengapa mesti kau tumpahkan semua itu terhadapku? Apa salahku hingga aku harus menjadi korbanmu? Apa??? <br /><br />KARNOWO<br /><i>(NAFSU MELENGGAK HAMPIR TUMPAH).</i> Tidak!! Itu tidak benar, itu terkutuk! Tapi dengar oleh nuranimu yang tak berharga itu, kalau hanya untuk membalas perasaan sakit hati karena tersinggung oleh ucapan-ucapanmu, penilaianmu terhadapku tidak terlalu meleset! Aku sanggup menindihmu dengan bengis! <br /><br />WIJASTI<br />Kau benar-benar akan merenggutku. Sesuatu yang hanya sekali berharga dalam hidup seorang wanita. <br /><br />KARNOWO<br />Begitukah tekadmu menilaiku? <br /><br />WIJASTI<br />Tidak lain! <br /><br />KARNOWO<br />Aku tahu mengapa kau begitu keji menilaiku. Karena kau merasa diri tak berharga, dan karenanya kau berbuat begitu untuk mendapat harga. Atau karena kau tak pernah mendapat penghargaan laki-laki, itu makanya kau tuding aku secara kejam agar kau mendapat perhatian besar dariku! <br /><br />WIJASTI<br /><i>(MENAMPARNYA) </i><br /><br />KARNOWO<br />Terimakasih! Sebuah tamparan yang manis. <br /><br />WIJASTI<br />Kau seolah menelanjangiku hanya agar seluruh dunia tahu bahwa kau tidak bermaksud memperdayaku? <br /><br />KARNOWO<br />Ya!<i> (MENDEKAT DAN MERANGSANG).</i> Karena kau amat berharga bagiku! <br /><br />WIJASTI<br /><i>(MENGELAK). </i>Apa maksudmu? <br /><br />KARNOWO<br />Tunjukkan bahwa kau juga menghargaiku! Tunjukkan bahwa kau membalas perasaanku! <br /><br /><i>(NAFSU KARNOWO TUMPAH-RUAH TAK TERBENDUNG. IA MENDEKAP WIJASTI SEKUAT TENAGA. WIJASTI MERONTA-RONTA TAK BERDAYA. DALAM KAMAR YANG SUNYI, WIJASTI TERKAPAR DALAM AMUK BIRAHI KARNOWO). </i><br /><br /><br /><b>ADEGAN IX </b><br /><br />WIJASTI<br />Mau kemana kau sekarang? <br /><br />KARNOWO<br />Pulang! <br /><br />WIJASTI<br />Sesudah kau puas mencabik-cabik harga kewanitaanku? <br /><br />KARNOWO<br />Jangan berlagak bego! Kau juga menikmatinya! <br /><br />WIJASTI<br /><i>(PUTUS ASA).</i> Ya, aku menikmati kehancuranku. <br /><br />KARNOWO<br />Ya. Berdua kita telah merengguk kealpaan semesta. Kau jangan mengingkarinya! <br /><br />WIJASTI<br />Tak ada pilihan bagiku, kecuali menyelinapkan hidupku dalam luapan dendam dan nafsu bejatmu! <br /><br />KARNOWO<br />Apa maumu? <br /><br />WIJASTI<br />Kawini aku! Aku harus sanggup hidup bersamamu. <br /><br />KARNOWO<br />Kau menginginkan itu? <br /><br />WIJASTI<br />Itu mesti kau lakukan kalau kau sungguh laki-laki! <br /><br />KARNOWO<br />Kenapa mesti? <br /><br />WIJASTI<br />Kau sudah berjanji seperti dikatakan ayahku! <br /><br />KARNOWO<br />Ha, ha, ha…Buat apa berjanji dan bersungguh-sungguh terhadap anak penipu, penjudi, dan perusak perempuan? <br /><br />KARNOWO<br /><i>(MENEMPELENGNYA)</i>. Jangan kau bawa-bawa ayahku! <br /><br />KARNOWO<br />Tapi kau memang anak Kardiman si buaya tua itu!<i> (HENDAK PERGI). </i><br /><br />WIJASTI<br />Kau tidak bisa pergi begitu saja! <br /><br />KARNOWO<br />Dengar, sekarang kuceritakan yang sebenarnya! Ayahmu itu buaya. Buaya! Kekasihku telah dirusaknya dan dia seakan tak menanggung beban apa-apa. Kehancuran kekasihku adalah kehancuranku! Aku bisa dengan mudah membunuh ayahmu. Tapi itu tidak setimpal. Jalan terbaik untuk membalasnya adalah dengan melemparkanmu ke lembah nista seperti sekarang ini, agar dia tahu bagaimana rasanya tenggelam ke dalam lumpur sakit hati. Sangkamu aku saying padamu? Tidak! Melihat mukamu saja aku muak karena terbayang muka si buaya itu! Kau ingin tahu lebih banyak tentang apa yang paling berharga pernah dilakukan ayahmu dalam hidupnya? Ia merenggut gadis-gadis dan menyeretnya ke rumah pelacuran hanya untuk kepuasan dan dendam kesumat yang tak jelas! Sekarang, bagaimana mungkin kau mau menuntut harga lebih padahal darah sampah itu mengalir deras di sekujur tubuhmu? Sangkamu kau bisa mengangkat dirimu ke tempat yang lebih baik, oh sungai yang berasal dari mata air yang keruh, ha, ha, ha… <br /><br />WIJASTI<br />Kau tidak tahu siapa aku sebenarnya! <br /><br />KARNOWO<br />Semua orang tahu kau anak si jahanam tua itu! <br /><br />WIJASTI<br />Apa kau melihat sendiri bagaimana aku dilahirkan oleh seorang ibu yang bersuamikan Kardiman? <br /><br />KARNOWO<br />Kalau benar begitu, lebih buruk kodratmu, sebagai anak tak berbapak, anak haram! <br /><br />WIJASTI<br />Anak buaya atau anak haram, siapa yang mau perduli. Kebusukan seseorang tidak ditentukan oleh kodratnya. <br /><br />KARNOWO<br />Ha,ha,ha…Siapa mau memikirkan itu! Aku pergi! <br /><br /><i>(KELUAR. BERPAPASAN DENGAN SUMADIJO YANG HENDAK MASUK. KARNOWO TERTAWA-TAWA KECIL PENUH EJEKAN DAN KEBUASAN, MEMANDANG RENDAH SUMADIJO. SUMADIJO NAMPAK MARAH TAPI TAK BERDAYA DAN NYARIS MENGGIGIL KETAKUTAN. WIJASTI MENATAP KEDUANYA DENGAN PENUH KEBENCIAN. KARNOWO PERGI DENGAN LANGKAH PUAS YANG KEJI, SUMADIJO UNDUR DIRI TANPA KEPERCAYAAN DIRI). </i><br /><br /><br /><b>ADEGAN X </b><br /><br />SURTINI<br />Wijasti, tolonglah. Keadaanya sangat mendesak. <br /><br />WIJASTI<br />Sudah saya katakana, urusan Nyonya tidak kena-mengena dengan saya. <br /><br />SURTINI<br />Bukan begitu. Ia sudah dua malam di rumah saya. <br /><br />WIJASTI<br />Bagus. <br /><br />SURTINI<br />Tapi dia tidak mau pergi! <br /><br />WIJASTI<br />Tentu itu menyenagkan Nyonya. <br /><br />SURTINI<br />Tidak, Wijasti! Saya malah menjadi takut sekarang. Gunjingan tetangga sudah semakin santer. <br /><br />WIJASTI<br />Kenapa mesti takut? <br /><br />SURTINI<br />Tentu saja saya takut! Bagaimana nanti kalau saya dipaksa kawin? <br /><br />WIJASTI<br />Bukankah itu yang Nyonya inginkan? <br /><br />SURTINI<br />Tidak, Wijasti! Saya malu sekali…Anak saya sudah besar-besar. Mereka belum pada kawin. Mereka mulai marah-marah sama saya. Sudilah kamu menolong, Wijasti… <br /><br />WIJASTI<br />Nyonya urus saja sendiri. <br /><br />SURTINI<br />Aduh, tolonglah, Wijasti. Malam nanti mereka pasti akan ramai-ramai mengawinkan saya. <br /><br />WIJASTI<br />Kawinlah! <br /><br />SURTINI<br />Wijasti…Bagaimanapin Kardi itu ayahmu. Kamu tidak bisa berdiam diri begitu! <br /><br />WIJASTI<br />Dengar! Kardiman bukan ayah saya. Nyonya boleh usir dia, atau kawin dengannya! Jangan harap saya mau menengoknya sekalipun! Sampaikan kepadanya! <br /><br />SURTINI<br />Kamu mestinya malu, Wijasti jelek-jelek dia ayahmu! <br /><br />WIJASTI<br />(MARAH). Dia bukan ayahku. Besok saya pergi dari rumah ini. Pergi untuk selamanya. Ibu saya pun sudah mati. Jadi tidak ada lagi urusan saya di sini. <br /><br />SURTINI<br />Wijasti… <br /><br />WIJASTI<br />Uruslah dia, Nyonya. Dia harga setimapal yang harus Nyonya bayar. Pergilah. <br /><br />SURTINI<br />Wijasti… <br /><br />WIJASTI<br />Kenapa masih menunggu? <br /><br />SURTINI<br />Saya takut, Wijasti…Saya malu tertangkap basah. <br /><br />WIJASTI<br />Kalau begitu panggil orang-orang untuk mengusir dia. <br /><br />SURTINI<br />Kasihan Mas Kardi… <br /><br />WIJASTI<br />Jadi apa mau Nyonya? <br /><br />SURTINI<br />Tolonglah saya, Wijasti. <i>(SUMADIJO MUNCUL). </i><br /><br /><br /><b>ADEGAN XI </b><br /><br />SUMADIJO<br />Nah! Ini si mata pantat yang dulu memaki-maki saya! Mau apa datang lagi kemari? <br /><br />SURTINI<br /><i>(MENANGIS).</i> Iya, saya pernah memaki-maki Saudara karena saya tidak tahu. Maafkan saya, Mas… <br /><br />SUMADIJO<br />Ya, sudah! Tidak apa-apa. Kenapa menangis? <br /><br />SURTINI<br />Waduh, saya sedang kerepotan, Mas! <br /><br />SUMADIJO<br />Kenapa? <br /><br />SURTINI<br />Mas Kardi, ayah Wijasti, sakit keras. Telah dua malam di rumah saya. Saya tidak sanggup merawatnya. Saya takut para tetangga akan mengawinkan kami, kalau mereka menyangka kami ada hubungan gelap. <br /><br />SUMADIJO<br />Kenapa tidak minta tolong Wijasti? <br /><br />SURTINI<br />Sudah, Mas…Wijasti ‘ndak mau menerima kembali Mas Kardi di rumahnya. Tolonglah, Mas… <br /><br />SUMADIJO<br />Bagaimana saya menolongnya? <br /><br />SURTINI<br />Bantulah Mas Kardi menginap di tempat Mas untuk sementara. <br /><br />SUMADIJO<br />Ya, baik. Kita bawa saja ke sana. <br /><br />SURTINI<br />Selama dia sakit saja, Mas! Sesudah itu kita pikir sama-sama. <br /><br />SUMADIJO<br />Ya, tentu. <br /><br />SURTINI<br />Eh! Mas namanya siapa? <br /><br />SUMADIJO<br />Sumadijo, Bu. <br /><br />SURTINI<br />Sumadijo? Wah! Cocok sekali nama itu! Artinya selalu sedia menolong orang! Tidak macam Wijasti. <br /><br />WIJASTI<br />Tentu tidak sama antara aku dengan dia. Dia baik budi. <i>(KE SUMADIJO).</i> Rawatlah dia agar kau mendapat hadiah anaknya. Tapi ketahuilah, sekarang aku bukan anak Kardiman. <br /><br />SUMADIJO<br />Kenapa kau ini? Kok tidak boleh aku menolong ayahmu? <br /><br />WIJASTI<br />Dia bukan ayahku. Kau harus tahu itu. <br /><br />SUMADIJO<br /><i>(TERKEJUT).</i> Kamu kesurupan, ya? Aku mau menolongnya demi kau! <br /><br />WIJASTI<br />Jangan mengharapkan sesuatu dariku. Dan aku tidak percaya perkataanmu itu benar setelah kau tahu siapa aku. <br /><br />SUMADIJO<br />Aku tidak perduli riwayatmu. <br /><br />WIJASTI<i><br />(TERSENYUM SINIS) </i><br /><br />SUMADIJO<br />Bahkan kalau kau telah mengalami sesuatu apapun! <br /><br />WIJASTI<br />Aku ingin menguji kelaki-lakianmu. Dengar! Kemarin malam aku telah tidur bersama dengan Karnowo. <br /><br />SUMADIJO<br /><i>(MELONGO) </i><br /><br />WIJASTI<br />Sekarang sanggupkah kau membuktikan ucapanmu? <br /><br />SUMADIJO<br /><i>(TERPATAH-PATAH)</i>. Kau…tidur…dengan…dia? <br /><br />WIJASTI<br />Ya. <br /><br />SUMADIJO<br /><i>(TERPATAH-PATAH).</i> Tidur…dalam…arti…tidur? <br /><br />WIJASTI<br />Ya. Kini aku sudah bukan perawan lagi. <br /><br />SUMADIJO<br />Edan! Ini sudah keterlaluan! <br /><br />WIJASTI<br />Aku sudah tahu kau tidak akan sanggup. <br /><br />SUMADIJO<br />Tapi itu di luar batas perkataanku! <br /><br />WIJASTI<br />Tidak seorangpun akan sanggup memegang kata-katanya kalau dia bukan seorang laki-laki atau perempuan sejati. <br /><br />SUMADIJO<br />Kau…Wijasti…<i>(PUNCAK KEMARAHAN). </i><br /><i><br />(KARDIMAN MUNCUL SEPERTI MAYAT HIDUP. SURTINI SEGERA MENARIK SUMADIJO DAN MEMBAWANYA PERGI). <br /></i><br /><br /><b>ADEGAN XII <br /></b><br />KARDIMAN<br /><i>(DENGAN BIBIR BERGETAR).</i> Kudengar…kau tidak mau lagi menerimaku, Wijasti. <br /><br />WIJASTI<br />Karnowo telah merenggutku. Kini aku hancur dan ibu sudah mati. Tidak ada lagi hubungan antara kau dan aku. <br /><br />KARDIMAN<br /><i>(NYARIS AMBRUK MENAHAN PERASAAN). </i>Cepat benar segala sesuatu menghilang… <br /><br />WIJASTI<br />Waktu akan segera melenyapkanku pula dari sini. <br /><br />KARDIMAN<br />Ohhh…<i>(MENANGIS)</i>.Tidak ada seorangpun yang dapat kuharapkan kini. Surtini menolakku setelah aku tak beruang dan tanpa daya. Kau harapan terakhirku, pupus sudah. Wijasti…kukerahkan tenagaku yang penghabisan untuk menggapaimu. Satu saja pintaku, maafkan aku…Aku makhluk biadab yang telah menghancurkan kau, ibumu, dan diriku sendiri! <br /><br />WIJASTI<br />Semua sudah berlalu. <br /><br />KARDIMAN<br />Karnowo pergi begitu saja setelah… <br /><br />WIJASTI<br />…memperkosaku? <br /><br />KARDIMAN<br />Ya…ya… <br /><br />WIJASTI<br />Dia pergi setalah menceritakan riwayat kotormu sebagai manusia rendahan. Laki-laki tak bernurani! <br /><br />KARDIMAN<br />Wijasti…Aku tahu. Kini aku harus menuai segala kekejianku, tanpa seorangpun yang sudi memaafkan. Aku harus terima kodratku ini. <br /><br />WIJASTI<br />Aku bisa memaafkanmu, tapi tak sanggup. Maafkan aku. Kau bisa bermalam di sini, karena mala mini juga aku akan pergi, meniti kenistaan yang tak sanggup kuelakkan. <br /><br />KARDIMAN<br />Semalam aku benar-benar melihat diriku macam hantu yang membayangi dengan muka busuk dan mengerikan. Tak kuasa aku menahan jantungku yang remuk dan paru-paruku yang berlubang-lubang. Memompa darah untuk kumuntahkan, aku harus melalui masa akhirku tanpa seorangpun disisiku. <br /><br />WIJASTI<br />Tak ada yang bisa dimaafkan dalam kehidupanmu. <br /><br />KARDIMAN<br />Wijasti…Limpahi aku sedikit ketenangan sebelum diriku menjadi suluh neraka. Maafkan aku… <br /><br />WIJASTI<br />Penderitaan aku dan ibu tidak dapat ditebus dengan satu kata maaf. Apa arti kehadiranmu untuk kami? Aku akan senasib dengan ibu. Aku akan kawin hanya untuk menutup aib, kemudian makan hati karena suami tidak bisa mencintai. Itulah warisan berharga darimu. <br /><br />KARDIMAN<br />Selamat tinggal, Wijasti…<i>(PUTUS HARAPAN). </i><br /><br /><i>(KARDIMAN KE LUAR)<br />(BEBERAPA SAAT KEMUDIAN KARNOWO MASUK) </i><br /><br /><br /><b>ADEGAN XIII </b><br /><br />KARNOWO<br />Wijasti. <br /><br />WIJASTI<br />Untuk apa kau kembali? Belum puas mencabik-cabikku? <br /><br />KARNOWO<br /><i>(DENGAN BERAT HATI).</i> Ayahmu telah membisikkan sesuatu padaku. <br /><br />WIJASTI<br />Tidak ada artinya. <br /><br />KARNOWO<br /><i>(TERPATAH-PATAH).</i> Kau…bukan…anaknya…<i>(TERDUDUK). </i>Aku datang untuk minta maaf. Aku dibutakan dendam, dank au sasaran yang salah dari dendamku. <br /><br />WIJASTI<br />Lupakan. Simpan dendammu sampai busuk. <br /><br />KARNOWO<br />Aku mohon kau memaafkan aku. <br /><br />WIJASTI<br />Aku berhak membunuhmu atas perbuatanmu itu. <br /><br />KARNOWO<br />Wijasti…<i>(MENDEKAT) </i><br /><br />WIJASTI<br />Jangan mendekati aku!!! <br /><br />KARNOWO<br />Kau seorang yang sanggup membuatku mengenal kejahatanku sendiri. <br /><br />WIJASTI<br />Bukan hanya kejahatan yang bersemayam dalam dirimu. Kelicikan dan tipu daya pun mendekam dalam lubuk hatimu. Kau sakit hati, tapi tak sanggup mebalas dan melawannya. Kau mencari alasan yang setimpal dengan memperkosa anaknya agar nampak berani. Itulah hantu dalam hidupmu. Lebih dari kejahatan yang sangat hina. <br /><br />KARNOWO<br />Kata-katamu menorehkan luka di hatiku. Baik, bagaimanapun aku laki-laki. Aku harus menebusnya secara bertanggung jawab. Sudikah kau menikah denganku selekasnya. <br /><br />WIJASTI<br /><i>(DIAM) </i><br /><br />KARNOWO<br />Aku bisa memperbaiki. Beri aku kesempatan. <br /><br />WIJASTI<br /><i>(BERBALIK MENGHADAP KARNOWO DENGAN NANAR DAN TUBUH GEMETAR) </i><br /><br />KARNOWO<br />Ayahmu telah mati di sudut gang. <br /><br />WIJASTI<br /><i>(GEMETAR DENGAN TATAPAN KOSONG) </i><br /><br /><b><br />SELESAI <br /></b><br />SENJA DENGAN DUA KEMATIAN<br />KARYA: KIRDJOMULJO<br />DIREVISI DARI TEKS ASLI OLEH:<br />FATHUL A. HUSEIN</span>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-29283373643434098682023-01-22T23:24:00.006-08:002023-01-25T09:25:17.921-08:00TERBELENGGU - Adjim Aridjadi<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiVbICJl2o0BUPgFxhvj0-nSHHazqxigEDn0c9A0JPP5n1TdNgvubDCttN5acRURjENqvctrCtxUUEcsaetR2FuE5jbBk8YHCyNn6tyApgfhZDgoGQ16H9qdjG0k71m755OK74JeNwwQEsuGCX2RMSirz5JcKf_SYBZBm9VmT1dssavJ6atOnMSCqHZ/s9055/TERBELENGGU.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiVbICJl2o0BUPgFxhvj0-nSHHazqxigEDn0c9A0JPP5n1TdNgvubDCttN5acRURjENqvctrCtxUUEcsaetR2FuE5jbBk8YHCyNn6tyApgfhZDgoGQ16H9qdjG0k71m755OK74JeNwwQEsuGCX2RMSirz5JcKf_SYBZBm9VmT1dssavJ6atOnMSCqHZ/w400-h261/TERBELENGGU.jpg" width="400" /></a></div><p class="MsoNormal" style="line-height: 16.35pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: right;"><br /></p><span style="font-family: arial;"><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><i><b>Para Pemain :</b></i></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">AYAH</span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">IBU</span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">NORA</span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">POLISI</span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">LASTARI</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><i>Dalam sebuah ruang tengah yang cukup mewah. Ada dua pintu yang menghubungkan ruang lain dan kehalaman luar. Satu perangkat kursi tamu dan satu kursi goyang dekat jam dinding.</i></span></div><div style="text-align: left;"><i><br /></i></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><i>SEORANG IBU TIDUR TERLENA DI KURSI GOYANG.</i></span></div><div style="text-align: left;"><i>JAM BERBUNYI 12 KALI.</i></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><i>SEORANG AYAH MUNCUL DARI RUANG DALAM DALAM PAKAIAN TIDUR.</i></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><i>SI AYAH TERUS SAJA MENENGOK KAMAR TIDUR ANAK-ANAKNYA, KEMUDIAN IA BURU-BURU MEMBANGUNKAN SI IBU YANG TERTIDUR DI KURSI GOYANG.</i></span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><i>(MEMBANGUNKAN IBU)</i> Bu, hei, bangun.</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><i>(MENGGELIAT SAJA)</i></span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Astaga ? Hei, Bangun.</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Ada apa pak ? (<i>DENGAN RASA MALAS)</i></span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Katanya giliran jaga. Mana mereka, mana ?</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Siapa ?</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Kurang ajar ! Masih juga bertanya ! Kemana mereka pergi ?</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Siapa yang pergi ?</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Lihat di kamar tidurnya. Dan lihat pintu itu.</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Asstgfirullah. Bangsat. Kurang ajar. Sundal !</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Yah. Menyumpahlah terus. Kalau anakmu itu seperti sundal, lalu engkau ibunya, apa nama nya ?</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Mh! Maunya bertengkar saja. Yang penting bagi kita adalah mencarinya!</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Apa! Malam-malam begini, kau suruh aku mencarinya ? ini adalh tugas yang berjaga !</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Kau kira, mereka itu Cuma anak ku sendiri ?</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Kalau begitu telepon polisi. Beri mereka uang. Perintahkan mereka untuk mencarinya.</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Pak. Mereka adalah anak-anak kita dan kejadian ini masih dalam rahasia rumah tangga. Kenapa mesti memberi tahu polisi ?</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><i>(LANGSUNG AMBIL GAGANG TELPON) </i>hallo, ya…hallo. Selamat malam…… apakah benar di situ POS SEKTOR POLISI KECAMATAN ?......... terimakasih…….. begini pak…….. ya……. O, disini, nomor 68007. jalan james bond…….. apa ? ……oh, bukan. Jangan main-main pak. Saya bukan rooger more. Ini serius pak. Ya…….. apa? E, begini pak polisi. Dua orang anak gadis saya hilang…. Apa?..... oh, bukan. Bukan di curio rang. Tapi mereka pergi malam-malam, tanpa ijin kami orang tuanya…… tentu…. Ya? Hallo……. Begitu? Itu baik sekali pak. Silahkan …….. <i>(TIBA-TIBA KEDUA PUTERI NYA MUNCUL, SI AYAH MENYUMPAH SEDANG HUBUNGAN TELEPON BELUM PUTUS). </i></span><i>Bangsat ! jahannam ! (BARU SADAR KATA KATA ITU SAMPAI KETELINGA POLISI) oh, maaf pak. Saya bukannya…….. yah. Maaf pak. (MELETAKAN GAGANG TELEPON DENGAN CEPAT)</i> kurang ajar. Anak jadah!</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Sudahlah pak. Yang penting mereka sudah kembli.</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Semua ini gara-gara engku sendiri. Salah didik!</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Ibu : </span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><i>(EMOSI) </i>apa? Salahku? Akusalah didik?</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">yah!</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Lastari, nora, ayoh masuk kamar tidur. Ayahmu harus ku hajar sekarang juga. Harus ku beri pelajaran dia agar menjadi ayah yang baik.</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Lastari : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Ibu. Tak baik rebut-ribut tengah malm begini.</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Nora : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Betul, yah. Nanti orang bilang, keluarga kita tak bermoral. Tak berpendidikan.</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Kurang ajar! Masih saja menasehati orang tua? Semua ini gara-gara kamu dan kamu dan ibu mu itu!</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Diam! Mau menang sendiri! Lastari, nora, masuk kamar kataku.</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Dasar perempuan. Bikin pusing otak laki-laki.</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Oh, kau salah kan kaum perempuan hah? Kalau bukan karena engkau, anak-anak yang kau katakana kurang ajar ini, tidak akan lahir ke muka bumi ini. Laki-laki maunya bikin anak melulu, tapi tidak pernah berbuat baik terhadap anak-anak.</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Apakah kau kira, aku sebagai laki-laki tidak bias mendidik anak-anak? Kalau saja tidak engku rusak system pendidikan ku, anak-anak kita ini tidak akan jadi sundal bolong.</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Lastari : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Ayah menuduhku sundal bolong?</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Nora : </span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Saya tidak terima, saya akan adukan ayah ke polisi. Saya merasa terhina.</span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><br /></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><i># TERDENGAR KETUKAN DI DEPAN PINTU #</i></span></div><div style="text-align: left;"><i><br /></i></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Siapa ?</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Polisi : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><i>(SUARA DI LUAR)</i> saya polisi.</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Polisi?</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Siapa yang panggil polisi?</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">mh. Masih saja bertanya.</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Polisi : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><i>(KEMBALI MENGETUK PINTU) </i>boleh saya masuk ?</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Sebentar!</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><i>(SETENGAH BERBISIK)</i> saya sudah sarankan agar urusan keluarga jangan di tangani polisi. Memalukan.</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Polisi : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><i>(LEBIH KERAS MENGETUK PINTU)</i></span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Ya! Baik saya akan persilahkan polisi itu masuk.<i> (SEGERA MENUJU PINTU)</i></span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Polisi : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Selamat malam.</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Selamat malam. Silahkan masuk.</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Polisi : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><i>(BRADA DI RUANGAN TAMU. DI PANDANGIN SATU PERSATU DARI AYAH, IBU, KEMUDIAN NORA DAN LASTARI)</i></span></div><div style="text-align: left;">Dan kau berdua, memang betul tidak di rumah?</div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Lastari : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Betul pak. </span>Sedang keluar.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Bukan main, jaman terlalu moderen, seorang anak sudah berani menuntut ayahnya di depan pengadilan.</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Nora : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Kata-kata ayah sangat menghina saya, kata-kata itu sama saja dengan memperkosa kegadisan saya.</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Percuma saja bangku sekolah, kalau tidak bias membedakan antara penghinaan dengan pemerkosaan. Memperkosa itu adalah merusak perawan perempuan, tahu?</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Polisi : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Kemana?</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Lastari : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Kami akan menghadapi ujian pak, oleh karena itu, kami harus belajar bersama-sama teman.</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Polisi : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Di mana?</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Lastari : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Di rumah teman.</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Polisi : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Dan tidak memberi tahu orang tua?</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Nora : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Untuk apa?</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Polisi : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Untuk apa? Begitu jawaban adik? Orang tua, adalah pengasuh mu, pendidik dan bertanggung jawab dalam segala hal.</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Nora : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Tapi, bila minta ijin pasti tidak akan di ijinkan pak.</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Polisi : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Tidak mungkin, untuk tujuan baik, orang tua pasti mengijinkan. Tapi apa benar, ibu melarang anak-anak keluar rumah?</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Tiap malam saya harus jadi polisi seperti bapak, harus jaga dan sampai tertidur di kursi.</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Polisi : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Jaga dan tidur di kursi? Maksudnya menunggu anak-anak pulang dari belajar malam hari?</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Nora : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Bukan pak, ibu harus berjaga di kursi itu untuk menjaga kami jangn sampai keluar malam.</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Lastri : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Kami harus pergi dengan diam-diam. Kalau tidak, kami tidak di bolehkan pergi selai pergi kesekolah.</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Nora : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Kami seperti di penjarakan di rumah ini pak. Tidak boleh bergaul di luar rumah, tidak boleh ikut kegiatan di luar sekolah.</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Dan saya ibunya, harus berjaga tiap malam.</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Nora : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Dan bapak seenaknya main perempuan di night club.</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><i>(TERPERANJAT) </i>kurang ajar!</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Polisi : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Apa benar pak?</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Saya sudah bosan tinggal di rumah ini.</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Juga aku, ibu anak-anak, merasa tak sanggup di permainkan seperti murahan malam ini juga. Yah. Malam ini juga aku minta cerai, dan aku mau meninggalkan rumah mereka ini.</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Nora : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Aku mau ikut bu?</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Lastari : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Akhirnya kita terpecah berkeping-keping. Tidakkah bias di beri jalan keluar yang baik?</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Tidak bias. Aku minta cerai. Dan kau lastari, silahkan, mau ikut ibu mu atau ikut ayahmu yang jahanam itu?</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Polisi : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Begini saja, apakah bapak mau mengakui kesalahan bapak?..........</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Saya merasa bersalah. Dan saya minta maaf pada ibu, pada isteri dan pada nora.</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Polisi : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Nah, kalau begitu selesailah sudah. Kalian harus menerimanya. Kita sebagai umat beragama harus siap memaafkan kesalahan sesamanya. Lebih-lebih yang meminta maaf itu adalah dari kalangan keluarga. Tuhan maha pemurah, penyayang dan maha pemaaf. Ibu mau memaafkan suami ibu?</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Hati ku panas seperti kena bara.</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Ibu, aku memang salah, maafkanlah bu…….lastri, nora, maafkanlah ayah.</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Polisi : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Nah. Untuk kelanjutan dari penyelesaian ini, saya serahkan saja kepada kalian. Inilah puncak dari sikap satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Keselamatan rumah tangga kalian ini, terletak pada kalian sendiri. Kuncinya adalah saling memaafkan. dan penyelesaian ini bukan tugas saya. Saya harus kembali ke pos penjagaan, selamat malam.</span></div><div style="text-align: left;"><i><br /></i></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><i>(POLISI KELUAR)</i></span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><i>(FAUZE)</i> lastri….. nora …… kalian boleh pilih, ibu atau ayah yang kalian pilih, harus kalian dekati…………<i>.(FAUZE)</i></span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Nora : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Saya pilih ibu <i>(MENRANGKUL IBU)</i></span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">dan aku? …………….…<i>….(FAUZE) k</i>alau begitu, aku juga, ikut ibumu<i> (MENDEKATI).</i></span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><i>(MENJAUH BERSAMA ANAK-ANAK)</i> Engkau sudah ku maafkan.</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Nora : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Aku juga memaafkannya bu?</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Lastri : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Semua kita memaafkannya.</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Terimalah kehadiran ku kembali. Aku bersumpah tidak akan berlaku kejam terhadap kalian. Apa saja kehendak kalian untuk semua kegiatan yang bertujuan baik akan ku ijinkan. Dan kesalahan ku kepada ibu, akan ku perbaiki, aku tidak akan melakukannya.</span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ibu :</b> </span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Kesalahan adalah kesalahan, dan dosa tetap dosa, sekali pun tuhan tetap memberi ampun. Juga kesalahan terhadap sesama. Aku memaafkannya. Tapi sebagai imbalannya, ayah kalian akan ku hukum sendiri di kamrnya selama enam bulan tahanan. Lastri, nora. Mari tidur.</span></div><div style="text-align: left;"><i><br /></i></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><i>(SEMUANYA MASUK)</i></span></div><div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>Ayah : </b></span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><i>(TINGGAL SENDIRI) </i>perempuan. Selalu mau menang sendiri. Kalau bukan perempuan, otak laki-laki ini tidak akan berputar, oh tuhan, kenapa kau mesti hadirkan perempuan di muka bumi ini?</span></div><div style="text-align: left;"><br /></div> <div style="text-align: left;"><b><br /></b></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;"><b>TAMAT…………</b></span></div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Banjarmasin, 9 Februari 1983.</span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">ADJIM ARIJADI</span></div><div style="text-align: left;"><span style="text-align: left;">Sebuah Fragmen</span></div></span><p></p><p></p>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-33354200937612676942023-01-22T23:00:00.008-08:002023-01-25T09:52:26.991-08:00BALADA SAHDI- SAHDIA - Max Arifin<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg8-TOPmG3CBoi3SI4mSpRu__gA-j-xxPqlIdFQPwCFs3ODEUzdzfzVe96_V70uC--EfJa_LGv-Wrv40CVBQcMCBjw4K0WDfSp2l66IftGi9_pmPeNOC3ZviWdsyk1OiSSK3hTAhS7WfzzZzi8Jt3TQo44kGV6ncdL896ErwovMFYBGUsu8FYBqRg1G/s9055/BALADA%20SAHDI.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg8-TOPmG3CBoi3SI4mSpRu__gA-j-xxPqlIdFQPwCFs3ODEUzdzfzVe96_V70uC--EfJa_LGv-Wrv40CVBQcMCBjw4K0WDfSp2l66IftGi9_pmPeNOC3ZviWdsyk1OiSSK3hTAhS7WfzzZzi8Jt3TQo44kGV6ncdL896ErwovMFYBGUsu8FYBqRg1G/w400-h261/BALADA%20SAHDI.jpg" width="400" /></a></div><span style="font-family: arial;"><br /><br />CATATAN:<br />Naskah ini “lahir” setelah mengalami pengendapan dan perenungan yang cukup lama. Pematangannya makin dipercepat antara lain oleh: <br /><br />1.Keterkejutan atas tenggelamnya kapal Darma Mulia pada tanggal 20 Mei 1989 [Hari Kebangkitan Nasional !] yang menewaskan lebih dari 35 orang, tertera dalam banyak guntingan koran dan majalah. <br /><br />2.Penjelajahan intensif ke desa-desa di kawasan Lombok Selatan; <br /><br />3.Membaca buku langit suci karangan Peter l.Berger, terutama konsepnya tentang anomik dan alienasi. <br /><br />4.Kekaguman terhadap semangat yang terpendam dalam catatan-catatan pinggir Goenawan Mohammad di Majalah TEMPO yang merupakan geliatan-geliatan seorang intelektual sejati. <br /><br />Mungkin di sana ada satu dua kalimat dan frase-frase yang kami kutip agar semangat itu tetap utuh milik Goenawan Mohammad. <br /><br />Ucapan maaf dan terima kasih saya ucapkan. <br /><br />5.Kegemasan pada jawaban para pejabat di Propinsi, Kabupaten, Kecamatan dan desa-desa yang mengatakan: “Ah, itu kan cuma soal-soal mikro!”. <br /><br /><br /><b><i>Pelaku utama:</i></b><br />1.Sahdi : 30 tahun<br />2.Sahdia : 25 tahun<br />3.Dan lain-lain sesuai kebutuhan. <br /><br /><b><i>Waktu: </i></b></span><div><span style="font-family: arial;">Malam hari. <br /><b><i><br />Tempat:</i></b><br />Masing-masing berada dalam sebuah ruangan- - -dibatasi- oleh cahaya- - -. <br /><b><i><br />Suasana desa. </i></b><br /><br /><br />Pada mulanya adalah gelap dan sunyi. Kemudian di kejauhan sekali-sekali terdengar gonggongan anjing. Lalu, lewat tengah malam terdengar sayup-sayup sampai gema suara anak-anak menyanyikan lagu suku bangsanya, lagu Kadal Nonga. Lagu makin lama makin keras, bersamaan dengan lewatnya empat-lima keluarga yang berjalan perlahan dalam bayangan, melintasi tengah pentas [dari kanan ke kiri] menantang cahaya awal menjelang subuh. Para lelaki berjalan di depan membawa peralatan untuk menangkap ikan; wanita dan anak-anak mengikuti di belakang membawa bakul dan bekal makanan. Perjalanan makin menjauh menuju ke Selatan.Suara-suara menghilang dan seberkas cahaya pagi menerpa wajah seorang dukun/belian tua duduk di batu karang. <br /><b><br /></b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><b>Belian mengucapkan kata-kata:</b><br />Aku jalan mengikuti jejak-jejak ke pantai<br />memare made nenek moyangku<br />dan suara-suara, tawa dan nyanyi<br />Datang mendorong memberi semangat. <br /><br />Memare made di teluk Ekas<br />tidak jauh dari gubuk tinggalku<br />gubuk pindahan dari tempat ke tempat<br />dan tinggal selama sanggup bertahan<br />Seperti nenek moyang yang rindu keakanan.<br />Kini kami berada di sana<br />yang dulu muda<br />kini tua dan tinggal tak karuan<br />dan kerinduanku cumalah gema<br />mimpi yang silih berganti<br />datang menjelang sepanjang jejak<br />di mana api unggun sering menyala <br /><br />Kemudian datang Amaq Sahdi<br />dalam usia dua puluh dua tahun<br />mengawini si Saenah<br />kebanggaan menyelimuti desa<br />sesepuh-sesepuh kami yang dulu itu<br />yang terdampar di Gunung piring<br />dan sebagian di Batunampar<br />semuanya tergulung dalam cakepan<br />lontar yang membisu<br />dan sebagian terjebak jadi nunas. <br /><br />Kini kami yang ada di sana<br />yang dulu muda<br />sekarang tua dan hidup tak karuan<br />dan kerinduanku cumalah gema<br />dalam mimpi yang silih berganti<br />datang menjelang di sepanjang jejak ini<br />di mana api unggun sering menyala. <br /><br /><i>Kemudian pentas menjadi gelap. </i><br /><br /><b><br />ADEGAN SATU: </b><br /><i><br />Ketika pentas masih gelap, terdengar lagi sayup-sayup lagu Kadal Nonga dibawakan oleh suara wanita, lambat dan memelas. Pada saat itu cahaya membias di kedua ruang yang ada di pentas----Sahdi sedang duduk di amben, tempat tidurnya [ di kiri] dan Sahdia di kanan [juga duduk di amben/balai-balai]. Keduanya saling membelakangi. Kemudian mereka bangun, berdiri, saling berhadapan, memandang ke depan, ke kejauhan. </i><br /><br />01.SAHDIA:<br />Ingin kukabarkan padamu, tapi aku tidak tahu di mana kau.<br />Sekarang aku sendirian di desa.<br />Inaq meninggal tiga bulan yang lalu.<br />Amaq berangkat dengan rombongan sebulan yang lalu. Katanya mau ke Sulawesi selatan. Atau ke Irian jaya.<br />Aku tidak tahu tepatnya.<br /><i>[PAUSE].</i><br />Aku ingin menceriterakan semuanya padamu. Aku tidak tahu berapa lama aku bisa bertahan. Aku sudah lelah. Memikirkan kau. Memikirkan kelanjutan hidup di sini.<br /><i>[PAUSE]</i><br />Masih ada sisa tanah tiga are lagi, tanah kebun dekat pantai sana. Sedang tanah sawah yang 1 ½ are tidak cukup untuk makan setahun.<br />Aku tidak tahu apa yang kucari.<br /><i>[PAUSE]</i><br />Kau di mana, Sahdi.<br />Suratmu tidak memberikan alamat. Aku heran kenapa. Apakah itu berarti bahwa aku tidak boleh bersurat ?</span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>[Perlahan dia menuju ke amben lagi dan duduk. Merenung, menarik napas dalam-dalam]. </i><br /><br />02.SAHDI:<br />Betapa tidak tenteramnya aku di sini, Sahdia.<br />Sahdia.<i>[Pada saat itu Sahdia mengangat muka dan “mendengarkan”]. </i>Kalau kau ingin mengetahui keadaanku yang sebenarnya, bacalah lagi suratku yang kukirim belum lama ini. Tentu sudah sampai.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>[SAHDIA bergegas mengambil besek di kepala tempat tidurnya. Di sana ada surat Sahdi. Diambil, dikeluarkan dari amplopnya lalu dibaca. Yang terdengar adalah suara SAHDI di seberang].</i><br />“Rinduku adalah rindu pada makna<br />yang memberikan warna pada teluk dan tanjung<br />agar kita tidak berada di desa yang sepi<br />dan menjadi asing padanya.<br />Lelakaqku adalah mimpi gelisah bangun pagi<br />dan melihat patokan terpacak di halaman rumah<br />kelanjutan perih dari zaman ke zaman<br />dan menemukan diriku di tengah padang. <br /><br />Kegelisahanku adalah kegelisahan yang berlanjut<br />tatkala di negeri seberang dera melilit<br />bersama ketakutan melihat matahari<br />dan wajahpun tambah buram pada halimun<br />di tengah padang gembala desa tak bernama<br />seperti catatan inaq tergores di tiang tengah rumah kita. <br /><br />Kita adalah anak-anak tercerabut dari surga lama<br />dalam ceritera nina bobo nenek sehabis isya<br />dan tak tahu ke rumah mana akan pulang lalu<br />mengembara seperti Guru Dane dan Amaq Sumikir”. <br /><br />03.SAHDIA:<br /><i>[Setelah selesai “membaca” surat Sahdi, cahaya lampu berubah biru/kuning bersamaan dengan Sahdia maju, berhadapan dengan Sahdi].</i><br />Dulu kau bermimpi ingin menemukan suatu negeri impian dan meninggalkan daerah nyata tempat kau berjuang yang sebenarnya.<br />Aku tidak tahu apakah yang kau tulis itu suatu mimpi atau ceritera tentang dirimu sendiri.<br />Dan kalau kau menampakkan dirimu sekarang, kau tentu tak peduli karena suatu tujuan akhir itu tidak di sini tetapi di suatu tempat lain. Dan tak ada jalan untuk menghadapi nasib. <br /><br />04.SAHDI:<br />kata-katamu makin menyiksa aku, di sini. Kau bicara soal nasib lagi. Nasib tidak menyelesaikan persoalan seseorang karena dia adalah persoalan itu sendiri. Ia bukan akhir tetapi sebuah perjalanan yang berlanjut terus. Tidak menaik terus dan tidak menurun terus. <br /><br />05.SAHDIA:<br />kalau itu suatu perjalanan, kenapa panjang sekali jalan yang harus ditempuh. <br /><br />06.SAHDI:<br />Memang demikian. Panjang.<br />Nasib merupakan sungai yang tak terbendungkan alirannya untuk menuju ke laut. Hal itu tidak tergantung pada kita. Satu-satunya hal yang tergantung pada kita adalah bagaimana mengatur alirannya, berjuang melawan alirannya dan tidak membiarkan diri kita terbawa arus seperti pohon tercabut dari akarnya. <br /><br />07.SAHDIA:<br />Di sinilah nasib itu. Bukan di sana.<br />Di sinilah perjuangan itu, bukan di sana. <br /><br />08.SAHDI:<br />Itulah soalnya.<br />Kadang-kadang perjalanan hidup ini merupakan ceritera dan dongeng karena di luar pengaturan kita. Di luar kesadaran kita. Kita tidak mampu. <br /><br />09.SAHDIA:<br />Aku kira tidak, ia adalah kenyataan yang pahit. <br /><br />10.SAHDI:<br />Tergantung bagaimana memahaminya. <br /><br />11.SAHDIA:<br />Itulah yang membuat adanya pengertian salah pada pihak lain. <br /><br />12.SAHDI:<br />Kalau begitu kita semua bersalah. Aku telah melakukan sesuatu atau banyak hal yang salah.<br /><i>[PAUSE].</i><br />Tetapi kau harus mempercayai manusia pada akhirnya, Sahdia. Kepercayaan inilah yang telah hilang selama ini. Di desa kita. Aku pikir sebenarnya semua orang perduli tentang kebenaran, kemerdekaan, keadilan. Atau hati nurani. <br /><br />13.SAHDIA:<br />Tetapi semuanya berada di dunia yang berada. Banyak di antara kita yang tidak mampu melakukan penyeimbangan dengan dirinya atau dengan lingkungannya. Yang terbentang di sana adalah dunia bopeng dan tak ada keberanian untuk menyentuhnya. Ini membuat kita kesepian, terlupakan, tidak penting, tanpa hak.<br />Dulu kita berjuang antara tanah, ladang dan laut dan tidak pernah tahu siapa yang menang. Karena kita memahaminya sebagai kehidupan yang kita terima begitu saja. Kehidupan yang dijalani sejak nenek moyang kita dulu. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk berani. Kita lalu cuma berbisik tentang ketakutan seakan-akan tak ada kemungkinan lain. Tak ada warisan tentang keberanian karena benda samar itu diletakkan di tempat terendah dalam susunan kebajikan. <br /><br />14.SAHDI:<br />Keberanian itu tentu saja ada, Sahdia. <br /><br />15.SAHDIA:<br />Mungkin tetapi ia kadang-kadang lahir lewat watak yang tidak cocok, lalu menjadi sesuatu yang menggelikan.<br /><i>[LAMPU kembali pada warna awal. Dan keduanya masih terpaku. Pada saat itu suara ketukan di pintu. SAHDIA terkejut sedikit dan berpaling untuk membuka pintu. SAHDI kembali ke ambennya dan memandang ke arah “ruangan” SAHDIA].</i><br />Oh, kau. Silkahkan masuk.<br /><i>[Seseorang wanita masuk] </i><br /><br />16.WANITA:<br />Bagaimana ? <br /><br />17.SAHDIA:<br />Baik-baik saja. <br /><br />18.WANITA:<br />Ada kabar dari Sahdi ? <br /><br />19.SAHDIA:<br />Ada.Tetapi dia tidak menulis banyak.<br />Pokoknya kita tidak tahu bagimana kabar pastinya tentang dia. <br /><br />20.WANITA:<br />Kita doakan saja.<br /><i>[PAUSE}.</i><br />Begini, Sahdia.<br />Aku mau terus-terang padamu. Orang itu minta biaya lagi pada kita untuk mengurus surat-surat tanahmu supaya kau bisa tetap memilikinya. Dan aku masih lelah, baru tadi maghrib aku tiba dari kota kecamatan. <br /><br />21.SAHDIA:<br />Apa yang tempo hari masih kurang ? <br /><br />22.WANITA:<br />Katanya sih begitu.<br />Masih kurang. Ada beberapa orang lagi yang harus dibayar sebab bukan cuma dia. Urusan ini terus berlanjut ke atas, katanya.<br />Maklumlah. Sedang aku sendiri tidak tahu duduk persoalan yang sebenarnya. <br /><br />23.SAHDIA:<br />Berapa lagi dia minta ? <br /><br />24.WANITA:<br />Tidak banyak.Lima puluh ribu rupiah.<br /><i>[Sahdia agak terkejut mendengar jumlah itu].</i><br />Kalau memang kau tidak punya uang sekarang, orang itu mau membayarnya lebih dulu. <br /><br />25.SAHDIA:<br />Berarti saya berutang padanya.<br />Tempo hari juga begitu.<br />Dan itu berarti hutangku padanya sudah hampir dua ratus ribu rupiah.<br />Bagaimana aku harus bayar? <br /><br />26.WANITA:<br />Dia bilang tidak usah dirisaukan. <br /><br />27.SAHDIA:<br />Maksudnya? <br /><br />28.WANITA:<br />Dia orang baik, kau tenag-tenag saja. <br /><br />29.SAHDIA:<br />Tidak, apa maksudnya. <br /><br />30.WANITA:<br />Kapan kau punya uang , ya bayarlah. Pokoknya kau tidak akan ditagih secara paksa. <br /><br />31.SAHDIA:<br />Aku percaya padamu, tetapi aku tidak punya uang sebanyak itu. Sertifikat tanahku kan sudah ada padanya. <br /><br />32.WANITA:<br />Jadi kau tak mau bayar? <br /><br />33.SAHDIA:<br />Ya.<br /><i>[Wanita itu keluar tanpa pamit]. </i><br /><br /><i>[Kemudian, pada saat itu pintu diketuk orang pada ruangan Sahdi. Sahdi terkejut dan Sahdia berpaling memandang pada Sahdi. Sahdi tertegun sejenak sebelum membuka pintu]. </i><br /><br />34.SAHDI:<br />Oh, kau, mari masuk.<br /><i>[Seorang lelaki masuk].</i><br />Apa kabar ? <br /><br />35.LELAKI:<br />Gawat ! Betul-betul gawat. <br /><br />36.SAHDI:<br />Maksudmu ? Apanya yang gawat ?<br /><br />37.LELAKI:<br />Aku didatangi lagi oleh orang itu. Ia minta uang lagi sebanyak lima puluh ringgit. Masih ada yang harus dibayar supaya surat-suratmu bisa keluar. <br /><br />38.SAHDI:<br />Apa yang tempo hari belum cukup ? <br /><br />39.LELAKI:<br />Begitulah. Buktinya ia minta lagi. Kalau surat-suratmu keluar berarti kau bisa kerja pada siang hari. Tidak seperti sekarang, kau bekerja pada malam hari dan sembunyi-sembunyi lagi. <br /><br />40.SAHDI:<br />Ya. Aku menderita sekali rasanya.<br />Aku ingin melihat matahari.<br />Ya, salahku juga. Kenapa aku percaya pada orang-orang yang membawa kita kemari. Setelah dua puluh hari dua puluh malam tersekap di bawah lunas kapal kecil yang melelahkan sekali. Aku mabuk sejadi-jadinya, terkuras semua isi perutku. Belum lagi bau mabuk dan muntah teman-teman lain berserakan tak karuan, memercik teman-teman di sebelahnya.<br /><i>[PAUSE]</i><br />Sampai sekarang aku tidak tahu siapa yang disebut BAPAK waktu itu yang selalu disebut-sebut oleh calo-calo pencari kerja gelap itu. Aku tidak pernah melihatnya.<br />Kau tahu, dua hari-dua malam sebelum naik ke kapal kecil itu kami ditampung dulu di sebuah kebun kelapa, tiga kilometer jauhnya dari pantai. Puluhan orang waktu itu. <br /><br />41.LELAKI:<br />Itu resiko, namanya. Untuk mencapai apa yang kau inginkan kita harus berkorban. Uang, benda dan untung juga tidak nyawamu sebab kau selamat tiba di sini.<br /><i>[PAUSE]</i><br />Kau menyesal ? <br /><br />41.SAHDI:<br />Aku tidak bisa menjawabnya dengan tepat. Malah aku bingung. Barangkali. Soalnya makin menjadi jelas, banyak kesewenangan yang pandai menemukan alasan yang beradab. Punya dalih kadang-kadang filsafat, kadang-kadang ideologi. Rasa malu sudah tersimpan jauh-jauh di kolong yang kelam.<br /><i>[PAUSE]</i><br />Pernah aku merenung sambil mengingat-ingat nyamannya berjemur di pantaiku yang indah di negeriku, yang katanya sekarang ini rakyat tak boleh lewat lagi, berapa besar nilai yang kuperjuangkan itu?! <br /><br />44.SAHDI:<br />Harkat kemanusiaan sekedar untuk mendapatkan hidup yang nyaman dan layak tanpa berlebihan. Mungkin sedikit ketenangan. Tapi dari hari ke hari semuanya itu merupakan sesuatu yang makin sulit didapat. Dan aku ternyata terombang-ambingkan di antara semuanya itu. <br /><br />45.LELAKI:<br />Kenapa kau makin tenggelam dalam lamunan seperti itu. <br /><br />46.SAHDI:<br />Justru di sana sisa-sisa kekuatanku untuk bertahan dalam hidup ini. Kalau hal-hal itu habis, maka habis juga hidupku dan adalah lebih baik kalau menemukan kematian saja. <br /><br />47.LELAKI:<br />Begitu konyol ? <br /><br />48.SAHDI:<br />Bukan.Tetapi sebagai ujung dari suatu pemikiran yang macet dan ketidak perdulian dunia pada manusia.<br />Ada masyarakat sebagai perwujudan nilai-nilai terbaik yang berada dalam pikiran dan hati nenek moyang kita dulu, kini mengalami perubahan dengan cepat. Ada kebingungan karena masyarakat sendiri kini tak punya tempat untuk ikut mewujudkan nilai-nilai mereka sendiri dan sulitnya mencerna nilai-nilai yang berlaku yang bukan dari mereka. <br /><br />49.LELAKI:<br />Bukankah itu berarti bahwa kebutuhan kita berlainan yang menyebabkan kita berlainan dalam melihat semuanya itu ?! <br /><br />50.SAHDI:<br />Barangkali juga. <br /><br />51.LELAKI:<br />Dewasa ini kita barangkali cuma bisa bicara pada tataran permukaan saja. <br /><br />52.SAHDI:<br />Dan tataran itu agak rawan. <br /><br />53.LELAKI:<br />Oleh sebab itu pemikiran kita dangkal-dangkal saja.<br />Kebutuhanmu kini jelas dan untuk mewujudkan kebutuhanmu itu diperlukan syarat-syarat tertentu.<br />Itu saja yang ingin kusampaikan padamu dan sekarang sepenuhnya tergantung bagaimana kau mampu mengatasinya. <br /><br />54.SAHDI:<br />Bukan soal itu yang lebih penting. Pahami dulu apa yang kukatakan. <br /><br />55.LELAKI:<br />Yang kukatakan padamu adalah jauh lebih nyata sekarang ini, Sahdi.<br />Kenapa kita masih repot dengan perasaan moral dan hati nurani segala.<br />Aku tahu, kau datang tidak dengan perasaan benci barangkali, dan bukan juga untuk mengagumi dirimu tetapi untuk berhasil.<br />Ya, untuk berhasil.<br />Dan jangan lupa, di balik yang sebelahnya lagi banyak orang yang mampu mengucapkan kata benci dengan bagus sekali dan dengan bagus pula menjadi sosok yang mencemohkan kemanusiaan.<br />Dan itulah dunia sekarang ini.<br />Kau pernah bilang, di desamu di sana kau didatangi oleh orang yang selama ini kau kenal bekas guru agama yang sering berkhotbah dengan air mata bercucuran dan muka yang sedih. Atau yang selama ini kau kenal sebagai orang yang membina kesenian sebagai perasaan paling halus yang dimiliki manusia, nembang di sampingmu dan dalam waktu yang bersamaan memasang jerat bagimu.<br />Atau orang yang menyandang tustel dengan catatan di tangannya yang kau kenal sebagai wartawan yang pura-pura mau membelamu tetapi pada dasarnya mengorek rahasia kelemahanmu dan jengkal demi jengkal tanahmu melayang dan keuntungan terbesar jatuh pada mereka.<br /><i>[PAUSE.</i> Suasana begitu hening dan mereka menunduk].<br />Itulah kehidupan yang barangkali justru tidak kita pahami. Tetapi itu nyata seperti kau melihat tapak tanganmu sendiri.<br />Manusia tidak hanya hidup dengan keadilan sekarang ini.<br />Untuk membunuh saja, ide saja tidak cukup; juga keberanian. Dibutuhkan pula nurani tetapi inilah titik lemah manusia yang paling pokok, pertentangan dengan nuraninya itu. Dan pembunuhan makin berlarut, malah barangkali dibatalkan.<br /><i>[PAUSE].</i><br />Hidup penuh dengan kompromi, Sahdi. Juga dengan kebendaan. Dan yang paling sulit adalah kompromi dengan dirimu sendiri. Memang berat. Dan itulah hidup. Dan itulah perjuangan. <br /><br />56.SAHDI:<br />Kau telah bicara panjang dan terima kasih kuucapkan padamu. Kau kembalilah dulu. <br /><br />57.LELAKI:<br />Maksudmu? <br /><br />58.SAHDI:<br />Aku tidak menjual atau menawarkan apa yang kuhadapi ini pada siapapun. Kalian boleh saja mengemukakan alasan-alasan pembenaran, tetapi tidak menyadari terjadinya apa yang disebut kejahatan yang bersifat pribadi sekali yang hanya diketahui oleh orang yang bersangkutan. Kalian tidak mengolah sebuah kebenaran, tetapi kalian menerimanya sebagai barang jadi.<br />Tak ada uang lagi padaku. Semuanya sudah ludes. <br /><br />59.LELAKI:<br />Kalau begitu tak ada jaminan akan berhasil. <br /><br />60.SAHDI:<br />Apa boleh buat. Aku ingin tahu sampai di mana daya tahanku terhadap semuanya ini. <br /><br />61.LELAKI:<br />Mungkin situasinya malah bertambah runyam. <br /><br />62.SAHDI:<br />Kukatakan, apa boleh buat. Aku pasrah sekarang. <br /><i><br />[LELAKI itu keluar dan setelah pintu ditutup, Sahdi kembali ke ambennya dan duduk di sana. Termenung. Suasana sepi sekali. Segala sesuatnya diam. LAMPU di ruangan Sahdi silih berganti perlahan berwarna biru, kemudian hijau, lalu kuning dan kembali lagi pada warna semula.Tapi kemudian padam perlahan-lahan]</i><br /><br /><b><br />ADEGAN DUA</b><br /><br /><i>[Dalam kegelapan , lagu Kadal Nonga menggema perlahan, lambat dan memelas dibawakan oleh suara wanita. Ketika lampu menyala perlahan warna kuning temaram tampak dukun tua/belian duduk di batu karang di tepi pantai]</i><br /><br /><br />63. DUKUN TUA: <i>[mengucapkan lelakaq].</i><br />Keluarga-keluarga itu telah pergi;<br />Daerah perbatasan tak lama lagi<br />akan dihancurkan. <br /><br />Pernah kita punya ubi di sini<br />Lalu berganti menjadi batu.<br />Tahanlah kebencian<br />dan deritailah kematianmu. <br /><br />Keluarga-keluarga itu telah pergi<br />Memare-made ke laut selatan<br />yang dulu menjanjikan keabadian,<br />kini tombak-tombak telah berantakan<br />dan meninggalkan manusia tak punya nyali. <br /><br />Kami adalah pengembara yang lelah<br />menghadapi gelap seperti nurani penghianat<br />dan bayangan gelap musim kemarau itu tiba<br />seperti gurita yang tak bernama. <br /><br /><i>[Kemudian lampu perlahan padam tetapi nyanyian. Kadal Nonga itu masih nyaring terdengar. Dan ketika lampu mulai membias terang dan membagi lagi pentas itu menjadi dua ruangan, tampak di sana Sahdia dan sahdi duduk di ambennya masing-masing. Termenung dan menunduk]. <br /></i><br />64. SAHDIA: <br /><br /><i>[menyapa perlahan]</i> Sahdi…………..<br /><i>[Sahdi mengangkat muka sedikit].</i><br />Kau ingat, hari ini hari Sabtu. Tadi sore aku melakukan ziarah-makam di makam kayangan tempat leluhur-leluhur kita beristirahat. Aku menangis di sana. Seperti biasa, aku minta supaya kita selamat semua. Dan hari Rabu lalu aku dan tetangga ke makam Wali Nyato. Kau tentu masih ingat sejarah Wali Nyato.<br /><i>[PAUSE]</i><br />Dan sehabis panen yang lalu aku juga ikut upacara ngengapung dengan semua penduduk desa. Upacara ini dipimpin oleh belian Kurdap. Kami semua berenang di laut agar kami selamat.<br />Sudah tiga tahun upacara ini tidak dilakukan dan belian Kurdap mengingatkan semua penduduk desa. Ada kesadaran penduduk desa untuk melaksanakannya walau di sana wajah-wajah penuh kemuraman. Ada yang tak terkatakan, yang mengikat mereka. Ketika aku pulang, kami masih merenung sebentar dan menyaksikan matahari yang mulai tenggelam ke laut sebelah barat. Laut seperti terbakar. Merah menyala. Mendebarkan. Mungkin mengerikan ! Tapi ada kesedihan juga. Air mata tak kurasa mengalir. Kami tak tahu apakah tahun-tahun mendatang kami masih berhak menyaksikan keindahan itu lagi. <br /><br />65.SAHDI:<br />Aku memahamimu, Sahdia.<br />Aku memahamimu. Sungguh.<br />Banyak harapan seperti akan pupus begitu saja.<br />Tetapi kutekankan padamu, harapan-harapan , bagaimanapun harus mempunyai cadangan. Ini juga berarti bahwa kita harus pandai berendah hati. Ya, kutekankan, siap dengan pilihan yang tidak amat bagus. <br /><br />66.SAHDIA:<br />Aku melihat dan menyaksikan betapa sulitnya kita mendapat ketulusan. <br /><br />67. SAHDI:<br />Tentu, Sahdia. Itu merupakan akibat langsung dari hal-hal sebelumnya. Aku masih memahami keadaan batin masyarakatku pada umumnya. Dari kecil kita dilatih dengan kekuatan batin untuk menahan diri, sesuatu yang cocok untuk kita dan kita akan celaka bila kita marah. Ketulusan sulit diharapkan dari mereka yang berada di luar masyarakat seperti itu. Selain memang mereka mempergunakan hal itu sebagai kelemahan kita, ketulusan juga memang sudah melenyap karena hati dan pikiran kita tidak merdeka. Tidak memungkinkan adanya hal-hal lain. Rumput di halaman harus dicukur sama, batu bata harus diatur sama pula<i>. [PAUSE]</i>.<br />Kau paham? Ada ketakutan, yaitu ketakutan akan rusaknya jaringan pembagian kemiskinan yang ada, takut kehilangan teman tempat berbagi kemiskinan. Itu adalah pola-pola yang diwariskan secara turun-temurun dan kini terbentuklah apa yang disebut kepribadian kemiskinan, bagimana kita saling menyelamatkan dalam kemiskinan. Identitas kita sebagai suatu suku bangsa begitu lemahnya, penuh dengan sikap-sikap curiga. Dan tentu saja semuanya itu adalah hal-hal yang tidak baik, Sahdia, tetapi betapa beratnya menghadapi semuanya itu. Kita seperti porak-poranda ! <br /><br />68. SAHDIA:<br /> Aku tidak paham, Sahdi. <br /><br />69.SAHDI:<br />Kutekankan lagi, di luar sana seperti terdapat mendung berkepanjangan. Mungkin juga ketidakpedulian. Mungkin diperlukan saat-saat di mana kita tidak mudah untuk berbicara tetapi kau ketahui, Sahdia, tidak gampang untuk diam. Aku tidak tahu tepatnya, bagaimana kata-kata harus diberi harga sekarang ini. Aku juga tidak tahu apakah sebuah isyarat akan sampai. Dan mungkin cuma berupa slogan-slogan yang terpampang di sepanjang jalan besar di kotamu. Berkibar dikibas angin, memanggil siapa saja yang lewat. Tetapi yang terbaca cumalah potongan-potongan kalimat yang bernada lucu. <br /><br /><i>[Begitu Sahdi mengucapkan kalimat terakhir itu ketukan keras terdengar di ruangan Sahdia. Keduanya terperanjat dan saling memandang berbarengan dengan ketukan keras sekali lagi terdengar]. </i><br /><br />70.SAHDIA:<br />Ya!<i> [Kemudian maju ke pintu dan membukanya. Seorang lelaki dengan beringasan masuk. Sahdia mundur dua-tiga langkah. Ketakutan. Walau ia tahu siapa orang itu]. </i><br /><br />71.LELAKI:<br />Kau menipu aku.<br />Kau menipu aku!<br />Tau? Pipil yang kau berikan padaku untuk kuurus itu adalah pipil palsu. Tau akibatnya? Aku dituduh menipu dan untuk itu aku berurusan lebih lanjut dengan polisi. <br /><br />72.SAHDIA:<br />Itu tidak mungkin. Yang kuserahkan itu adalah pipil yang selama ini menjadi milik amaq. Tidak mungkin. <br /><br />73.LELAKI:<br />Aku tidak perduli itu.Tetapi sekarang aku yang kena getahnya. Tapi kau tidak akan lolos. Sewaktu-waktu kau bisa diusir di samping berapa biaya yang kubutuhkan untuk berurusan dengan yang berwajib. <br /><br />74.SAHDIA:<br />Kalau begitu kembalikan pipil itu. <br /><br />75.LELAKI:<br />Pipil itu sudah ditahan yang berwajib untuk proses lebih lanjut. <br /><br />76.SAHDIA:<br />Lalu di mana bantuanmu yang kau janjikan padaku. <br /><br />77.LELAKI:<br />Jangankan bantuan, aku sekarang dalam kesusahan gara-gara pipil palsu itu. <br /><br />78.SAHDIA:<br />Ya Tuhan! [Ia panik dan menutup mukanya lalu terisak-isak. Menangis]. <br /><br />79.LELAKI:<br />Camkan itu, Sahdia !<br /><i>[Ia keluar dengan membanting pintu. Sahdia terkejut mengangkat muka. Ia terpaku, tertegun tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. Sahdi di ruang sebelah tertegun sejak semula]. </i><br /><br />80.SAHDI:<br />Gusti Allah.<br />Betapa menderita batinku dalam penjara kedirian yang asing.<br /><i>[PAUSE].</i><br />Langkah pertama adalah pendakian<br />tapi di mana harus kutemukan<br />penyangga yang tak goyah<br />di bawah lengkung langit ini ?<br />Orang-orang tak punya makna lagi tempat <br /><br />bertanya <br /><br />dan mereka melihatku tanpa bermuka<b>*). </b><br /><br /><i>[Kemudian ia termenung, menerawang jauh ke depan]. </i><br /><br />Sahdi,<br />kuheningkan alam untuk sukmaku<br />yang dirantai kebodohan<br />yang turun temurun.<br /><i>[PAUSE]</i><br />Sahdi,<br /><i>[Tapi pada saat itu pintu diketuk orang lagi. Lagi-lagi Sahdia terkejut, nafasnya turun naik, menutup mata, menangis].</i><br />Siapa? <br /><br />81.LELAKI:<br /><i>[OSV] </i>Aku, Sahdia. Bukakan pintu. Aku memang terpaksa datang malam-malam begini.<br /><i>[Rupanya Sahdia mengenal suara itu, ia bangkit dan cepat menuju ke pintu. Dibuka]. </i><br /><br />82.SAHDIA:<br />Oh, mamiq, silahkan.<br /><i>[Seorang lelaki dengan tustel bergelantungan di lehernya, tape kecil di tangannya berdempetan dengan notes/catatan kecil, memakai jaket. Ia memandang ke sebuah kursi reot, lalu duduk. Mereka berhadapan]. </i><br /><br />83.LELAKI:<br />Aku mau tulis semua kisah sedihmu, Sahdia. Wartawanlah satu-satunya yang mampu menyampaikan suara orang-orang lemah, suaranya tidak terdengar, orang-orang yang menderita, orang-orang yang tersudut. Kamilah orang-orang yang ditakdirkan untuk itu. Kau tahu, yang disebut interaksi positif itu ? <br /><br />84.SAHDIA:<br />Saya tidak paham, miq. <br /><br />85.LELAKI:<br />Tak apalah. Itu artinya, cuma kami, pemerintah dan masyarakat. Tapi yang mampu mencuatkan persoalan kalian cuma kami, kami wartawan ini. <br /><br />86.SAHDIA:<br />Saya sih tidak tahu betul tentang kalian. Sudah tiga kali ini kau kemari dan selalu bilang akan membantu aku. Apa yang kau minta sudah kuserahkan padamu. Tinggal satu benda paling berharga yang belum kuserahkan padamu. Kehormatanku. Apa yang kau perjuangkan ? <br /><br />87.LELAKI:<br />Harga tanah yang pantas.<br />Tapi kau harus ingat. Ada batas-batasnya. Wartawan itu menulis. Karena di negara kita ini ada yang disebut sistim pers yang bebas dan bertanggung jawab. <br /><br />88.SAHDIA:<br />Saya sih tidak mengerti, miq. <br /><br />89.LELAKI:<br />Tidak apa.<br />Dan, dan, ya, ada lagi yang disebut Kode Etik Jurnalistik. Sulit kujelaskan padamu, Sahdia.<br />Di sampin aku membela kalian, aku juga harus memuji para pejabat. Mereka-mereka itu senang dipuji. Sebutkan saja namanya di koran, maka alangkah senangnya mereka, apalagi tentang keberhasilan mereka. Kau harus tahu itu.<br />Dan setiap pujian di koran itu berarti amplop, paling sedikit Rp 150.000,00 isinya. Padahal, kalau aku mau jujur padamu saja, para pejabat itu saling menyalahkan, menjelek-jelekkan satu sama lain. Tapi itu hanya padaku saja diucapkan. Ini namanya off the record. Aku menggenggam rahasia-rahasia mereka. <br /><br />90.SAHDIA:<br />Saya sih tidak paham hal-hal itu, miq. <br /><br />91.LELAKI:<br />Tak apalah. Pokoknya kau dengar apa yang kuucapkan.<br />Dan tahulah, pejabat itu paling senang kalau dikatakan bahwa mereka itu membela rakyatnya, seperti bunyi salah satu spanduk di kota. Mereka berjuang untuk rakyat. <br /><br />92.SAHDIA:<br />Lalu bagaimana pipil dan sertifikat yang kuserahkan pada mamiq untuk diperjuangkan itu? <br /><br />93.LELAKI:<br />Oh, itu. Tidak usah khawatir. Berada di tanganku berada berada di tangan yang aman dan semuanya sudah kuserahkan pada seorang petugas dan abdi negara ini. Yang tiap senin mengucapkan sumpahnya, yang disebut Sapta Prasetya Korpri. Ia akan melayani kita-kita ini. Aku tak boleh menyebut namanya padamu. Ini namanya merahasiakan sumber berita. Wartawan itu bekerja sedikit rahasia juga. Tidak boleh semuanya terbuka. <br /><br />94.SAHDIA:<br />Saya sih tidak paham, miq. <br /><br />95.LELAKI:<br />Tak apa.<br />Tapi, Sahdia, aku membeli sebuah kendaraan roda empat pada seorang dealer di kota. Toyota Taft nama atau merk kendaraan itu. Dengan jaminan sertifikat darimu itu sebelum kuserahkan pada abdi negara itu. Tidak enak rasanya jadi wartawan cuma jalan kaki ke sana kemari. Termasuk datang ke desam ini. Ada yang disebut gengsi itu. Dengan demikian pejabat-pejabat jadi percaya dan yakin padaku. <br /><br />96.SAHDIA:<br />Kenapa begitu, miq? <br /><br />97.LELAKI:<br />Apa kau tidak percaya padaku? <br /><br />98.SAHDIA:<br />Bukan begitu, miq. <br /><br />99.LELAKI:<br />Aku turunan bangsawan, Sahdia.<br />Tak mungkin menipu kalian. Jelek-jelek aku juga sudah naik haji walau bukan dengan uangku sendiri. Adakan yang namanya haji jatah, begitu.<br />Aku bisa menelusuri silsilahku. Aku adalah salah seorang turunan dari raja, entah Pejanggik atau Langko, aku lupa. Dan sebelumnya adalah asal Pamatan, kerajaan tertua di bumi Lombok ini.<br />Kau masih tidak percaya?<br />Aku adalah bagian dari kau. Nenek moyangmu adalah rakyat di ketiga kerajaan itu.<br /><i>[PAUSE]</i><br />Maka tenanglah.<br />Jangan katakan pada siapapun bahwa aku mengenal kau. Ini cara kerja wartawan. Paham? <br /><br />100.SAHDIA:<br />Paham, miq. <br /><br />101. LELAKI:<br />Nah, kalau begitu bagus. Aku pergi dulu. Aku akan datang secepatnya.<br /><i>[Lelaki itu keluar setelah mencoba mendengar kalau-kalau ada orang di luar. Memang agak lama di sana, sementara Sahdia hanya memandang dengan kosong pada wartawan itu. Setelah berbalik sebentar, lalu keluar].- <br /><br />[Kemudian Sahdia berbalik, memandang ke ruangan II/Sahdi. Mereka berpandangan]. LAMPU BLUR. <br /></i><br />01.SAHDI:<br />Aku tidak tahu pasti apakah itu sesuatu yang timbul karena persentuhan kebaikan. Sebuah harapan yang kuno sekali. Kau bisa menyadari, Sahdia, bahwa dewasa ini optimisme itu harus dibikin sendiri. Suasana sekitar tidak memungkinkan hal itu. Di hadapan kita menunggu banyak ketidakpastian. Bagaikan lautan Hindia yang kelam, yang luas tak bertepi. Pada saat-saat mata kita jalangkan terus menunggu waktu menyerbu ke lau untuk menangkap nyale.*) .<br /><i>[PAUSE]</i><br />Aku rindu upacara bau Nyale, Sahdia.<br />Di sana aku bisa mengeluarkan isi hatiku lewat lelakaq <b>**).</b> Lelakaqlah satu-satunya seni kita yang kusenangi karena ia mampu mengatasi kemasabodohan yang mematikan orang-orang Lombok yang timbul tatkala kita Cuma merayap dari satu kebiasaan ke kebiasaan yang mematikan. Seni melawan kebiasaan yang mematikan. <br /><br />02.SAHDIA:<br />Aku memahami, Sahdi.<br />Kemerdekaan mengakibatkan kesepain bagimu.<br />Kau pergi karena ingin merdeka dan bebas dari belitan kemiskinan di desa kita. Pembicaraan-pembicaraan tentang hal itu sudah begitu ramai; hampir setiap orang bicara soal yang sama dan semuanya mengeluarkan suara-suara yang gaduh. Wartawan-wartawan menulis dan bicara yang sama dan sama sekali tidak menciptakan suatu rasa kebersamaan dan kedekatan dengan kita. <br /><br />03.SAHDI:<br />Memang begitu, Sahdia.<br />Mereka tahu persis bagaimana harus menulis dan bicara. Makna-makna tidak boleh tepat, harus kabur karena di sanalah mereka berlindung.<br /><i>[PAUSE].</i><br />Berlindung dalam kekaburan makna itu.<br />Padahal kita sangat mengharapkan kata-kata yang ditulis mereka akan merupakan bagian dari suatu pencarian dan perjalanan batin. Yah, katakan bagian dari seluruh sejarah kepribadian mereka. <br /><br />04.SAHDIA:<br />Sudahlah, Sahdi. Aku tambah bingung. Yang kutahu hanyalah bahwa harapan memang tidak boleh dikuburkan begitu saja seperti katamu. Sebab masih ada orang-orang yang bersih. Kita punya hak untuk berharap. <br /><br />05.SAHDI:<br />Memang, walaupun kemiskinan kita bagi mereka bukan soal pokok. Tak ada yang bisa membatasi mereka kini, sehingga dunia dan manusia yang kita kenal itu menjadi tidak berharga sama sekali. Ini mengerikan sekali dan inilah sebenarnya titik perlawanan manusia.<br />Yang paling hakiki miliki kita telah direnggut, yaitu tujuan hidup itu sendiri. Dan hal ini membuat kita menderita.<br />Kita memang sulit menerima bahwa di sana ada dusta dan dusta itu begitu memberikan sifat penting pada orang dan berbagai hal. Kebenaran tidak akan membuat orang seperti itu, ya, sedikit saja kebenaran tentu akan membuat mereka malu dan betapa munafiknya kita selama ini.<br />Atau tak usahlah kita bicara soal kebenaran karena akan membuat kita bingung. Tetapi letakkanlah hati pada setiap perbuatan dan tindakan kita. <br /><br /><i>[PADA SAAT ITU PINTU TERDENGAR DIGEDOR DENGAN KERAS.SAHDIA SEKETIKA TERKESIAP SEBENTAR DAN MEMANDANG NANAR KE ARAH PINTU. TERDENGAR LAGI SUARA KETUKAN DENGAN KERAS. SAHDI MUNDUR TETAPI TERDENGAR SERUAN DARI LUAR]. LAMPU ! <br /></i><br />06.LELAKI:<br />Bukakan pintu.<br />Kami datang menjemput kau. Kau pendatang haram !! <br /><br />07.SAHDI:<br /><i>[Maju ke pintu dan membukanya. Tiga orang masuk. Ternyata askar berpakaian preman].</i><br />Apa saya harus ditangkap ? Apa masih kurang yang saya bayar pada kalian? <br /><br />08.LELAKI:<br />Tutup mulutmu !<br />Di negeri kami soal itu tidak berlaku. Kalau di negeri kau bolehlah. Di sini lain. <br /><br />09.SAHDI:<br />Tetapi……… <br /><br />10.LELAKI:<br />Nanti di sana saudara boleh berucap panjang-panjang. Tidak terhadap diri kami.<br /><i>[SAHDI dibawa. Sebelum keluar ia berbalik dan memandang pada Sahdia. Agaka lama mereka berpandangan. Lalu dia dibawa juga]. <br /></i><br />11.SAHDIA:<br />Sahdi, Sahdi……….<i><br />[Sahdi hilang dibawa. Pada saat itu pintunya digedor orang. Dua orang masuk. Sahdia berpaling menghadapi mereka].</i><br />Ada apa ?<br /><i>[Kedua orang itu masih berdiri di sana memandang tajam padanya].</i><br />Katakan apa yang kalian kehendaki. <br /><br />12.LELAKI:<br /><i>[Mengeluarkan selembar kertas dan mencoba membacanya].</i><br />Ini ada perintah dari atasan kami, supaya kau dengar.<br />“Karena ternyata pipil dan keterangan-keterangan lainnya tentang pemilikan tanah atas nama Amaq sahdi adalah palsu, maka mulai hari ini, 22 Desember 1991, tanah-tanah yang menjadi miliknya disita oleh negara”.<br /><i>[Lelaki itu berhenti sebentar lalu melanjutkan].</i><br />“Kepada pemegang hak tanah sekarang, yaitu yang bernama Sahdia, akan diberikan pesangon yang besarnya akan ditentukan kemudian setelah mendengar berbagai pihak. Dan sehari sesudah surat ini keluar yang bersangkutan harus meninggalkan rumahnya.” <br /><i><br />[Orang itu berhenti membaca surat tersebut dan memang sudah selesai/tamat. Ketiganya saling berpandangan, kemudian sahdia menutup mukanya. Terisak, menangis. Tetapi kemudian ia mengangkat mukanya dan masih dalam suara tangisnya ia berkata]: </i><br /><br />13.SAHDIA:<br />lalu kemana aku harus pergi.<br />Kemana aku harus pergi.<br /><i>[PAUSE].</i><br />Kemana aku harus pergi. <br /><br />14.LELAKI:<br />Kau kan punya saudara atau keluarga di desa seberang sana. Kau boleh tinggal di sana sementara. <br /><br />15.SAHDIA:<br />Kemudian aku harus pergi kemana?<br /><i>[Dalam isakan tangis yang deras.] </i>Kemana aku harus pergi?<br />Tanah ini begutu kucintai, kubenah dengan penuh kasih sayangku. Aku mencintai tanah ini ! Aku mencintai tanah ini. Kenapa aku harus berpisah dengan tanah ini ? <br /><br />16.LELAKI:<br />Bersiaplah Sahdia. Tak ada waktu lagi. <br /><br /><i>[Sahdia mengemas barang-barangnya terutama pakaiannya; dibuntel dengan kain panjang kumal. Ia berdiri dan akan menuju ke pintu. Ia berhenti sejenak dan memandang kesegenap penjuru kamar tersebut untuk terakhir kalinya. Kemudian ia berbalik dan keluar diikuti oleh dua orang lelaki tersebut]. <br /><br />LAMPU SEKITAR MEREDUP KEMUDIAN SOROT LAMPU TERTUJU PADA WAJAH SEORANG DUKUN TUA, MAKIN LAMA MAKIN TERANG.</i><br /><br /><b><br />ADEGAN TIGA: </b><br /><br /><i>Lampu menyoroti wajah dukun tua yang duduk di atas batu karang. </i><br /><br />17.DUKUN:<br />Keluarga-keluarga itu telah pergi;<br />Daerah perbatasan tak lama lagi<br />akan dihancurkan. <br /><br />Pernah kita punya ubi di sini<br />lalu berganti menjadi batu.<br />Tahanlah kebencian<br />dan deritailah kematianmu. <br /><br />Keluarga-keluarga itu telah pergi<br />melengkapi derita anak manusia<br />yang pernah dijalin dengan mimpi indah<br />tapi hancur bertebaran di tanahnya sendiri. <br /><br />Kami adalah pengembara yang lelah<br />menghadapi gelap seperti nurani penghianat<br />dan bayangan gelap musim kemarau itu tiba<br />seperti gurita yang tak berwarna. <br /><i><br />LAMPU kemudian padam pelan-pelan. Gelap total. Masih tersisa lagu Kadal Nonga sedikit, lagu suku bangsanya. Kemudian lagu itu habis.Sepi. <br /></i><br /><br />Mataram, 22 Desember 1991 <br /><br />Semoga harapan tak pernah padam di tanah ini.<br />Merdeka ! <br /><br />NB:<br />Sebuah naskah sandiwara dengan naskah yang berlatar Lombok Selatan, akan dimainkan tanggal 3 Maret 1992 di Taman Budaya Mataram. Sandiwara tersebut karya Max Arifin berjudul Balada Sahdi Sahdia, disutradarai oleh Umarul Faruk. Pada kesempatan sama bakal digelar cerita pendek Pagar karangan Hamsad rangkuti dengan sutradara Azhar Zaini. Selain itu akn tampil pula beberapa penyair setempat membacakan sajak.Kegiatan ini berlangsung atas kerjasama Forum Komunikasi untuk Pengembangan Teater Mataram dengan Taman Budaya mataram.( Peristiwa Budaya, Kompas, Minggu, 1 Maret 1992) <br /><br />GLOSSARI: <br /><br />1.Amaq :<br />Bapak [untuk rakyat biasa] <br /><br />2.Bellan :<br />Dukun. <br /><br />3.Cakepan :<br />Lontar-lontar yang berisi satu ceritera/sejarah dikumpulkan jadi satu. <br /><br />4.Inaq :<br />Ibu <br /><br />5.Lelakaq :<br />Nyanyian/pantun Lombok/Sasak <br /><br />6.Mamiq :<br />Bapak[untuk orang bangsawan] <br /><br />7.Mamare-made :<br />Suatu kegiatan menangkap ikan di laut selama 4-5 malam.Biasanya beberapa keluarga menginap di pantai dengan membuat bangunan darurat. Dilakukan menjelang turun ke sawah. <br /><br />8.Nunas :<br />Pengemis. <br /><br />9.Ngengapung:<br />Suatu upacara berendam di laut yang dilakukan oleh seluruh penduduk desa. Upacara ini dimaksudkan untuk menolak bahaya dan mohon keselamatan. <br /><br />10.Nyale :<br />Cacing laut yang keluar sekali dalam setahun di pantai selatan Lombok. Dikaitkan dengan legenda Putri Mandalika yang cantik. Ada upacara bau nyale[menangkap nyale] beramai-ramai pada setiap malam tanggal 20 bulan atas [Arab], yang biasanya jatuh dalam bulan Februari. Di Kuta [Selatan Lombok] tempat yang paling ramai untuk upacara ini kini sedang dibangun hotel-hotel berbintang. [***] <br /><br /> <br /></span><span style="font-family: arial;">*).Kutipan dari JATISUARA, karangan Drs.Lalu Agus Faturrahman</span></div><div><span style="font-family: arial;">*). Nyale= semacam cacing laut yang warna-warni.<br />**). Lelakaq = pantun dalam bahasa Lombok/Sasak.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br />[DRAMA SATU BABAK]</span><span style="font-family: arial;"><br />Untuk pementasan naskah ini, harap menghubungi penulisnya:<br /><br />MAX ARIFIN,<br />Jl.Bola Volley Blok E 33,<br />Perum Griya Japan raya, Sooko,<br />Kabupaten Mojokerto 61361<br />Jawa Timur<br />Telp 0321- 326915<br />Hp 085 2300 39 807</span><br style="font-family: arial;" /> </div>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-89225294624735262142023-01-19T06:41:00.008-08:002023-01-25T09:52:48.302-08:00RUMAH DI TENGAH ANGIN (The House In The Wind) - Olive Price<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiH8niSpdmzlkbvfSrjOkEWZEnYAtHvleHWqDxVFQyT6iEqr_CMspe1UiT_i_AtEv3V0UfhTrez-L1N92wfC-0bUK8vAgxdh8iJ2yBlwXUUC_xOmL7qHj6tQ2AfNvvkRA4zFAm-76ysyRWs4BEe5r-JhrdldtBWZ30_H15Gnk94mUq53UpLwJutrao9/s9055/rumha.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiH8niSpdmzlkbvfSrjOkEWZEnYAtHvleHWqDxVFQyT6iEqr_CMspe1UiT_i_AtEv3V0UfhTrez-L1N92wfC-0bUK8vAgxdh8iJ2yBlwXUUC_xOmL7qHj6tQ2AfNvvkRA4zFAm-76ysyRWs4BEe5r-JhrdldtBWZ30_H15Gnk94mUq53UpLwJutrao9/w400-h261/rumha.jpg" width="400" /></a></div><p></p><span style="font-family: arial;"><br /><b><br />RUMAH DI TENGAH ANGIN</b><br /><i>Alih bahasa :</i><br />Sjaan Sri Sujani Said<br />h. b. Pudjianto <br /><i><br />Titel Asli :</i><br /><b><i>THE HOUSE IN THE WIND</i></b><br />Karya : Olive Price<br />Amecameca, Mexiko <br /><br /><b><i><br />Dengan angin yang besar (misterius)<br />Terjadi di zaman ini juga </i></b><br /><br /><i><br />Dramatis personae :</i><br />MARIA : Seorang wanita setengah umur, kecil tubuhnya, takhayul, pengasuh Concha.<br />CONCHA : Gadis remaja berdarah campuran Indian dan Spanyol, cantik, lincah, kafir (tak percaya akan takhayul), berbakat seni. Mata dan rambutnya hitam bercahaya.<br />JOSE : Seorang serdadu Mexiko, gagah tegap, seperti model dalam lukisan. Kumis dan jenggotnya lebat, agak kasar sikapnya.<br />RICARDO : Pelukis muda, penggemar dan pecinta keindahan alam dengan potongan tubuh yang harmonis. Tunangan CONCHA. Serius dalam segala hal. <br /><br /><br /><i><b>Scene :</b></i><br /><i>Sebuah ruang tengah rumah Concha, dekat suatu desa, di Amecameca, Mexiko. Perabotan rumahnya terdiri dari beberapa perabot penduduk asli, sebuah meja makan panjang gaya Spanyol, satu dua kursi Ouiszion, sebuah bangku dekat pintu dan sebuah peti berukir yang berat yang ditaplaki dengan sehelai selendang sulaman Mexiko.<br />Ada beberapa lilin di atas meja dan satu dua barang pecah antik buatan Mexiko. Di sebelah kanan terdapat relung yang di dalamnya terletak patung bunda Maria. Sore hari, suara angin terdengar dengan dahsyat, kaca-kaca jendela bergemeretak, bergetar, suara gaduh seperti genting2 berjatuhan.<br />Maria masuk dengan menggendong sebuah buyung air. </i><br /><br /><b>Maria : </b></span><div><span style="font-family: arial;"><i>(berjalan ke meja dan meletakkan buyung air di atasnya) </i>Santo Antonio. Angin. Ini adalah hantu putih yang tersesat, yang sedang melolong Concha, Concha masuklah. <br /><b><br />Concha :</b> </span></div><div><span style="font-family: arial;">ada roh binatang berkeliaran ke bukit-bukit malam ini, betapa ia meratap dan meratap. Aku ingin menamparnya sampai diam. <br /><br /><b>Maria : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(dengan takut)</i> Tutuplah pintu. Akan kunyalakan lilin-lilin ini. </span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Concha berjalan ke pintu. Tiba-tiba terbanting menutup) </i><br /><br /><b>Concha : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"> inilah suatu firasat yang buruk. Roh-roh berkeliaran malam ini. <br /><br /><b>Maria : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">diamlah. Nanti tukang-tukang sihir akan mendengarmu. <br /><i><br /> (Maria menyibukkan dirinya dengan menyalakan lilin-lilin. Tiba-tiba suara burung hantu mengerikan memecah kesunyian. Concha buru-buru ke jendela dengan penuh ketakutan) </i><br /><br /><b>Concha : </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(menahan napas)</i> Burung hantu di atas dak-plant rumah kita. <i>(membuat tanda salip) </i>Bunda Allah. <br /><br /><b>Maria </b> : </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(menggumam)</i> Bila ada burung hantu berbunyi di atas atap, maka ada seorang Indian yang akan mati malam ini. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(menekankan wajahnya pada kaca jendela) </i>Aku dapat melihatnya. Ia bertengger, tampak seperti seekor burung yang misterius dengan kedua matanya yang besar dan bengis, melihat ke bawah, ke patio.<i> (Ia membalik cepat sementara suara itu terus terdengar) </i>Ambilkan syalku. Aku akan mengusirnya. <br /><br /><b>Maria :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Menjadi pucat) </i>Jangan. Jangan. Biarkan dia pergi sendiri. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Mengambil syal dari peti) </i>Aku tidak takut. Lihat saja. </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Maria menariknya pada lengannya, memohon) </i><br /><br /><b>Maria :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jangan. Jangan. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Tiba-tiba tertawa)</i> Biarlah Maria. Salah seorang dari kita harus berani pada malam seperti ini. (Tepik burung hantu) Baiklah.<i> (Ia membuat gerak tangan yang tidak berarti) </i>Balaslah dengan teriakan (angin menderu) Jawablah dengan tawa. <br /><b><br />Maria :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(memohon)</i> Bukan begitu di Amecameca, Concha. Bangsa kita adalah bangsa yang selamanya mempercayai bahwa itu adalah firasat buruk, bila ada angin bertiup dari Sacro Monte, juga bila ada burung-burung yang bertebangan di malam pekat. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">kita bangga Amecameca telah menjadi pegecut, karena kita selalu hidup dalam ketakutan. <br /><br /><b>Maria :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Itulah suatu pelajaran yang telah diajarkan kepada kita, karena kita hidup dalam lindungan Popocatepalt, gunung yang tak putus-putusnya mengeluarkan asapnya dan Ixtaccihuatl, si wanita putih.<i> (Tragis) </i>Gunung-gunung itu bagaikan serigala yang menjaga keindahan alam di sini. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(dengan tak sadar, karena burung hantu itu tak memekik lagi) </i>Aku tak mau mendengarnya lagi.<i> (ia buru-buru keluar) </i><br /><br /><b>Maria :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bunda Allah. Sungguh itu suatu firasat buruk. Bila seekor burung hantu berbunyi di atas atap, maka akan ada seorang Indian yang akan mati malam ini. </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Ia berdiri terpaku. Suara tawa Concha terdengar bersama dengan pekikan burung hantu yang ketakutan. Suatu bayangan hitam bergerak seperti bentangan sayap-sayap terlihat melintasi jendela. Maria berlutut dan menutupi wajah dengan kedua tangannya. Sebentar kemudian suara Concha terdengar dengan penuh kemenangan) <br /></i><b><br />Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Off Stage)</i> Ia telah minggat Maria. Aku telah mengusirnya. Mari lihatlah. </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Maria tak bergerak. Concha telah ,masuk, berseri-seri. Selendangnya semampai pada lengannya. Kemudian ia menutup pintu) </i><br /><br /><b>Maria :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(dungu putus asa) </i>Kau telah melakukan perbuatan yang mengerikan. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(menahan bersikap menantang) </i>Bangunlah Maria. Mari menanak air untuk merebus ramuan ini. </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Maria bangkit tanpa melihat kepadanya. Mereka menyibukkan diri masing-masing dengan buyung / kendi air di atas meja itu. Angin terus bertiup menderu, tetapi terdengar lebih rendah, lemah, sekarang. Suatu ketukan pintu yang seolah-olah memerintahkan Concha membalik ke arah Maria dengan pandangan yang berarti) <br /></i><br /><b>Maria :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Barangkali Jose, boleh saja bawa dia masuk? <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(marah)</i> Mengapa ia selalu datang kemari?<i> (dengan kemarahan yang tiba-tiba kasar) </i>Aku membencinya Maria.<i> (pintu diketuk lagi secara terus-terusan) </i><br /><br /><b>Maria :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nanti dia akan menjenguk dari jendela bila tak mau bukakan pintu. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(angkuh) </i>pergi sajalah kau. Aku akan menemuinya sendiri. <br /><br /><i> (Maria pergi ke dapur. Concha berjalan ke pintu dengan sombong, membukanya dan membiarkan Jose masuk. Wajahnya seperti gambar-gambar dalam lukisan, mengenakan waiscoat bersulam, kemeja hijau dan selempang, ia memakai sembrero lebar tepinya, membawa gitar) </i><br /><b><br />Jose :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(tersenyum gembira)</i> Ah, Conchamia. Kau buka pintu sendiri untukku. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Itu bukanlah karena aku senang melihatmu, Jose. <br /><br /><b>Jose :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(tertawa)</i> Itulah maka aku suka padamu Concha. Kau begitu sukar untuk didekati. <i>(Ia masuk ke ruangan, berjalan berlagak dengan sikap sombong)</i>. Tetapi aku pasti memilikimu kelak. Pasti. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jangan begitu pasti. <br /><br /><b>Jose :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Meletakkan gitarnya di atas meja dan memanaskan tangannya di atas bara lilin)</i> Tapi aku merasa pasti.<i> (membalik pada Concha, menggoda) </i>bukankah aku telah berdoa di Cathedral besar di kota agar kau mencintaiku. Dan syal yang kubawa untukmu, sutera yang disulam dengan benang yang terang. Tak ada yang lebih indah di seluruh alermeda. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kau boleh mengambilnya semua kembali. Bawalah kembali suamnya. Aku mengharapkan sama sekali. <br /><br /><b>Jose :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ah, Concha, janganlah begitu kejam. Mana renda hitam ku untuk sluier yang kubawa untukmu? Dan gelang-gelang yang kubuat dari mata uang mas? Mengapa tak kau pakai semuanya? <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(melengotkan kepalanya) </i>Aku tidak suka akan pemberian-pemberian mu itu. Aku tidak menginginkan semuanya itu. <br /><b><br />Jose :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(tidak tersinggung) </i>Tetapi kau tentu akan menyukai yang kubawa malam ini. Lihat. <i>(ia melepas sembreronya, merogoh isinya dan mengeluarkan mantel, jubah / syal jubah yang beraneka-aneka, terbuat dari sutera yang mahal-mahal. Bergemerlapan oleh banyaknya permata, zamrut, batu delima, intan) <br /></i><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(sangat ingin menyentuhnya, tetapi menahan diri) </i>Bunda Maria. Bukan main indahnya warna-warnanya. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(mundur)</i> Tidak, tidak. <br /><b><br />Jose :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(menjadi marah)</i> Apa? Kau tidak mau memakainya? Santo Antonio. Kau adalah seekor ular. (bejalan mondar-mandir, marah) Tahukah kau, bahwa aku mencurinya untukmu dari patung bunda Maria di Gereja Milpa Alto? <br /><b><br />Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mencurinya? Dari bunda Maria? Di Gereja Milpa Alto? <br /><br /><b>Jose :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(marah) </i>dan mengapa tidak, he? Kaum revolusioner, mereka membakar hancur gereja. Mereka merampok dari tempat-tempat suci dan mengambil apasaja yang mereka temukan, dari emas, permata. Kenapa seorang serdadu semacam aku tidak boleh mengambilnya juga? <i>(Ia mendekati Concha lagi) <br /></i><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><b>(ketakutan)</b> Singkirkan itu. Aku tak sudi menyentuhnya. <i>( menatap dengan muka merah dan menuduh) </i>Kau memang seperti yang kusangka, Jose hanyalah seorang pencuri yang malang. <br /><br /><b>Jose :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(mengejek, sambil melemparkan jubah ke lantai)</i> Bagaimana kau menginginkan aku? Apakah aku harus seperti orang yang hanya pandai mencoret-coret seperti kekasihmu kanak-kanak Ricardo itu?<i> (pada ucapan Ricardo, Concha menjadi pucat tiba-tiba) <br /></i><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jangan sekali-kali kau sebut nama itu. <br /><br /><b>Jose :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ricardo. Ricardo. Ricardo.<i> (tertawa)</i> haaaa, kau keliatan merah, matamu seperti sapi jantan yang sedang marah, sudah dua tahun ia pergi dan kau masih saja menunggunya. <br /><b><br />Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">aku tidak menunggu. Dengar aku tidak menunggunya. <br /><b><br />Jose :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dengar Conchamia, ia akan datang malam ini. <br /><b><br />Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(begitu terkejut hingga ia membiarkan tangannya menggenggam) </i>Darimana kau tahu? <br /><br /><b>Jose :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">aku melihatnya. <br /><b><br />Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(lupa akan dirinya dan setengah memohon)</i> Dimana? Dimana? <br /><br /><b>Jose :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">aku melihatnya. <br /><b><br />Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(menatap dengan tajam) </i>Di persimpangan jalan Mexiko City.<i> (matanya bersinar) </i>Ricardo...... <i>(sementara Jose mempererat genggaman pada lengan Concha)</i> Lepaskan tanganku, Jose. Kau menyakitkan hatiku. <br /><br /><b>Jose :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Menyakitkan. Dengar Conchamia, apabila Ricardo datang malam ini dan ia singgah kemari untuk menemui, seseorang di rumah ini akan mati.<i> </i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Concha berdiri dan menatapnya. Mula-mula dengan terbelalak karena takut dan terkejut, kemudian........) <br /></i><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(dengan dingin)</i> Apa maksudmu Jose? Apakah kau menakut-nakuti aku untuk menyambutnya? <br /><br /><b>Jose :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(mencampakkan Concha ke lantai) </i>Aku sudah memperingatkan kau Conchamia. </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Ia keluar tanpa melihat kepadanya lagi. Menutup pintu dengan keras. Concha tinggal dengan tak bergerak. Maria masuk mendapati Concha dalam keadaan panik) </i><br /><br /><b>Maria :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(dengan cemas)</i> Concha. Concha. Apa yang diperbuatnya terhadapmu? Kau telah membuatnya marah, ya. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(setengah berlutut, wajahnya berseri) </i>tidak apa-apa Maria. Tidak apa-apa. <br /><br /><b>Maria :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa yang telah terjadi denganmu? <br /><b><br />Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(bangkit memeluknya) </i>Ricardo akan datang Maria. Aku tahu, ia akan datang. <br /><br /><b>Maria :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ricardo. Darimana kau tahu? <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jose melihatnya di jalan raja yang menuju kemari <i>(setelah memandangi sekeliling ruangan)</i> Ia kembali, Maria. Ia kembali. Kembali setelah dua tahun. <br /><br /><b>Maria </b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(panik) </i>Jose akan membunuhmu bila kau menemui dia. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">kita tutup gerendel-gerendel jendela. Kita palang pintu. Dan aku akan berdo’a <i>(ia melintasi ruang dan belutut di depan patung bunda maria) <br /></i><br /><b>Maria :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(mengikuti) </i>Inilah suatu malam yang mencemaskan. Oh... Conchamia<i> (membuat tanda salib)</i> Bunda Allah sertailah kami. <br /><b><br />Concha</b> :</span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(tidak sabar) </i>Hush, maria. Biar aku berdo’a, biarpun angin menderu dengan dahsyat.<i> </i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Maria duduk pada meja, susah cemas, Concha tetap berlutut. Tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah seorang laki-laki, terdengar bernyanyi) </i><br /><br /><b>Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><b>bersajak :</b></i><br /> Perlindungan yang abadi.<br /> Kesunyian yang membahagiakan.<br /> Adalah tega dalam ketaatan<br /> terhadap agama yang memenangkan.<br /> Walaupun dinding-dinding yang keras. <br /><br /><i> (Concha mengangkat mukanya dengan ekspresi campuran heran dan suka cita, ketika Ricardo masuk) </i><br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ricardo... <br /><br /><b>Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Concha, Conchamia<i>. (gembira)</i> Aku datang untuk menemui angin, tapi di sini aku menjumpai seorang bidadari.<i> (ia sopan, kulitnya gelap dan ramah, suaranya rendah dan mucikal, ia berpakaian rapi dalam waistcoat) </i><br /><b><br />Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(ketika Ricardo mengulurkan tangannya) </i>Begitu. Jadi kau datang untuk menemui angin. Dan bukan Concha? <br /><br /><b>Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(tertawa) T</i>api engkaulah angin itu. Bolehkah kuceritakan tentang ini kepadamu?<i> </i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(ia membalik kepada Maria)</i> </span></div><div><span style="font-family: arial;">Ia tidak berubah sejak aku melihatnya terakhir. Itu sangat menggembirakan hatiku<i>. (ia membungkuk memberi hormat dengan gayanya yang menarik) </i>Terimalah pujianku, Senora. Kau telah menjaganya dengan baik sekali. <br /><br /><b>Maria :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(senang sekali dan pura-pura memprotes) </i>Oh, tidak. Tidak, senor. Ia memang begitu. (tersenyum) Senor tentu lapar sesudah perjalanan itu bukan? <br /><br /><b>Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">kau masih saja membuat “tortelitas”. <br /><br /><b>Maria :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(berseri-seri) </i>oh, ya, masih Senor. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">buatlah Maria. Juga kopi. Marilah kita makan dan minum. <br /><br /><b>Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jangan kopi. Jangan, jangan. Aku membawa anggur. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(seperti bemimpi) </i>Anggur..... untuk malam ini........ <br /><b><br />Maria :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku pergi ke dapur. Kita akan segera pesta.<i> (keluar) </i><br /><br /><b>Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">kau kelihatannya tidak heran melihat aku datang, Conchaku. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(melihatnya dengan ganjil) </i>Aku tahu kau akan datang, Ricardo. <br /><b><br />Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bagaimana kau tahu? <i>(berolok)</i> Apakah roh ku berjalan mendahului kudaku? <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak, tidak. Ini tidak boleh dianggap remeh. Kita dalam bahaya Ricardo. <br /><br /><b>Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(tenang) </i>Bahaya? Kau dan aku? Tapi mengapa? <br /><br />Concha :</span></div><div><span style="font-family: arial;">(agak cemas) Jose melihatmu menuju kemari. <br /><br /><b>Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ha, serdadu itu.<i> (simpati perhatian)</i> Masih tetapkah ia mengganggumu, Conchaku? <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">masih... dan bila ia menemui kau di sini <i>(membuat gerakan fatal) </i>Oh... Bunda Allah. Ia akan membunuh kita berdua. <br /><br /><b>Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(mendekati dan memegang tangannya) </i>Kau toh bukan miliknya, Concha. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(merasa terhina)</i> Aku tidak pernah menjadi miliknya. Aku bersumpah. <br /><br /><b>Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(memandang tajam mata Concha) </i>Baik, Conchaku. Jadi jangan kau cemaskan dirimu sendiri. <i>(jenaka)</i> Biarkan aku sendiri menghadapinya. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(memungut mantel yang berkilauan dari lantai) </i>Alangkah indahnya mantel ini. Lihatlah warna-warnanya, Ricardo. <br /><br /><b>Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Santa Valencia. Ini seperti kabut fajar dari Amecameca. Anethyst<i> (kecubung),</i> Rose, Lavender, emas, dan permata-permatanya adalah bintang pagi.<i> (dengan mendesak) </i>Coba kenakanlah untukmu. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak, tidak. Aku harus membawanya kembali ke Santuary. Jose merenggutnya dari bunda Maria sendiri. <br /><br /><b>Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jose yang malang. Pencuri atas nama cinta, Bah.<i> (tertawa) </i>Sungguh kau amat tabah, tak dapat disuap dengan barang yang seindah itu. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(meletakkan mantel itu ke samping)</i> Mari kita lupakan saja, Ricardo. Aku muak melihat Jose dan segala pemberiannya <i>(ia duduk menghadap meja)</i> Mari kita bicara yang lain. <br /><b><br />Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(lemah lembut) t</i>entan masa lalu? <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak.....<i> (melihat kepada Ricardo dengan pandangan menantang) </i><br /><br /><b>Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(duduk menghadap) </i>Sudah kukatakan mengapa tadi, ketika aku masuk dan melihat kau berlutut di sana tadi? <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(bingung) </i>Oh... aku tak mengerti. <br /><br /><b>Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(dengan penuh arti) </i>Kukatakan bahwa aku datang untuk menemui angin..... <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kau menggoda Ricardo.<i> (tersenyum sedikit) </i>Apa yang hendak kau kerjakan? Melukis angin dengan warna-warna yang tajam? <br /><b><br />Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bunda Mia kau berjiwa seni<i> (serius) </i>Dimana diseluruh dunia ini Conchaku, tak angin yang menderu seperti di daerah kita, Amecameca ini <i>(bangkit, berjalan ke pintu dan membukanya)</i> Dengarlah. <i>(angin masih bertiup, menderu lembut dan rawan) </i>Bukankah bagimu angin itu adalah suara dan nyanyian aneh? <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(mendengarkan)</i> Nenek moyang kita berkata, bahwa ini adalah roh yang tersesat, merayap di lembah-lembah dan gua-gua pegunungan....... <br /><br /><b>Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Memang itu adalah angin liar yang terbesar. Terkadang dendam kesumat di dalamnya, juga lagu-lagu tentang cerita yang mengerikan, bagaikan tipuan badai yang gemuruh angin itu melolong menuntut cinta, airmata, dan darah dan hal-hal yang mengerikan, yang kami tidak mengerti.<i> (setelah beberapa saat) </i>Angin itu adalah Mexiko, Conchaku.... negeri kita... tersesat dan menangis. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mexico. Oh, tutuplah pintunya Ricardo. Itu semuanya takhayul. <br /><br /><b>Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Menutup pintu dan kembali padanya) </i>Angin itu senantiasa mengikuti kemana saja aku pergi meskipun aku di tempat yang jauh sekali. Memanggil, memanggil, dan memanggil. Dan bila aku tak menjawabnya maka angin itu akan memanggilku lagi.<i> (belutut di muka Concha memegang tangannya) </i>Conchamia, itulah sebabnya aku datang. Aku akan melukiskan angin itu. Tahukah kau? Akan kuabadikan kau di atas canvas sebagai roh Mexiko yang menjelma angin itu. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku, Concha, roh angin itu? <br /><br /><b>Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">ya, kaulah itu. Kau adalah lambang cinta kasih, inspirasi, dan dendam. Aku telah melihat itu dalam diriku tertulis seperti dalam kitab perjanjian. Aku telah melukiskannya di dalam studioku yang jauh dan ketika kawan-kawanku melihatnya apa yang telah kukerjakan, mereka berkata, “Ada sesuatu keagungan dalam karyamu, Ricardo.” Maka aku camkan kanvas ku dengan perasaan pahit. Aku mengerti bahwa karyaku besar belum tiba, tapi akan tiba saatnya. Kami membicarakan banyak hal, negeri kami yang kami cintai dan semua rakyat yang senantiasa duka dalam nestapa. Dan kami berduka cita karenanya. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(menundukkan kepalanya) </i>aku juga telah menagis, Ricardo. Walaupun sama sekali tidak mengertiapa sebabnya. Kadang-kadang aku mendaki bukit Sacramento dan airmataku berderai seperti hujan, turun ke bumi, dan aku ingin sujud mencium tanah yang aku cintai ini. <br /><br /><b>Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(mengeluh)</i> Itulah kegeisahan yang berkecamuk dalam setiap hati nurani bangsa kita. Gereja yang telah memberikan tempat menyembah Tuhan, tidak lagi kita kunjungi untuk bersembahyang dan negara telah memberikan kita perang untuk melumuri Tuhan kita dengan darah.<br /><i> (kembali mendekati Concha, memegang kedua tangannya dan seolah-olah menunjukkan fantasinya)</i><br /> Itulah lukisan ku Concha. Perhatikanlah! Dapatkah kau mengerti itu? Airmata, tanah air, dan darah dalam warna-warna yang tajam dan seorang wanita... kau... menantang semua itu, mengembara sebagai angin dalam gelap malam. Engkau akan melihatnya itu semua, jika angin meniup rambutmu dan mendengarnya sambil bergumam, meratap, dan melengking di antara bukit-bukit. Bolehkah aku melukismu sayang? <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tentu, tentu!<i> (memeluknya dengan mesra)</i> Aku telah menantimu sedemikian lama Ricardo. Ricardo kita akan pergi ke bukit-bukit dan mengerjakannya di sana.<i> (memutus).</i>.... dan bila kau sudah capek, aku akan menari untukmu, seperti biasa kau memintaku untuk menari dulu sebelum kau pergi... masih ingatkah kau, Tari Cachuca. <br /><b><br />Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tari Cachuca? Tentu. Coba kau menari sekarang untukku. Ah, tidak, jangan menari Cachuca, bawakan saja sebuah sajak untukku, aku ingin menikmatinya. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Maukah kau menyahutinya, kita bersajak bersama. <br /><br /><b>Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dengan segala senang hati, manisku. <i>(dia mengambil gitar Josedinenya dan mengalungkan di lehernya) <br /></i><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Perhatikan baik-baik Ricardo. Ini semua akan bicara padamu. </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Maria masuk membawakan makanan dan minuman di atas baki dan ia memperhatikan keduanya) </i><br /><b><br />Maria :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">berhentilah Concha, nanti engkau lelah. <br /><b><br />Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lelah tapi bahagia </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(meneruskan tiba-tiba Maria menjerit, semuanya berhenti) </i><br /><br /><b>Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Maria, ada apa? <br /><br /><b>Maria :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(terengah-engah)</i> Jose.... di jendela itu.<i> (Ricardo membalik dan menuju pintu) </i><br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jangan, jangan keluar Ricardo. <br /><br /><b>Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aku akan melihatnya apakah ia ada disitu<i> (membuka pintu dengan satu gerakan yang cepat, sebentar saja terdengar suara angin dan di luar Cuma gelap malam yang tampak)</i><br /> Di luar tak tampak apa-apa. Cuma gelap malam. <br /><b><br />Maria :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(misterius) </i>Aku melihatnya, sungguh, aku melihatnya di jendela. <br /><br /><b>Ricardo :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tak ada sesuatu pun kecuali bayangan. </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(sebuah letusan tembakan melengking di udara dan seolah-olah menghentikan badai yang gemuruh. Ricardo terayun-ayun jatuh tersungkur ke lantai, dan tak bergerak, Concha menjerit menghambur kepadanya) <br /></i><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ricardo, Oh... Ricardo sayang<i> </i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(menangis. Jose muncul di tempat terang dari suatu pintu yang menyisihkan Concha) <br /></i><br /><b>Jose :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Telah kuperingatkan kepadamu, Concha. Bahwa seorang di rumah ini akan mati.... bawa dia pergi. </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(kedua figuran yang berpakaian Sembrero muncul di pentas sebentar, mereka mengangkat Ricardo keluar) <br /></i><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(memukuli mereka)</i> Kalian tak boleh membawanya. Tak boleh. <br /><br /><b>Jose :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(mendorong Concha masuk)</i> Adios, Concha Mia <i>(Concha berdiri mengawasi mereka, tiba-tiba ia tercekik oleh kesedihan. Sesaat kemudian terdengar tapak kuda mereka yang meninggalkan rumah itu. Ia berdiri di pintu sendirian. Rambut dan syalnya ditiup angin).<br /></i><br /><b>Maria :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Menangis)</i> Masuklah, Concha. Kita tak akan berbuat apa-apa lagi. <br /><br /><b>Concha :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Tanpa menoleh, dengan suara ganjil) </i>Aku akan mendapatkannya lagi. <br /><br />Maria :</span></div><div><span style="font-family: arial;">Dimana-mana rohnya akan mengendalikan angin. <i>(Angin bertambah hebat seperti mengejeknya. Ia membaiki syalnya lebih rapat dan keluar cepat. Dikuncinya pintu dari luar) </i><br /><b><br />Maria :</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Kehilangan akal) </i>Concha. Concha. Kembalilah. Kembalilah Concha. Ini sudah larut malam dan angin buruh akan melemparmu nanti <i>(menangis tersedu-sedu. Memukul-mukul pintu) (Concha tak kembali dan Maria tak berdaya apa-apa kecuali menangis) <br /></i><br /><br />Reproduksi :<br />SANGGAR BUDAYA<br />Banjarmasin<br />Kalimantan Selatan</span><br /> </div>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-70888703362501805942023-01-19T06:33:00.008-08:002023-01-19T08:21:48.007-08:00PENAGIH HUTANG / ORANG-ORANG KASAR - Anton P. Chekov<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhRLtOMgqiv-zSY7nYxQRqNU5H_ELU5ONXN9-AU49kIhkTi_XgAiJ2Th_2WI3pcZUSdzuuYcU1g7vmB42PBu12VWCiIfI_eRRmu0AXJoEBAFBebFkN7nJrmnO54PKS_wG40d4n3kjdK7Grty1jvwSMWSkauQBWb_otyhUH_bN57h5jYU7ye4Khk71Nb/s9055/PENAGIH%20HUTANG.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhRLtOMgqiv-zSY7nYxQRqNU5H_ELU5ONXN9-AU49kIhkTi_XgAiJ2Th_2WI3pcZUSdzuuYcU1g7vmB42PBu12VWCiIfI_eRRmu0AXJoEBAFBebFkN7nJrmnO54PKS_wG40d4n3kjdK7Grty1jvwSMWSkauQBWb_otyhUH_bN57h5jYU7ye4Khk71Nb/w400-h261/PENAGIH%20HUTANG.jpg" width="400" /></a></div><br /> <span style="font-family: arial;"><br /><br /><b>PENAGIH HUTANG / ORANG-ORANG KASAR<br /> Karya : Anton P. Chekov</b></span><div><span style="font-family: arial;"><i><br /> Para Pemain</i><br /> Baitul Bilal :<br /> Nyonya Martopo :<br /> Mandor Darmo : <br /><br /><i>Tempat terjadi : Disuatu daerah perkebunan kopi di Jawa Timur. Suatu daerah yang beralam indah dan kaya, segar, disanalah pemilik perkebunan mempunyai rumah yang besar, bagus dan mewah, mereka suka memelihara kuda dan waktu senggang mereka suka berburu tupai atau burung. Mereka suka pula bertamasya dengan kereta dan kuda mereka yang bagus. Ketika layar dibuka tampaklah kamar tamu di rumah Tuan Martopo yang mewah, perabotan di kamar tamu itu serba bagus. Di dinding terdapat tupai-tupai yang diisi kapas terpaku dengan lucu, juga terdapat tanduk-tanduk rusa, burung-burung yang berisi kapas dijadikan hiasan disana sini. Sedang dilantai merebahlah harimau yang dahsyat tentu saja. Disana juga terdapat bermacam golok, pedang dan senapan angin yang tersimpan disebuah lemari kaca besar. Pada suatu hari kira-kira jam dua belas siang di kamar tamu yang mewah itu, Nyonya Martopo, sang janda duduk di atas sofa sambil memandang dengan penuh lamunan ke gambar almarhun suaminya yang gagah dan berkumis tebal itu, dan masuklah Mandor Darmo yang tua itu. </i><br /><br /><b>Darmo </b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lagi-lagi saya jumpai nyonya dalam keadaan begini seperti ini. Hal ini tak bisa dibenarkan, nyonya martopo. Nyonya menyiksa diri, koki dan babu bergurau sabil memetik tomat, semua yang bernafas sedang menikmati hidup ini, bahkan kucing kitapun tahu bagaimana berjenakanya dan berbahagia berlari-lari kian kemari dihalaman rumah, berguling- guling dirumputan dan menangkapi kupu-kupu, tetapi nyonya memenjarakan diri nyonya sendiri didalam rumah seakan-akan seorang suster di biara. Ya, sebenarnyalah bila dihitung secara tepat nyonya tak pernah meninggalkan rumah ini selama tidak kurang dari satu tahun. <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kenapa saya harus pergi keluar? Riwayatnya sudah tamat. suamiku terbaring dikuburnya, dan sayapun telah mengubur diri saya sendiri dilam empat dinding. Kami berdua telah sama-sama mati. <br /><br /><b>Darmo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ini lagi, ini lagi ! ngeri saya mendengarnya, sungguh ! Tuan martopo telah mati itu kehendak Gusti Allah, dan Gusti Allah telah memberikannya kedamaian yang abadi. Itulah yang nyonya ratapi dan sudah sepantasnya nyonya menyudahinya. Sekarang ini waktunya untuk berhenti dari semua itu. Orang toh tak bisa terus menerus melelehkan air mata dan memakai baju hitam yang muram itu ! Isteri saya pun meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Saya berduka cita untuknya, sebulan penuh saya melelehkan air mata, sudah itu selesailah sudah. Haruskah orang berkabung selama-lamanya ? Itu sudah lebih dari yang sepantasnya untuk suami nyonya ! <i>(IA MENGELUH)</i> Nyonya telah melupakan semua tetangga nyonya, nyonya tak pergi keluar dan tak menjamu seorangpun juga. <i>(MENYANJUNG) </i>Oh, nyonya, nyonyaku, nyonya masih muda dan cantik ! Ah, seandainya memberi kesempatan pada semangat nyonya yang remaja itu…. kecantikan toh tak akan abadi ! jangan sia-siakan ! Apabila sepuluh tahun lagi nyonya baru keluar kepesta itu sudah terlambat. <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(TEGAS)</i> Saya minta jangan bicara seperti itu lagi. Pak darmo telah tahu bahwa sejak kematian mas martopo, hidup ini tak akan ada harganya lagi bagi saya.. <br /><br /><b>Darmo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Adakah faedahnya kata-kata semacam itu, bila lebih patut nyonya berjalan keluar atau memerintahkan orang memasang kuda kesayangan kita si toby dan si taro di depan kereta, dan kemudian pergi pesiar ataupun mengunjungi para tetangga… <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MENANGIS) </i>Oh…! <br /><br /><b>Darmo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(SETELAH KEHERANAN SEJENAK) </i>Nyonyaku, nyonyaku ! ada apa ? Nyonya martopo, demi Tuhan ada apa ? <br /><b><br />Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Suamiku sangat mencintai kuda itu, si Toby itu ! Ia selalu mengendarainya apabila meninjau kebun-kebun, bahkan ia pernah pula membawanya mendaki gunung bromo ! Ia sangat gagah kalau naik kuda ! Alangkah gayanya apabila ia menarik kekang kuda dengan tangannya yang perkasa itu ! Toby, toby, berilah ia rumput dua kali lipat hari ini. <br /><br /><b>Darmo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Baiklah, nyonya, baik ! </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(BEL DIBUNYIKAN ORANG DENGAN KERAS) </i><br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(GUGUP) </i> Siapa itu ? Saya tak mau terima tamu ! <br /><b><br />Darmo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Baik nyonya..! <i>(IA PERGI KELUAR, KEPINTU TENGAH) </i><br /><b><br />Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MENATAP GAMBAR SUAMINYA) </i>Engkau akan melihat, martopo, betapa aku dapat mencintai dan mengampuni. Cintaku bisa mati hanya bila akupun mati. <i>(IA TERSENYUM MELELEHKAN AIR MATANYA).</i> Dan tidaklah engkau baik dan setia, aku telah memalu ? aku adalah isteri yang mengurung diriku sendiri dan saya akan tetap tinggal setia sampai mati, dan kau, kau, kau tak punya malu, monyet yang tercinta ! Kau selalu mengajak bertengkar dan meninggalkan aku berminggu-minggu lamanya </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(DARMO MASUK DENGAN GUGUP)</i>. <br /><br /><b>Darmo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nyonya, ada orang ingin bertemu dengan nyonya, mendesak untuk bertemu dengan nyonya.. <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudah saya katakan bahwa sejak kematian suami saya, saya tak mau menerima seorang tamupun.. <br /><br /><b>Darmo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudah, tetapi ia tak mau mendengarkannya, katanya urusannya sangat penting..! <br /><b><br />Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudah saya katakan tidak menerima tamu ! <br /><b><br />Darmo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya sudah berkata begitu, tetapi ia orang yang ganas, ia mencaci maki dan nekad saja masuk kedalam kamar, dan ia sudah menerobos kekamar makan..! <br /><b><br />Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MARAH SEKALI) </i> Baiklah ! Bawa dia kemari ! Orang tak tahu adat ! </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(DARMO KELUAR / PINTU TENGAH). </i></span></div><div><span style="font-family: arial;">Orang-orang tanpa guna, apa pula yang mereka kehendaki dari saya ! <i>(MENGELUH)</i> Ya, sekarang sudah tenang, saya harus masuk biara. <i>(MERENUNG)</i> Ya, biara ! <br /><b><br />Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(KEPADA DARMO) </i> Orang goblok ! engkau terlalu banyak omong ! Engkau keledai ! <i>(MELIHAT NYONYA MARTOPO, SOPAN). </i>Nyonya, saya merasa terhormat untuk memperkenalkan diri saya, Mayor Laskar Rakyat di jaman Revolusi, sekarang mengundurkan diri dan menjadi pengusaha per-kebunan, adapun nama saya… Baitul Bilal… Saya terpaksa menggangu nyonya untuk suatu urusan yang luar biasa mendesaknya. <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tuan mau apa ? <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Almarhum suami nyonya, dengan siapa saya merasa beruntung bisa bersahabat, meninggalkan kepada saya dua bon yang jumlahnya dua belas ribu rupiah. Berhubung saya harus membayar bunga untuk sebuah hutang di bank rakyat besok pagi, maka saya akan memohon kepada nyonya hendaknya nyonya sudi membayar hutang tersebut hari ini… <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dua belas ribu… suami saya mengebon apa saja pada tuan..? <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Eee… macam-macam, beras, kacang, kedelai, minyak dan oh, ya… dan juga rumput untuk kuda-kudanya.. <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(DENGAN MENGELUH KEPADA DARMO)</i> Oh, rumput.. pak darmo jangan lupa bahwa si toby harus diberi rumput dua kali lipat hari ini<i> </i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(DARMO KELUAR. KEPADA BILAL) </i></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bila mas martopo berhutang kepada tuan, tentu saja saya akan membayarnya, tapi sayang hari ini uangnya tidak pada saya. Besok pagi bendahara saya akan kembali dari kota dan saya akan memintanya untuk membayar apa yang sepantasnya harus tuan terima., tapi pada saat ini saya tak bisa memenuhi per-mintaan tuan, lebih dari pada itu bari tepat tujuh bulannya suami saya, meninggal dunia dan saya tidak bernafsu untuk membicarakan masalah uang... <br /><b><br />Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan saya sangat bernafsu untuk bunuh diri bila saya tak bisa membayar bunga hutang saya besok pagi, mereka akan menyita perkebunan saya ! <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Besok lusa tuan akan menerima uang itu <br /><b><br />Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya tak membutuhkannya besok lusa tapi hari ini..! <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya menyesal, tapi hari ini saya tak bisa membayar <br /><b><br />Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan saya tak bisa menunggu sampai besok lusa <br /><b><br />Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi apa daya saya kalau saya memang tak punya uang hari ini ? <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jadi nyonya tak bisa membayar ? <br /><b><br />Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak bisa ! <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ha ! Itukah kata nyonya yang terakhir ? <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Yang terakhir. <br /><b><br />Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sungguh-sungguh ? <br /><b><br />Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sungguh-sungguh. <br /><b><br />Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Terima kasih<i> (MENGANGKAT BAHU)</i> Dan mereka mengahapkan saya untuk menahan diri. Penagih pajak di jalan tadi bertanya kepada saya kenapa saya selalu kuatir ? Saya membutuhkan uang, saya merasa leher saya terjerat. Sejak kemarin pagi saya meninggalkan rumah saya diwaktu hari masih subuh dan menagih hutang kesana kesini… kemudian menginap dirumah penginapan terkutuk itu, didalam kamar yang sempit dengan balai penuh dengan kepinding ! Dan akhirnya saya sekarang meng-harapkan untuk menerima uang sekedarnya dan nyonya cuma bilang “tidak bernafsu”, kenapa saya tidak boleh kuatir begini halnya ? <br /><b><br />Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya kira saya telah cukup menjelaskannya, bahwa bendahara akan kembali dari kota dan kemudian tuan akan mendapatkan uang tuan kembali.. <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya datang bukan untuk bertamu dengan bendahara nyonya, saya datanguntuk bertamu dengan nyonya. Saya tak peduli dengan bendahara itu ! Demi setan tak peduli, ee… maafkan bahasa ini ! <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sesungguhnyalah tuan, saya tak biasa dengan bahasa itu ataupun tingkah laku seperti itu. Saya tidak bernafsu untuk berbicara lebih lanjut ! <i>(IA PERGI KEKIRI) </i><br /><b><br />Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apa bisa kukatakan sekarang ? Tidak bernafsu, Cih.. Tapi saya harus membayar bunga bank bukan ? Suaminya mati begitu saja, bendaharanya pergi entah kemana, semoga dimakan setan dia ! Sekarang terangkanlah, apa yang harus saya lakukan ? Apakah saya harus lari dari penagih bank itu dengan helikopter, ataukah saya harus membenturkan kepala saya ketembok batu ? Ketika saya datang ke sugardo itu untuk menagih hutang, ia pakai taktik “tak ada dirumah” dan irwan itu terang-terangan saja berlari sembunyi, saya telah pula bertengkar dengan si karto dan hampir-hampir saya lempar ia keluar jendela, marno pura-pura sakit, dan wanita ini tidak bernafsu katanya..! Tak seorangpun diantara mereka mau membayar hutang-hutang mereka, mereka terlalu sopan santun ! saya terlalu lembut hati terhadap mereka ! Tapi tunggulah saya tak akan membiarkan seorangpun memperdayakan saya, setan akan menghajar mereka ! saya akan tinggal di sini dan tak akan beranjak sebelum ia membayar utangnya…! Brrr ! Betapa marah saya. Betapa hebat marah saya, segenap urat saya gemetar karena marah dan saya hampir-hampir tak bisa bernafas. Oh.. sampai-sampai saya hampir sakit, Syetan<i> (IA MEMANGGIL) </i>Mandor ! </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(DARMO MASUK) </i><br /><br /><b>Darmo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ada apa ? Tuan ? <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ambilkan saya kwas dan sitrum<i> </i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(DARMO KELUAR)</i> </span></div><div><span style="font-family: arial;"> Nah, apa yang bisa kita perbuat, ia tak punya uang kontan di dompetnya ? Logika macam apa ini ? Saya merasa terjerat leher saya, membutuhkan uang dengan sangat, dan hampir-hampir bunuh diri, dan ia tak mau membayar utangnya sebab ia tak bernafsu untuk memperbincangkan masalah uang, inilah logika perempuan ! Itulah sebab saya benci bicara dengan perempuan dan sekarang ini benci saya sangat luar biasa. Lebih baik saya duduk diatas kotak dinamit yang siap untuk meledak dari pada berbicara dengan perempuan ! Brr ! Saya merasa dingin seperti es, soal ini menyebabkan saya sangat marah. Melihat mahluk yang romantis seperti dia itu dari jauh saja sudah cukup untuk membuat betis saya jadi Kram ! Ini sudah cukup untuk mebuat orang berteriak minta tolong ! </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MASUK DARMO). </i><br /><b><br />Darmo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MEMBERIKAN SEGELAS AIR, KWAS)</i> Eh, maaf tuan, nyonya martopo sakit dan tak mau bicara dengan tamu.. <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Minggat, Minggat ! </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MANDOR PERGI)</i> </span></div><div><span style="font-family: arial;">Sakit dan tak mau bicara dengan tamu ! Baiklah, boleh saja. Sayapun juga tak mau bicara ! Saya akan duduk disini dan tinggal disini sampai kau bayar hutang saya. Kalau sakit seminggu, saya akan duduk disini seminggu, kalau kau sakit setahun, saya akan duduk disini setahun. Seluruh isi sorga menjadi saksinya saya harus mendapatkan kembali uang saya ! Mau tak mau mengguncangkan saya dengan duka citamu itu dan juga tidak dengan alis matamu yang bagus itu. Bah ! aku tak lagi heran melihat alis matamu itu! <i>(IA BERTERIAK KELUAR JENDELA) </i> Hooii.. lepaskan kudanya dari kereta, kita tak yakin akan buru-buru pulang, Saya akan tinggal disini. Katakan pada orang-orang dikandang itu supaya memberinya rumput. Dua kali lipat ! Kuda yang kiri itu rewel sekali. Jangan dipukul goblok ! Ya, ya, Boleh juga dipukul tapi pelan-pelan saja ! Nah ! Begitu….. <i>(MENINGGALKAN JENDELA)</i> Jahanam betul ! Panasnya tak terkira, tak ada uang, semalam tak bisa tidur, dan sekarang, baju berkabung yang hitam dan tidak bernafsu. Akh, kepala saya sakit mungkin saya harus minum. Ya, saya harus minum<i> (MEMANGGIL)</i> Mandor ! Pak Mandor ! </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(DARMO MASUK) </i><br /><br /><b>Darmo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ada apa ? Tuan ? <br /><b><br />Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya minta minum<i> </i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(DARMO KELUAR, BILAL MENUNDUK DAN MELIHAT PADA PAKAIANNYA)</i> </span></div><div><span style="font-family: arial;"> Ugh ! Gagalnya sudah nyata ! Tak bisa dibantah lagi, debu, sepatu kotor, belum mandi, belum bersisir, jerami mengotori pakaian… Nyonya itu barangkali mengira saya ini seorang garong <i>(IA MENGUAP) </i>Memang kurang sopan masuk keruang tamu seperti ini. Nah, ya, ya tak ada salahnya sampai saya datang kemari tidak sebagai tamu. Saya penagih hutang, dan tak ada pakaian yang khusus bagi penagih hutang ! <br /><b><br />Darmo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MASUK DENGAN SEGELAS KWAS) </i>Wah, tuan nampak bebas betul disini. <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MARAH) </i>Apa..? <br /><br /><b>Darmo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya… saya hanya… Eee… <br /><b><br />Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kepada siapa kau tujukan ucapanmu ? Diam ! Tak usah ngomong ! <br /><br /><b>Darmo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MARAH) </i>Kacau ! Kacau ! Orang ini tak mau pergi !<i> (KELUAR) </i><br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Syetan, betapa marahnya saya ! Cukup marah untuk dilempari seluruh dunia dengan Lumpur. Sampai Saya merasa sakit ! Mandoor ! </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(NYONYA MARTOPO MASUK DENGAN MATA MEREDUP KEBAWAH) </i><br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jadi Tuan belum pergi juga. Tuan selama hidup saya saya yang sepi ini, saya tak bisa mendengar suara manusia dan tak bisa mendengar bicara orang keras-keras. Saya minta kepada Tuan sukalah hendaknya supaya tidak mengganggu kedamaian saya. <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bayarlah saya, dan saya akan pergi. <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tadi sudah saya katakan dengan jelas, dalam bahasa Indonesia, bahwa saya tak punya uang kontan, tunggulah samapi besok lusa..! <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dan sayapun merasa terhormat untuk menerangkan kepada nyonya, juga dalam bahasa Indonesia, bahwa saya membutuhkan uang sekarang, tidak besok lusa. <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi apa daya saya bila saya tak punya uang..? <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jadi Nyonya tak akan membayar segera ? Begitu bukan ? <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya tak bisa. <br /><b><br />Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kalau begitu saya akan duduk disini sampai saya mendapat uang, <i>(IAPUN DUDUK)</i> Nyonya akan membayar besok lusa.. <i>(MELOMPAT BANGKIT) </i> Saya tanya kepada Nyonya saya harus membayar bunga besok pagi bukan ? Ataukah Nyonya kira saya cuma berolok-olok ? <br /><b><br />Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tuan, saya minta Tuan jangan berteriak. Ini bukan kandang kuda..! <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya bukannya sedang membicarakan kandang kuda, saya sedang bertanya saya akan membayar bunga besok pagi bukan ? <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tuan tak tahu bagaimana caranya memperlakukan seorang wanita.. <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ooow.. tentu saja saya tahu.. <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak tuan ! Tuan tidak tahu ! Tuan ini orang kampung, orang tak tahu adat. Seorang Tuan yang terhormat tak akan bicara seperti itu didepan seorang wanita.. <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wah, hebat betul ! Nyonya mau bagaimana seharus-nya orang berbicara kepada nyonya, dalam bahasa inggris barangkali ? Dear lady, would you like to lend me your beautiful eyes ? Pardon me for having disturb you ! What a beautiful wheather we are having to day! Shell we meet again tomorrow ? <i>(MEMBUNGKUK MEMBERI HORMAT DENGAN CARA MENGEJEK) <br /></i><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sama sekali tak lucu! Itu biadab namanya..! <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MENIRU) </i>Sama sekali tak lucu, itu biadab namanya! Saya tak tahu bagaimana bersikap terhadap orang-orang wanita. Nyonya yang terhormat sepanjang umur, saya telah melihat wanita lebih banyak dari pada nyonya melihat burung gereja. Sudah tiga kali saya berkelahi karena urusan wanita, dua belas wanita telah saya tinggalkan dan sembilan wanita telah meninggalkan saya. Memang pernah pada suatu masa saya bertingkah bagaikan bahasa yang ber-madu, membungkuk, dan kemalu-maluan. Saya pernah mencinta yang dahsyat, mencinta sampai gila, mencinta dalam semua tangga nada, berkicau sebagai burung kutilang tentang emansipasi, mengorbankan separo dari harta bendaku dalam pengaruh nafsu yang lembut, tetapi sekarang, demi syetan, itu semua telah cukup. Hambamu yang patuh ini tak mau lagi ditarik-tarik kesana kemari seperti lembu yang bodoh. Cukup ! Mata yang hitam, mata yang ber-gairah, bibir yang mungil, lesung pipit, bisikan di terang bulan, keluh kesah yang menawa… Bah ! Untuk semua itu, Nyonya, aku tak mau membayar setalen ! Yang saya maksud tentu bukannya teman saya berbicara sekarang, tetapi wanita pada umumnya dari yang kecil sampai yang besar, mereka itu sombong, hipokrit, cerewet, menjengkelkan, tak setia dari kaki sampai kepala, pongah tanpa guna, picisan, kejam, dengan logika yang memusingkan, dan <i>(MEMUKUL DAHINYA) </i>Dalam hal ini harap dimaafkan keterusterangan saya ini, seekor burung gereja cukup bisa mengalahkan sepuluh filusuf yang memakai kebaya. Apabila orang melihat seorang wanita yang romantis didepan matanya, maka ia lalu membayangkan bahwa yang dilihatnya itu suatu mahluk yang suci, begitu hebat sehingga apabila ia tersentuh oleh nafas mahluk itu maka ia pun merasa dirinya terapung dalam lautan pesona yang mengagumkan, tetapi apabila orang melihat ke dalam jiwanya tak lain tak bukan hanya buaya<i> (MENG-HANTAM SEBUAH KURSI). </i>Tetapi yang lebih buruk dari semuanya ialah bahwa buaya ini menganggap dirinya sebagai mahluk yang sangat artistik, dan seakan-akan mengambil monopoli sebagai mahluk yang menggiurkan. Biarlah Syetan menggantung diriku jungkir balik kalau memang ada yang pantas dicinta pada wanita ! Apabila ia jatuh cinta, apa yang ia tahu cuma mengaduk dan melelehkan air mata. Apabila lelakinya sudah menderita dan suka ber-korban, maka si wanita mulai berlagak dan mencoba menyeret lelaki itu seperti Keledai. Nyonya mem-punyai nasib yang malang karena terlahir sebagai wanita, dan tentu saja Nyonya tahu bagaimana sifat wanita itu ! Hanya wanita tua dan jelek saja yang bisa setia. Lebih gampang mencari kucing yang bertanduk atau gagak yang berbulu putih daripada mencari wanita yang bisa setia. <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tapi izinkanlah saya bertanya, siapakah yang jujur dan setia dalam bercinta ? Lelaki, barangkali ? <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya, tepat sekali ! Lelaki, tentu saja ! <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Lelaki…!<i> (IA TERTAWA KASAR)</i> Lelaki bisa jujur dan setia dalam bercinta, Wah, inilah suatu berita yang baru <i>(PAHIT) </i>Bagaimana Tuan sampai bisa berkata begitu? Lelaki jujur dan setia! Sementara soal ini sudah sampai begitu jauh, saya bisa mengatakan disini, bahwa dari segala lelaki yang seya kenal, suami saya adalah lelaki yang terbaik, saya men-cintainya dengan hangat, dengan segenap jiwa saya, seperti yang hanya bisa dilakukan oleh seorang wanita yang muda dan bijaksana, saya serahkan kemudaan saya, kebahagiaan saya, kekayaan dan hidup saya. Saya menyembah kepadanya sebagai orang kafir, dan apakah yang terjadi, dan apakah yang terjadi ? Lelaki yang terbaik ini menghianati saya pada segala macam kesempatan... Setelah ia meninggal dunia, saya temukan lagi mejanya penuh surat-surat cinta. Ketika ia masih hidup ia suka meninggalkan saya berbulan-bulan lamanya, memi-kirkannya sudah ngeri.. Ia bercinta cintaan dengan wanita lain dihadapan saya, ia memboroskan uang saya, dan memperolok-olok perasaan saya, tetapi saya masih tetap jujur dan setia kepadanya. Saya kubur-kan diri saya didalam empat tembok ini dan saya tetap memakai baju hitam ini sampai keliang kubur saya. Ah.. sudahlah, saya tak berminat untuk membicarakan masalah itu. Saya minta Tuan meninggalkan rumah ini karena saya sedang ber-kabung! <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(TERTAWA KAMPUNGAN)</i> Berkabung ! Nyonya berkabung ! Nyonya kira saya ini.., jangan dikira saya tak tahu kenapa nyonya memakai baju bagus yang hitam ini dan menguburkan dirinyonya diantara emapat dinding ini ! Rahasia macam apa itu, betapa romantisnya ! Nyonya mau meniru dongeng barangkali ! Seorang bangsawan berkuda akan lewat didepan puri, ia akan berkata dalam hatinya “disini tinggal sang putri Candra Kirana, yang demi cintanya kepada suaminya telah rela menguburkan dirinya didalam empat dinding kamarnya” Oh ! Saya sudah mengenal sandiwara ini ! <br /><b><br />Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Meledak) </i>Apa ? Apa maksud Tuan dengan mengata-kan kata-kata itu kepadaku ? <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nyonya telah mengubur hidup-hidup diri nyonya, tetapi sementara itu nyonya tak lupa membedaki… <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Alangkah lancangnya mulut Tuan ! <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya mohon tidak membentak saya, saya bukannya bendahara nyonya ! Izinkanlah saya menyebutkan kenyataan-kenyataan. Saya bukannya seorang wanita, dan saya sudah biasa serba berterus terang mengeluarkan apa isi hati saya. Maka dari itu dengan hormat saya minta, jangan menjerit..! <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya tidak menjerit, Tuanlah yang menjerit. Saya minta Tuan meninggalkan rumah ini ! <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bayarlahdan saya akan pergi ! <br /><b><br />Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya tak mau membayar ! <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nyonya tak mau ? Nyonya tak mau membayar uang yang menjadi hak saya ? <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya tak peduli, Tuan mau bertindak ? Satu rupiah pun saya tak mau membayar pergi dari sini ! <br /><b><br />Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sebab saya bukan suami nyonya atau nyonya bukan tunangan saya, maka dari itu, janganlah nyonya bikin ribut. <i>(IA DUDUK) </i>Saya tak tahan lagi… <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MENARIK NAFAS JENGKEL) </i> Apakah Tuan akan berniat akan duduk ? <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya memang sudah duduk. <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dengan hormat pergilah ! <br /><b><br />Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dengan hormat bayarlah uang saya ! <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya tak sudi berbicara dengan orang biadab, pergi ! <i>(PAUSE) </i> Pergi atau tidak..?! <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak ! <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak ? <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tidak.. <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(NGEBEL, DARMO MASUK) </i> Pak Darmo, antarkan Tuan Baitul Bilal ini pergi. <br /><br /><b>Darmo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(DENGAN GAGAH MENGHAMPIRI BILAL) </i>Tuan, mengapa Tuan tidak pergi kalau memang diminta pergi ? Mau apa sebenarnya tuan ini ? <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MELONCAT BANGUN) </i>Kau kira kau bicara dengan siapa ? Kugilas lumat-lumat kau nanti ! <br /><br /><b>Darmo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MEMEGANG JANTUNGNYA)</i> Ya, Tuhan ! <i>(JATUH DI KURSI) </i> Oh, saya sakit, saya tak bisa bernafas… <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(GUGUP) </i>Dimana si Suto <i>(MEMANGGIL) </i>Suto! Suto! Amat ! Amat !<i> (MENGEBEL) </i><br /><br /><b>Darmo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Mereka sedang pergi semua ! Dan saya mendadak sakit ! Oh, air..! <br /><b><br />Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tuan Baitul Bilal..! Pergilah… Oh ! Pergi ! Keluar ! <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dengan hormat, agak sopanlah sedikit ! <br /><b><br />Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Engkau biadab, Engkau monyet ! <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(CEPAT MENGHAMPIRINYA) </i>Izinkanlah saya ber-tanya atas hak apa nyonya menghina saya..?! <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Habis mau apa lagi ? Tuan kira saya takut pada tuan? <br /><b><br />Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Nyonya kira karena nyonya ini seorang mahluk yang romantis lalu nyonya bebas saja menghina saya tanpa mendapat balasan ? Saya menentang nyonya ! <br /><br /><b>Darmo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya, Robbi..! Air..! <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ini harus diselesaikan dengan duel. <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Apakah Tuan mengira karena Tuan begitu gagah, lalu saya takut kepada tuan ? <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Saya jelaskan disini bahwa saya tidak mengizinkan seseorangpun menghina saya dan saya tak akan mengecualikan nyonya hanya semata-mata karena nyonya seorang wanita. Seorang “ Sex yang lemah “ katanya..! <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MENCOBA MENGALAHKANNYA DENGAN TANGIS)</i> Badak ! Kau Badak ! Badak ! <br /><b><br />Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Inilah saatnya membuang tahayul lama yang beranggapan bahwa hanya lelaki saja yang harus memberi kepuasan. Bila ada persamaan antara laki-laki dan wanita, mestinya persamaan itu dalam segala hal. Emasipasi ! Bah..! Akhirnya toh ada batasnya, inilah buktinya ! <br /><b><br />Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Jadi Tuan menentang duel atau bagaimana ? Baiklah, <i>(BERJALAN KELEMARI DAN MENGAMBIL SENAPAN ANGIN) <br /></i><b><br />Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oh, senapan angin ! Boleh saja ! <br /><b><br />Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Segera, aku kurang berlatih bertinju, tapi suamiku punya banyak senapan disini. Beberapa tupai dan burung saja sudah gugur karenanya dan sekarang senapan itu dengan mudah akan menggugurkan Tuan juga. <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Segera ! <br /><b><br />Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Dengan gembira saya akan menembus kepala Tuan. Semoga Tuan dimakan Syetan……..! <i>(MENGAMBIL SENAPAN) </i><br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Akan saya tembak alis matanya yang bagus itu. Saya bukan orang yang banyak cingcong, bukan pula pemuda hijau yang sentimentil. Bagi saya tidak ada Sex yang lemah…! <br /><br /><b>Darmo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oh, Tuan <i>(BERLUTUT) </i> kasihanilah saya, seorang tua seperti saya ini. Pergilah, Tuan sudah menakuti saya sampai hampir mati, sekarang Tuan ingin berduel pula… <br /><b><br />Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(TAK PEDULI) </i>Ya, duel ! Itulah persamaan, itulah emansipasi. Dengan begitu lelaki dan wanita sama. Saya akan menembaknya denga prinsip ini. Apa lagi yang harus saya katakan terhadap wanita semacam dia, (MENIRU) “Dengan gembira saya akan menembus kepala Tuan, Semoga Tuan dimakan syetan”! Apa lagi yang bisa dikatakan tentang ini ? Ia marah, matanya berkilauan, ia menerima tantangan. Demi kehormatan saya, baru inilah pertama kalinya saya jumpai wanita seperti ini. <br /><br /><b>Darmo</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Oh, Tuan, pergilah... Pergi !<i> </i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MASUK NYONYA MARTOPO MEMBAWA DUA SENAPAN) </i><br /><b><br />Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Inilah senapannya. tetapi sebelum kita berduel, saya minta ajarilah dulu caranya menembak. Saya agak kurang biasa dengan senapan tadinya.. <br /><b><br />Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MEMERIKSA SENAPAN) </i>Ini namaya senapan angin. Ya, ini pelurunya memang bagus untuk menembak burung, tapi ini lain dari senapan biasanya, ya, boleh juga. Lihatlah, B.S.A. Kaliber 5,5. Dua senapan ini harganya tak kurang dari dua belas ribu. Beginilah caranya memakai <i>(KESAMPING).</i> Aduh, alis matanya ! Sungguh wanita yang sejati ! <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sudah..? <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya, Beginilah. Lalu tariklah, bisa ditembakkan <i>(MENGAJAR)</i> Begini.. bidiklah... Coba miringkan sedikit kepala nyonya. Popornya harus tepat di bahu ini. Ya, begitu. Tangan hendaknya jangan kaku, lemas tapi kuat, coba, ya, jangan gemetar. Pelan-pelan bernafas, bidiklah baik-baik, aha, enak bukan ? <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tak enak menembak didalam rumah, marilah kita keluar, ke kebun ! <br /><b><br />Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya, tapi saya belum selesai mengajar, saya beri contoh dulu. Saya ajar coba menembak ke udara.. <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Terlalu ! Itu tak perlu ! Kenapa ? <br /><b><br />Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sebab, sebab… Itu urusan saya. <br /><b><br />Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tuan takut ! Ya memang ! Aaaah ! Jangan, jangan begitu, Tuan terhormat jangan gila-gilaan. Ayo, ikut saya, saya belum merasa tentram sebelum membuat lubang didahi Tuan yang saya benci itu. Apakah Tuan takut ? <br /><b><br />Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya, saya takut. <br /><b><br />Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bohong ! Kenapa tak mau bertempur ? <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Sebab, sebab, saya suka kepada Nyonya. <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(TERTAWA MARAH) </i>Tuan suka saya ! Begitu beraninya bilang kalau suka saya <i>(MENUNJUK PERGI) </i> Pergi..! <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MELETAKKAN SENAPAN PELAN-PELAN DIATAS MEJA, MENGAMBIL TOPINYA DAN PERGI KE PINTU, IA BERHENTI SEBENTAR DAN MENATAP NYONYA MARTOPO, LALU MENHAMPIRINYA AGAK BIMBANG) </i>Dengarkanlah ! Apa Nyonya masih marah. Saya begitu gila seperti syetan, tetapi saya harap Nyonya bisa mengerti, bagaimana saya mengatakannya? Soalnya adalah begini, soalnya ialah <i>(MENINGGIKAN SUARANYA)</i> Lihatlah apakah salah saya, bahwa Nyonya berhutang pada saya ? Saya tak bisa disalahkan bukan ? Saya suka kepada nyonya! Mengertikah? Saya, saya hampir jatuh cinta.. <br /><b><br />Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pergi ! Saya benci kepada Tuan ! <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ya, robbi ! Alangkah hebatnya wanita ini ! Saya belum pernah melihat wanita yang hebat ini. Saya kalah, remuk redam ! Saya sepert tikus yang kena perangkap. <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Pergilah, atau saya tembak nanti..! <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tembaklah ! Nyonya tak tahu bagaimana bahagia rasanya mati didepan pandangan sepasang mata yang berkilauan itu, ah, alisnya… Mati ditembak senapan angin yang dipegang oleh tangan yang halus dan mungil itu ! Saya gila ! Coabalah pertimbangkan baik-baik, dan cepat-cepat putuskanlah, sebab bila saya pergi sekarang, itu artinya kita tak akan pernah berjumpa lagi. Putuskanlah, bicaralah, Saya masih Priayi, orang yang terhormat, penghasilan saya tak kurang sebulan dari sepuluh ribu, saya bisa menembak burung yang sedang terbang. Saya banyak kuda yang bagus. Maukah nyonya menjadi isteriku..? <br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(MEMBIDIK) </i>Saya tembak..! <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ah, saya bingung, saya kurang mengerti..! Mandoor.. Air..! Saya telah jatuh cinta seperti anak sekolah saja <i>(IA MENJAMAH TANGAN NYONYA MARTOPO DAN WANITA ITU MENANGIS)</i> Saya cinta padamu <i>(BERLUTUT)</i> Saya belum pernah mencintai wanita seperti ini. Dua belas wanita telah saya tinggalkan dan sembilan wanita telah meninggalkan saya, tetapi tak seorangpun pernah saya cintai sebagaimana saya mencintaimu. Saya sudah kalah, tunduk seperti orang tolol, saya mengharap dilantai memohon tanganmu. Terkutuklah saya ini ! Sudah lima tahun saya tidak jatuh cinta, saya berterima kasih pada Nyonya karenanya, dan sekarang saya seperti sebuah kereta yang terkait pada kereta yang lainnya, Saya mohon pertolonganmu ! Ya, atau tidak ? Sudikah Nyonya ? Baiklah..! <i>(IA BANGKIT DAN CEPAT MENUJU KEPINTU) </i><br /><br /><b>Nyonya</b></span></div><div><span style="font-family: arial;">Tunggu dulu..! <br /><br /><b>Bilal</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(BERHENTI) </i>Ya…? Nyonya ……………….? <br /><br /><b><br /> T A M A T </b><br /><br /> Banjarmasin, 12 Pebruari 2004<br /> Reprob By M. Zakir M.<br />TEATER KOMEDI SATU BABAK</span><br /> <p></p></div>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-662322510546059962023-01-19T06:28:00.009-08:002023-01-19T08:21:43.475-08:00KIAMAT SUDAH DEKAT - Abbas Mustan Bhansali<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYE5hjgJRYi0OWTZFWzLNYtsL6tRNL_CfZUVKAU6COUrYSrWYtfth-EXEalduht1vmfbpDPGb_mzSNXo_0e0ZC_cJeB6OwZDZ8iVh2Mdd_5eo0AvVAqTETuc8OnGNn5-bjNXNMP4M3MHHmGQXOySVgIWuK5x87eVPxMRKGceAxsRsOQz7HqDx7bYCx/s9055/Kiamat%20Sudah%20Dekat.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYE5hjgJRYi0OWTZFWzLNYtsL6tRNL_CfZUVKAU6COUrYSrWYtfth-EXEalduht1vmfbpDPGb_mzSNXo_0e0ZC_cJeB6OwZDZ8iVh2Mdd_5eo0AvVAqTETuc8OnGNn5-bjNXNMP4M3MHHmGQXOySVgIWuK5x87eVPxMRKGceAxsRsOQz7HqDx7bYCx/w400-h261/Kiamat%20Sudah%20Dekat.jpg" width="400" /></a></div><br /> <span style="font-family: arial;"><i><b><br />PARA PELAKU</b></i><br />1. FREDY<br />2. TEUKU HAMID<br />3. BAPAK<br />4. MAMAK<br />5. CUT ZOHRA<br />6. TEMAN – 2 ZOHRA<br />7. ORANG 1<br />8. ORANG 2<br />9. ORANG 3<br />10. JHONY<br />11. WANITA<br />12. BANCI<br />13. GENG 1<br />14. GENG 2<br />15. GENG 3<br />16. ANAK BUAH JHONY<br />17. LETNAN<br />18. POLISI 1<br />19. POLISI 2<br />20. KYAI<br />21. MASYARAKAT <br /><br /><br /><b>ADEGAN PERTAMA</b><br /><i><br />DI SEBUAH PERKAMPUNGAN YANG SEDERHANA NAN ASRI DI WILAYAH PULAU SUMATERA. NAMPAKLAH BEBERAPA ORANG YANG SEDANG BERADA DI GARDU JAGA.<br />DATANGLAH SEORANG LELAKI YANG BERPAKAIAN PERLENTE DARI KOTA UNTUK MENEMUI KELUARGANYA. </i><br /><br />FREDY<br />Selamat malam, Bang. Apa benar disini daerah Lampulo ? <br /><br />ORANG 1<br />Ya, benar. Ada apa ya ? <br /><br />FREDY<br />Saya kemari ingin menemui keluarga saya. Tapi sampai saat ini saya belum bertemu dengan mereka. <br /><br />ORANG 2<br />Rumahnya dimana ? Maksudnya alamat pastinya dimana ya ? <br /><br />FREDY<br />Nah, itu makanya, saya tidak ingat lagi. Saya sudah lama tinggal di Jakarta. Hampir 20 tahun saya tidak pernah pulang ke kampung halaman. Tapi saya masih menyimpan fotonya. <br /><br />ORANG 3<br />Sebenarnya bapak ini asli sini ? Lalu yang dimaksud keluarganya itu adalah orangtua bapak sendiri ? <br /><br />FREDY<br />Yach begitulah.<i> </i></span><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>( Muncullah beberapa wanita muslimah ) </i><br /><br />ORANG 1<br />Assalaamu ‘alaikum, Akhwat ! </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>( Para wanita menjawab salam dengan ketakutan ) </i></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wah … Apa perlu diantar pulangnya ? <br /><br />CUT ZOHRA<br />Terima kasih bang, kami bisa pulang sendiri. <br /><br />ORANG 2<br />Ayolah ! Jangan sungkan-sungkan. Tidak baik lho menolak kebaikan seseorang. <br /><br />CUT ZOHRA<br />Tidak usah bang.<i> ( Memaksa para wanita ) </i>Bang, jangan paksa saya. <i>( Meronta ). </i><br /><br />TEUKU HAMID<br />Hey, lepaskan ! Jangan ganggu mereka ! </span><div><span style="font-family: arial;"><i>( Para wanita berlari ke dekat Teuku Hamid ).</i><br />Kalian ini tidak bosan-bosannya menggoda wanita. Itu perbuatan dosa, mengerti. Berapa kali aku harus mengingatkan kalian. Apa perlu Rencong ini yang akan bicara ?!<br /><i>( Kemudian para pemuda itu kabur sambil memberikan foto tsb ke Fredy ). </i></span></div><div><span style="font-family: arial;">Kenapa kau masih diam saja ? Menantang ya ! Aku tidak takut siapapun. Aku ini keturunan Teuku Umar. Jagoan Rencong di daerah sini. <br /><br />FREDY<br />Hamid, Teuku Hamid. Benarkah dirimu ? <br /><br />TEUKU HAMID<br />Siapa kamu ? Kenapa kau bisa mengenaliku ? Siapa kamu sebenarnya ? <br /><br />FREDY<br />Hamid, ini aku. Fredy. Temanmu yang merantau ke Jakarta. Masa’ kau lupa ! Fredy. Fredy. <br /><br />TEUKU HAMID<br />Fredy<i> ( sambil mengingat-ngingat ) </i>Rasanya aku tidak pernah punya sahabat yang bernama … Fredy. <br /><br />FREDY<br />Oh, maaf. Maksudku … Fredy itu panggilanku. Nama asliku Teuku Farhan bin Teuku Zacky. <br /><br />TEUKU HAMID<br />Benarkah ? Kau Teuku Farhan !<i> ( Mereka berpelukan ) </i>oh ya ini adikku, Cut Zohra dan teman-temannya. Wah … sudah sekian lama kita tidak bertemu ? Kenapa sekarang kau ada disini ? <br /><br />FREDY<br />Ceritanya panjang. Perjalanan kehidupan yang menyenangkan dan menggairahkan. <br /><br />TEUKU HAMID<br />Kalau begitu, sebaiknya kau bercerita dan bermalam di rumahku saja.<i> ( Kemudian pergi ) </i><br /><br /> <br /><b>ADEGAN KEDUA </b><br /><br /><i>DI SEBUAH RUMAH YANG SEDERHANA. KELUARGA INI TELAH DITINGGALKAN HAMID, ANAK PERTAMANYA PERGI MERANTAU MENGIKUTI JEJAK FARHAN KE KOTA BESAR. SUDAH SETAHUN MEREKA TINGGAL BERTIGA DI RUMAHNYA. </i><br /><br />MAMAK<br /><i>( Gelisah ) </i>Sudah tiga bulan ini, Hamid tidak memberi kabar lagi pada kita. Mamak bingung, pak. Jangan sampai terjadi apa-apa padanya. <br /><br />BAPAK<br />Bapak juga tidak habis pikir. Rasanya setahun lamanya Hamid pergi merantau. Padahal sebulan sekali, dia kirim surat memberitahukan keadaannya. Suka maupun duka. Tapi kenapa sekarang dia jadi aneh ? <br /><br />MAMAK<br />Makanya itu pak, Mamak khawatir selama ini. Setiap hari selalu memikirkan nasib Hamid, anak kita yang pertama ini. <br /><br />BAPAK<br />Sebenarnya bapak ragu melepaskan anak kita untuk merantau ke kota besar. Kota Jakarta, adalah kota Metropolitan yang berbudaya islaminya kurang kental. Semua ini pengaruh budaya barat yang begitu besar. Nampak sekali pada diri, temannya Hamid. Si … siapa namanya ? <br /><br />MAMAK<br />Teuku Farhan. <br /><br />BAPAK<br />Ya, Teuku Farhan alias si Fredy. Coba lihat, namanya saja sudah dirubah. Cara berpakaian dan gaya bicaranya tidak menunjukkan budaya timur. Sok kebarat – baratan. <br /><br />MAMAK<br />Mamak sedih, kalau membayangkan keadaan orangtuanya Farhan. Sekian tahun lamanya mereka ditinggalkan anaknya tanpa kabar. Kedua orangtuanya meninggalpun si Farhan tidak kunjung datang. Mamak tidak ingin seperti ini, pak. <br /><br />BAPAK<br />Sabar, mak.. Kita sebagai orangtua selalu memohon pada Allah SWT. Agar keluarga kita selalu bertaqwa dan mendekatkan diri pada-Nya. Meskipun pekerjaan saat itu Hamid tidak menentu tapi dia gigih dalam hidupnya. Hamid, anak yang sholeh, taat beragama, dan patuh pada orangtua. Tidak mungkin Hamid menjadi anak yang durhaka. <br /><br />MAMAK<br />Di rumah ini kita tinggal bertiga. Mamak tidak rela Zohra mengikuti jejak abangnya. Siapa lagi yang bisa membantu kita jika dia juga pergi meninggalkan rumah ini. <br /><br />BAPAK<br />Oh ya, Zohra sudah pulang ? <br /><br />MAMAK<br />Sudah.<i> ( Memanggil ) </i>Zohra, Zohra, kemari nak ! <br /><br />CUT ZOHRA<br />Ada apa mak ? <br /><br />MAMAK<br />Sudah kau kirimkan surat buat abangmu ? <br /><br />CUT ZOHRA<br />Sudah mak tadi pagi. Inipun surat yang ketiga kalinya. Malah tidak pernah dibalas. Sebenarnya ada apa dengan Bang Hamid ? <br /><br />MAMAK<br />Mamak juga bingung. Padahal setiap bulan selalu kirim uang dan tidak pernah terlambat. Itupun kita tidak tahu, Hamid kerja apa selama ini di kota besar ? <br /><br />BAPAK<br />Sudahlah, semoga Allah melindungi Hamid. Waktu Sholat Maghrib sudah dekat. Sebaiknya kita siap-siap saja. Ayo, kita berjamaah. <br /><br /><br /></span></div><div><span style="font-family: arial;"><b>ADEGAN KETIGA </b><br /><br /><i>SUASANA DI KOTA BESAR JAKARTA YANG PENUH DEMONSTRASI. WARGA JAKARTA TURUN KE JALAN-JALAN. KEHIDUPAN KEJAHATAN MERAJA LELA. DI SEBUAH TAMAN, NAMPAKLAH SEORANG WANITA YANG SEDANG BERKOMUNIKASI DENGAN KEKASIHNYA. LALU DIRAMPOK OLEH PENJAHAT. TAPI BUKANNYA WANITA ITU TERTOLONG TAPI MALAH DIPERKOSA OLEH PENJAHAT YANG LAIN. </i><br /><br />WANITA<br />Hallo, sayang. Kemana saja kamu ini ? Lama banget sih ! Aku bete nih nunggu lama-lama disini.<i> ( Reaksi tasnya dirampas oleh penjahat )</i> Maliing. Maliiiiinnggg … !!! <br /><br />TEUKU HAMID<br /><i>( Muncul bersama gengnya ) </i>Ada apa nona ? Ada apa ? <br /><br />WANITA<br /><i>( Ketakutan ) </i>Tolong, bang ! Tas saya di rampok. Tolong, bang ! Kejar dia, Bang ! <br /><br />TEUKU HAMID<br />Tenang, nona. Tenang. Ya santai saja, disini ada abang kok. Pasti nanti tertangkap.<i> ( Wanita ditodong dengan pisau di lehernya ). </i>Jangan teriak. Pisau itu akan merobek lehermu. Sebaiknya lepaskan perhiasanmu. Semuanya. <br /><br />GENG 1<br />Bang, pakaiannya sekalian dilepaskan. <br /><br />TEUKU HAMID<br />Oh … kalau yang itu jangan dulu. Kita serahkan saja ke Boss kita, Fredy. Tapi kecantikan tubuh ini, rasanya aku harus nikmati lebih dulu. Kemudian selanjutnya giliranmu. Giliranmu. <i>( Mereka tertawa dengan nafsu bejatnya sambilk menyeret wanita. Diketahui oleh banci ) <br /></i><br />BANCI<br />Idiiih kasihan sekali wanita itu. Semua hartanya dirampas. Tubuhnya juga. Akika ngga tega melihatnya<i>. ( Suara jeritan wanita yang diperkosa ) </i>Ach … Di – per – ko – sa … Kenapa ngga …… Tolooong … Toloooonnggg … perkosa saya dong … perkosa saya … kok ngga ada yang datang sih. Ah … Benci aku … Benci aku …<i> ( keluar ) </i><br /><br /><br /><b>ADEGAN KEEMPAT </b><br /><br /><i>SUASANA DI SEBUAH GUDANG TUA. NAMPAK GENG FREDY DKK. SETELAH MELAKUKAN PEMBUNUHAN WANITA TSB DAN AKAN MENGADAKAN TRANSAKSI NARKOBA. </i><br /><br />FREDY<br />Nikmat sekali dunia ini.<i> ( Memanggil )</i> Hamid. Sebaiknya untuk menghilangkan jejak. Suruh mereka membunuhnya. Aku sudah puas menikmatinya. <br /><br /> TEUKU HAMID<br /><i>( Bicara di kejauhan )</i> Bunuh saja perempuan itu. Potong – potong sekalian tubuhnya dan buang secara terpisah. <br /><br />GENG 2<br /><i>( Suara di balik panggung dengan teriak )</i> Baik, Boss. <br /><i><br />TIBA – TIBA GENG 3 DATANG DENGAN TERGESA – TERGESA DAN PANIK. ADA BERITA BURUK YANG HARUS DISAMPAIKAN PADA FREDY </i><br /><br />FREDY<br />Cepat sekali kau pulang. Apa kiriman barang kita sudah sampai pada tujuannya ? <br /><br />GENG 3<br />Belum, bang. Paket ganja itu, aku tinggalkan saja ditengah perjalanan. <br /><br />FREDY<br />Gila kau. Apa maksudmu ? <br /><br />GENG 3<br />Sorry, bang. Karena … … <br /><br />FREDY<br />Karena … Karena apa ? <br /><br />GENG 3<br />Karena ditengah perjalanan, bis yang aku tumpangi itu terjebak tanah longsor di Wilayah Jawa Barat. Aku selamat dan langsung melarikan diri. <br /><br />FREDY<br />Sial … Sial … Kenapa kau tidak bawa kembali barang itu ? Goblok. Fuck you. <br /><br />GENG 3<br />Aku tidak bisa menyelamatkan barang itu karena kondisi bis terbalik dan barang itu entah kemana ? <br /><br />TEUKU HAMID<br /><i>( HP berbunyi )</i> ya … Hallo ! … … What ? … … Okey ! Okey ! … … I am stay here. Yeah ! <br /><br /> FREDY<br />Ada apa lagi, Mid ? Kelihatannya serius. <br /><br />TEUKU HAMID<br />Transaksi kita terlambat lagi. Kebetulan anak buahnya Jhony yang mau mengantarkan narkotik itu tewas. Akibat ledakan bom di depan Kedutaan Australia. Ketika itu dia sedang berada di Kuningan. Tapi sebentar lagi Jhony akan datang. <br /><br />FREDY<br />Lalu bagaimana dengan perdagangan bayi dan gadis - gadis ke negara lain ? <br /><br />TEUKU HAMID<br />Semuanya sudah lancar. Seluruh jaringan usaha kita tetap terkendali. Dan kiriman paket obat–obat terlarang itu seharusnya diantar oleh anak–anak dibawah umur saja agar aman.</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /><i>( Kemudian Jhony beserta anak buahnya datang dan langsung menjalankan transaksi. Tapi mereka saling menipu dan menodongkan senjata ) </i><br /><br />FREDY<br />Oh … jadi kau ingin menipuku. Cerdik sekali kau ini. <br /><br />JHONY<br />Ya … tapi aku juga tidak mudah kau tipu. Kau memang keparat, tidak tahu diri. Keberhasilanmu selama ini karena aku. <br /><br />FREDY<br />Diam bangsat. Kehidupan ini adalah sebuah permainan. This is the game. Siapa yang berkuasa dialah yang menang. <br /><br />ANAK BUAH JHONY<br />Boss. Kita terjebak. Polisi akan mengepung daerah ini. </span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>( Kemudian polisi menggrebek para penjahat ) </i><br /><br />LETNAN<br /><i>( Suara )</i> Diam di tempat. Kami polisi<i>. </i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>( Kemudian masuk tapi mereka kabur ) </i><br /><br />POLISI 1<br />Mereka kabur. Kita terlambat, Let. <br /><br />LETNAN<br />Segera instruksi agar semua bandara ditutup. Sebarkan informasi pencarian penjahat kelas kakap. Laksanakan ! <br /><br />POLISI 1 & 2<br />Siap, Letnan<i>. ( Kemudian pergi ) </i><br /><br /><b><br />ADEGAN KELIMA </b><br /><i><br />KEADAAN DI SEBUAH RUMAH SEDERHANA. NAMPAKLAH MAMAK SEMAKIN GELISAH DAN PENUH KESEDIHAN. SETELAH DITINGGAL KEMATIAN SUAMINYA KARENA SAKIT. </i><br /><br />CUT ZOHRA<br />Maafkan Zohra, mak. Aku tidak kuat melihat keadaan mamak seperti ini. Setelah bapak meninggal karena sakit. Dan bang Hamid tidak pernah pulang. Mamak selalu sedih memikirkan keluarga ini. Aku tidak tahan, mak. Aku tidak kuat merahasiakannya. Aku harus mengatakan yang sebenarnya. Aku telah menyimpan koran ini dari Bapak setahun yang lalu. Bapak berpesan jangan kau beritahukan tentang Hamid pada Mamakmu. <br /><br />MAMAK<br />Apa beritanya di koran itu ? <br /><br />CUT ZOHRA<br />Polisi telah menangkap gembong narkotik yang dipimpin Fredy alias Teuku Farhan. Tapi dia tewas tertembak karena melawannya. Polisi masih melakukan pengejaran terhadap Teuku Hamid yang kini masih buron. <br /><br />MAMAK<br />Ya … Allah, anakku. Kenapa kau jadi manusia yang terkutuk. Dosa apa hambamu ini, ya Allah ? ( Menangis ) <br /><br />CUT ZOHRA<br />Sabarlah, mak. Semoga Allah mangampuni dosa–dosanya. Dan selalu diberikan petunjuk agar Bang Hamid masih hidup. Secepatnya bertaubat dan kembali ke jalan yang benar. Aku harus kerja dulu, mak. Aku harus memenuhi kebutuhan keluarga ini. Jaga diri baik–baik, di rumah mak. Assalamu ‘alaikum. <i>( Mencium tangan Mamak ) </i><br /><br />MAMAK<br />Wa’alikum salaam. Hati – hati di jalan. nak. Kau harus selalu berdoa dan ingat kepada Allah di manapun kau berada. </span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>( Zohra pergi dan Mamak langsung sholat untuk memohon pada Allah. Kemudian muncullah Teuku Hamid dengan paniknya karena buron ) </i><br /><br />TEUKU HAMID<br />Bapaakk … Mamaakk … Zohraaa …<i> ( Memanggil )</i> Mamak. Mamak. Aku datang kemari butuh uang, mak. Berikan aku uang. Cepat. Aku harus merubah wajahku, agar tidak bisa dikenali. Hentikan dulu, mak. Bangsat ! ( Menendang tapi Mamak masih Sholat ) Mamak, apa kau tidak dengar ? Aku dikejar–kejar polisi. Kurang ajar ! <i>( Mendorong mamaknya yang lagi duduk diantara sujud ) <br /></i><br />MAMAK<br /><i>( Menangis ) </i>Ya … Allah, ampunilah hambamu ini. Turunkan azdab jika kau berkehendak. Selamatkan apa yang ingin Engkau selamatkan. Allaahu Akbar. <br /><br /><i>TIBA-TIBA TERJADILAH GEMPA DAN GELOMBANG TSUNAMI MELANDA DAERAHNYA. SEMUA MASYARAKAT PANIK DAN BERHAMBURAN UNTUK MENYELAMATKAN DIRINYA MASING-MASING. KETIKA ITU PULA CUT ZOHRA KEMBALI KE RUMAH UNTUK MENJEMPUT MAMAKNYA. TAPI DIKEJAUHAN HAMID TIDAK BISA DISELAMATKAN. SEMUA RUMAH RUSAK DAN MAYAT ADA DIMANA-MANA. SEBAGIAN WARGA YANG SELAMAT IKUT MENGEVAKUASI MAYAT YANG TERGELETAK DIMANA-MANA. MAMAK TERNYATA SELAMAT BESERTA CUT ZOHRA. </i><br /><br />KYAI<br />Innaalillaahi Wainnaa ilahi Rooji’uun Barangkali banyak orang belum tahu tanda-tanda kiamat yang pernah disebutkan oleh Rasulullah SAW. Sehingga mereka tidak sadar dengan keadaan dunia sekarang ini. Padahal, jika kita memperhatikan situasi dan kondisi dunia sekarang ini dengan cermat, maka tanda-tanda kiamat yang disebutkan oleh Rasulullah SAW itu sudah tampak di depan mata kita. Rasulullah SAW bersabda, “ Tidak akan terjadi hari kiamat sehingga tertahan ilmu pengetahuan, banyak terjadi gempa bumi, waktu berjalan terasa begitu sangat cepat, nyata segala macam fitnah, banyak terjadi kerusuhan berupa pembunuhan<i> ( peperangan </i>) sehingga harta benda pada kamu melimpah ruah. “<i> ( Riwayat Imam Bukhari ). </i>Dalam hadist yang lain, Rasulullah SAW, bersabda : “ Sesungguhnya sebagian tanda–tanda kiamat adalah diangkatnya ilmu pengetahuan, diminumnya arak, maraknya pelacuran secara terang-terangan, lebih banyak kaum wanita dari kaum lelaki, sehingga dapat dibandingkan 50 orang perempuan banding satu orang lelaki. “ <br /><br />SUARA<br />“ Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu, karena sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar <i>( dahsyat ). </i>“ Q.S. AL HAJJ : 1 <br /><br /><br /> </span></div><div><span style="font-family: arial;"><b>TAMAT </b><br /><br /></span><span style="font-family: arial;">Sanggar RISBA<br />Sekretariat “ MADINAH “ Jl. Petojo Enclek XII/90<br /><br />Catatan:<br />Untuk mementaskah naskah ini harap menghubungi penulis!!<br />ABBAS MUSTAN BHANSALI<br />081 33 2525 795</span><br /> <p></p></div></div>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4298803527365786226.post-35329170897554167682023-01-19T06:03:00.008-08:002023-01-19T08:21:37.596-08:00KESUCIAN HATI - Abbas Mustan Bhansali<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgIdYLrAtzgd7Wx-MJbrKrc43xHX7b8i_TOLlq4h_xN_NpYyBFj9inP4-D5Eci-fMIdQjtrOrQESZ58EgGJvieV1wepQD_HP9AW8_EDxa3vJosDEt2sLix27O6JmNmXONVK18jhlINS6xder2ZOnd4XjXdlz8x1tkWotaS7i4KPQxFyohcsEkf2N3n-/s9055/Kesucian%20Hati.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="5906" data-original-width="9055" height="261" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgIdYLrAtzgd7Wx-MJbrKrc43xHX7b8i_TOLlq4h_xN_NpYyBFj9inP4-D5Eci-fMIdQjtrOrQESZ58EgGJvieV1wepQD_HP9AW8_EDxa3vJosDEt2sLix27O6JmNmXONVK18jhlINS6xder2ZOnd4XjXdlz8x1tkWotaS7i4KPQxFyohcsEkf2N3n-/w400-h261/Kesucian%20Hati.jpg" width="400" /></a></div><br /> <span style="font-family: arial;"><br /><i>PARA PEMAIN</i><br />1. Dimas<br />2. Kirana<br />3. Zaenal<br />4. Rohimah<br />5. Syarifah<br />6. Imam<br />7. Ust. Arifin<br />8. Kabsyah<br />9. Halimah<br />10. Harun<br />11. Zar’ah<br />12. Khalid<br />13. Yazid <br /><br /><b><br /> ADEGAN PERTAMA </b><br /><br /><i>DI SEBUAH RUMAH KELUARGA KAYA YANG MANA SEPASANG SUAMI ISTERI TERSEBUT SANGAT SIBUK DENGAN KARIERNYA. HINGGA ANAKNYA YANG MASIH BALITA TERPAKSA DIASUH OLEH SEORANG PEMBANTU RUMAH TANGGA. </i><br /><br />ROHIMAH<br /><i>(sedang bersih-bersih rumah) </i>Ah … capek sekali. Sudah seharian aku bekerja, tapi rasanya tidak ada istirahat sedikitpun. Rumah sebesar ini hanya dihuni sepasang suami isteri. Suasana yang lengang karena hari-harinya mereka habiskan diluar rumah. Mereka sibuk bekerja tak kenal waktu. Bagaimana rasanya jika mereka tidak punya keinginan untuk mencari seorang pembantu rumah tangga sepertiku ? Pasti keadaan rumah tangganya berantakan. Tidak ada yang mengurus. Apalagi mereka mempunyai bayi yang membutuhkan kasih sayang dari ibunya. <br /><br />IMAM<br /><i>(sambil bermain kuda-kudaan) </i>Ayo kejar penjahat itu ! Dor … dor … dor … ! Tangkap ibu ! <br /><br />ROHIMAH<br /><i>(memanggil)</i> Imam … Imam … <br /><br />IMAM<br /><i>(masih terus bermain)</i> Ah … kuda payah. Pakai mobil aja dech. Ngeeeengg … <br /><br />ROHIMAH<br />Imam … Imam anakku ! </span><div><span style="font-family: arial;"><i>(Imam berhenti bermain) </i></span></div><div><span style="font-family: arial;">Masih ingat kan pesan ibu. <br /><br />IMAM<br />Lagian penjahatnya masuk ke dalam rumah, bu. Terpaksa aku kejar. Tugas polisi kan menangkap penjahat. <br /><br />ROHIMAH<br /> Dengar nak, kalau kamu mau main jangan di ruang tamu. Ibu baru bersihkan lantainya. Nanti kalau ada barang yang pecah, bagaimana ? Bisa-bisa nyonya juragan akan marah dan memecat ibu. Lebih baik kamu bermain saja di halaman luar. Kamu mengerti polisi kecilku. <br /><br />IMAM<br />Aku mengerti bu. Siap laksanakan perintah ! <br /><br />ROHIMAH<br />Tapi ingat jangan lama-lama mainnya. Nanti keburu juragan pulang. Atau sebaiknya kamu pulang dan tunggu saja di rumah. Siapa tahu bapakmu sudah pulang kerja dari kuli bangunan.<i> </i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(suara bayi menangis) </i></span></div><div><span style="font-family: arial;">Aduh … pekerjaan belum selesai, bayinya sudah bangun. </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(menggendong bayi) </i></span></div><div><span style="font-family: arial;">Cup … cup … sayang. Cup … cup … cup … Ayo jangan nangis. Pipis ya ! Oh … nggak pipis. Haus ya sayang ! Eh … sebentar ya ! Kita ambil susu botolnya dulu, yang sudah disiapkan mamamu tadi pagi. </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(ambil susu botol) </i></span></div><div><span style="font-family: arial;">Ini susunya. Kok masih nggak mau minum. </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(bayinya semakin nangis)</i> </span></div><div><span style="font-family: arial;">Haruskah aku berikan ASI ku ini padanya lagi ? Ah … biarlah yang penting dia tidak menangis. <br /><br />KIRANA<br /><i>(ketika menyusui bayi tersebut tiba-tiba nyonya juragan datang dan kaget)</i> Imah ! <br /><br />ROHIMAH<br /><i>(gugup)</i> Nyonya sudah pulang. <br /><br />KIRANA<br />Apa yang kamu lakukan pada bayiku ? <br /><br />ROHIMAH<br />Eh … maaf, maafkan saya nyonya. Sebenarnya … <br /><br />KIRANA<br />Kemarikan bayiku !. </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Rohimah memberikannya) </i></span></div><div><span style="font-family: arial;">Bayi ini adalah darah dagingku. Kau bukan ibunya karena aku yang melahirkan bayi ini. Apa kau tidak ingat peraturan disini ? Aku pekerjakan kau disini untuk bisa meringankan beban tugasku. Kau harus mengurusi rumah ini sebagaimana tugasmu menjadi pembantu rumah tangga. Dan bukan sebagai pengasuh bayiku. <br /><br />ROHIMAH<br />Aku tahu segala peraturan disini. Aku selalu menyelesaikan tugasku dengan baik. <br /><br />KIRANA<br />Tapi kenapa kau gendong bayiku. Dan bukannya kau jaga saja ditempat tidurnya. <br /><br />ROHIMAH<br />Tapi nyonya … <br /><br />KIRANA<br />Jangan menyela. Aku belum selesai bicara. Sebaiknya suamiku harus tahu kejadian ini. </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(menelpon) </i></span></div><div><span style="font-family: arial;">Hallo … Papa … cepat pulang, Pa ! Ada sesuatu yang harus diselesaikan … sekarang juga, Pa ! … Ini penting, Pa ! … Pokoknya papa pulang sekarang juga. </span><div><i style="font-family: arial;">(menutup Hpnya) </i></div><div><span style="font-family: arial;">Aku jadi muak melihatmu. Atau barangkali kau punya niat jahat. Kau gendong bayiku lalu kau akan membawanya kabur. Begitu kan !</span></div><div><span style="font-family: arial;"><br />ROHIMAH<br />Tak ada maksud sedikitpun seperti itu. Aku menggendongnya karena bayi itu selalu menangis. Kemudian kuberikan botol susu tapi dia masih saja terus menangis tak kunjung henti. Hingga tidak ada pilihan lain. Maka terpaksa aku menyusuinya dengan ASI ku. <br /><br />KIRANA<br />Apa ? Kau menyusui bayiku ? Kau sudah menyentuhnya dan darahmu bercampur ke dalam tubuh bayiku. Sungguh biadab ! Aku harus membunuhmu perempuan laknat !<br /><i>(emosi tinggi) </i>Aku harus membunuhmu ! <br /><br />DIMAS<br />Mama … kenapa teriak-teriak ! Ada apa ini ! Imah … ada apa dengan semua ini ? <br /><br />KIRANA<br />Jangan bicara lagi. Mulutmu seharusnya dirobek. Sebagai pengganti mulut bayiku yang kau susui dari tubuhmu. <br /><br />DIMAS<br />Imah … benarkah itu ? Kau telah melakukannya pada anakku ? Kenapa kau lakukan itu ? <br /><br />ROHIMAH<br />Maaf, tuan. Semua yang saya lakukan ini dg kesucian hati. Sebagai sosok seorang ibu yang punya nurani kemanusiaan. Saya gelisah melihat kondisi anak tuan yang sulit mengalami pertumbuhan dan perkembangan dengan baik. Makan tidak mau. Minum tidak mau. <br /><br />DIMAS<br />Apa maksudmu berkata begitu ? Kami bekerja keras demi anakku. Semua fasilitas dan kebutuhannya sudah kami siapkan. Hei … kau tidak sadar siapa dirimu ? Dan siapa kami ? Kau tidak ada hubungan keluarga dengan kami. Kau orang miskin. Namamu saja kampungan, Rohimah. Darah orang miskin beda dengan darah orang kaya. <br /><br />IMAM<br /><i>(tiba-tiba datang)</i> Ibu … talinya putus, bu. <br /><br />DIMAS<br />Wah … wah … wah … rumahku jadi kotor semuanya. Jadi selama kami bekerja diluar rumah, kau sudah melanggar peraturan yang kami buat. Hei anak tong sampah. Ajak ibumu pergi meninggalkan rumah ini. <br /><br />ROHIMAH<br />Saya mohon maaf, atas kesalahanku ini, tuan. <br /><br />DIMAS<br />Aku tidak sudi memaafkanmu. Malah aku merasa jijik melihat dirimu. Pantasnya kau bergaul dengan orang miskin. Susui saja anak yatim piatu. Atau binatang yang kelaparan. Sekarang juga kau harus tinggalkan rumahku ini. Pergi … Cepat pergi ! <br /><br /><i>(Rohimah dan Imam pergi untuk pulang ke rumah) </i><br /><br />KIRANA<br />Sekarang juga carilah pembantu yang lain. Jangan ambil sembarangan, Pa. Lebih baik cari di Biro Jasa Pembantu Rumah Tangga yang profesional. Biar sementara aku kerjakan semua pekerjaan sendiri dirumah. <br /><br />DIMAS<br />Kalau begitu jaga diri baik-baik di rumah, ya ma. <br /><br /> <br /><b>ADEGAN KEDUA </b><br /><br /><i>KEADAAN RUMAH YANG SERBA SEDERHANA DARI KELUARGA MISKIN. TAPI KAYA DENGAN KEIMANAN. SYARIFAH, KAKAKNYA IMAM YANG KINI TIDAK BERSEKOLAH KARENA TIDAK ADA BIAYA LAGI. TIBA-TIBA BAPAKNYA PULANG DARI KERJA. <br /></i><br />ZAENAL<br />Assalaamu ‘alaikum.<i> </i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Syarifah menjawab salam) </i></span></div><div><span style="font-family: arial;">Syarifah, kenapa kamu tidak pergi sekolah ? <br /><br />SYARIFAH<br />Aku … aku … dilarang sekolah, Pak. Karena Kepala Sekolah sudah memberikan surat peringatan yang terakhir. <br /><br />ZAENAL<br />Pasti tentang biaya sekolah. Lalu adikmu, Imam kemana ? <br /><br />SYARIFAH<br />Dia ikut ibu pergi ke rumah Pak Dimas tadi pagi. Padahal ibu sudah melarangnya. <br /><br />IMAM<br />Bapak … bapak … mereka jahat …<i> (sambil nangis) </i><br /><br />ZAENAL<br />Kok pulang-pulang nangis sih ! Kenapa ? Mainannya rusak ? <br /><br />SYARIFAH<br />Adikku sayang, kenapa kamu ? Dipukuli orang ? <br /><br />IMAM<br />Mereka jahat … seperti penjahat … ngomongnya kayak pejabat … <br /><br />ZAENAL<br />Mereka itu siapa ?<i> </i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(tiba-tiba Rohimah datang) </i><br /><br />ROHIMAH<br />Memang mereka kaya tapi miskin iman. <br /><br />ZAENAL<br />Sebenarnya ada apa ini ? kok Ibu pulang gini hari dengan mata sembab. Ibu habis menangis ? <br /><br />ROHIMAH<br />Kata-katanya menusuk hatiku. Perlakuannya kurang sopan. Martabat keluarga ku diinjak-injak. Aku tidak tahan, Pak. <br /><br />ZAENAL<br />Sudahlah. Sekarang jelaskan persoalannya. Siapa yang dimaksud menghina keluarga kita ? <br /><br />ROHIMAH<br />Pak Dimas dan Bu Kirana yang telah berani menjelek - jelekkan keluarga kita. Mentang - mentang orang kaya. Tidak bisa menjaga kata – katanya. <br /><br />ZAENAL<br />Oh … yang ibu maksud itu mereka. Tapi kenapa mereka berbuat demikian terhadap kita. Bukankah mereka orang berada yang harus baik terhadap sesamanya. Bapak tidak yakin, bu. Apa masalahnya sampai mereka berbuat demikian ? <br /><br />ROHIMAH<br />Masalahnya … sebagai seorang ibu yang punya naluri kemanusiaan, tidak tega melihat manusia teraniaya secara batin. Ibu memang salah, meski sudah bekerja dengan baik, tapi … <br /><br />ZAENAL<br />Tapi kenapa ? </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(tiba – tiba Ustadz Arifin datang) </i><br /><br />USTADZ ARIFIN<br />Assalaamu ‘alaikum. </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(mereka semua menjawab) </i><br /><br />ZAENAL<br />Eh … Pak Ustadz, tumben datang kemari. Ada perlu apa ya ? (memanggil) Syarifah tolong ajak adikmu masuk ke dalam. <br /><br />USTADZ ARIFIN<br />Ah … saya cuma mau mampir saja. Karena mau menyampaikan amanat dari Masjid kalau nanti malam ba’da Maghrib ada pengajian. Ajak ibu sekalian pak Zaenal. <br /><br />ZAENAL<br />Insya Allah kami akan datang. Oh ya … bu tolong buatkan minum untuk Ustadz. <br /><br />USTADZ ARIFIN<br />Terima kasih, tidak usah repot – repot. Tapi sebelumnya saya mohon maaf jika salah kira. Kelihatannya ibu sedang tidak enak badan. Apa benar ? <br /><br />ZAENAL<br />Ya begitulah, ustadz. Setelah pulang kerja tadi, istri saya mendapatkan masalah. Sampai kinipun saya belum tahu apa sebenarnya masalah itu. <br /><br />USTADZ ARIFIN<br />Kalau ada masalah harus secepatnya diselesaikan, agar tidak terlalu lama membebani. Apalagi nanti bisa stress lho, bu. <br /><br />ZAENAL<br />Benar kata ustadz, bu. Kebetulan ustadz ada disini, mungkin akan bisa membantu kita. Sekarang jelaskan apa masalahnya ? <br /><br />ROHIMAH<br />Begini, ustadz. Selama ini saya bekerja di rumah pak Dimas. Ketika bayinya menangis, saya segera menenangkannya. Tapi malah tangisannya menjadi keras. Lalu saya gendong meski itu dilarang oleh bu Kirana. Terpaksa juga saya menyusui bayi tersebut dengan ASI saya. Kemudian bu Kirana mengetahui semua itu ketika pulang ke rumah. Begitu juga pak Dimas. Mereka marah–marah dengan memecat saya dari pekerjaan. Dan menghina keluarga saya yang miskin tak punya harga diri. <br /><br />USTADZ ARIFIN<br />Kenapa sesama muslim bersikap begitu ya ?! Padahal ajaran Islam menganjurkan agar berbuat baik sesama manusia. Apalagi sesama umat Islam adalah bersaudara. Dengan kejadian seperti ini telah mengingatkan saya pada sejarah Nabi Muhammad SAW pada masa kecilnya. Ketika itu beliau disusui oleh para wanita selain ibunya Siti Aminah. Cerita begini !</span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(adegan berubah Flash Back masa kenabian SAW) </i><br /><br /> <br /><b> ADEGAN KETIGA </b><br /><br /><i>SUASANA KOTA MAKKAH PADA MASA ITU KETIKA MAJIKAN MENCARI IBU PENGASUH UNTUK JASA MENYUSUI BAYI DAN ANAK BALITA PUTRA BANGSAWAN & HARTAWAN SUKU QURAISY. <br /></i><br />HALIMAH<br />Kita sudah sejauh ini berjalan. Dari pintu ke pintu rumah para bangsawan. Tapi hasilnya tidak kita dapatkan. <br /><br />KABSYAH<br />Kalau begitu kita istirahat sejenak disini untuk melepas lelah. <br /><br />HALIMAH<br />Kau lihat sendiri, ketika kita berada di suatu tempat pelayanan pencarian jasa menyusui tadi. Tidak satupun majikan yang memilih aku sebagai pengasuh bayi dan anak balitanya. <br /><br />KABSYAH<br />Memang sejak tadi pagi kita berdiam di tempat bursa itu. Ternyata sama sekali tidak ada yang berminat dengan dirimu. <br /><br />HALIMAH<br />Cukup lama sekali kita menunggu. Kita malah menyaksikan para majikan lebih berminat memilih wanita yang cantik, memiliki kemolekan tubuh, berbadan sehat dan segar, berwajah ceria. Tentu saja aku merasa, mereka tidak punya minat memilihku. Mungkin karena tubuhku yg tidak menarik inilah shg tidak seorangpun mempercayakan anaknya aku susui. <br /><br />KABSYAH<br />Sabar istriku, barangkali Allah masih belum membuka jalan rezeki kita. </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(tiba-tiba datanglah Yazid dengan kebingungan) </i></span></div><div><span style="font-family: arial;">Wahai saudaraku, kelihatannya saudara ini mencari seseorang. Siapa sebenarnya yang saudara cari ? <br /><br />YAZID<br />Aku mencari wanita yang mau menyusui anak laki-laki yang bernama Muhammad. Siti aminah, ibu dari Muhammad ini menyuruhku agar mencarikan wanita asal desa. Yang sebelumnya Muhammad pernah diasuh oleh Ummu Aiman dan Tsuwaibah. <br /><br />KABSYAH<br />Kebetulan istriku memang mencari nafkah dengan menjual jasa menyusui dari desa. Kami pergi ke kota Makkah dengan tekad mencari sesuap nasi. Desa Bani Saad yang gersang yang sulit untuk usaha pertanian dan peternakan terpaksa kami tinggalkan. <br /><br />YAZID<br />Tapi Muhammad ini anak yatim dan anak seorang janda yang penghidupannya tidak lebih dari kehidupan kalian. <br /><br />HALIMAH<br />Mana ada wanita penyusu yang mau menyusui anak dengan keadaan yatim. Hidupnya saja serba kekurangan. Malah mereka mencari anak-anak yang berayah, sebab bayarannya akan lebih terjamin dan cukup memadai. Tapi dari pada pulang dengan tanggan kosong dan ditertawai orang kampung. Apakah tidak sebaiknya kita ambil saja tawaran ini. <br /><br />KABSYAH<br />Sungguh mulia hatimu. Aku sangat setuju dengan niat baikmu. Siapa tahu dengan mengambil anak yatim, rahmat Allah akan turun kepada kita. <br /><br />YAZID<br />Kalau begitu sebaiknya kita pergi sekarang.<i> (lalu mereka pergi) </i><br /><br /> <b><br />ADEGAN KEEMPAT </b><br /><br /><i>SUASANA KEHIDUPAN DESA BANI SAAD YANG DITEPI PADANG PASIR. NAMPAKLAH HARUN, ANAK HALIMAH SEDANG MENUNGGU DI TERAS. </i><br /><br />HARUN<br />Ibu … ibu … apakah bekal makannya sudah siap ? Jangan terlalu lama, bu. Kasihan dengan Muhammad yang sendirian. Karena sejak tadi dia sibuk mengembala kambing. <br /><br />HALIMAH<br />Ini … jatah makan siangnya sudah siap. Lain hari ibu yang akan mengantarkannya. <br /><br />HARUN<br />Kalau begitu aku segara kembali menemui Muhammad. Karena terik matahari di gurun sudah menyengat dan memang sudah waktunya makan. <br /><br />HALIMAH<br />Yang penting, kalau matahari sudah mulai terbenam segera pulang. </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(Harun pergi dan kemudian Zar’ah muncul) </i><br /><br />ZAR’AH<br />Aku tadi melihat anakmu sendirian pergi ke gurun. Apa benar ? <br /><br />HALIMAH<br />Iya. Dia pulang sebentar untuk mengambil jatah makan buat makan bersama Muhammad. <br /><br />ZAR’AH<br />Jadi Muhammad ditinggal sendirian di sana bersama kambing-kambingnya. <br /><br />HALIMAH<br />Sebenarnya aku tidak tega melihat Muhammad sendirian di gurun pasir yang luas itu. Aku khawatir terjadi apa-apa padanya. <br /><br />ZAR’AH<br />Tenanglah semoga Allah selalu menjaga dirinya. Sebagai tetangga aku merasakan bahwa Muhammad semenjak berada di desa kita ini punya kepribadian yang baik. Karena kehidupan desa di tepi padang pasir ini membentuk kepribadian Muhammad yang sebelumnya hidup ditengah kebisingan kota Makkah. Udara segar dan alam yang luas membuat pikiran dan wawasannya luas pula. Apalagi dia santun berbahasa bila dibandingkan bahasa kota Makkah yang kasar. <br /><br />HALIMAH<br />Memang benar. Dua tahun yang lalu Muhammad pernah kuserahkan kembali ke ibunya, Siti Aminah. Tapi aku diminta membawa Muhammad kembali ke desa. Karena Aminah khawatir perkembangan fisik dan kepribadiannya yang amat baik itu akan terpengaruh oleh suasana Makkah yang dinilai kurang cocok buat anak-anak. <br /><br />ZAR’AH<br />Sungguh luar biasa. Diusia empat tahun, Muhammad mulai ikut mengembala domba dan kambing milikmu secara rutin setiap hari. Dia mengenal alam dengan bukit berbatu dan gurun pasir, merupakan latihan fisik dan mental yang cukup baik. Mengamati kehidupan ternak-ternak gurun seperti domba dan kambing. Juga mendapatkan pengalaman dalam pergaulan sesama penggembala dan bisa merasakan betapa pahit dan getirnya bekerja di bawah terik matahari gurun yang menyengat itu. <br /><br />KABSYAH<br />Wahai istriku, ada sesuatu yang tidak beres dengan Muhammad ? <br /><br />HALIMAH<br />Apa yang terjadi dengan diri putra Quraisy yang mulia itu ? <br /><br />KABSYAH<br />Ketika aku pulang dari ladang pertanian, ditengah perjalanan aku menemui anak kita sedang menangis ketakutan. Dia mengatakan bahwa ketika sampai di tempat penggembalaan. Dia terkejut melihat tempat itu lengang. Muhammad bagaikan raib ditelan bumi, tidak ketahuan kemana perginya. Hilang begitu saja. <br /><br />HALIMAH<br />Lalu Harun, anak kita sekarang kemana ? <br /><br />KABSYAH<br />Dia bersama warga desa sibuk mencari Muhammad. Sedangkan aku segera pulang untuk menyusulmu agar kita sama-sama mencari dimana Muhammad berada ? Tapi aku sempat berpikir bukankah Harun selalu bersama Muhammad. <br /><br />HALIMAH<br />Sepertinya ini salahku karena tadi pagi sebelum mereka berangkat. Aku berpesan agar nanti siang Harun pulang dulu untuk ambil jatah makan. <br /><br />ZAR’AH<br />Sebaiknya jangan menunda lama-lama. Secepatnya kita sama-sama mencari hilangnya Muhammad. Ayo … </span></div><div><span style="font-family: arial;"><br /></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(tiba-tiba Khalid datang memberi kabar tentang Muhammad) </i><br /><br />KHALID<br />Wahai Kabsyah ! Ternyata Muhammad sekarang sudah ditemukan tengah duduk sendirian di kaki sebuah bukit. Harun dan semua warga ada disana. <br /><br />KABSYAH<br />Syukurlah kalau begitu. Apa kau tahu kenapa Muhammad ada disana ? <br /><br />KHALID<br />Menurut kejadian itu, ketika Muhammad duduk sendirian datanglah dua orang lelaki berpakaian serba putih. Lalu mereka membawanya pergi dan entah dengan alat apa, kelihatannya seperti sebuah pisau bersinar, perutnya dibelah setelah Muhammad dibaringkan. Mereka mengambil sesuatu yang berwarna hitam dari dalam tubuhnya, kemudian membuangnya. Sesudah perutnya ditangkupkan lagi, mereka lalu menghilang entah kemana. Sungguh Muhammad tidak mengerti dari mana mereka datang dan kemana perginya <br /><br />KABSYAH<br />Kalau begitu segera temui Muhammad dan langsung kita pergi ke Makkah untuk menyerahkan ke ibunya. Aku tidak ingin peristiwa yang aneh ini terulang kembali. <br /><br />HALIMAH<br />Aku gemetar ketakutan mendengar peristiwa ini. Biarlah Muhammad kembali ke pangkuan ibunya, Siti Aminah. Meskipun Muhammad sejak bayi aku beri susu dan aku selalu menganggap seperti anakku sendiri tanpa membeda-bedakan dengan anak kandungku. Mari kita berangkat. </span></div><div><span style="font-family: arial;"><i><br /></i></span></div><div><span style="font-family: arial;"><i>(lalu semua pergi dan kembali ke ralita sekarang) </i><br /><br /> <b><br />ADEGAN KELIMA </b><br /><br /><i>SUASANA KEMBALI DI RUMAH KELUARGA ZAENAL YANG SERBA MISKIN ITU. </i><br /><br />USTADZ ARIFIN<br />Begitulah kisahnya. Warga desa Bani Saad mengantar kepergian Muhammad ke Makkah dengan cucuran air mata. Lelaki, wanita, tua, muda, tidak bisa membendung kesedihan karena harus ditinggalkan anak asuhnya, teman sepermainan, teman menggembala, dan yang utama memberi barokah kepada alam yang menjadi tumpuhan hidup warga desa itu. Kambing dan domba mengembik, diatas daun pohon kurma melambai, apakah tanda ucapan selamat jalan atau kesedihan ? Halimah, wanita pemberi susu itu semalaman menangisi Muhammad yang kemudian hari diangkat oleh Allah menjadi Rasul, Nabi pencerah sepanjang zaman. <br /></span><span style="font-family: arial;"><br /><b><br />******* TAMAT ******</b></span></div><div><span style="font-family: arial;"><br />Sanggar RISBA<br />Sekretariat “ MADINAH “ Jl. Petojo Enclek XII/90<br /><br />Catatan:<br />Untuk mementaskah naskah ini harap menghubungi penulis!!<br />ABBAS MUSTAN BHANSALI<br /><br />081 33 2525 795</span><span style="font-family: arial;"><br /></span><br /> </div></div>AHMED EL HASBYhttp://www.blogger.com/profile/06239435666266163328noreply@blogger.com0